Powered By Blogger

Selasa, 04 Juni 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (66)

Penyakit yang menghinggapi diri saya ini tak boleh dibilang penyakit sembarangan. Semua orang pun saya yakin sudah tahu. Masalahnya, penyakit ini berurusan dengan kematian, meski tidak masuk kategori penyakit menular. Kanker yang tidak tertangani dengan baik cenderung merongrong bukan saja kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental. Soalnya banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi penyakit ini. Pun banyak pikiran tercurah di sini sebab semua orang seakan-akan berlomba-lomba ingin merawat dan mencarikan obat yang tepat untuk si sakit baik itu keluarganya maupun orang-orang dekatnya.

Ketika saya berkunjung ke RS menjelang kemoterapi, saya sempat bertemu lagi dengan jurnalis yang beberapa kali saya ceritakan di dalam serial ini mengantarkan istrinya yang sakit kanker payudara. Kali itu kami bersinggungan di area kantin yang sempit ketika beliau sedang mencari hawa pagi, sedangkan saya dan anak saya sarapan sehabis pemeriksaan di laboratorium. Seperti biasanya beliau kelihatan sangat lelah dengan penampilan yang tak terurus. Katanya istrinya kembali dirawat di RS karena kondisinya cenderung memburuk. Sel darah merahnya rendah sekali sehingga tetap belum bisa dikemoterapi serta tak bisa menerima suntikan obat Zoladex yang menjadi obat utama terapi kanker payudaranya yang disebabkan hormon. Kendalanya, selain obat Zoladex sulit diperoleh, pasien itu juga tidak kunjung fit sebagai persyaratan menjalani kemoterapi.

Seraya menarik bangku plastik di dekat saya, lelaki itu duduk sejenak menyapa saya dan anak saya. Dengan hangat dia menyatakan bahagia menyaksikan keadaan saya yang prima. Selanjutnya dia menceritakan bahwa dia tak jadi membawa istrinya berobat ke sinshe seperti anjuran saya. Menurutnya, dia sudah kehabisan daya untuk mengobatkan istrinya sebab sudah sangat banyak upaya dilakukannya baik dengan pengobatan medis empiris ke dokter maupun alternatif. Katanya dia pernah mendatangi seorang pemuka agama yang kabarnya berhasil menangani banyak pasien kanker dengan terapi tangan kosongnya. Waktu itu istrinya diurut-urut hingga mengeluarkan darah sangat kental bergelas-gelas dari payudaranya. Tapi penyakitnya tak kunjung sembuh. Selanjutnya dia juga mendatangi pengobat alternatif lainnya yang menerapi istrinya juga dengan tangan kosong yang diklaim mengandung energi. Tapi tangan si pengobat itu tak seperti halnya tangan sinshe saya yang juga mengandung energi, tak ditempelkan ke tubuh si sakit. Yang saya rasakan sehabis di totok syaraf dengan tangan berenergi itu, tubuh saya serasa dijalari rasa hangat yang membuat otot-otot saya relaks. Setelah itu istri sang jurnalis juga dibekali jejamuan dari berbagai herbal yang katanya sangat berkhasiat meski pahit sekali. Sayangnya khasiat itu tak pernah membawa perbaikan. Lepas dari situ beliau juga mencoba aneka obat herbal yang kini sedang marak dipasarkan di Indonesia. Disebutnya berbagai merek yang katanya herbal dari daun sirsak dicampur kulit manggis atau kulit manggis itu sendiri dan teh daun sirsak. Ini pun belum membawa perbaikan pada istrinya, hingga sekarang si istri terpaksa menginap di bangsal isolasi RS selama beberapa waktu. Miris saya mendengarnya. Sebab terbayang di mata saya istrinya yang saya tahu sendiri sudah dalam keadaan sangat lemah itu. Belum lagi terbayang kondisi rumah yang ditinggalkan terlantar akibat masa perawatan itu. Dulu beliau mengeluh bahwa beliau terpaksa menjual rumahnya dan juga berbagai harta yang dimiliki demi mengobatkan si istri. Tak jauh berbeda dengan kondisi rumah tangga saya yang telah menghabiskan nyaris seluruh tabungan kami hanya untuk pengobatan saya bertahun-tahun dulu.

***

Hari ini pagi-pagi sekali kakak sulung saya sudah meneguk salah satu obat herbal yang sedang marak di pasaran. Dari bungkusnya terbaca obat itu berasal dari sari kulit manggis yang diklaim sebagai ratu buah tropis yang sangat berkhasiat untuk bermacam-macam penyakit serta daun sirsak. Harganya tak bisa dibilang murah, dua ratus ribu rupiah lebih per botol, meski dia bisa mendapatkannya hanya seratus enam puluh ribu rupiah sebab membeli di tempat sahabatnya. Konon sahabatnya merupakan agen penjualan obat itu.

Sahabat kakak saya sudah lama saya kenal. Beliau persis seusia dengan kakak saya, sedangkan suaminya yang merupakan dosen kakak saya dulunya berumur hampir delapan puluh tahunan. Tentu saja faktor usia membuat keduanya sudah tak prima lagi bahkan berpenyakit menetap. Sedihnya lagi salah seorang menantu beliau yang masih muda dan sedang giat-giatnya mengambil kuliah strata-3 sambil mengurus rumah tangga, menderita sakit serius pula. Konon katanya sih sakit syaraf yang belum ada obatnya. Penyakit degeneratif atau penurunan fungsi tubuh itu membuatnya kini terpaksa bergantung kepada orang lain untuk seluruh hidupnya sebab dia tak lagi mampu bergerak. Syaraf-syarafnya yang rusak telah mencelakai gerak motoriknya. Tapi harus diakui dengan memberi acungan jempol, sahabat kakak saya yang aslinya memang berwajah cantik bagaikan bintang film itu bisa mengatasi penyakitnya sendiri sehingga beliau merupakan motor di keluarganya. Tenaganya lah yang setiap hari terpakai merawat seluruh anggota keluarganya, terutama suaminya yang sudah sangat bergantung kepadanya dan tentu saja si menantu itu tadi. Apakah ini diakibatkan beliau mengonsumsi obat herbal tadi, saya tidak tahu persis. Yang jelas kakak saya terkagum-kagum pada stamina beliau.

Entah bujukan apa yang disampaikan kepada kakak saya sehingga kakak saya tertarik membeli produk obat herbal yang dijualnya tadi. Sesungguhnya saya tidak melarang kakak saya mengonsumsinya, apalagi mengingat kakak saya benar-benar khawatir terserang kanker payudara seperti saya. Hanya saja saya ingin kakak saya kelak teratur mengonsumsi herbal ini sehingga manfaatnya tercapai. Sebab selama ini kakak saya sering membeli berbagai produk yang ditawarkan orang, tetapi nyatanya tidak mau rutin mengonsumsinya sehingga beliau masih saja selalu merasa kurang fit. Tiada hari tanpa keluhan pusing dan sakit kepala, itu yang sering terlontar dari mulutnya dan tertangkap telinga kami semua sehingga saya khawatir.

Di dalam hati saya seandainya efek obat herbal itu benar-benar mujarab, mengapa tidak membawa perbaikan berarti? Lihatlah istri sang jurnalis di RS. Apakah berarti obat ini harus dikonsumsi terus-menerus tanpa putus-putus? Lalu berapa banyak kah kelak uang yang harus dikeluarkan untuk membelinya? Tentunya akan sama mahalnya dengan ongkos berobat di sinshe saya yang bisa dikatakan sinshe termurah yang saya dengar-dengar. Berarti itu juga kelak yang harus disediakan oleh kakak saya seorang pensiunan. Nah, sedih bukan menjadi penderita kanker? Terpukul saya merasakannya.

Saya bukan tidak menghargai penemuan obat-obat herbal itu. Justru saya amat bangga jika dari khasanah tanaman Indonesia bisa dihasilkan obat yang tak kalah mutunya dibandingkan herbal Cina. Itu memang harapan saya. Namun tidak kah harga jualnya bisa ditekan menjadi lebih murah lagi? Tidak kah obat itu bisa diproduksi massal sehingga mudah diperoleh masyarakat dan terjangkau segala kalangan? Ya, sakit kanker itu memang butuh dukungan semua pihak termasuk kalangan pengusaha jejamuan. Rasanya sayang jika kita tak bisa menandingi para pakar pengobatan tradisional Cina yang ekspansi pengobatannya sudah merambah Indonesia dan berurat-akar di sini.

Inilah obat-obat herbal Indonesia yang saya maksudkan :












Semua obat herbal ini menyatakan diri sudah mendapat pengakuan dari Kementerian Kesehatan. Akan tetapi sayangnya ketika saya mencoba mencari informasi di internet, begitu saya masukkan kata kunci berupa nama obat itu sederet kata berjajar di bawahnya termasuk yang bertuliskan "palsu". Saya jadi agak ragu untuk mengonsumsinya, sebab mana-mana yang asli dan mana-mana yang palsu penampakannya sangat mirip. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa apa yang kita beli itu asli saya tak tahu caranya. 

Kalau ini yang terjadi alangkah ngerinya. Sudahlah mahal khasiatnya tak bisa dipertanggung jawabkan pula. Beginilah nasib penderita kanker. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Tapi saya sih tetap optimis bahwa saya akan memperoleh kesembuhan saya setelah memperjuangkan segalanya dengan dukungan moral dan material dari banyak teman yang setulusnya menyayangi saya. Rasanya setelah kita berupaya keras seraya berpasrah diri kepada Tuhan, tak mungkin Dia mengabaikan kita begitu saja. 

Dan berhubung saya orang unik dengan sifat yang aneh, saya bisiki ya, ngomong-ngomong saya justru senang begitu dinyatakan berpenyakit kanker oleh dokter onkologi saya. Pasalnya, setelah pencarian sekian lama akan jenis sel yang senantiasa minta menghuni tubuh saya tanpa hasil selain menghabiskan tabungan keluarga kami saja, kini saya tahu bahwa saya berpenyakit "gedongan". Penyakit yang sebaiknya hanya patut menghinggapi orang kaya karena penanganannya tidak mudah, makan waktu lama dengan biaya yang mahalnya luar biasa itu. Saya kena penyakit : KANKER ~begitu lho~ :-D

(Bersambung)
 

17 komentar:

  1. pernah sapa gitu yang bahas, satu ustadzah, setiap penyakit ada obatnya, kitanya yang kudu tekun, mau herbal mau terapi mau sinshe mau dokter.. sugesti sembuh lebih mujarab dari segala obat serta berfikir positif..

    *pengen kunyahkunyah sirsak dan manggis segar deh bukan extract..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang iya, kata agama sih gitu. Saya makanya percaya berobat di sinshe karena dia juga prinsipnya sama dengan kita bahwa semua penyakit disediakan obatnya oleh Allah, walau agama kita beda. Dan nyatanya begitu saya percaya herbal keluarganya, kok ya alhamdulillah kanker saya nggak menyebar gitu deh.

      Ini saya baru beli sirsak, tapi manggis nggak ada lagi jadi beli mangga simanalagi sama markisa, lha kan lama-lama bosen juga makan naga merah melulu.

      Hapus
  2. Seandainya obat herbal itu benar-benar terbukti manjur menyembuhkan maka IDI (Ikatan Dokter Indonesia) akan merekomendasikannya dalam sebuah jurnal kesehatan, bukan para marketing produk (Direct Selling, MLM, dll)

    Namun demikian jangan sampai lemah dalam berikhtiar.

    BalasHapus
  3. Oiya, saking perhatiannya, ibu saya juga mengirimkan teh sirsak itu untuk kami sekeluarga lho, mbak Julie.
    Apapun pemberian orangtua, kami akan anggap sbg do'a bahwa mereka ingin kami sekeluarga selalu sehat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh, sekarang bapak Iwan kelihatan wajahnya yang sumringah hehehehe.........

      Iya tuh saya hati-hati makan herbal ini, soalnya nggak yakin juga setelah googling dapat entri pakai embel-embel palsu gitu. Nah kalau soal teh daun sirsaknya, saya udah coba 3 merek, semua rasanya sama dengan rebusan daun segarnya. Minumlah dik, ada manfaatnya kok. Pohon sirsak di taman RT saya lama-lama trondol dipetiki warga nih saking banyaknya yang suka bikin teh daun sirsak.

      Hapus
  4. katanya buah dan daun pohon sirsak memang berkhasiat bun..
    kemarin juga ada temenku nyuruh aku ngerebus daun sirsak..
    tapi nyari pohon sirsak emang agak susah, aku juga ga punya pohonnya..paling praktis memang dari yang udah diolah jadi kapsul atau sirup..cuma ga tau khasiatnya masih sama atau tidak..

    semoga cepet sehat lagi ya bun.. :)
    semangat truuusss...

    *peluk dari Rin*
    aku kembali ke rumahku yang lama di : RAINBOW BOOK ..
    hehehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mbak Rin, banyak yang bilang gitu. Khasiatnya sama aja kok dengan yang fresh ngrebus sendiri. Cuma saya juga senang yang jadi karena selain praktis, itu pohon di tamannya RT kasihan udah lama jadi keroyokan orang sekampung.

      Rainbow book alamatnya apa mbak? Mau dong dikasih tahu biar bisa following. Boleh ya?!

      Hapus
  5. seneng lah ...nyawang biyunge wis keton sehat..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kudu lah, melas maring bocah-bocah karo batir-batirku sing wis akeh berkorban kanggo nyonge toli hihihihi........

      Rika sehat mbok kang? Wis mayeng-mayeng tekan ngendi maning sih ngeneh lah ditontoni potone.

      Hapus
  6. Kalau aku siy lebih percaya yang harus susah payah ngrebus. Kelihatan nyata gitu lho...nggak mungkin palsu, dan insya Allah khasiatnya nyata.

    *peluk mbak Julie, kangen sdh lama ga komentar*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya sih mbak Ika, tapi kasihan daun di pohon kapan dia tumbuh lebat kalau digunduli terus tiap hari sama wong sak kampung? :-D Lagi pula kalau kulit manggis, saya nggak ngerti takarannya berapa, kan daripada kelebihan atau kekurangan, mendingan beli jadi.

      *wong males lagi ngaku sambil pelukan balik*

      Mbak Ika sehat 'kan?!

      Hapus
    2. Jadi ingat wkt kecil aku sering masak2an bikin puding dari kulit manggis, tentunya ga bisa dimakan. Kalau dulu tau kalau kulit manggis berkhasiat, mungkin sekarang sdh jadi pakar kanker kalee hahaha...nghayal....

      Alhamdulillah sehat Mbak, kulit kepalaku sudah sembuh. Sekarang kita sama lho.....gundul !!! haaa.....

      Hapus
    3. Lha kok gundul juga sih, ada apa nih? Mudah-mudahan bukan sesuatu yang serius dan mengkhawatirkan ya, kata teman saya yang dokter itu banyak-banyak aja makan kacang ijo nanti kan rambutnya lebat lagi.

      Hapus
  7. „ngomong-ngomong saya justru senang begitu dinyatakan berpenyakit kanker oleh dokter onkologi saya.“

    saya setuju bunda, jadi jelas yang harus „diperangi“ itu apa.

    soal uang abis tapi yang digempur bukan pokok permasalahannya, ini yang bikin ngenes tau2 udah berat.

    terus semangat bunda...

    doa dari jauh untuk kesembuhan bunda...

    salam
    /kayka

    BalasHapus
    Balasan
    1. „ngomong-ngomong saya justru senang begitu dinyatakan berpenyakit kanker oleh dokter onkologi saya.“

      saya setuju bunda, jadi jelas yang harus „diperangi“ itu apa.

      ***********

      Iya nah di situ letak senangnya saya. Dulu di negeri tetangga semua dibilang jinak sih, tapi anehnya ngganggu dari waktu ke waktu, kan bikin jengkel plus penasaran.

      Semoga kita semua untuk selanjutnya sehat-sehat aja ya kak. Terutama kak Ika yang jauh dari keluarga kandung, jangan sampe sakit lagi deh di situ. Biar pun ada suami, tetap beda rasanya kok kalau yang mendampingi kita keluarga kandung kita sendiri. Ini pengalaman saya lho.

      Hapus
    2. amin amin yra... iya bun kita sama2 mendoakan ya.

      betul sekali yang bunda tulis. saat di rs dulu saya teringat keluarga di jakarta terus... malam hari sebelum di op. sempet nangis2 bareng :(

      salam
      /kayka

      Hapus
    3. Haiya beneran nih wkwkwkwkwk.........

      Hapus

Pita Pink