Powered By Blogger

Sabtu, 22 Juni 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (75)

Hari ini Sabtu, 22/06 kegiatan persiapan operasi saya dilanjutkan lagi. Ketika tengah menunggu giliran pemeriksaan di klinik jantung kemarin, saya mendapat telepon dari Apotik RS tempat saya berobat di Bogor bahwa obat suntik saya yang dimaksudkan untuk menaikkan kadar sel darah putih sudah tersedia. Saya diharap datang segera. Pesannya hanya demikian. Berhubung saya masih dalam tahap pemeriksaan persiapan operasi di RSKD, maka hanya saya katakan saya akan datang keesokan harinya karena dokter pun mengharuskan begitu. Bahkan sempat terlontar gagasan dokter saya bahwa jika hingga hari ini saya tidak disuntik juga, maka saya disuruh kembali ke Jakarta karena beliau akan mengeluarkan dana sendiri untuk membeli obat saya di RSKD ini dan menyuntikkannya. Petugas instalasi apotik yang menelepon saya tidak berkomentar apa-apa waktu saya kemukakan itu, lalu pembicaraan terputus.

Ah ternyata semuanya tidak bisa dilakukan dengan mudah. Jadi ketika tadi pagi saya berangkat ke RS dengan tenang, sesampainya di sana perasaan saya kembali galau. Kacau diombang-ambingkan regulasi birokrat yang merepotkan pasien.

Saya menumpang mobil kemenakan saya yang kebetulan juga akan mengantarkan kakak saya ke RS untuk pemeriksaan sehubungan dengan keluhan yang sama dengan keluhan saya. Jadi saya tiba sudah agak siang, pukul setengah sepuluh. Selasar RS tentu saja sudah sangat ramai, namun tak mengapa sebab perintah petugas apotik saya diminta langsung menghubungi bagian pasien rawat inap untuk melaporkan kedatangan dan rencana penyuntikan yang katanya harus dilakukan di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD).

Di situ juga tak ada pasien mengantri. Yang banyak kelihatan justru orang-orang duduk di muka ruang IGD dan HCU/ICCU. Saya pun dapat langsung menghadap menyampaikan maksud kedatangan saya kepada petugas.

Dengan sigap dia menanyakan surat rujukan saya, serta surat perintah suntik dari dokter. Saya katakan saya tak punya, sebab suntikan itu adalah obat yang tertunda. Seharusnya saya sudah disuntik hari Rabu ketika saya kontrol sebelum operasi ke klinik onkologi sehingga surat rujukan saya sudah ada di RS hari Rabu itu. Jawaban saya menimbulkan pertanyaan yang panjang, aneh dan sulit diterima akal. Pasalnya mereka sudah terbiasa melayani keperluan saya ketika akan dikemoterapi, tapi saat itu mereka seperti baru mengenal saya saja. Berbagai hal sepele dipertanyakannya, meski sudah saya tegaskan saya datang memenuhi panggilan petugas apotik yang akan memberikan obat suntik saya yang tertunda supaya operasi saya hari Selasa bisa berjalan lancar.

Karena kebingungan menjawab perdebatan saya, petugas di bagian meja rawat inap menyuruh saya datang sendiri ke apotik. Saya pun kembali ke apotik yang sebetulnya sudah saya datangi ketika saya lapor diri di pintu masuk. Sesampainya di apotik kembali, petugas di situ justru kebingungan dan menanyakan surat pengambilan obat yang seharusnya diberi oleh petugas pasien rawat inap. Maka saya katakan mereka tak memberi apa-apa, sebab saya tidak membawa surat rujukan saya yang sudah diserahkan hari Rabu sehubungan dengan kontrol ke klinik saat itu. Saya sebutkan bahwa akibat kontrol ke klinik, maka keluar perintah pembelian obat di antaranya obat suntik yang harus segera disuntikkan tetapi tertunda karena tak tersedia di apotik malam itu. Petugas apotik giliran kebingungan. Dia menghadap atasannya, yang kemudian berbicara dengan saya. Kata atasannya benar telah tersedia obat yang dipesan dokter onkologi untuk saya, dan bisa disuntikkan sekarang juga di ruang IGD namun dengan membawa surat pengambilan yang seharusnya dikeluarkan petugas pendaftaran pasien rawat inap. 

Untuk itu saya disuruh kembali menghadap ke petugas pendaftaran rawat inap untuk minta dibuatkan surat pengambilan. Dengan gontai saya kembali ke sana melewati banyak orang yang duduk menunggu giliran periksa. Dengan jengkel juga saya kembali diberi tahu bahwa saya harus membawa surat rujukan, sebab itu persyaratannya.

Tak mau kalah, maka terjadilah perdebatan yang seru. Saya katakan bagaimana mungkin saya membuat surat rujukan sebab saya tidak disuruh oleh pihak apotik yang malam itu menerima resep saya dari perawat klinik? Saya tegaskan saya akan segera dioperasi sebab kasus gawat, hari Selasa di RSKD karena keterbatasan peralatan dan tenaga di RS ini. Itu sebabnya saya diminta dokter untuk melakukan persiapan operasi kemarin di Jakarta ketika apotik menelepon saya sesuai janjinya Rabu malam. Saya baru selesai dari RSKD jam setengah empat sore waktu kantor pemerintah tak ada lagi yang buka.

Dengan menggunakan wewenangnya sebagai kepala bagian di situ, petugas yang melayani saya lagi-lagi tak bisa menerima alasan saya. Dia tegaskan seharusnya begitu ditelepon saya langsung mengurus rujukan.

Saya langsung bicara lagi. Saya nyatakan bahwa jika saya tetap tak bisa disuntik, maka saya berangkat ke Jakarta segera. Sebab kemarin dokter mengatakan saya tak boleh terlambat disuntik. Jika sampai dengan hari ini tak ada kabar dari apotik saya akan disuntik secara cuma-cuma di Jakarta. Biaya obat itu dokter yang akan kembali menanggungnya. Sebab dokter tak mau bermain-main dengan tugasnya menyelamatkan nyawa pasien.

Mendengar perkataan saya yang nyaris tanpa jeda, petugas itu terdiam sesaat lalu mulutnya ternganga tiba-tiba. "Oh, jadi ibu mau dioperasi Selasa di RSKD? Sudah langsung dapat kamar, begitu?" Lontarnya seakan-akan tak percaya.

"Ya, kasus saya gawat darurat. Kemoterapi saya selesai hari ini, jadi saya harus dioperasi sebelum terlambat. Keterlambatan waktu mengancam jiwa saya, itu sebabnya biaya operasi yang saya tidak punyai dan tidak juga bisa didanai Jamkesda ditanggung oleh dokter budiman itu," jawab saya tegas memamerkan kedermawanan dokter onkologi saya. Saya tantang matanya yang menjorok dalam di balik kelopak mata tebalnya. Mukanya yang lebar nampak memerah.

"Oh, beruntung dong. Adik saya juga pasien beliau, tapi kok sampai hari ini belum juga dapat kamar di sana," tiba-tiba kalimat itu terlontar dari mulutnya menjawab tanda tanya saya akan mulut ternganga yang tadi saya lihat itu.

"Ibu tahu 'kan fasilitas ruang operasi di RS kita ini tidak cukup bagus untuk dipakai menangani kasus-kasus berat? Bedah rekonstruksi seperti kasus saya membutuhkan kantor dokter di Jakarta, dengan daftar tunggu pasien yang panjang namun ada perkecualian bagi kasus-kasus darurat gawat," beber saya menekankan membuat dia luluh. "Saya stadium III B dengan grade agresif dan tumor pecah," tegas saya. Dia kemudian bergumam sendiri, katanya penyakit adiknya baru stadium II.

"Ya sudah, sekarang kalau begitu ibu menghadap ke apotik lagi, katakan ibu tidak punya surat rujukan, nanti ibu boleh disuntik atas persetujuan mereka," kata perempuan itu akhirnya yang menghadapi saya berdua dengan perempuan muda berdarah Arab yang mungil. Ah, wajah cantik itu mengingatkan saya pada seseorang gadis anak kenalan saya warga negara Republik Afrika Selatan. Mestinya dia juga gadis baik hati.



Saya dan anak saya kemudian beringsut kembali ke apotik. Kali ini semakin bingung sebab merasa kami bagaikan sebentuk shuttle cock, bulu angsa ringan yang dilontar-lontarkan raket bulu tangkis ke sana-sini dengan mudahnya. Masing-masing pemilik raket itu seperti ingin menguasai permainan dan memenangkannya. Getir rasanya hati saya. Sudahlah sakit, lemah dan lelah, tak bisa tenang pula. Terbayang jika mereka benar-benar tak mengizinkan saya disuntik, hanya gara-gara birokrasi menyangkut surat rujukan. Pasti hutang budi saya kepada dokter onkologi akan semakin tak terbayarkan. Karena mau tak mau artinya saya harus ke Jakarta di hari libur akhir pekan hanya untuk disuntik gratisan. Duh, layu hati saya membayangkan beliau harus merelakan kehilangan uang yang sangat banyak dan hari keluarganya.

Serta merta terbayang keruwetan jalan-jalan besar yang saling tumpang tindih di kota-kota Internasional. Rasanya begitulah keadaan saya sekarang. Harus menghubungi satu tempat ke tempat lainnya demi mencapai tujuan saya, pengobatan yang sempurna. Saya menggigit bibir dan mempermainkan ujung tutup kepala saya. Kali ini saya memang cuma bertutup kepala yang diberi berekor karena rasanya kepala saya panas sekali.

Tiba di apotik saya dihadang oleh boss mereka itu tadi. Kemudian saya diminta menunggu pembicaraan beliau dengan pihak petugas pendaftaran rawat inap di telepon yang akhirnya menyepakati bahwa obat saya bisa diberikan. Saya disuruh mendaftar ke poliklinik bedah umum minta disuntikkan di sana. Sayang kata petugas pendaftaran pasien sudah penuh, sehingga tak lagi bisa menyuntik saya. Tapi hati saya mulai lega.

Lalu saya laporkan keadaan ini. Si boss apotik kembali mengangkat teleponnya, bicara sejenak kemudian mengulurkan obat suntik dingin tanda baru saja diambil dari lemari pendingin. "Bawa ke IGD ya bu, disuntikkan di sana, tapi ibu mesti bayar mandiri, tidak bisa dengan Jamkesda karena kelalaian ibu mengurus rujukan," perintahnya ketus mengagetkan saya.

"Baik, tak mengapa. Saya sanggup daripada saya tidak bisa dioperasi hari Selasa atau harus mengemis lagi kebaikan dokter," sahut saya geram. "Terima kasih, assalamu'alaikum," kata saya seraya melangkah gontai menuju tempat yang sama lagi.

"Ya, ibu, kalau ibu mau disuntik harus bayar sendiri ya, nanti ibu bisa ke IGD sebab prosedur suntiknya memang dikerjakan di IGD. Ini, biayanya satu juta setengah," petugas itu bicara menyudahi "pertikaian kecil" kami sambil menyuruh anak saya segera membayar. Untung masih ada uang pas di tangan anak saya. "Alhamdulillah, saya punya uang cukup kok," jawab anak saya tanpa bermaksud sombong. Tapi tak urung dia bilang, sehabis itu dia harus ke ATM sebab dompetnya kosong melompong. 

Saya ditemani anak saya kemudian masuk ke IGD yang kebetulan sepi pasien. Cuma ada anak kecil sekitar kelas tiga SD ditemani ibu dan abangnya di situ. Tapi anak itu nampaknya bukan penderita penyakit berat sebab dia duduk di tempat tidur tanpa diinfus.

Setelah mengemukakan maksud tujuan saya, perawat mempertemukan saya dengan dokter jaga yang menyuruh saya naik ke atas tempat tidur di dekat pintu. Dimulailah pemeriksaan fisik yang bertujuan untuk mengetahui kondisi kesehatan umum saya. Tensi saya diukur, nadi saya dihitung, serta temperatur saya dicatat. Selanjutnya dokter jaga melakukan serangkaian tanya-jawab diakhiri dengan pemeriksaan menggunakan stetoskop. 

"Ibu akan dioperasi kanker payudara ya?" Tanya dokter perempuan itu. Saya membenarkan. "Kapan?" "Selasa di RSKD karena ruang bedah di sini tak memadai untuk mengoperasi kasus saya yang punya tingkat pembedahan rumit," jawab saya.

"Sudah pernah dikemoterapi belum?" Tanyanya lagi. Lagi-lagi saya mengangguk, seraya menjelaskan bahwa suntikan Leucogen ini baru akan saya terima sekarang karena selama ini kondisi saya baik-baik saja setelah dikemoterapi.

"Kemo di mana?" Tanyanya sekali lagi lebih detail.

"Ya di sini, empat kali, cuma operasi saya yang tidak bisa dilakukan di sini," terang saya sejelas-jelasnya. 

"Baiklah, kalau begitu ukur temperaturnya ya," dokter memutuskan mengakhiri pemeriksaan seraya memerintahkan perawat yang terlupa mengukur temperatur saya. Beliau kemudian mengatakan akan menghubungi dokter onkologi saya lewat telepon guna mendapatkan persetujuannya. Di dalam hati saya tersenyum sinis, sebab justru suntikan itulah yang sangat ditunggu-tunggu dokter saya.

Setelah itu saya diminta pindah ke tempat tidur lain yang tertutup tirai. Di situlah suntikan akan dilakukan dengan menusukkan jarum ke dalam perut melalui pusar saya. Pengalaman pertama ini menggetarkan hati saya, sehingga sempat mempermalukan diri saya sendiri. Padahal sebetulnya prosesnya sebentar serta tak menyakitkan. Sehabis disuntik, pasien tak boleh langsung pulang karena keadaan umum harus dipantau sejam lamanya, yang alhamdulillah baik-baik saja.

Benar-benar hari ini melelahkan bagi saya. Tapi toch saya tetap bersyukur karena saya tak harus ke Jakarta mengganggu dokter saya lagi. Beliau pun senang mendapat laporan saya tentang suntikan itu. Begitu pun teman saya yang atasan beliau. Keduanya berpesan supaya saya makan banyak protein hewani, sayur dan buah sebagai penambah sel darah putih saya. "Tx God. Tks mbak. Prepare your self well, ya. Makan banyak protein n buah-sayur. We pray for the success of the surgery , recovery n the best result. Jangan takut ya mbak....." Tulis teman saya senada dengan pesan dokter saya. 

Duhai beruntungnya saya, di dunia ini masih banyak kebaikan ditebarkan orang untuk saya. Jadi mengapa saya takut dan bersedih? Tak ada gunanya. Tak perlu juga berkecil hati karena semua orang ternyata amat memikirkan kesehatan saya yang sudah berkali-kali dicharge dengan nyawa tambahan. Saya pun menyukurinya lagi.

Saya tinggalkan ruang IGD seraya menunjukkan SMS laporan saya kepada dokter yang sudah dibalas. "Ya, bagus lah bu," komentar dokter jaga seraya tersenyum. Padahal mestinya dia sudah lapar karena jam istirahat makan siang sudah terlewati. IGD memang tak pernah sepi pasien, sebab setelah anak lelaki kecil yang tadi saya lihat dipindah dari IGD, tempat-tempat tidur lain pun mulai penuh pasien lagi.

(Bersambung)

8 komentar:

  1. Maca tok juga melu kesel kiye bund....


    Semoga lancar hari selasa besok bund..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya begitulah nasibe wong nganggo Jamkes hihihihi....... ya tapine kan mendingan lah tinimbangane ora bisa mertamba. Duwit ora gableg sih, ya pasrah.

      Kesuwun dongane ya.

      Hapus
  2. Bener-bener nyebelin kalo sudah nyangkut dengan birokrasi yang berbelit-belit...
    Jadi ikutan kesel deh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya gitu deh. Tapi bayar obat sebdiri juga nggak apa-apa, soalnya selama ini saya sudah menerima banyak kemurahan Tuhan.

      Hapus
  3. Sy pernah buuuunnn
    Sudah bawa surat perintah dokter, pergi ke 3 tempat g berhasil. Yg pertaman g punya obatnya (beneran krn puskesmas tdk melayani rawat inap jd tdk sedia obat yg sy butuhkan) yang kedua seperti takut memberikan shg beralasan tdk punya padahal itu obat emergency yg setiap rs/rsb harus punya. Dan rsb yg sy datangi cukup besar.
    Yg ketiga tdk mau krn sy lewat ugd n pengantar sy tdk memenuhi syaray kedaruratan ttp sudah hampir lwt jadwal suntik :(

    Alhamdulillah ada teman yg pagi2 masih dinas di rs lain. Dia bersedia membantu sy di sela kesibukkannya bekerja :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menurut saya sih ini masalah birokrasi yang kaku aja. Masalahnya saya harus disuntik hari Rabu pas saya masih kontrol di klinik, tapi obatnya nggak ada. Jadi surat rujukan saya kan sudah disetorkan ke klinik. Bingubg nggak sih saya diminti rujukan di saat Puskesmas dan DKK sudah tutup?

      Hapus
  4. ih kesel deh sama birokrasi kaya gitu.. ga ngerti kalu nyawa bisa jadi taruhan..
    bacanya satusatu nih..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu kenyataannya di Indonesia diperlukan, berhubung rakyatnya kebanyakan orang yang gak mampu dan karenanya pada minta didanai pemerintah.

      Hapus

Pita Pink