Powered By Blogger

Jumat, 28 Juni 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (79)

Melewati malam pertama sehabis dioperasi saya justru tertidur nyenyak. Tak ada rasa sakit seperti biasanya ketika dokter membedah perut saya. Juga tanpa ngilu seperti ketika tulang bahu saya dikikis dulu. Tapi ketika saya sempat terjaga, saya lihat anak-anak saya kelelahan sendiri seperti sangat butuh istirahat. Saya sadari operasi pengangkatan tumor payudara saya yang diindikasikan dalam keadaan perlu disegerakan oleh dokter, tentulah menguras enerji dan emosi mereka. Anak sulung saya membaringkan tubuhnya di atas hamparan sajadah di lantai, sedang si bungsu menggunakan kursi untuk meletakkan kepala, punggung dan pantatnya. Tak tega saya melihatnya. Meski begitu semua kami terima jua karena keterpaksaan belaka. Tak ada tempat untuk mereka menginap malam itu.

Perawat datang mengelap tubuh saya di waktu subuh. Setelah itu makan pagi berupa bubur disajikan pukul enam bersama sebutir telur supaya saya segera makan obat. Saya tahu pereda nyeri yang kini menemani hari-hari saya dengan setia sudah menunggu untuk digunakan sebab nyeri saya termasuk tingkat tinggi bekas penyayatan daging di bagian kiri dada mulai dari ketiak hingga melintasi perbatasan di daerah dada kanan. 

Saya tak menyangka sayatan itu memanjang ke sisi, mencubit sebagian sisi payudara lainnya. Sebab semula saya pikir payudara saya akan dibuang ke arah perut. Patut lah saya tak merasa kesakitan di sekitar perut seperti pasca operasi yang dulu-dulu. Dada saya sudah datar sebelah di situlah seharusnya rasa sakit berpusat, tapi semangat dan kebanggaan saya sebagai wanita untungnya tak ikut-ikutan datar. Barangkali saja jika orang lain yang mengalami keadaan ini akan bereaksi lain, terkejut. Tapi saya tidak. Jadi sudah sepatutnya di ruang rawat inap RSK Dharmais tak disediakan sebentuk cermin pun. Sehingga saya yang penasaran melihat diri sendiri terpaksa melongok ke cermin di kotak bedak saya.

***

Dokter saya seperti biasa datang pagi hari dengan wajah gembira bahkan meminta saya memilih ingin dipulangkan kapan. Saat itu juga atau keesokan harinya. Demi kenyamanan semuanya saya pilih dipulangkan hari itu. Siapa takut?!

Setelah saya timbang-timbang bahwa saya cukup sehat, saya memilih pulang saat itu juga. Karenanya saya disuruh menunggu kunjungan dokter ahli anestesi dan rekam medik dulu. Persetujuan dari mereka jadi syarat mutlak kepulangan juga. Untung mereka segera datang dan menyatakan saya boleh pulang, tetapi dengan terlebih dulu menerima pembekalan cara merawat lengan saya yang masih saja bengkak besar serta petunjuk latihan menggerakkan tangan.

Tak dinyana proses perawatan saya amat singkat, hingga mencengangkan banyak pihak termasuk staf RS di antaranya dokter Maria Astheria Witjaksono, teman saya yang bertugs sebagai salah satu pimpinan di situ. Padahal paman saya dan putrinya yang menunggui operasi saya ketika menjenguk malam sebelumnya masih mengira saya akan tinggal dua-tiga malam lagi sehingga menawari anak saya menginap di kediaman beliau yang sayangnya jauh dari RS.


Pamanda Sardono dan putrinya

Kami semua bergerak cepat. Barang bawaan dari rumah dikemasi, si bungsu menyelesaikan administrasi, sedangkan si sulung bersiap-siap akan mencari taksi. Namun belum sampai dia turun ke parkiran RS adiknya sudah memberitahukan bahwa ada sepupu saya yang sedang dalam perjalanan dari Ciputat akan mengantarkan kami pulang. Subhanallah! "Bude Anwar bilang, ibu nggak boleh naik taksi," pesan anak saya. Dalam pada itu saya segera menyebarkan pemberitahuan kepada teman-teman saya di DWP bahwa saya dalam kondisi sehat dan akan pulang. Maklum saya khawatir akan ada yang datang menjenguk lagi. Ternyata betul saja, selagi menunggu jemputan ada yang datang ditemani sekretaris suaminya. Aduhai, limpahan cinta itu begitu meluap tak ada batasnya. Buktinya lagi, keluarga Bambang yang mendampingi anak saya di malam ketika saya harus masuk ruang perawatan menelepon menyatakan kesiapannya mengantar ke rumah. Saya sampai tertakjub-takjub menyadari itu semua. Begitu mudahnya orang-orang tergerak meringankan beban kami.

***

Kami selamat tiba di rumah kira-kira pukul dua siang. Sayangnya waktu itu kakak saya justru baru saja masuk RS untuk dibiopsi karena dicurigai juga menderita kanker payudara. Berhubung onkologis saya cuma berpraktek seminggu sekali di Bogor, maka kakak saya berobat ke onkologis lain. Dokter itu menyarankan pengangkatan sampel jaringan tumor dengan metode operasi, yakni menyayat seiris kecil tumor untuk dibawa ke laboratorium patologi anatomi. Untuk itu kakak saya perlu dirawat inap tidak seperti metode tusuk-sedot jarum dokter saya. Hingga malam ini kakak saya malah belum pulang. Artinya, beliau menginap dua malam. Menurut laporan kemenakan saya, kakak saya merasa pusing-pusing juga muntah-muntah berkali-kali. Sungguh bertolak belakang dengan kondisi saya yang diindikasikan dokter memerlukan penanganan yang cermat sebab memiliki kesulitan tingkat tinggi.

Saya jadi teringat sendiri sapa-menyapa dokter saya sewaktu siap melakukan tugasnya. Beliau menanyai apakah saya siap dibedah? Tanpa beban justru saya jawab bahwa saya sangat berterima kasih dibantu segera untuk dikerjakan, sebab saya takut menghadapi onkologis koleganya yang menangani kakak saya itu. "Baik kalau begitu," rasanya cuma itu sahut dokter saya yang kedengaran di telinga karena entah mengapa tusukan infus yang amat menyakitkan di vena saya yang miring yang merupakan satu-satunya vena yang masih bagus pasca kemoterapi membuat saya langsung terlelap.



Lalu tiba-tiba lampu besar di atas kepala dan tubuh saya tak bisa dilihat lagi. Hebatkah saya? Saya tak mau bilang begitu. Yang jelas efek pasca operasi itu tak pernah ada, tak seperti ketika saya menjalani serangkaian bedah perut di masa lampau.

Kata-kata hebat itu justru terlontar dari mulut teman-teman saya yang datang ke rumah tadi siang untuk menyatakan puji syukur mereka atas keadaan saya sekarang. Ceritanya anak saya mendapat SMS dari "tetua" gank kami bahwa mereka ingin menyaksikan kondisi saya terkini. Jadi mereka akan datang. Entah bagaimana saya sendiri berfirasat bahwa mereka akan mengajak saya makan siang. Maka saya amat bergairah untuk itu. Saya sedikit mematut diri, lalu ikut pergi bersama mereka yang dua orang di antaranya datang dari tempat penugasan mereka di luar negeri.

"Subhanallah, Lilik! Kamu bisa jalan tegak?" Seru orang yang pertama masuk ke ruang tamu nampak terkejut. Teman-teman lainnya mengekor di belakang berebut ingin segera melihat sosok saya.

"Wuih, edun! Ari sugan teh kamu keur ngagoler euy......," seru lainnya di dalam bahasa daerah mengira saya dalam keadaan berbaring.

"Ey, euweuh ti dituna, jagjag ah," sahut saya sambil memeluk menciuminya melepas rindu, maklum beliau baru tiba dari Bangladesh. Saya memang merasa tak perlu berbaring-baring bahkan sejak beliau mengirimkan doanya yang panjang dari Bandar Udara sebelum terbang, bertepatan dengan saatnya saya dibawa masuk ke ruang bedah kemarin dulu. Kami semua segera larut dalam suka cita. Lalu dilanjutkan ke luar rumah untuk makan siang.

Ha-ha!! Di food court favorite kami itu, ternyata saya sanggup menghabiskan semangkuk soto mie, setengah piring nasi ditutup segelas es cincau hijau. Tentu saja ini membuat mereka makin tertakjub-takjub lagi hingga mereka iseng memotret ulah saya juga tingkah mereka yang tiba-tiba lupa diri bahwa kami sudah nenek-nenek. 

Jadi, memiliki penyakit kanker hendaknya pasien tak ketakutan dan patah semangat. Walau banyak kendala tetapi pasien didukung keluarga dan lingkungannya mesti berupaya mengatasi itu agar semua program pengobatan yang mesti dijalani bisa berjalan dengan sempurna guna mencapai sasarannya. Yang pada diri saya kelak akan diakhiri entah dengan kemoterapi selama setahun seperti rencana semula, atau terapi radiasi mengingat hasil pembedahan kemarin masih tersisa 2% di pembuluh darah saya yang sangat halus. Sifatnya sangat ganas dan menempel amat kuat. Inilah yang masih harus saya lawan agar saya benar-benar sehat kembali. Baiklah, perjuangan akan terus saya upayakan.

(Bersambung)

15 komentar:

  1. hebat..!..syukur Alhamdulillah sukses bund..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lah ya sing hebat iku Allah lah nak. Alhamdulillah sih. Suwun ya.

      Hapus
  2. Kakaknya Bunda yang dicurigai kanker itu yang tinggal serumah sama Bunda?

    Jadi udah bisa jalan-jalan ke luar rumah segala, Bund?
    Saluuuuuttt...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul bude itu. Beliau orangnya gampang panik, stress dan pembawaannya bete melulu. :-( Beliau dibiopsi nginep sama lamanya dengan sayua, padahal cuma disuruh semalam doang. Soalnya habis dibiopsi mengeluh pusing, mual, muntah sih. Akhirnya onkos RSnya jadi mahal di atas 10 Jt. Berbanding terbalik dengan saya, setelah dibebaskan dari jasa dokter dan operasi cuma bayar 8 Jt aj lho cik. Sulit dipercaya tapi nyata deh cik.

      Udah jalan-jalan dan makan karena teman saya baru landing dari Bangladesh minta ditemenin makan nasi bakar peda, Ya udah saya ikut makan soto gyahahaha.......

      *sluut balik, sambil bungkuk dan angkat topi*

      Hapus
  3. aih bunda deh salut bener. jd ngiler deh kepengen es cincau juga :)

    alhamdulillah ya bun gak pake sakit spt op perut, jd ngilu kalo inget2 abis op dulu mau berdiri aja rasanya ketarik semua.

    salam
    /kayka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ih iya memang beda banget deh kak sama operasi di perut, Saya sampe lupa coba bahwa saya baru dioperasi besar.

      Cincau itu mendinginkan pencernaan, uenak tenan.........

      Hapus
  4. Dear readers, pembaca setia yang budiman yang nggak terlacak persis satu-satunya, maaf ya sekarang sering typo soalnya belum lancar pake tangan buat ngetik lagi sih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bun, ga usah mikirin komentator di sini..
      yang penting bunda buruan sehaaaattt..!

      pokoknya tetap semangat ya..!

      Hapus
    2. Hahaha...... iya deh. Pada maklum kan ya?!

      Hapus
    3. ga banyak typo kog mbak, maklum semua deh..

      Hapus
    4. Typonya kan di kolom reply doang, Soalnya di jurnal sih saya koreksi dulu sebelum dipublish.

      Hapus
  5. udah boleh makan apa aja nih mbak? keren deh mbakjulie abis operasi udah bisa jalanjalan..
    dan mbakyunya mbakjulie semoga cepat terdeteksi ya, ga terlalu parah deh.. amin..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lha kalau dokter sih justru maunya saya makan banyak protein juga selain sayur dan buah.

      Hapus

Pita Pink