Powered By Blogger

Jumat, 07 Juni 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (67)





Perlu kesabaran ekstra di dalam menyikapi pengobatan saya, demikian yang saya tanamkan di dalam diri mengingat saya berobat gratisan atas bantuan pemerintah. Sudah beruntung dan perlu disyukuri sekali pemerintah mau mengulurkan bantuannya untuk memperpanjang nyawa pinjaman ini, demikian juga yang mendasari kepasrahan saya tadi. Coba bayangkan, andaikata saya menuntut semua serba nyaman bukankah artinya saya saya tidak tahu diri? Tersenyum sendiri saya untuk menjawabnya.

Pagi ini awal bulan Juni, masih di minggu pertama rumah sudah dalam keadaan kosong sejak pagi. Anak saya berangkat mengurus keperluan berobat saya sebagaimana biasanya ke Kelurahan, Puskesmas, Kecamatan dan Dinas Kesehatan Kota (DKK). Sudah jadi aturan setiap bulan warga tidak mampu yang didanai pemerintah harus memperbaharui Surat Keterangan warga Tidak Mampu (SKTM) mereka supaya tetap berlaku untuk pengobatan di institusi kesehatan yang disetujui pemerintah. Termasuk tentunya bagi saya. Kakak saya pun pergi memanfaatkan fasilitas ASKES nya ke Puskesmas karena besok beliau akan melaksanakan serangkaian pemeriksaan guna menegakkan diagnosa atas tumor yang katanya tumbuh di payudaranya juga.

Dalam balutan pagi yang indah saya duduk-duduk sendiri. Sebab tak ada kegiatan yang sanggup saya lakukan setelah saya sakit, persis seperti anjuran tenaga kesehatan yang menangani penyakit saya. Sepoi-sepoi angin mengantarkan rasa segar melalui kisi-kisi jendela di dekat saya duduk, sedangkan kupu-kupu cantik yang sejak kemarin malam menerobos masuk masih saja berterbangan. Jika diperhatikan dunia terasa berseri, namun hati saya kering. Saya kesepian. Tapi tiba-tiba seakan-akan kata hati saya berbisik bahwa saya harus terus mengetik, menuliskan semua perasaan saya baik yang menyenangkan maupun yang tak begitu baik. Toch kelak semuanya akan jadi perenungan yang baik belaka.

Saya balikkan badan saya menghadap perangkat komputer pribadi saya, lalu saya hidupkan. Layar yang gelap itu dalam sekejap berkedip-kedip kemudian menghadirkan sejuta warna yang mampu membuat mata saya nyala bergairah.
Sekejap itu berloncatan kata-kata yang minta dituangkan di sini, pada buku harian saya yang ternyata banyak dibaca orang dengan segala pemaknaannya menurut diri mereka masing-masing.




Sesungguhnya saya sedang mencoba mendalami kerumitan yang harus kami alami di dalam proses pengobatan penyakit kanker saya. Bukan berarti kami mengeluh, sebab anak-anak saya melakukannya dengan keikhlasan dibarengi rasa syukur bahwasannya kini kami bisa menjangkau pengobatan yang benar untuk melawan penyakit mematikan ini. Hanya saja saya merasa menyesal tak bisa berobat ke Jakarta untuk mendapat fasilitas yang lebih baik. Pasalnya dana dari DKK hanya bisa dimanfaatkan untuk berobat di Bogor saja, tidak di Jakarta tempat di mana dokter onkologi saya bekerja sebagai PNS. 

Dengan keterbatasan seperti itu pengobatan saya jadi terkendala. Dokter sulit ditemui disebabkan lebih mementingkan tugas utamanya sebagai PNS tentu saja, meski di kampung halamannya sendiri beliau cuma berpraktek dua kali seminggu masing-masing dua jam saja. Dengan keadaan seperti itu beliau menyarankan kemoterapi dan operasi saya dijalankan di Jakarta, yang tentu saja tak mungkin terpenuhi. Akhirnya tercapai kata sepakat saya diserahkan kepada dokter bedah umum senior yang kemudian akan melaporkan hasilnya kepada beliau seperti yang selama ini sudah kami jalankan. 

Kemarin dulu kakak saya pun dikecewakan oleh keterlambatan di klinik onkologi ini. Sejak mengeluhkan kekhawatirannya terkena kanker payudara saya mendaftarkannya ke RS segera. Kakak saya tak beruntung di hari Sabtu bertepatan dengan kemoterapi saya, sebab dokter berhalangan datang. Ada operasi yang harus ditangani di Jakarta. Jadi hari Rabu adalah kesempatan kakak saya memeriksakan diri. Sayangnya hari itu dokter datang kemalaman, sudah pukul tujuh lewat tiga jam dari jadwal prakteknya. Saya sendiri sudah beberapa kali mengalami sehingga maklum. Begitu pun kebanyakan pasien. Tapi namanya juga orang sakit, apa hendak dikata. Tak urung kakak saya mengeluh seirama para pasien lain panjang-pendek.

Keluhan baru berakhir ketika dokter tiba dengan tenangnya disambut sorak pasiennya. Bahkan dokter yang berpraktek di klinik di sebelahnya pun ikut lega sambil melenggang pulang sebab kasihan menyaksikan para pasien berpenyakit berat yang bertebaran tak teratur di bangsal tunggu pasien. Inilah salah satu keistimewaan onkologis kami yang saya hargai. Meski terlambat beliau mengupayakan memeriksa pasien dengan ketenangan yang membuahkan pemeriksaan yang teliti seperti yang kemudian diakui kakak saya. Bahkan kata kakak saya, dia merasa senang berobat kepadanya pada kesempatan pertama itu. Pembawaannya yang mau diajak bicara itu menjadi salah satu kelebihan lagi yang dimilikinya. Untuk diketahui keluarga saya terutama saya, selalu banyak bicara dengan dokter untuk memberikan gambaran yang tepat kepada beliau dalam upaya menegakkan diagnosa atas penyakit kami. Di dokter ini hal itu bisa saja terjadi, sebab dokter tak pernah memotong begitu saja pembicaraan kami, bahkan kelihatannya cenderung mencermati lalu mencatatnya dengan cermat di catatan kesehatan saya. Ya, sekarang saya jadi teringat bundel catatan kesehatan saya di RS langganan saya di Singapura yang tebalnya menyerupai bantal bayi itu. Dan saya amat merindukannya tiba-tiba sebab di sana terekam dengan baik semua riwayat perjalanan penyakit saya serta upaya penanganannya.

***

Hari ini ketika anak saya pulang dari mengurus kelengkapan pembiayaan pengobatan saya, dia bercerita bahwa nasib orang tak punya ketika sakit tak pernah ada enaknya. Walau di satu sisi kami tak pusing memikirkan biaya pengobatan, tetapi menjalani urusan administrasinya amat melelahkan. Tadi, katanya, seorang lelaki nampak terduduk lesu dengan sorot mata sayu kelelahan sehabis selesai mendapatkan haknya di kantor DKK.

Lelaki itu datang dari RSCM karena keluarganya terpaksa berobat di sana dan sedang dalam perawatan. Setelah mengantri cukup lama siang itu juga dia harus segera kembali ke RSCM di Jakarta sebelum loket pendaftaran pasien Jamkesda tutup di RSCM. Itulah yang memberatkannya. Nampaknya sepagian dia belum sempat sarapan. Itu terlihat dari wajahnya yang pucat. Seraya menarik nafas dia minta izin duduk di sebelah anak saya yang kemudian terpaksa menggeser duduknya supaya bisa memberikan tempatnya. Lelaki itu mengeluh kelelahan seraya menarik nafas dan membuang pandang mata kosongnya ke langit yang dihiasi awan biru serta matahari bersinar garang.

Orang di dekatnya turut menyambung ceritanya. Kata perempuan itu dia datang dari wilayah kabupaten. Tapi saya tak mengerti, mengapa dia mengurus SKTM di wilayah kota. Yang diuruskannya adalah tetangganya yang melahirkan di Ema Paraji, sebutan untuk dukun beranak di daerah Pasundan. Konon bayinya yang lahir dengan berat badan rendah terserang kulit kuning (ikterus, dalam bahasa medis, yang disebabkan belum berfungsinya bilirubin secara normal). Lalu bidan desa mengirimkan bayi itu bersama ibunya ke RSUD Cibinong. Waktu di bagian pendaftaran, warga tak mampu itu ditanyai soal pembiayaannya. Ketika dijawab dia minta bantuan pemerintah, pihak RSUD menyuruhnya mengurus SKTM terlebih dahulu. Bayi beserta ibunya ditinggalkan di RS seakan-akan tersandera belum sempat ditangani menunggu hingga SKTM nya di dapat. Sudah mendekati jam istirahat makan siang perempuan itu belum mendapatkan gilirannya. Tentu saja dia pun mengungkapkan kegelisahan yang sama dengan lelaki yang harus segera kembali ke RSCM tadi. Sehingga kata anak saya, kami masih termasuk pasien yang beruntung meski dokter saya tak rutin datang bertugas di sini. 

Betul juga, sebab besok saya pun masih bisa memeriksakan diri sebagai persyaratan wajib bagi pasien yang habis menjalani kemoterapi. Walau dalam komunikasi kami melalui SMS ~bayangkan, sangat jarang bukan dokter sibuk mau dikontak begini~ onkologis saya menyatakan saya diminta datang hari Rabu, artinya tertunda tiga hari dari jadwal pemeriksaan semestinya. Sebab besok beliau harus menjadi pembicara dalam sebuah seminar kesehatan yang penting. Tapi, saya dianjurkan untuk berkonsultasi dengan dokter bedah senior seperti biasanya agar jadwal tetap tak terganggu. Saya rasa nasib saya jauh lebih beruntung dibandingkan mereka yang sakit dan sangat kesulitan menjangkau pengobatan yang wajar itu, bukan? Tentu saja kita mesti setuju terutama kalau menyimak berita di harian nasional yang saya baca hari ini bahwa banyak warga masyarakat yang tidak mampu yang memilih mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri sebab putus asa tak bisa berobat. Naudzubillahimindzalik! Saya tak hendak melakukannya sebab saya tahu, hanya Allah lah Pemilik nyawa saya.

(Bersambung)

6 komentar:

  1. menyedihkan ya bun. mungkin mereka gak liat jalan lain lagi selain mengakhiri sendiri hidupnya. benar2 disini keimanan kita diuji ya.

    salam
    /kayka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kak. Kasus yang dikorankan itu, besok harinya dikasih penjelasan sama Dinkes di sana bahwa orang yang bunuh diri itu tidak pernah datang minta bantuan Dinkes. Bahkan sekedar periksa ke Puskesmas desanya pun katanya belum pernah. Terus pihak Dinkes dianggap kurang menyosialisasikan soal Jamkes itu ke masyarakat, yang juga dibantah oleh mereka dengan alasan sosialisasi sudah sering cuma masyarakat yang tidak tanggap. Saya sendiri sebagai pengguna Jamkes merasa sebetulnya sosialisasi memang kurang gaungnya di masyarakat kak Ika, jadi nggak salah kalau ada yang menganggap tidak mudah mengakses bantuan pemerintah itu. Sedih sekali deh..........

      Hapus
    2. betul bunda, sosialisasi soal bantuan ini perlu sekali.

      bisa jadi orang2 tidak terlalu memperhatikan krn belum terkena masalah.

      tapi kalau sering digaungkan lama2 nyampe juga pesannya... krn sekali lagi penyakit mahal ini bisa datang kapanpun dan menyerang siapapun.

      salam
      /kayka

      Hapus
    3. Akhirnya si pasien keburu meninggal kemarin dulu tanpa sempat dibawa ke RS. Saya bener-bener sedih jadinya. Kata istri sepupu saya seorang perawat, seharusnya pasien kanker dan gagal ginjal terminal memang didanai Jamkes karena perawatan mereka mahalnya luar biasa.

      Hapus
  2. haduh sedih baca berita bunuh diri itu, padahal kalu lebih tahu jadi lebih bisa diobati..
    semoga kakaknya mbakjulie ga terlalu parah ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kakak saya ternyata juga dicurigai kanker ganas, tapi tumornya masih kecil baru diameter 5 cm. Besok lusa mau nginep semalam untuk dibiopsi, dia dokternya beda sama saya karena saya sarankan pakai dokter satunya lagi yang jadwal prakteknya lebih teratur.

      Hapus

Pita Pink