Powered By Blogger

Kamis, 24 Januari 2008

WARGA WISMA WALUYA

Aku perempuan biasa. Sama biasanya dengan perempuan-perempuan di sekitarku. Hanya ibu rumah tangga, pendamping suami, dan ibu bagi anak-anaknya. Yang tidak biasa pada diriku adalah kebiasaanku melamun melepas gundah. Bagiku ini maha penting, daripada aku menghabiskan waktu dengan bergossip, ghibah kata orang sekarang sejak Gus Dur menelurkan kata suudzon dalam kehidupan sehari-hari.

Lamunanku inilah yang kadang memang keterlaluan, menjadikan aku seperti ada di dunia lain, di masa yang lain, yang sungguh tidak bertepatan dengan keadaan sekarang. Untung aku tidak jadi gila. Tidak seperti orang-orang yang dulu kerap mampir di rumah orang tuaku dan jadi sahabat-sahabat baik bagi ibu-bapakku.

Banyak jumlah mereka. Yang pertama kucatat "hadir' di keluarga kami adalah bibi Dasikem. Dia datang dari kampung halaman nenek-moyangku dibawa oleh paman dengan menggunakan kereta, untuk mengasuh kemenakanku yang pertama, cucu kesayangan ibu. Bibi Dasikem seorang janda, punya dua orang anak. Yang pertama yu Maniyem namanya, sudah cukup perawan, walaupun perawan cilik. Dia lebih dulu sampai di rumah kami mengikuti pamanku yang tinggal tidak jauh dari rumah. Kemudian menyusul datang Dasiman adik lelakinya sebayaku, mengikuti emaknya bibi Dasikem itu tadi.

Dari desa Bibi Dasikem dan Dasiman masih waras, dan dia mampu melakukan tugas apa saja sesuai keinginan ibuku. Waktu itu kakakku melahirkan di kampung halaman kami, menggunakan jasa oma De Groot seorang keturunan Belanda yang lebih pantas disebut Tionghoa sebab matanya yang sipit. Pada pertengahan tahun enam puluhan komunis baru saja bergejolak, tidak ada yang enak dalam kehidupan ini. Rasa amanpun belum ada, bahkan masih porak-poranda, sehingga ibu memutuskan untuk memanggil mbakyuku pulang kampung di saat dia hamil besar. Akibatnya, ibu menanggung beban mencarikan seorang pengasuh untuk bayi yang akan lahir, Jadilah kami panggil si mbok Dasikem itu, yang minta kami panggil bibi walaupun kampungnya di Jawa Tengah. Dan, bibi Dasikem bisa melaksanakan segala tugasnya dengan baik.

-ad-

Mbakyuku kemudian membawanya pindah kembali ke kampung halaman suaminya setelah umur si bayi empat puluh hari, sebagaimana disyaratkan ibu kami. Tentu saja ibu turut menyerahkan bibi Dasikem dan Dasiman kepadanya. Dengan serangkaian nasehat serta pesan, jadilah si bibi berpindah rumah. Di suatu kota kecil yang sepi, jauh lebih sepi dripada Bogor yang kala itu juga tidak ramai-ramai amat. Namun Bogor toh masih lumayan. Ada bus-bus kota yang melayani trayek-trayek tertentu, serta kendaraan omperengan sejenis opelet. Aku tidak tahu kenapa disebut omperengan, seperti tempat nasiku kalau aku membawa bekal ke sekolah, Juga kenapa dinamakan opelet, walaupun mobil-mobil itu keluaran pabrik Austin dan bukan Opel. Ah, buat apa pusing-pusing soal merek ya? Yang penting dengan kendaraan-kendaraan itu Bogor lebih ramai daripada kampung halaman kakak iparku.

Aku sangat bangga akan kota kelahiranku ini, karena bagiku Bogor memberikan kehidupan yang baik dan menyenangkan. Aku bisa dengan nyaman berjalan kaki kemana saja tanpa takut kepanasan, sebab di sepanjang jalanan kotaku bertumbuhan pohon-pohon besar semisal kenari atau asam. Bahkan ada juga flamboyant seperti yang ditanam di halaman sekolah kami dulu.

Lebih dari itu, sekalipun orang tuaku bukan orang penting, tapi setiap kali kami melangkah ke luar rumah, hampir bisa dipastikan banyak yang mengenali kami berasal dari rumah beliau yang megah dan kokoh di sudut jalan. Aku pernah terpana, karena suatu pagi, seorang tukang becak telah salah menurunkan penumpang di rumah kami, padahal kami tidak mengenalinya. Usut punya usut, ternyata 'tamu kesasar" itu datang dari kampung halaman orang tua kami dan minta diantar ke rumah saudaranya yang kebetulan sama namanya dengan ayahku, namun rumahnya jelas tidak disitu. Begitulah gambaran kampung halamanku, Bogorku yang menyenangkan, di waktu dulu, menurut sebagian besar orang. Tapi menurutku, sampai sekarang pun Bogor tetaplah menyenangkan dan memberiku perlindungan dari segala rasa keterasingan. Itulah sebabnya sampai tua begini kami masih menggunakannya sebagai home base sekalipun harus minggir sampai ke desa yang dulu dinamakan Pabangbon yang sarat dengan rumpun bambu, kebun sayur, semak-semak serta sawah ladang.

-ad-

Tidak begitu halnya dengan bibi Dasikem dan Dasiman. Di kampung halaman iparku yang mepet ke laut Jawa, mereka tidak menemukan kenyamanan. Konon di situ Partai Komunis baru saja membabi buta menghabiskan segalanya, sehingga genangan air merah darah bebas melaju di sungai yang membelah kota. Hiburanpun serba kurang, walaupun kakak iparku yang lebih mampu daripada ayah telah berhasil membeli sebuah televisi yang ketika itu jadi "kotak kaca ajaib" bagi rakyat kebanyakan semacam kami. Akibatnya, suatu hari kakakku pulang membawa bibi Dasikem dan Dasiman dalam keadaan bibi Dasikem setengah linglung.

Dan di rumah kami keadaannya semakin memburuk. Dia menjadi pelamun, bicara sendiri dan menceracau tidak karuan serta sering kali mengamuk meronta-ronta sambil membenturkan kepalanya ke dinding. Yang lebih mengerikan lagi, suatu saat tempat tidur kayu jati tua yang berukuran king size pun, habis "diterjang"nya sehingga menimbulkan ketakutan pada Dasiman dan membawanya menjauh hingga terpaksa sembunyi di kebun belakang dapur kami.

Untung ibu Supardi tetangga kami berdinas di Rumah Sakit Jiwa "Tjilendek" bersama bu Kardjan salah satu orang tua teman mbakyuku. Jadilah atas bantuan mereka si bibi menginap jadi pasien tetap berbulan-bulan disana, sampai orang tua kami menyerah kehabisan dana sebab biaya perawatan yang tidak bisa dikatakan murah. Begitu bibi akan dipindah ruang ke Wisma Wauya yang menampung pasien-pasien yang sudah mulai membaik, kami mengirimkannya kembali ke kampung untuk dirawat keluarga besar kami bersama keluarganya. Sayang, ketika itu Dasiman pun sudah mulai menunjukkan gejala sakit jiwa sehingga akhirnya kami dengar ada dua orang pasien di desa kami di pelosok selatan Jawa Tengah. Salah satunya Dasiman di dalam pasungan.

-ad-

Selepas mereka, ibuku bersentuhan lagi dengan seorang gadis belasan tahun bertubuh sintal. Rambutnya sangat lebat dan panjang, persis seuntai cemara di sanggul ibuku. Rasanya aku hanya menemukan rambut sejenis di kepala Titiek Sandhora penyanyi cantik dengan seribu tahi lalat ketika dia baru tampil menyanyi yang pertama kalinya di tahun enam puluh delapan membawakan lagu "Si Bontjel".

Kami memanggilnya Yem, karena namanya Dhiyem. Akan aneh di telinga jika kami menyeru-nyeru namanya sebagai "Dhi...." Semula aku mengira dia punya darah Cina, sebab matanya "hanya segaris' sedang kulitnya kuning terang.Tapi kemudian baru kutahu itu semua ciri-ciri orang Banyumas, sebagaimana petinggi-petinggi negara asal Banyumas di masa itu. Dan justru profilnya yang mirip "Lingling gadis Petak Sembilan" inilah yang kemudian mencelakakan dirinya. Kisah yang beredar, dia "dihabisi" oleh seorang lelaki teman berkebun ayahnya ketika sedang sama-sama menggarap lahan transmigrasi di Lampung.

Boleh dikata Yem kami adalah "korban transmigrasi". Ayahnya yang tidak berpendidikan dan kurang daya cuma bisa meratapi nasib sambil mengasuh tiga orang adik Dhiyem yang jadi piatu sejak ibunya melahirkan si bungsu Dhikun.Jadilah Yem dipulangkan ke Jawa dan tersangkut di rumah kami dalam genggaman kasih sayang ibu sambil mengasuh dua bayi kemenakanku yang lain yang akhirnya menjadi "anak-anakku" sebab aku terlibat di dalam pengasuhan mereka sebagai bentuk dari rasa simpatiku terhadap mbakyu sulungku yang juga korban permaianan nasib. Walaupun ketika itu aku masih SMP tapi anak-anak itu sudah ada di hatiku dan menyertai semua perjalanan cintaku bersama mas Dj.

Yem kami lepas kembali ke desanya atas keinginannya sendiri ketika dia berumur sekitar dua puluh lima tahun. Naluri kewanitaannya tidak pernah hilang sekalipun dia agak kurang waras. Dia bilang dia ingin kawin, kawin dalam arti yang sesungguhnya. Maka kami antarkan dia kembali di suatu pagi dengan menumpang mobil mbakyuku bersama-sama ibuku dan calon ibu mertuaku yang kebetulan hendak pulang kampung bersama-sama. Kami serahkan dengan baik ke tangan pamannya yang disebutnya sebagai "Lik Usup' meniru-niru nama tukang kebun ayahku yng tinggal di belakang rumah kami. Kami ikhlaskan dia seperti ikhlasnya hati kami bersibuk-sibuk memeras otak untuk mencari alamat Lik Usup yang tidak pernah diketahui oleh Yem. Mulut Yem cuma bisa menuturkan "turunkan saya di depan sebuah warung makan yang pada bagian mukanya diseraki gundukan bebatuan..........."

-ad-

Yem gadis itu bukan yang terakhir. Sehabis Yem, kami kedatangan Pak Parman. Bajunya yang merupakan seragam Wisma Waluya tidak menakutkan kami. Apalagi pak Parman berwajah priyayi meski penampilannya khas penghuni Rumah Sakit Jiwa. Dia sering lewat di depan rumah sebagaimana penghuni Wisma Waluya lainnya. Hal itu dimungkinkan sebab pasien-pasien RSJ seperti mereka sudah mendekati taraf kesembuhan, namun tidak punya keluarga lagi. Demikain bu Pardi menjelaskan. Menurut bu Pardi mereka dilatih berbagai keterampilan membuat kerajinan tangan semisal sikat ijuk, sapu lidi dan kemoceng bulu ayam yang ketika itu dimana-mana warnanya seragam cuma hitam saja. Dan kerajinan tangan itulah sarana mengisi kekosongan waktu mereka serta sarana pemberdayaan mereka agar merasa menjadi orang yang berguna.

Pak Parman hampir dipastikan selalu lewat di depan rumah pukul sepuluh pagi, lalu sekali lagi kira-kira menjelang sore. Seperti hari itu ketika pekerja bangunan sedang menyelesaikan perbaikan rumah dinas ayah yang sudah mulai dimakan rayap disana-sini sebab belum pernah tersentuh perawatan sejak pertama didirikan dan dihuni orang Belanda yang kami kenali sebagai Mevrouw Morris. Ibu iseng-iseng menyapanya, menghentikan langkahnya seperti halnya secara spontan ibu menghentikan kerja para tukang yang kebingungan campur was-was atas tindakan ibu kami itu.

Di waktu siang pak Parman memang tidak punya kegiatan apapun. Kisahnya, kalau sedang beruntung dia bisa berkeliling kota membawa hasil karyanya untuk ditawarkan. Tapi kalau sedang tidak ada yang bisa dijual, dia mengelana mengukur jalanan kota yang mulai panas sebab di awal tahun tujuh puluhan bemo mulai marak menyesaki kota kami melaju ke berbagai arah menggantikan fungsi opelet dan bis kota.

Pak Parman mengaku lulusan Sekolah Teknik di Jawa Timur. Dulu dia pernah bekerja kantoran, seperti adik perempuannya Sumiati yang menduduki jabatan klerk kantor pos. Sekalipun matanya cekung ke dalam, tapi pak Parman kelihatan terpelajar. Bicaranya boleh dibilang runut serta sering diselingi bahasa Belanda yang kebetulan juga dimengerti ibu kami. Riwayat keluarga batihnya dia tak bisa mengungkapkan, namun konon dia punya anak gadis seumuranku. "Anak yang cantik dan punya suara lembut," begitu pak Parman memujinya. Karena itu pak Parman bersedia memenuhi permintaan ibu untuk menolong para pekerja bangunan kami menggali sumur. Agar dia selalu berada di dekat "anak gadis"nya, begitu katanya. Meluap mata airku ke pipi mulusku. Tersentuh jiwaku mendengar betapa seorang manusia yang sudah luluh lantak oleh skizofrenia toch masih punya hati dan rasa untuk dicintai dan mencintai, disayangi dan lebih menyayangi. Mulai saat itu setiap pak Parman ada di halaman rumah kami, aku bawakan kopi di sore hari. Kadang-kadang aku suguhkan pisang goreng hasil panen pisang kepok di kebun ayahku di belakang dapur kami yang luas. Dan pak Parman selalu meneguknya berdikit-dikit sambil memandangiku dengan tatapan penuh rindu. "Terima kasih," katanya.

Agak lama dia bersama kami, sekalipun pekerjaan bangunan sudah selesai. Kadang ibu dan ayahku memanggil pak Parman hanya untuk memintanya menyapu halaman agar kontak kami senantiasa terjalin. Dalam pada itu matanya akan selalu melirik ke dalam rumah kami yang dilindungi teralis besi mencoba-coba mencuri pandang ke arahku. Sampai suatu hari tiba-tiba pak Parman datang memberiku setumpuk buku tulis dan uang sejumlah tujuh puluh lima rupiah berupa tiga helai lembaran hijau bergambar wajah seorang tokoh. Aku bingung dibuatnya, tapi pak Parman keburu menjelaskan, "ini hasil kerja bapak untukmu. Bapak tidak perlu uang dan barang-barang apapun untuk diri sendiri. Bapak sudah dicukupi di asrama -demikian dia menyebut Wisma Waluya-, sehingga bapak harus memberikannya padamu," Aku terpana tak mengerti. "Pak Parman," jawab ibuku, "anakku akan mengambil semua buku ini dengan ucapan terima kasih, tapi kirimkanlah uang itu ke yu Sumiati, aku yang akan menuliskan wesselnya." Pak Parman nampak kecewa, mukanya mendung, wajahnya surut ke dalam. Sejenak dia menatapi kami ganti-berganti lalu menggenggam tanganku dan memasukkan uang itu ke genggamanku. "Terimalah untukmu, Santi, jangan berikan kepada Lik Sum. Dia bukan apa-apa kita....." lalu pak Paarman membalikkan tubuhnya meninggalkan halaman rumah kami tanpa pernah kembali lagi. Tanpa mengerti betapa kepedihan hatiku cukup dalam untuk turut merasakan sakitnya jiwa yang terbuang......

-ad-

Lalu aki Wawoh juga setia mengunjungi rumah kami. Dimulai dengan keranjang rotannya yang memuat tapai ketan hitam terlezat di dalam stoples yang pernah aku nikmati bersama ketan uli yang putih mulus seputih kapur tembok produksi gunung Walad, bukit di kecamatan Cibadak, Sukabumi. Bapakku sangat suka menyantap ketan uli dan tape si aki. Bapakku juga tidak keberatan ibu memanggilnya masuk ke dalam halaman sekalipun menurut para tetangga dia kurang waras dan sering mengamuk.

Ayah-ibuku memberinya pekerjaan sebagai tukang pangkas pagar. Itulah yang menurut para tetangga amat membahayakan. Sebab dia sering mengamuk dengan mengacung-acungkan parangnya. Tapi orang tuaku memang manusia ajaib. Mereka seakan tidak peduli, dan terus memberinya pekerjaan yang membutuhkan benda tajam itu. Memang ajaib juga, kepada kami aki Wawoh tidak pernah mengamuk. Bahkan setiap habis makan, aki Wawoh akan masuk ke dapur serta mencuci sendiri piring bekas makannya. Dan dia juga tidak tergerak untuk meakai pisau dapur ibu cap mata yang tajamnya terkenal luar biasa, untuk melukai siapapun di dapur kami.

Maka lebaran akan jadi saat yang terenak bagi kami. Kue-kue kering lezat produksi rumah tangga kami akan bertemankan tape ketan-uli dan ranginang Pasundan upeti aki Wawoh yang dibawanya naik kereta dari desanya di Cipetir jauh di pedalaman Sukabumi mengarah ke Palabuhan Ratu. Untuk itu ibu selalu menggantinya dengan uang serta selembar kain sarung baru, cap Bintang Gajah seperti yang dipamerkan Kwartet BKAK di TVRI. Aki Wawoh akan memakai sarung barunya dan melipat yang lama. "Hatur nuhun juragan istri.......," serunya senang sambil menghilang di kelokan jalan diikuti pandangan tidak percaya dari tetangga-tetangga di sekitar kami.

Sama tidak percayanya dengan diriku saat ini, yang masih sering bermimpi bertemu dan berinteraksi dengan mereka yang telah memberiku banyak pelajaran. Yaitu, jangan terlalu banyak berangan serta jangan pernah menyesali nasib. Hiduplah apa adanya, bagaikan putaran roda, sambil senantiasa mengingat Dia Sang Maha Pengatur. Berterimakasihlah.

 

20 komentar:

  1. cerita yg bagus bu dan bisa diambil pe;ajaran darinya,,,, iya bu kalimat yg "jangan terlalu banyak berangan serta jangan pernah menyesali nasib , , , ," itu sangat bagus tapi kadang susah sekali diterapkan,,,,

    BalasHapus
  2. Terima kasih komen-nya. Semua ini pengalaman pribadi yang nggak pernah bisa saya buang dari ingatan saya. Dan saya banyak mengambil pelajaran dari pengalaman-pengalaman hidup saya. Makanya walaupun susah, saya selalu coba menerapkan dengan bantuan doa kepada Allah. Alhamdulillah, berhasil.

    BalasHapus
  3. Ada bus-bus kota yang melayani trayek-trayek tertentu, serta kendaraan omperengan sejenis opelet.

    aku gak ngeuh lho di bogor ada opelet setau ku cuma becak ama bemo ajah....

    BalasHapus
  4. beus kota -gitu atuh ya nyebutnya- dulu berpangkalan di Gang Kepatihan, seberangnya Kantor Kabupaten. Routenya ada 2 yang aku inget (mas Dj juga inget). Satu ke arah Tjilendek satu lagi ke arah Kedunghalang. Opelet, mangkalnya di depan rumah Tjutjum Umi Kulsum Tholib yang bapaknya buka "Panorama Tailor" di rumahnya, di Jl. Dr. Sumeru persis di sebelah Pasar Mawar. Opelet-opelet itu juga routenya ke Tjilendek. Inget, bu?

    BalasHapus
  5. hahhahaha udah ketimbun timbun nih di memori...........tapi daerah beredarku gak nyampe kedung halang or cilendek hehehehhe.............kalu jalan yah sekitar ciwaringin jl merdeka or ke pasar bogor yang inget bemo...., dari dulu udah doyan shopping walau cuma di jembatan merah dan pasar bogor.........hehhehe

    BalasHapus
  6. Sama dong, senengnya aku ke toko Liong beli buku (tapi nggak mau ke Filia yang tokonya si Baringin itu, soalnya yang jual judes), terus jajan di Pakally. Ke Pasar Bogor, makan baso yang di deket tangga (tapi suami nggak mau ngikut, karena itu warung temennnya).

    BalasHapus
  7. Aku sering nyebut toko liong tuh naga mulia..........filiastores (dulu rasaan suka pada bilangnya filias tores gitu deh). kayaknya filiastores bukunya kayak buku buku text book gitu.......kalu naga mulia kan sekalian bisa cuci mata banyak tetek bengek or peralatan tulisnya.

    eh aku malah gak suka jajan di pakally kedoyanan aku asinan ceu aas diciwaringin (yang belakangan aku tau dia sakit tbc ampe kurus banged, untung gak nular hihihihi) or jajanan kampung deh yang aku suka, kayaknya pakaly termasuk makanan modern ye.

    Kalu selera makan sampe sekarang yang AMiGos(agak minggir got sedikit) doyan bangeut........kalu "Amigos beneran" asyik nongkrongnya gak pake kringet..........pokoknya aku menikmatilah makanan ndeso sampe londo.............

    iya makan baso di pasar bogor inget inget lupa deh tapi ada es bangka dan mie disana tempatnya dibelakang.....kalu malem (setelah aku mahasiswa, soalnya waktu sma dirumahku diberlakukan jam malam) dibelakang pasar bogor ada pasar kaget...model dipecenongan katanya ...aku sering makan kerang or nasi goreng pete (rasanya udah gaol banged deh kalu makan disana heheheh)......sering ama tetangga ku cewe Cina umur nya jauh lebih muda dari aku. Atau sering juga ama gebetan...........hihihihi

    halah jadi komen nya kepanjangan...........bernostalgia.....

    BalasHapus
  8. Betul madam, Liong itu Naga Mulia. Aku kalo ke situ beli komik Dagelan Petruk Gareng sama yang yang ringan-ringan gitu lah. Tapi kalo ke Filiasetores (Pake "e" orang-orang pada nyebutnya), aku beli buku-buku seriusan macam sastra gitu lah, atau ke tokonya bapaknya Susi di Shopping Centre, nah, sekarang inget namanya "TB Nusa Indah", yang jaga bapaknya Iman Azmi. Di situ aku asyik, boleh berlama-lama, oomnya nggak marah. Bu, coba bu, nostalgiamu dibikin cerita, asyik juga kali tuh ya?

    BalasHapus
  9. iye jadi terinspirasi nih mo cerita nostalgia......tapi aku mah kisah sedih udah pada lupa ketimbun2 karena jarang di update jadi lupa pass wordnya..........tapi kalu yang happy happy sering dibuka dan diceritain serta di kenang2.

    So kadang terpikir ceritanya jadi kurang menarik karena tidak ada konflik padahal kalu bikin cerita menurut teori cerita yang menarik kudu ada konflik

    BalasHapus
  10. Nah, dikarang bu, sepuluh persen aja, jangan kebanyakan. Pasti jadi indah. Nanti aku ah yang duluan baca. Buruan, buruan!!

    BalasHapus
  11. buruan..........buruan apaan? cerita nostalgia.............weleh weleh aku kalu cerita bukan sesuai pesanan tapi sesuai mood dan kejadian yang hangat dan gres gitu lho.............kalu baca nostalgia sih asik2 ajah kalu nulis aduh gak sempat nih banyak pengalaman dan kejadian terbaru pengen ditulis...............juga emang isi blog aku pengen nya mengenai situasi situasi terkini di m'sia yang berkaitan dengan sosbud dan life style mereka yang dikaitkan dengan orang indo gettooooo......

    BalasHapus
  12. Iya, buat latihan nulis yang ada human interestnya. Makanya aku jadi dua blog. Yang satu khusus Cape Town dan masyarakat Cape Malay serta masyarakat Indonesia. Yang ini yang buat latihan nulis karya sastra. Gitu maksudnya...........

    BalasHapus
  13. "Makanya aku jadi dua blog"

    Aku pengen sih bikin blog satu lagi tapi pengen dalam bahasa Inggris tetep bukan cerita sastra.............heran aku doyan baca sastra tapi aku lebih suka nulis jurnalistik, atau sekarang istilah kerennya jurnalistik sastrawi (literature jurnalism)

    BalasHapus
  14. Oh bagus lah, kudunya aku juga gitu kali ya? Sayangnya aku nggak bisa bahasa Inggris, wa...ka....kak...... malu-maluin yah? Jadi weh, nyastra.......

    BalasHapus
  15. sebenernya ide bhs ing, karena punya beberapa kontak orang asing yang berminat akan kebud indo..........jadi aku mikir pengen memperkenalkan kebud kita ke orang asing............ditambah lagi guru menulis ku (aku ikut belajar menulis secara on line) nantangin untuk serius di website...........

    BalasHapus
  16. Bagus bu, kalo gitu aku sangat seneng. Karena memang kitabutuh ada yang nulis mengenai Indonesia dari segala sisi untuk orang asing. Aku tunggu launchingnya ya? Good luck!! I love you Lily!!!

    BalasHapus
  17. wah..Ibu benar2 penulis ini...berbagai hal yang terjadi menjadi catatan Ibu..memang seorang penulis seperti itu..ia mencatat semua yang terjadi..karena kehidupan yang berjalan adalah inspirasi yang bisa merubah menjadi tulisan...kekecewaan bisa menjelma menjadi kegembiraan bila semuanya bisa ditumpahkan melalui tulisan..ternyata tulisan itu berkhasiat positif juga yach Ibu..saran saya..agar Ibu terus menulis dan tulisan Ibu bisa menjadi buku kelak...mungkin Buku Karya Ibu Sendiri...Ide yang bagus Ibu...

    BalasHapus
  18. Nak Hadi salah duga, ibu bukan penulis. Hanya ibu rumah tangga yang suka merenung dan menyimpan semua kenangan dalam laci yang rapi untuk kemudian dituturkan kembali sebagai pesan kepada anak-anak ibu.

    BalasHapus
  19. Insya Allah, selama tangan saya maih mau diajak megetik, saya coba ikuti saran nak Hadi. Soal buku? Belum tentu ada penerbit mau beli naskah saya yang isinya tidak punya daya jual. Atau nak Hadi mau menolong menerbitkan, hayo?!

    BalasHapus
  20. setelah baca tulisan termasuk puisi...saya lihat nggak jauh berbeda dengan karya2 yang pernah dimuat di media besar Nasional...sebaiknya Ibu coba kirim dulu ke Media nasional melalui email...Ibu nggap itu hanya iseng2 saja...kan nggak sulit kirim dengan email n identitas Ibu sekarang...saya yakin pasti dimuat....karena kalau udah dimuat kan udah mulai dikenal orang...nanti ada yang meminta untuk dibukukan...tapi kalau Ibu simpan terus, kan nggak banyak yang tahu...saya dukung Ibu untuk mengirimkan tulisan ke Media Nasional...

    menurut yang pernah saya pelajari...ada orang yang ingin karyanya bisa diketahui oleh orang banyak...ada orang yang karyanya ingin disimpan untuk pribadi, ada juga yang takut mempublikasikan tulisannya...padahal penulis2 besar itu adalah orang2 yang pernah ditolak tulisannya oleh berbagai media...bahkan ada yang ratusan n ribuan...tapi karena terus menerus melakukan akhirnya sekali dimuat n dimuat terus...maaf Ibu, ini bukan ingin mengajari, tapi hadi terinspirasi dengan kemauan penulis2 besar itu.

    seingat saya Penulis Novel Harry Potter JK Rowling itu, pernah tulisannya ditolak oleh berbagai pihak, tapi karena punya keinginan dan terus berusaha...akhirnya ia dikenal sebagai penulis terkenal dunia...

    ada baiknya juga Ibu melepaskan setiap tulisan ibu ke publik...kalau itu nasehat bisa menjadi pelajaran untuk orang lain...pada dasarnya semua kita punya kemampuan tapi dalam perjalanan, pada akhirnya ada yang tidak mencapai kemampuan itu....

    Ibu...saya teringat sebuah buku, kata seoarang penulis terkenal...Jika kamu ingin menjadi penulis, maka menulislah tiap hari....dari ungkapan itulah saya belajar dunia tulis menulis, Alhamdullah udah bisa dikit2 Ibu...

    saya sekarang bertekat ingin menembus media nasional pada kolom opini...doakan yach Ibu...di Media lokal ada juga tulisan saya dimuat, tapi tidak banyak,,,disitus www.acehinstitute.org ada juga bebrerapa tulisan Hadi dimuat...semoga lebih banyak lagi dimuat...Ibu kalau ada kata2 saya yang salah mohon ditegur yach....

    BalasHapus

Pita Pink