Powered By Blogger

Jumat, 18 Januari 2008

DI POJOK KOTA BOGOR

Hidup itu indah. Begitu seharusnya. Dan hidupku pun memang indah, terutama jika dibandingkan dengan hidup sebagian teman-temanku. Bapakku bekerja sebagai pegawai negeri dengan penghasilan yang tetap, ditambah fasilitas sebuah rumah dinas yang sangat megah dan mobil.

Di sekitarku ada banyak kehidupan yang tidak indah. Seperti yang ditunjukkan oleh ibu Sumiati ketika beliau membawaku ke Tegal Sapi, melewati kampung Sindangsari sambil menunjukkan rumah si Sri dan Supri dua teman sekelasku. Letaknya persis di tepi kanaal Cidepit, tidak kokoh, sangat mirip dengan tempat tinggal mang Usup tukang kebun kami yang bekerja sebagai opas di kantor ayahku. Di belakangya ada pekuburan, yang kelak anakku pun jadi salah satu penghuninya. Aku tidak tahu apa kerja ayah si Sri, yang jelas ibunya sama sederhananya dengan penampilan ibuku, berkain kebaya dengan sanggul cemara. Mereka berdua termasuk pelanggan tetap di warung sayur mbok Parti, ibunya Supri. Aku tahu persis itu, sebab di hari-hari tertentu akulah yang betugas belanja kebutuhan dapur selagi ibuku siap-siap untuk memasak. Ibu akan memberiku sekitar lima ratus rupiah sekali belanja, sedangkan ibunya Sri lebih sering tidak mengeluarkan apa-apa dari genggaman sapu tangannya.

Tegal Sapi di tahun enampuluhan merupakan suatu lahan luas dihampari rumput yang lembut bagaikan permadani hijau. Kami biasa menggunakannya sebagai tempat piknik. Anak-anak membuka bekal masing-masing yang ditaruh di ompreng kaleng berbentuk kotak atau oval. Mengapa sampai dinamakan ompreng, aku tidak tahu dan tidak pernah mau tahu. Hanya aku satu-satunya yang cukup "kaya" karena suatu hari ompreng kalengku ditukar oleh tante Mintarsih dengan ompreng plastik merah, lengkap disertai sebuah botol minum yang juga plastik merah. Aku sangat ingat, pada bagian bawahnya bergambar ayam jantan yang gagah. Kira-kira itu menggambarkan merknya yaitu "pioneer". Tante Mintarsih sangat sayang padaku. Menurut ibu, ayahnya seorang pendeta kenamaan di Yogyakarta, paman ibuku sendiri karena keluarga kami satu desa dua agama. Tante Mien, konon anak tunggal, sehingga beliau sangat sayang padaku. Umurnya persis sama dengan mbakyuku yang tertua, sehingga mereka cocok satu sama lain. Dan di wakrtu-waktu tertentu tante Mien akan datang bertandang sebab ketika itu beliau sudah bertunangan dengan perwira AURI yang tinggal di mess tak seberapa jauh dari rumah kami. Yang aku tahu, tante Mien memang sudah siap untuk menikah. Beliau sudah kembali dari sekolahnya di Jepang dan menghidupi diri sebagai pelukis dengan lukisan gaya Jepang.

Biasanya bu Sum menggiring kami di hari Sabtu yang disebut sebagai hari krida. Di Tegal Sapi itu kami dibebaskannya berlari-larian setelah senam dipimpin bu Sum. Anak-anak amat menikmati, karena bu Sum tidak pernah meneriaki kami macam-macam, seperti orang tua kami di rumah. Agak siang sedikit bu Sum membariskan kami kembali, pulang ke daerah Kota Paris, letak sekolah kami. Sebentar kemudian, rumput empuk itu berubah jadi lahan permainan orang dewasa. Para lelaki berpakaian bagus menyeret kantung-kantung beroda, dan mengeluarkan sebutir bola putih kecil untuk dipukul-pukulkan dengan tongkat besi. Kini aku baru tahu, permainan yang waktu itu disebut bola pancong adalah golf, olah raga para eksekutif tapi tidak termasuk suamiku yang masih tradisional dan setia dengan bulu tangkis.

-ad-

Lapangan bola pancong itu masih ada hingga kini, dan dengan mudah dijangkau dari jalan raya masuk melalui Jalan dokter Sumeru tidak jauh dari Rumah Sakit Jiwa. Kalau tak salah ingat, namanya jadi padang golf. Rumah Sri dan Supri pun masih ada. Malah dilengkapi dengan deretan becak dan satu sepeda motor.

Aku tahu, Sri jadi guru di SMP Negeri jauh di Jakarta. Pengabdiannya sama seperti bu Sum, tanpa pamrih. Dengan bus antar kota dia biasa berangkat selepas subuh, dan baru kembali malam hari. Sehingga badannya yang dari dulu tidak bisa gemuk karena dimakan asma, menjadi semakin ciut. Aku tetap menjalin hubungan dengan Sri jika kebetulan aku sedang menetap di tanah air. Biasanya kami duduk-duduk mengobrol di halaman sekolah anak-anak kami, melepas rindu dan mengulang masa lalu, di akhir pekan waktu tiba saatnya dia libur mengajar. Sri tidak canggung berhadapan denganku, sebagaimana aku juga tidak risih menghadapinya. Dia sangat cerdas, pandai berhitung, sehingga dipercaya mentransfer ilmu mathematika kepada anak-anak didiknya. Sedangkan aku, cuma ibu rumah tangga yang tidak punya kepandaian apapun. Tapi Sri sangat senang menimba pengetahuan mengenai penanganan penyakit asma padaku, sebab dengan kemampuan finansial suamiku yang lebih baik daripadanya, aku bisa rajin kontrol ke dokter dan membeli buku-buku tentang penyakit asma untuk membantu dokter kami menangani kasus-kasus asma yang memang ada pada keluargaku. Sri adalah semacam cermin untukku mematut diri sebelum tiba saatnya kelak Allah memanggilku ke haribaanNya.

-ad-

Selain dengan Sri, aku juga senang bergaul dengan Mumuy, gadis penyandang rachitis pindahan dari Bangka. Ayahnya bekerja sebagai pedagang di daerah Sudut Gembira, di ujung gang Teksan, daerah Pasar Anyar. Segala macam bahan pokok ada di kios mereka yang sempit, tetapi yang terbanyak adalah komoditas ikan asin dan terasi yang mereka sebut sebagai belacan. Akibat penyakit rachitisnya itu, kaki Mumuy kesulitan untuk melangkah, walaupun dia pernah dibawa ke Rumah Sakit Ortopedi dokter Soeharso di Sala. Dan akibatnya, anak-anak sering menertawainya dengan julukan "gadis bersepatu sebelah". Tapi aku tidak demikian, bagiku Mumuy justru istimewa dengan sepatunya yang cuma sebelah itu. Dia toch tetap bisa berjalan, dan menyerahkan sendiri buku tulisnya ke meja guru setiap usai bekerja. Hasilnyapun selalu memuaskan. Jadi, apa yang salah dari Mumuy? Aku tidak tahu dan ingin membuktikan.

Aku ikuti becak yang membawanya adik-beradik pulang ke rumah bilik mereka di ujung Gang Ardio yang memutar. Dan aku duduk di dalam rumah mereka yang sempit lagi pengap tanpa jendela yang memadai. Aku ikut juga makan dengan ikan bilis campur kacang dan sejumput tumis kangkung berbumbu belacan. Semua serba sedap di lidahku. Tidak ada bedanya dengan tempe gorengan ibu atau simbok di dapur kami. Walapun tanpa jangan lodeh wayu  yang terbuat dari buah keluwih yang sarat dengan biji dan serat-serat buahnya serta gereh pethek.

Rumahku adalah istanaku, begitu judul buku yang kubeli dengan "menguthil" sisa belanja ibu di Toko Liong, penjual buku favoritku di Jembatan Merah. Jangan tanya siapa pengarangnya, aku pasti lupa. Yang kuingat hanya judulnya itu. Tapi bagi Mumuy, Yuyung, Pipie dan kak Kwet abang mereka, rumah mereka juga senyaman istana. Aku selalu menangkap nuansa itu setiap aku disana. Mereka tidak pernah mengeluh jika harus menyelesaikan kewajiban mereka membersihkan rumah atau membantu memasak. Mereka juga cukup bahagia jika waktu luang mereka hanya diisi dengan membaca komik dan buku-buku bacaan dari kios Taman Bacaan yang dikelola kak Kwet. Mereka bahkan mengijinkanku meminjam buku-buku kak Kwet tanpa membayar, sekalipun aku sering kelupaan mengembalikan dengan segera. Tapi begitu aku ingat kelalaianku, dengan segera aku minta ijin ibu menuju ke rumah mereka dengan membawa komik kak Kwet yang jadi lusuh dibawa tidur.

Perjalanan itulah yang menyenangkanku. Aku tidak pernah lewat jalan raya. Selalu aku mulai dari kampung gang Maxim kemudian mengarah ke utara, membelok di dekat warung si Apoh untuk menuju jembatan gantung di daerah Ciwaringin Pabrik Es yang menuju ke rumah mereka. Kampung itu hanya dibelah oleh kanaal Cipakancilan, letaknya persis di sebelah timur Ciwaringin. Tapi padatnya sama dan sebangun. Berjejer-jejer gang kecil menyerupai jalan tikus di Gang Ardio serupa dengan deretan gang Bir Ali, gang Masjid dan sejenisnya di daerah Ciwaringin.

Mataku yang tidak awas selalu melirik-lirik keadaan yang sangat-sangat berbeda dengan keadaan di rumahku. Rumah-rumah nyaris tanpa halaman, namun asri karena pada teras-teras mereka dibariskan pot-pot tanaman hias mulai dari kaktus yang kecil-kecil hingga kuping gajah mengkilap seperti yang ada di rumah mama, ibu mertuaku tercinta. Membayangkan itu sekarang, ah, air mataku hampir tumpah. Sebab mamaku identik dengan tanaman hias yang cantik.

Pada satu dua sudut halaman, kadang ada pohon-pohon pisang atau jambu. Entah jambu batu maupun jambu air. Jika sedang beruntung, aku berhadapan dengan pemiliknya yang sedang memanen jambunya, dan dengan ramah dia menawari apakah aku ingin. Biasanya aku jadi malu, namun mengambilnya juga barang sebuah serta menggerogotinya sepanjang jalan menuju ke rumah Mumuy. Lumayan untuk mengguyur rasa haus yang mulai menyerang.

Setibanya di seberang kali, aku biasanya mampir di sebuah warung rumahan yang menjajakan makanan kecil dan es komoditas baru yang dikemas dalam tabung-tabung plastik serta dinamakan es mambo. Rupa dan rasanya warna-warni, tapi favoritku selalu yang hijau rasa buah pala atau yang putih rasa buah nangka Belanda. Asam-asam segar, sangat cocok untuk dinikmati di siang terik. Sementara itu, aku tahu, mas Dj sedang asyik membantu di dapur mama -ibunya- mencetak kue-kue kering yang akan dijual kepada kenalan-kenalan kami. Setelah itu dengan cepat dia akan lari mencari anak-anak lelaki yang jadi teman mainnya untuk bermain 'torti", sembunyi-sembunyian gaya baru yang ditandai oleh larinya anak-anak berpencar ke tempat-tempat yang sangat jauh disertai teriakan "tortiiiii" sekeras-kerasnya. Aku tidak suka itu, dan karenanya aku memilih main entah ke rumah pak Effendy guru kelasku, atau ke rumah Mumuy dan teman-teman mainku lainnya.

-ad-

Kenangan akan Mumuy, Sri atau bahkan pak Effendy guru kelas enamku adalah memori yang paling berharga untuk kukoleksi. Ditambah dengan goresan masa lalu dalam perjalanan hidup suamiku. Aku selalu menjenguknya kembali, untuk mengingatkan diri sendiri bahwa sesungguhnya aku termasuk orang yang sangat beruntung. Hidup tidak pernah kekurangan, bahkan cinta kasih sayangpun berlipat ganda. Semua serba melimpah ruah, di samping penyakit-penyakit yang jadi jatahku juga.

Kenapa aku selalu merasa kurang bersyukur? Kadang-kadang itu terlintas di benakku sendiri. Ayah anak-anakku tipe lelaki setia dan bertanggungjawab, sekalipun pendiam dan sifatnya unik. Dan anak-anak kami juga berperangai baik semua, santun, tidak nakal dan yang penting tipe rumahan tidak seperti kami kedua orang tuanya.

-ad-

Dulu selain "ngluyur" ke rumah Mumuy, adakalanya aku duduk-duduk di warung Lina, temanku yang membantu ibunya berdagang hasil-bumi di Pasar Mawar dekat rumah kami. Dengan Lina aku hanya bisa mengobrol. Sebab pekerjaannya cukup banyak. Mula-mula dia akan menyiapkan makan siang untuk ayahnya yang dipanggil papie serta seluruh anggota keluarga mereka di dapur mereka yang sempit dan -maaf- berbau di paviliun rumah Bambang, teman satu kelas kami. Kemudian dia makan siang cepat-cepat, mencuci sendiri bekasnya, dan menggantikan mamie -ibunya- berdagang di pasar, karena mamie akan berangkat berkeliling kota menjajakan entah apa yang disandang di dalam tasnya. Menjelang sore, waktu matahari mulai condong ke barat dia akan memanggil mang Inan tetangga di warung seberangnya untuk membantu memasangkan kembali papan-papan penutup kedai, lalu pulang menuju "kamar" keluarga mereka yang disewa dari keluarga Bambang.

Lina dan teman-teman lain selalu iri kepadaku sebab aku bebas merdeka melanglang kemana saja, menghabiskan waktu siangku menunggu jam mengaji dan mengandangkan ayam peliharaan kami. Tentu saja tanpa sepengetahuan bapak sebab aku baru akan keluar setelah ibu beristirahat di kamar, dan kembali sebelum bapak masuk rumah. Kala itu kantor bapakku sudah di Jakarta, di Jalan Salemba yang dicapainya dengan Fiat 124 kami bersama-sama dengan tiga orang kawan bapak lainnya. Keadaan ini memudahkan aku untuk mencuri-curi waktu keluar rumah.

Lina pernah bilang bahwa pemalas seperti aku bisa berakhir di Rumah Sakit Jiwa. Jadi gila, maksudnya. Sebab otakku tidak pernah dipakai berpikir apapun, sementara tangan dan kaki juga tidak dikaryakan untuk hal-hal yang positif. Sehingga setan mudah masuk, lalu mengganggu otakku persis seperti yang dialami pak Karim dan kang Keneng dua lelaki yang senang bicara dan tertawa sendiri di sekitar Pasar Mawar berbungkus baju seragam bertuliskan "Wisma Waluja". Aku tertawa tidak percaya.

Yang kutahu pak Karim justru sangat pandai, namun tidak beruntung di dalam hidupnya. Logikaku menuntun sampai pada kesimpulan demikian, karena dia selalu berdiri persis di pertigaan jalan mengoceh sambil menunjuk-nunjuk dengan suara yang berapi-api mirip pemimpin Republik berpidato di muka umum. Waktu itu Bung Karno baru saja lengser, atau tepatnya dilengserkan. Sedangkan pengangguranpun aku tahu tidak sedikit jumlahnya di kotaku ini. Adik mang Usup tukang kebun kami, selalu ada di rumah walaupun dia sudah tamat SMP. Belum lagi anak-anak pak Atjih pegawai kantor pos yang tingal di muka rumah kami, juga tidak semuanya bekerja sekalipun lulusan SMA.  

Soal kang Keneng, aku tidak tahu. Bicaranya selalu tidak menentu, dan penampilannya seperti orang linglung. Banyak anak-anak yang sering mempermainkan dia sambil menakut-nakuti bahwa mantri kesehatan atau suster akan datang menyuntiknya. Jelas dia ketakutan.Setelah itu dengan jahil anak-anak nakal itu akan menyuruhnya melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Yang sampai sekarang aku tidak sanggup untuk mengatakannya.

Mungkin kang Keneng serupa dengan mbah Harry lelaki tua berpeci yang sering kedapatan duduk-duduk bicara sendiri di bangku taman Kebon Kembang. Anak-anak takut kepadanya, sebab mbah Harry punya mata yang dalam-tajam dan kumis yang panjang yang membuat wajahnya angker. Belum lagi kalau anak-anak mendekat, mbah Harary siap mengejar dengan garang disertai sumpah serapah. Padahal, anak-anak hanya penasaran akan apa yang dipercakapkan mbah Harry.

Mungkin, mereka berdua sama-sama orang linglung akibat menanggung beban berat di tengah roda kehidupan di Republik yang belum bisa menyejahterakan rakyatnya. Begitulah kira-kira.

Aku sangat ingat, suatu hari sepeda pengantar roti dari toko roti Julia tidak bisa lagi mampir ke rumah kami. Menurut ibu, babah pemilik pabrik tidak sanggup lagi menggaji para pengantar roti. Akhirnya ibu menyuruhku ke toko roti Delicieus setiap hari. Alhamdulillah, rasanya justru lebih enak daripada roti Julia. Tapi itupun tidak bisa berlangsung mulus. Di tanggal-tanggal tertentu -umumnya pertengahan bulan- ibu terpaksa menyuruh aku mengganti roti dengan robur alias jibeuh yang entah terbuat dari tepung apa. Harganya murah, besarnya di atas rata-rata, tapi rasanya sangat sesuai dengan harganya. Agak getir, asam dan seret.

-ad-

Kini aku dapat mengenangkannya kembali dengan jelas. Dari sini, dari rumah sewaanku di Clos St Roch nomor 1, di daerah Wezembeek Oppem, Belgia yang telah memenjarakanku dan mengajariku untuk menerima keadaan dengan arif dan sabar. Aku tahu, tuhan Maha Sayang padaku, dan kelak aku akan menerima hadiahnya. Tapi entah bila............

 

 

2 komentar:

  1. kenangan yang indah...ingin balik lagi ke masa lalu

    BalasHapus
  2. Nuhun. Hayu kang, bikin seperti bikinan emak. Emak perhatikan, sekarang tulisna akang sangat enak dibaca. Pasti akang lebih mampu daripada emak.

    Kutunggu karyanya.

    BalasHapus

Pita Pink