Powered By Blogger

Selasa, 01 Januari 2008

SERPIHAN MASA LALU

Aku terbebas dari belenggu kematian. Pisau bedah itu telah menjauhkanku dari pintu akhirat yang serasa tinggal sejengkal dari tempatku berada. Di sini, di kamar 851 yang telah kukenali segala likunya aku berbaring penuh kesyukuran. Sementara suamiku ada di dekat ranjangku menebar senyum sambil mencoba menenangkan bathinku.

Bukan sekali ini saja aku ada di sini, di salah satu lorong senyap Raffles Hospital Singapura. Dan tubuhku yang kian renta semakin saja menyita perhatianku.

Kuedarkan pandanganku ke seluruh ruang. Persis seperti yang kuinginkan, serba senyap tanpa bisik-bisik yang mengganggu "tetirah"ku. Dan yang lebih istimewa, mas Dj ada bersamaku sepanjang waktu. Dia tidak hanya mengecup lembut keningku ketika perawat hendak "mengisolirku" barang sejenak, tapi dia masih tetap ada di sisiku melewati masa kesyukuranku yang kesekian kali selepas maut menjauh, hingga matahari berpamitan ke ujung langit.

"Tidurlah manisku, semuanya telah berakhir", bisiknya lembut di telinga. Jemari itu halus menyibak helai-helai rambut yang turun menutupi keningku. Sunyinya suasana tak mampu mengusirnya untuk berbaring di sofa bed dekat jendela "puri"ku. Dia begitu lekat di sisiku, dan aku sangat bersyukur.

Dia satu-satunya lelaki yang pernah kukenal luar dalam. Bagiku sangat istimewa. Cintaku terpaut di seragam kepanduan ketika umurku belum lagi patut untuk mencari calon suami. Lelaki itulah yang mengajariku menyalakan api, menanak nasi dan memasak menu-menu sederhana yang menggugah selera. Walaupun dia anak tunggal, tetapi dia justru sangat dewasa melebihi umurnya sehingga pandai membimbingku keluar dari stigma anak bungsu yang manja.

--julie-

Adakah dia menyesali semua itu? Menyesali perkawinannya denganku yang hanya mampu memberinya dua cahaya mata serta selalu merongrongnya dengan kelemahan fisik yang nyaris tiada berkesudahan? Tak ada yang tahu.

Kucoba memejamkan mataku. Terlebih setelah perawat menyuntikkan sesuatu ke lenganku melalui infus. Ada rasa menyengat yang terpaksa kutahan dengan menggigit bibir. Suamiku meneruskan membelaiku tanpa jemu. Belaian yang sesungguhnya sudah sangat lama kurindukan ketika aku merasa tak mampu lagi untuk memuaskannya. Perlahan-lahan berguliran air di pipiku campuran antara rindu yang mencubit-cubit dan sakitnya fisikku. Lagi-lagi jemari itu menyapu lembut, kali ini dengan secarik tissue, di pipiku. Harum wewangian Calvin Klein dari pergelangan tangannya menyeruak menyentuh hidung membangkitkan gairah cintaku. Aku sayang padanya. Dan keharuman itu menjadi salah satu pengungkit birahiku.

Sebagai gadis terkecil dari lima bersaudara, aku memang dilimpahi keistimewaan. Mereka menyayangiku melebihi segalanya dan menjulukiku dengan sapaan "Lik" yang menandakan adik kecil. Di mata mbakyu-mbakyuku aku sangat istimewa sekaligus rapuh. Kulitku terang, mataku bening. Sementara kakak-kakakku yang sangat jauh lebih tua dariku mulai menggemuk dan menambah bilangan minus pada matanya. Kami memang ditakdirkan berkacamata semua akibat kelainan genetis hasil pernikahan sedarah orang tua kami. Kedua kakek kami bersaudara kandung, sehingga kami tak punya kerabat banyak. Di balik kerudungku, rambutku masih hitam legam dan lebat, nyaris tanpa helai-helai perak sekalipun usiaku telah lebih dari enam windu.

Ibu kami seorang wanita sederhana dengan pendidikan sekolah dasar zaman kolonial, memperlakukan kami dengan sangat baik layaknya seseorang berpengetahuan tinggi. Uang ayah yang tak seberapa  yang diperoleh dari gaji beliau sebagai seorang peneliti tanaman pangan, selalu diusahakan cukup untuk memenuhi semua kebutuhan kami. Walaupun tidak mewah, tapi di tangan ibu, kami tidak pernah kekurangan. Ketika anak-anak lain saling berebut mencicipi telur atau daging ayam, kami selalu siap berbagi dengan mereka. Ibu dan mbakyu sulungku memelihara ayam di halaman rumah dinas ayah yang sangat asri. Kami dua anak yang terkecil ditugasi untuk mencarikan keong agar siap dicampurkan dengan cincangan kangkung dan teri tawar sebagai menu pelengkap dedak ayam-ayam leghorn kami yang gemuk. Sedangkan si-Reng, si-Blirik dan si-Kanthong jago kami beserta anak-anak mereka yang menghuni kebun belakang rumah dibiarkan bebas berkeliaran hingga jam lima sore waktunya untuk dikandangkan. Aku mengenali semuanya dengan baik, sehingga mudah untuk mencarinya di sepanjang kanaal Cidepit yang membentang di kampungku.

Kamarku di daerah belakang rumah berdekatan dengan pohon mawar merah yang harum, yang pernah kupetik sebagai hadiah ulang tahun suamiku ke-sembilan belas dulu. Sembilan belas helai saja, tidak lebih tidak kurang, kuselipkan pada lembaran buku hariannya yang kami simpan sampai kami betul-betul bertumbuh dewasa. Di sisinya ada srigading yang tak pernah lalai menebarkan bunganya ke tanah serta kenanga yang setiap pagi harumnya menembusi kisi-kisi jendela kamarku menyegarkan. Semut-semut hitam sering terbawa beriringan bersamanya membentuk barisan rapat ke arah yang tak berujung. Sementara harum kemuning di pagar rumah juga turut menyeruak bersama-sama dengan srigading menjadi satu harmoni alam yang indah.

Rumah kami memang asri. Letaknya persis di sudut jalan Kebon Jahe membentuk sudut dengan Taman Kanak-Kanak Pertiwi yang dulu Kebon Kembang. Di pekarangan rumah ada pisang lampung, pisang kepok, jambu air, belimbing, nangka hingga rambutan rapiah. Semuanya menggoda selera untuk kubawa berpiknik di bawah deretan cemara dan jeungjing di Kebon Kembang.Sedangkan di bagian belakang dapur, ibu dan paman menanaminya dengan singkong, ubi, ganyong serta bayam dan kadang-kadang kacang tanah. Aku pernah menganggapnya sebagai sorga, sebab segala kenikmatan ada di dalamnya. Bahkan dalam kenangan yang kerap hadir di lamunanku kini.

Selalu kumulai hari-hariku mendengar alunan adzan kaji dari mesjid kaum Ahmadiyah yang terkenal kaya di seberang rumah kami. Di belakangnya banyak rakyat jelata tinggal dengan pekerjaan yang beragam dan tak menentu. Ada pegawai rendahan bahkan buruh-buruh serabutan. Tapi hidup kami sangat harmonis. Tati anak mang Thobri penarik beca adalah salah satu teman mainku. Bersama komunitas mereka, ayahku yang lulus dari sebuah perguruan tinggi terkemuka sering menghabiskan malam di pos ronda di samping rumah sambil main halma. Ibuku akan selalu mengirimkan sethermos kopi tubruk yang pekat dengan singkong, ubi atau pisang kukus sebagai temannya hingga fajar merebak.

Lalu ayam kamipun mulai berkokokan ditingkah ciap si betina dan anak-anak mereka serta cericit tikus-tikus yang kembali masuk got. Sementara itu burung hantu di pucuk beringin tua Kebon Kembang turut menyumbangkan suaranya bersama-sama kicau murai yang ramah terdengar. Di jalanan kudengar suara bakiak berderak-derak diseret pemiliknya menuju kanaal Cidepit untuk ritual mandi. Kemiskinan amat menghimpit, meleptupkan deheman-deheman dari mulut mereka guna membersihkan lendir yang menyekat di tenggorokan. Inilah pertanda hari telah pagi. Inilah nuansa yang selalu kurindukan hingga kini, ketika rumah kami sudah tidak "bernyawa" lagi ditinggalkan para penghuninya melesat ke segala penjuru alam.

- julie -

Tujuh belas tahun lamanya aku tidur di situ, Tak heran banyak sekali memoriku yang sering berloncatan keluar ketika aku jauh darinya. Sehingga aku kerap kali berangkat menengok isinya yang kusam menangis kami tinggalkan.

Aku masuk. Duduk membuka bekalku yang kubeli dari pasar di dekat rumah dalam kesendirian. Kuambil piring cina berbunga-bunga merah-hijau serta gelas belimbing duralex dari lemari tua yang uzurnya melebihi kakak sulungku. Lalu kusantap lotek olahan tangan-tangan tua sambil menghadap kursi-kursi makan ayah-ibuku yang kini tentu saja kosong. Seakan-akan beliau masih ada kami makan bersama. Ibu menatap wajahku penuh arif. "Kamu sedang gundah," selidiknya.

Aku tak menjawab. Lambat kuteruskan sarapanku sambil menikmati kehangatan yang pernah hadir mengisi relung-relung jiwaku. "Ada apa?" Tanya ibu lugas. Aku menggeleng. Namun sejujurnya kuakui aku rindu kehangatan yang dulu memanjakanku. Rindu pada keakraban percakapan keluarga kami yang mesra, serta sentuhan-sentuhan tangan orang tuaku.

Meja makan ini masih yang dulu jua. Ditutupi taplak meja bersulam kruistik hasil kerajinan tangan salah satu kakakku. Bedanya kini tak pernah lagi ada serabi hangat, pisang atau roti di atasnya. Dulu, setiap pagi ibu memberiku uang sepuluh perak pembeli sepuluh bongkah serabi buatan yu Yem anak Mbah Arba penjaga masjid. Sementara itu mbakyu sulungku menggoreng pisang di dapur hasil panen kami. Lalu ayahku tak mau ketinggalan mengolesi roti tawar berbentuk bis kota yang telah diris-irisnya, dengan mentega ditaburi muisjes, atau keju, atau hanya pindakaas saja terkadang bahkan gula pasir yang diserakkan. Semua tergantung permintaan kami. Semua dikerjakan dengan senang hati sehingga menimbulkan semangat hidup dan enerji yang cukup.

Kadang-kadang di meja itu ada comro hangat pedas dan buras oncom yang kami beli di warung ma Gonah, istri pa Atjih pengantar surat yang menyewa pada bilik bambu gudang bah Hin Loeng. Keluarga bah Hin Loeng sangat berarti juga bagi kami, sebab manakala amplop gaji orang tuaku sudah menguap semua isinya, bah Hin Loeng rela menukarkan gula dan kopinya sebagai penukar kantung kertas produksiku yang ketika itu masih difungsikan sebagai kantung pembungkus belanjaan. Aku teringat polusi belum marak, plastikpun belum populer.

Meja tua itu saksinya. Di mana aku menempati kursi yang menghadap ke televisi Sharp berkaki hitam-putih dengan layar ditutupi beam scope biru.Hak itu kudapat setelah salah satu kakakku bersekolah ke luar kota diakhiri pula oleh pernikahan.

Hari ini aku menghindari duduk di atasnya karena tak kuasa menanggung rindu. Sebab kehangatan sudah cukup lama menguap dari keseharian hidupku.

Aku memilih duduk di seberangnya. Tapi kenangan itu tak juga sirna. Begitu tertambat lekat seperti lekatnya rasa rambutan merah yang dikupaskan ayahku khusus untukku diiringi pandang iri saudara-saudaraku yang lain. Ah, mesranya!

"Kamu mau kopi?" Tanya ibuku. Secangkir Liong Bulan tubruk yang kental memang favoritku sejak kecil. Merek itu tiada duanya, bahkan tak sebanding dengan kopi-kopi di kedai Eduscho di Jerman dan Austria sana. Menghirup aromanya bisa melenakan pikiran, apalagi meneguknya berdikit-dikit hingga tersisa ampasnya, wah, sorgaku ada di situ! Akupun bangkit menuju dapur di area belakang rumah yang jauh. Kesenyapan menyeruak, tapi aku tidak gentar sama sekali. Segayung air kujerang di kompor minyak tanah untuk menyeduh Liongku yang baru kubeli di pasar Anyar.

Cangkirku sudah tidak ada. Baru kuingat kemudian, aku sendiri yang memecahkan ketika lalai menaruhnya di atas koelkast General Electic di sudut ruang makan. Lalu kuambil milik kakak sulungku yang cuma berbeda warna. Rasanya masih sama, legit penuh kenangan menggigit.

Ibu masih di sana dengan ayah yang tak banyak cakap. Lebih tepat kukatakan sifat ayahku sangat bijak. Menjelang kematiannya ayah masih memutuskan sesuatu yang sangat sulit diterima nalar tapi sangat masuk akal. Rumah ini tidak dibagi-bagikannya dan tidak pula diijinkan menjualnya. Alasan ayah, beliau ingin memberi tempat berteduh kepada anak-cucunya yang tumpah ruah mencari kerja di Jakarta tapi kesulitan memperoleh tempat tinggal. Jakarta memang ruwet dan sumpek. Sementara rumah kami walaupun di tengah padatnya kota Bogor masih bisa menjangkau stasiun kereta dengan jalan kaki. Aku setuju dengan pendapatnya ketika beliau mengumpulkan kami di suatu penghujung tahun untuk menyatakan kehendaknya. Sebagian saudaraku menolak diam-diam dan memusuhiku cukup lama sepeninggal ayah ke alam baka menyusul ibu. Tapi aku tidak peduli. Pada dasarnya aku ingin menghormati dan menghargai jerih payah ayahku yang telah berusah payah mencicil rumah dinas ini sampai tua renta.

Liong Bulan turun menjalari kerongkonganku dan aku membaui uapnya. Ritual lama yang biasa kujalani di hampir setiap ruang rumah besar ini. Kali ini aku memilih duduk di ruang keluarga yang berhubungan langsung dengan ruang tamu. Di sini biasanya kami berkumpul melakoni kesenangan kami masing-masing. Ada yang membaca, ada yang menjahit, menyulam atau sekedar mengobrol menemani ibu melepas penat. itulah sepenggal kegiatan malam hari kami, yang hari ini ingin kuulangi lagi.

Kutarik sebuah buku tua yang bertahun-tahun tak terjamah. Isinya novelet-novelet sastra terbitan firma Belanda di Batavia dari masa sebelum merdeka. Lemari penyimpanannya yang terbilang modern, tetap saja tak bisa menyembunyikan kesan tua padanya. Di sini ayahku memelihara semua bukunya dengan rapi sampai tak seorangpun berani menyentuhnya apalagi merubah tata letaknya. Ayah akan segera tahu jika kami mengambilnya dan tidak mengembalikan ke tempatnya semula. Sungguh sesuai dengan sifat ayah sebagai seorang peneliti. Setelah itu ayah marah besar, dan kami dengan gemetar menata kembali menurut perintahnya.

Maksudku duduk membaca kali ini, sekedar ingin membunuh rasa penasaran ibuku yang sedari tadi menguntit. Maka kubenamkan mukaku dalam-dalam di halaman buku tua kami, sampai lagi-lagi aku tersentak oleh lengkingan muadzin masjid Al Fadhal menyerukan waktu dhuhur. Aku bangkit menuju dapur guna membersihkan lagi bekas makan-minumku. Lalu beranjak menuju gerbang sebelum menguncinya dan melangkah masuk ke angkot hijau rute-7 yang akan membawaku sampai ke daerah rumahku sebelum kedua anakku pulang dari sekolah mereka masing-masing.

Di dalam rumah modern BTNku air mata tumpah membasahi sajadah yang menjulur ke sorga. Apa yang kucari dalam hidup ini? Kebahagiaan itukah? Suasana sepi senyap sekelilingku. Dan aku merangkak kembali ke kekinianku yang tanpa suara dan nyaris tanpa sentuhan jiwa-jiwa yang hangat. Waktu telah mengubah segalanya. Menjauhkan aku dari para kekasihku dan membuat jarak yang panjang merentang dengan mereka.

-julie-

Rasa menyengat itu kembali menggangguku. Lalu mataku tersentak menatap jarum yang menembus pergelangan tanganku. Suster Frieda Bashir menatapku lembut dengan senyum menghiasi bibir, "excuse me, but I want you to have a good rest now". Perlahan dicabutnya jarum dan diusapkannya kapas basah disitu. Dingin, terasa sejuk, membuyarkan mimpi masa silamku yang nyata-nyata baru saja kuraih.

Di kaki tempat tidurku suamiku berdiri menatapku, mengulurkan kehangatan yang tiba-tiba muncul kembali. Lalu kamipun saling berbagi cinta.........

 

 

 

                                                                  

21 komentar:

  1. Hebat nih Mak..nostalgianya terasa.

    BalasHapus
  2. Nuhun kasep. Ah emak cuma coba-coba aja mengunkap masa lalu.

    BalasHapus
  3. lah ini maknya bagja juga? hehehhehe
    headshotna beda....
    punya site banyak amat ..........

    BalasHapus
  4. halah aku kok cerita masa lalu tertimbun dg pengalaman2 baru , jadi sulit menceritakannya secara runtut gitu.....hebat deh si ibu.....keep writing ya....

    BalasHapus
  5. Nah, madam Lily, saya mah sekedar kangen aja kepengin balik ke jaman baheula. Maklum waktu itu belum hidup campur stress......

    BalasHapus
  6. hmmm aku mah stress2 nya masa abg.....putus cinta mulu hehehehehe
    trus stress2 yang paling berat buatku setelah berumah tangga adalah kalu gak ada pembantu ............tapi setelah di m'sia biar gak ada pembantu happy banged kayak lagi holidaying nih...

    BalasHapus
  7. Ceritana bagus nich,sepertinya waktu menulis ibu pasti gi merindukan masa2x dulu nich...he.he.he..

    BalasHapus
  8. Masa lalu adalah bagian terindah dalam kehidupan ang tak mungkin dihapus begitu saja. Di masa lalu kita hidup tanpa beban, karena masih jadi beban orang tua, bukan?

    BalasHapus
  9. Bun, :) Anaz sampe juga ke postingan terawal Bunda :)... Subhanallah.. malah ajdi kepengen ke rumah besar itu :)

    BalasHapus
  10. Selamat datang ananda sayang... silahkan masuk.

    Ma'af ya ini curhat kepanjangan hahahaha......... Terima kasih sudah mau mampir.

    BalasHapus
  11. Masa lalu yang dikenang dengan sgala kehangatannya. Nice bun.

    nanti tolong accept limacahaya, mp istriku.

    BalasHapus
  12. Oh ya, terima kasih, pantes nyamperin saya tuh neng geulis. Nah ternyata, beliau punya kasus serupa ya dengan saya?

    Salam hangat untuk bu Yanti, jagalah dia baik-baik.

    BalasHapus
  13. bundaaaa.....
    bundaaaaa.....

    hiks..... hiks...... bener2 bikin air mataku mengalir....
    banyak kesamaan kita bun....
    pekarangan rumah yg berisi berbagai tanaman akibat kerajinan ibu, gelas belimbing, kopi liong bulaaaaaan...... hmmmmmm..... kangen aroma dan rasanya..... baru tersentak dan sadar kalo ini menceritakan bogor!!! duh.....
    haturnuhun bun......

    BalasHapus
  14. Lha, memangnya neng Yanti sekampung sama saya gitu ya? Di mana sih kampungnya? Duh, salaman dulu ah...........

    Iya, ini kampung kita yang mengangenkan. Biarpun saya dulu dibawa-bawa pindah ke berbagai negara, tapi tetep aja maunya mah menetap di Bogor. Bahkan merasa wajib punya anak yang lahir di sini hihihihihi.........

    Yuk main ke sini, kan nggak jauh dari Bekasi?!

    Oh ya maaf ya udah bikin nangis. Swear, nggak disengaja tuh!

    BalasHapus
  15. *cium tangan bunda

    hehehe.... kita sama lgi nih, sering dibawa pindah pindah, cuma kalo saya mah keliling bogor aja nggak nyampe ke luar negri hihihi.... bisa ke bekasi juga gara2 turut suami :-)

    ortu sya sering cerita tentang kebon jahe, sempet tinggal di sana kayaknya, tapi saya nggak ngalamin.
    sekarang bunda beneran di bogor nih? kapan2 yanti mampir ah.... boleh ya buuun.... tapi kapan2 nya blom tau yaa.... soalnya dah lama juga ga pulang :-(

    BalasHapus
  16. Jangan-jangan kita pernah bertetangga. Boleh tahu siapa nama ortunya? Sekarang ortu neng Yanti tinggal di mana? Kalau saya di Taman Cimanggu, tahu lokasinya 'kan?

    Dulu neng Yanti pindah-pindahnya dari mana ke mana aja? Saya pindah di dalam kota juga pernah tapi sangat jarang.

    Ayo ke Bogor, nanti mampir ke rumah saya ya. Salam kenal untuk orang tuanya.

    BalasHapus
  17. bunda, cimanggu mah kampung halaman asli orangtua saya :)

    almarhum Umi, sering cerita tentang kebon jahe, tapi Apa udah lupa kayaknya, pernah di sana apa enggak... hehhe... maklum keseringan pindah, dan udah sepuh, ingatannya mulai turun :(

    yanti udah ceritain bunda sama Apa, beliau cuma manggut2 :)

    nanti deh insyaAlloh kalo ke bogor dan luang waktunya, yanti maen ke bunda ya ....
    haturnuhun bun...

    BalasHapus
  18. Eh ada orang bogor yg ngobrolin bogor ya :D

    BalasHapus
  19. Lha suaminya merasa dicuekin ya? :-P

    BalasHapus
  20. Ibu....betapa aku merasakan kesepianmu ....tulisan ini buat aku menangis. Mungkin begitu hakikat kita pada mulanya sendiri dan akan berakhir sendiri pula. Tapi ibu punya kenangan yg sangat indah, aku sangat menikmati cerita ibu di setiap hurufnya. Jangan sedih ya Bu, aku sayang Ibu dan pasti anak2 ibu di MP ini sama menyayangi Ibu. *Keukeup pageuh Ibu*

    BalasHapus
  21. Hatur nuhun deudeuh...... hate neng Winny mani geulis, langkung-langkung ti jalmina.

    Begitulah manusia, dari tiada menjadi ada, dari sendiri menjadi berdua, dan akhirnya semua fana.

    Terima kasih atas kunjungannya ke sini. Maaf lama saya nggak update site ini, rasanya lagi nggak pengin nulis apa pun di sini. Barangkali ini yang namanya menghindar dari kenyataan? Saya nggak tau deh hehehe.........

    BalasHapus

Pita Pink