Powered By Blogger

Rabu, 09 Januari 2008

SI BAJU BIRU

Stambul Baju Biru dan Keroncong Tanah Air ku lantunan Toto Salmon mengalun halus dari piringan cakram di ruang keluarga kami. Mengingatkan aku akan hari pernikahan ku dengan mas Dj suatu pagi di bulan Januari lebih dari duapuluh tahun yang lalu. Kami sengaja memilih nya untuk meramaikan perayaan pernikahan kami. Memang tidak lazim, sebab di zaman itu jarang anak muda yang tergila-gila musik keroncong. Dan di antara yang sedikit itu adalah kami berdua. Stambul Baju Biru "miliknya" dan "Keroncong Tanah Airku" punya ku. Itulah lagu kebangsaan kami selain "Gubahan ku" yang ku nyanyikan untuknya di malam pengukuhan siswa SMA 1 dulu yang kemudian dituliskan nya kembali untukku dalam huruf sandi rumput sebagai surat cinta pertama dan terakhir dari lelaki yang berhak kusebut sebagai pacar.

Berulang kali lagu-lagu itu ku putar pembunuh sepi sebab suamiku masih disibukkan oleh pekerjaan kantornya. Dan aku tidak boleh cengeng. Tidak pada tempatnya bagiku merengek minta perhatian dan waktu darinya, sebab dia bekerja dengan ikhlas dan tekun juga demi untukku. Hanya kedua lagu itu yang aku butuhkan kalau aku sedang sangat rindu padanya. Seperti rinduku siang ini walaupun sedang libur akhir pekan. Untuk suamiku nyaris tidak ada kata akhir pekan. Semua hari adalah sama maknanya, kerja dan kerja semata.

Dia lelaki yang sangat bertanggung jawab. Dan aku patut sangat bangga padanya.Sedari kecil aku tahu, bahwa hidupnya diabdikan untuk keluarga. Untuk merawat bapak mertua ku yang dilumpuhkan kanker paru, dan untuk membantu ibunya menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Karenanya tidak heran juga kalau kini dia mendapat berkahnya. Punya pendidikan yang memadai dan pekerjaan tetap. Dan yang terutama, dia tidak harus menadahkan tangan atau mencuri-curi untuk menghidupi kami anak-beranak.

Aku bangkit dari sofa, mematikan stereo set guna melengkapi kebanggaanku dengan puji syukur padaNya. Jahitan dalam perutku ini masih sangat ngilu. Sehingga aku berjalan beringsut untuk mencapai kamar mandi mengambil air sembahyang. Pembedahan yang kemarin adalah kali kelima aku bersentuhan dengan prosedur bedah dan pembiusan nya.

Perkenalan pertama ku dengan meja bedah terjadi tahun tujuh puluh. Hanya operasi kecil, pengangkatan amandel ku. Dan aku tidak sendirian. Bersamaku ada sahabat kecilku yang setahun lebih tua. Luckman namanya. Semua orang memanggilnya begitu, seperti orang memanggil ku Julie. Tapi aku lebih suka menyebutnya mas Wawan seperti dia memanggil ku Liliek, yang selalu diucapkannya dengan menyelipkan huruf 'e' sehingga kesannya namaku jadi panjang. Sifatnya usil, banyak tingkah dan dia paling senang menggoda ku.Kalau kami bermain sembunyi-sembunyian bersama, dia akan masuk kolong meja dan mojok di situ atau bahkan mengurung diri dalam kamar mandi yang basah sampai aku kewalahan mencarinya dan menangis jengkel. Lalu dia akan tertawa-tawa dengan senyum kemenangan sambil menjulur-julurkan lidahnya dengan tangan ditegakkan di sisi kepala menyerupai tanduk.

Itu juga yang dilakukannya ketika kami berdua duduk di muka ruang bedah Rumah Sakit PMI di penghujung tahun menunggu nama kami dipanggil masuk. "Kowe kudu mlebu ndisikan, ya" katanya sambil mendorong tubuhku ke depan pintu. Tentu saja aku takut dan menolak, "kowe sing bocah lanang kudu ndisiki," bantahku sambil bersikeras mencari tempat duduk. Ibu kami saling berpandangan dan tersenyum, "ayo, ora pareng nakal," seru ibunya, sahabat terkarib ibuku sambil menyerahkan Luckman kepada pak Achmad asisten ruang bedah disertai helaan nafas legaku. Tak lama dia sudah muncul kembali di pintu sambil menjulur-julurkan lidahnya dan meledek, "hayoh kowe, diogrok-ogrok nang njero kono" katanya menciutkan nyali ku kembali. Dan peristiwa itu tak akan pernah terlupakan seumur hidupku.

Dia dengan "angkuhn ya" kemudian siuman dan "bangkit" lebih dulu sambil menyetel lagu-lagu Koes Plus dari radio merahnya yang baru, hadiah orang tuanya karena dia berani dibedah. Lagunya "Derita" dan "Kelelawar". Di dekatkannya radio itu ke kasurku, di ruang depan kamar ke dua dari sudut kanan RS PMI. Dalam keadaan tidak bisa bicara, toch sahabatku yang satu ini tetap lincah. Diambilnya segelas es krim dari thermos biru ibuku dan dijilat-jilatnya di depanku. Dia sekan-akan ingin mengatakan bahwa es itu adalah makanan terenak yang hanya boleh disantap oleh jagoan seperti dirinya. Air mataku meleleh benci. Benci pada sikapnya yang selalu ingin menang sendiri dan merendahkan perempuan.

Waktu itu angkutan kota belum marak di kota kami. Di Jalan Otto Iskandardinata tempat rumah sakit itu berdiri hanya ada bemo dan delman saja. Untung orang tua kami punya mobil walaupun konon inventaris dinas. Kami dijemput bapak dengan Fiat 1100 biru tuanya, dan melaju meninggalkan rumah sakit, mula-mula ke Bondongan mengantar Luckman setelah itu baru pulang. Itulah kenangan ku yang terakhir bersamanya. Sehabis itu dia bertumbuh jadi perjaka cilik yang aku tidak mengenali nya lagi sementara hari-hari ku justru terpaut pada orang lain lagi. Lelaki yang sabar, selalu mengalah dan tahu bagaimana harus memperlakukan wanita walaupun umurnya belum dewasa. Dan lelaki itulah yang menjadi tambatan hatiku serta senantiasa hadir di setiap mimpi malam hari ku.

Aku terpaksa "menggadaikan" nama Luckman pada ayahku yang galak dan penuh peraturan ketika aku mau diajak pergi yang pertama kalinya di malam hari oleh pria itu. Kepada bapak kukatakan bahwa aku akan pergi beramai-ramai dengan Wawan juga. Ayahku mengangguk lega, tapi seketika matanya membelalak bola menyaksikan yang berdiri di hadapannya untuk minta izin membawa ku adalah mas Dj. Ayah bukan tidak mengenalnya. Ibu mas Dj adalah teman baik ibuku juga, dan paman mas Dj bekerja membantu ayahku di kantornya. Bapak ku hanya tidak menduga bahwa di antara kami terjalin pertemanan yang mengarah kepada persahabatan yang serius. Sebab, ketika itu umurku belum lagi genap enam belas. Tapi ayahku justru sangat respek kepadanya sesudah peristiwa itu. Dan hari-hari kemudian ku benar-benar dipasrahkan seluruhnya ke tangan mas Dj. Sebab ayahku tahu, betapa mas Dj memperlakukan aku sebagaimana beliau memperlakukanku. Aku diambil dari dalam rumah, dan dikembalikan juga ke dalam rumah, ke dalam genggaman ayahku yang tahu betapa aku gadis yang lemah dan punya keterbatasan fisik.

-ad-

Shalat ku berakhir dengan doa yang panjang, doa syukur yang kupanjatkan sebab Allah telah mengarunia ku nikmat hidup bersama seorang lelaki yang bertanggung jawab. Juga doa untuk keselamatan suamiku yang hari-harinya selalu dipenuhi kesibukan luar biasa. Lepas shalat yang kulakukan sambil duduk kuambil buku referensi ku mengenai penyakit kanker. Karena sebetulnya sekali pun aku sudah menjalani semua tahap pengobatan, tapi hasil pemeriksaan kultur jaringan belum juga keluar. Dan ini menyisakan tanda tanya serta keresahan padaku. Tidak mustahil suatu hari nanti aku harus kembali berurusan dengan meja bedah untuk yang kesekian kalinya. Aku menghela nafas panjang. Dadaku terasa sesak.

Dokter mengatakan bahwa kelainan pada kandunganku bukanlah akibat sel-sel ganas. Melainkan karena darah bulananku terhalang oleh sesuatu sehingga tidak tuntas keluar semua dan kembali masuk menyebar ke segala penjuru rahim. Waktu pertama dokter mengambil organ tubuhku yang maha penting itu, aku tahu bahwa penyakitku akan kembali lagi. Sebab dokter masih menyisakan kedua indung telurku yang konon diperuntukkan nya bagi suamiku.

Aku kecewa mendengarnya. Bukan aku tak sayang pada suamiku, tapi penyakit itu sangat mengganggu ku. Nyeri nya senantiasa menjalar ke segenap lorong di tubuhku. Bahkan kaki, lengan serta paru-paru ku sering mogok kerja karenanya. Kalau sudah begitu aku akan terdiam menyusun kekuatan dan terpaksa mengurung diri.

Tak mudah bagiku menghapus kata endometriosis dan adenomyosis nama penyakitku ini. Karenanya malam ini kubuka dan kubaca teliti apa yang tertera di buku itu.Apa yang tertulis telah kualami semuanya

-ad-.

Pagi itu aku bangun dengan rasa kejang dan nyeri pada organ tubuh kananku, tepatnya dari arah pinggul ke kaki. Belum pernah aku mengalami nyeri sehebat itu. Bahkan ketika nyeri datang bulan ku bertandang, rasanya pun tidak persis sama. Biasanya aku hanya merasakan nyeri di perut diikuti keinginan untuk melepaskan isi perut yang tiada habis-habisnya. Karenanya aku amat terkejut pagi itu.

Kucoba untuk menggerakkan kaki, masya Allah! Rasanya seluruh urat-urat dan otot ku tertarik ke jantung. Sehingga ku lepas lagi kakiku ke atas kasur. Waktu sudah pukul setengah enam, dan tram kota yang pertama sudah kedengaran melaju di jalannya di sebelah utara rumahku. Sebentar lagi ketiga jagoan yang jadi kewajibanku untuk mengurusnya, butuh sarapan pagi dan senyum ku untuk melepas ke tempat tugas masing-masing. Andrie dan Yadi ke sekolahnya di Ecole La Fermette 2000, sementara suamiku ke kantor selepas menurunkan mereka di gerbang sekolah persis di dekat mansion terbesar di daerah rumahku di Wezembeek Oppem, Belgia.

Aku tahu, aku harus berlomba dengan waktu. Dan aku harus mempersiapkan bekal terbaik untuk mengisi energi mereka di musim winter yang baru jatuh ini. Semakin kucoba bergerak, semakin sakit rasanya. Dengan putus asa aku memiringkan tubuh, lalu beringsut pelan menjatuhkan kaki kiri ku yang normal, sehingga kaki kananku terpaksa juga ikut turun. Mas Dj masih meringkuk di bawah selimut setelah semalam menyelesaikan naskah penelitiannya hingga menjelang pagi.

Pada akhirnya upaya ku membuahkan hasil, dengan bertelekan pada sisi ranjang aku berhasil bangkit dan lagi-lagi beringsut menuju kamar mandi sebelum mulai tugas pagi ku di dapur di lantai dasar. Rumah sewaan kami di Belgia ini terdiri dari tiga lantai yang dimulai dari basement di bagian bawah diikuti ruang-ruang tamu, keluarga, makan dan dapur, serta diakhiri ruang tidur pada bagian teratas. Sehingga untuk mencapai dapur aku butuh kekuatan menuruni lebih dari dua puluh anak tangga. Dadaku terasa sakit, seakan-akan paru-paru ku dihimpit kencang sehingga untuk menarik nafas pun dibarengi lelehan keringat dan air mata.

Tapi semua tugas berhasil kueselesaikan dengan baik, sehingga mas Dj dan anak-anak tidak pernah tahu apa yang terjadi. Mereka hanya memandang heran ketika aku malas bangkit dari kursi makan dan tidak seperti biasanya menyelesaikan semua urusan dengan lambat. Menjelang turun ke garasi di basement barulah kukatakan bahwa aku merasa sakit dan mohon maaf tidak bisa melambaikan tanganku dari rolling door garasi kami. Mereka mengangguk maklum, lalu menciumi aku satu persatu sebelum menghilang ke luar rumah.

Dan hari itu bagiku terasa beku, sedingin udara delapan derajat celcius di luar sana. Aku sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa selain duduk dan berbaring. Sedangkan darah segar mengucur nyaris tak berhenti. Padahal untuk mencapai toilet di sudut kamarpun rasanya aku tak mampu. Tapi inilah hidup. Jadi aku tidak berhak menyesalinya.

Jam tiga siang ku kumpulkan semua kekuatanku untuk berjalan menjemput anak-anak kami dalam cuaca yang basah. Titik-titik salju yang lembut turun menyentuh mantelku dan mencair kembali. Waktu yang biasa ku habiskan hanya dua puluh menit saja, kini berlipat jadi setengah jam lebih, sehingga memaksa anak-anak kami berdiri di muka pagar tinggi sekolah mereka sambil melongok ke luar meneliti wajah orang yang lewat satu persatu. Ketika akhirnya aku nampak, si kecil berlari menghambur sampai lupa mengucapkan salam kepada guru piket yang bertugas hari itu. Aku minta maaf kepada mereka lalu kami berjalan beriringan, kali ini dua perjaka kecil ku mengapit ku dengan erat seolah-olah takut kehilangan sekaligus ingin mengisi kekuatan untukku.

"Aku telepon bapak ya bu?", usul si kecil dengan cemas. "Tidak usah sekarang," jawabku sambil mengunci pintu rumah kembali. "Nanti malam menjelang pulang, sampaikan bahwa ibu tidak masak dan minta tolong bapak mampir ke restoran Saigon seperti kalau kita baru pulang liburan itu lho....." jawabku mencegah. Kedua anakku patuh, namun dari sorot mata dan bahasa tubuh mereka tercermin kekhawatiran untukku.

Ketika kudengar rolling door diseret ke atas segera aku coba untuk bangkit menyamburt suami. Kami hanya sempat berpapasan di anak tangga ketiga dari atas, saat mata kami bertatapan. Suamiku menanyakan apa yang terjadi padaku, dan kembali kujawab bahwa aku sakit. Dia meneruskan langkah masuk ke kamar dan mengganti pakaiannya, sedangkan aku tetap beringsut ke dapur untuk menyiapkan makan malam yang baru saja dibelinya.

Sepiring chop suey dan beef and broccoli kutaruh di meja bersebelahan dengan braised tofu dan roast duck kegemaran anak-anak. Kami makan dengan nikmat, sebab aku tidak memasak tapi masih ada makan malam yang dapat kami santap malam ini. Pada suapan kedua, tiba-tiba tanganku kejang, sehingga sendok yang ku genggam terlempar jatuh di dekat piring anakku. Aku menjerit menahan nyeri sambil menekan dadaku dengan tangan kiri ku diikuti pandang tak mengerti dari suamiku serta anak-anak. "Kamu kenapa?", tanya suamiku. Hanya sepatah seperti yang tadi sore dipertanyakannya pada anak kami. Sudah sangat lama dia menjadi begitu pendiam dan sulit untuk berbicara, terutama denganku atau mengenai aku. Tapi sejauh ini aku memaklumi nya, sebab suasana di tempat tugas baru suamiku sedang serba tidak mendukung. Keadaan ekonomi di tanah air imbas nya sampai ke segala lapisan termasuk ke kantor suamiku di belahan bumi yang lain. Sehingga sebagai akibatnya, pekerjaan menumpuk dan harus dikerjakan sendiri demi penghematan tenaga.

Ku jelaskan padanya apa yang kurasakan dan terjadi. Dia memasang telinga. Lalu dengan sigap ia meraih tangkai telepon serta memutar nomor dokter gigi kesayangannya, seorang Indonesia yang baik hati dan dermawan. Aku bingung sendiri, ternyata suamiku minta persetujuan untuk memberikan obat pereda rasa sakit giginya untukku. Dokter yang baik hati itu menyarankan agar aku dibawa kepada seorang dokter umum asal Indonesia -temannya- yang dapat melimpahkan kasusku kepada dokter kandungan yang kebetulan orang Indonesia juga. Tapi malam sudah terlalu larut sehingga suamiku nekad menyuruhku menelan obat sakit giginya. Lalu malam itu aku tidur dengan menahan sakit yang sangat.

Bangun pagi rasa nyeri itu semakin menghebat. Aku merasa, inilah saatnya aku "menganggur". Sepertinya aku lumpuh dan tidak bisa lagi menjalankan tugas dan kewajibanku sebagai ibu rumah tangga. Suamiku mengatakan bahwa penyakit ini memang sudah diprediksi seseorang ketika kami masih remaja. Aku mencoba-coba mengingat lagi selagi pikiran ku masih jernih terbawa suasana pagi. Dan kini terbayang kembali suasana di rumah pak Djoemin ahli pijat refleksi di kampung nenek moyang orang tua kami yang pernah memijat ku waktu ibuku membawa kami ke sana. Menurutnya, kelainan dan kelemahanku terletak pada kandungan. Dan aku diminta membuktikan sendiri. Kini apa yang telah kulupakan datang lagi sedikit demi sedikit. Dimulai dari kasus kehamilan dan kelahiran anak-anakku yang senantiasa bermasalah hingga rasa sakit yang tiba-tiba menghebat ini. Dalam hatiku terbersit keyakinan bawa mas Dj betul-betul tercipta untukku. Dia sangat tahu sejarah dan kondisi ku, dan dia sangat maklum akan segala kelemahanku. Aku menghela nafas panjang sambil terus memegangi dadaku yang seperti disayat.....

Akhirnya aku tidak jadi ke dokter. Kesibukan suamiku menghambat keinginanku minta diantar, sehingga pengobatan ku tertunda cukup lama. Namun di balik itu aku justru bersyukur, karena anak-anak kami kemudian berubah jadi mandiri. Di saat-saat aku sakit, mereka bahu-membahu bersama ayah mereka menyelenggarakan semua urusan rumah tangga termasuk menyiapkan makan untuk kami semua. Dan secara ajaib, tiba-tiba mereka bisa menghidangkan sepiring nasi goreng hangat yang dicampuri kacang polong serta udang ditambah omelet terlezat dan terlembut yang pernah aku rasakan. Aku merasakan cinta kami semakin erat bertumbuhan. Semua berkat sakit ku yang membawa rahmat.

-ad-

Mas Dj masuk kamar jam lima sore. Tidak dengan wajah letih, tapi dengan degupan rindu di dada. Dihampirinya ranjang tidur ku, didekatkannya wajahnya ke bantal ku. Lalu hidung itu menyentuh dahi ku dan menghirup bau keringat ku. "Aku minta maaf tidak bisa menemani mu di rumah," sesal nya. "Tapi aku selalu ingat kamu dan ingin cepat pulang ke rumah,," sambungnya lagi. "Bukankah aku telah mengecewakanmu karena aku telah kehilangan "kebanggaanku"?, tanyaku sambil menatapnya ragu. Dia tidak menjawab, selain merebahkan diri di sisiku lalu mengelus-elus anak rambut ku. Persis seperti dua puluh tahun lalu ketika aku baru kehilangan anak pertama kami, dan hati kami saling mencari obatnya. Sore itu jadi moment yang menyenangkan, kami saling berbagi, kegundahan dan kegelisahan, juga kasih sayang yang tulus.

2 komentar:

  1. Ikut tersayat membacanya mbak Julie...
    apa kabarmu hari ini mbak? semoga jauh lebih baik ya...

    BalasHapus
  2. Tentu saja saya sudah jauh lebih baik sekarang. Semua organ kewanitaan saya sudah habis, nggak ada yang disisakan. Doakan saya tetap dapat mendampingi suami sampai dia mencapai harapan orang tua dan cita-citanya yang mulia jadi abdi negara, abdinya masyarakat. Terimakasih mbak.

    BalasHapus

Pita Pink