Powered By Blogger

Rabu, 16 Januari 2008

SEKALI LAYAR TERKEMBANG

Tempe adalah makanan kegemaranku. Biasanya aku akan lebih lahap makan dengan lauk tempe daripada tanpanya. Oncom yang bersaudara kandung dengan tempe juga jadi sahabatku. Aku biasa mencampurkannya ke dalam tumis kangkung, genjer atau parutan singkong sebagai comro. Dalam keadaan sakit sering aku hanya mau makan dengan lauk tempe saja. Bahkan ketika aku hamil,makanan yang sangat enak menghuni perutku ya oncom itu. Tapi mentalku tidak sesederhana tempe dan oncom.

Aku tidak mudah hancur, serta tidak mau diinjak-injak. Aku sangat sadar bahwa harga diriku tidak semurah tempe dan oncom. Jadi aku selalu bangkit menunjukkan bahwa aku termasuk perempuan berkelas, ibu yang agung bagi anak-anakku.

Aku juga tidak menangis dan menyatakan "mogok kerja" ketika suamiku seakan-akan sudah mulai bosan dan bersikap acuh tak acuh padaku. Selalu aku setia di sisinya, menjadi pendorong semangat kerjanya sambil mengawasi dan menemani anak-anaknya yang diperoleh hanya dariku.

-ad-

Bahkan ketika aku terpuruk karena penyakitku, kutanggung sendiri semuanya. Dia hanya bertanggungjawab membawaku sekali ke rumah dokter, mula-mula dokter umum Daniel Widajaja di pinggiran Brussels yang tidak dapat dicapai dengan kendaraan umum apapun. Setelah itu dia mengantarkan aku ke rumah sakit di luar kota untuk menemui dokter kebidanan dan kandungan Arjoko Wisanto yang terkenal berjiwa sosial dan penuh dedikasi.

Suamiku melakukannya dengan terpaksa. Aku diingatkan jauh sebelum waktunya untuk bersiap-siap dan sudah harus sampai di sana sebelum jam praktek. Tapi aku tak lupa berterima kasih padanya. Bagiku kebaikan suamiku adalah anugrah, karena sakitku tak tertahankan lagi.

Aku yang dimintanya untuk 'berkurung diri" di rumah merasa semakin sakit saja. Tidak hanya fisikku, melainkan juga hatiku. Bayangkan, hari-hariku hanya dipenuhi kegiatan menyiapkan makanan semata. Tidak keluar rumah, tidak berbelanja, tidak juga mencuci yang di Belgia biasanya harus dilakukan di kios mesin cuci di luar rumah, bahkan anak-anak yang jadi tanggungjawabku pun dikuasainya sendiri. Dia yang mengantarkan ke sekolah, dan dia pula ynag menjemput. Sebagai manusia normal, aku tidak bersyukur. Bahkan aku menangisi diri sendiri. Sering teringat olehku lagu "Burung Dalam Sangkar" yang dinyanyikan May Sumarna. Itulah layaknya hidupku.

-ad-

Ketika itu sudah bulan ke-lima aku dirumahkan. Badanku menyusut tipis, kulitku semakin memudar. Aku sangat bingung. Maka kerjaku hanya membersihkan rumah, memasak apa yang disediakan olehnya, dan menyeterika. Lalu sisa waktu kupakai "tidur" untuk menghentikan laju waktu. Dalam "tidur"ku aku sering bertemu dengan orang-orang dari masa laluku.

Bahkan siang itupun aku sempat bertemu seseorang yang aku tak ingat namanya. Perempuan separuh baya itu punya bola mata yang teduh. Sikapnya sangat santun dan menyenangkan. Dia kerap bertandang ke kamarku, mengajakku duduk-duduk di bawah deretan pohon cemara sambil mengajariku sulam-menyulam. Begitu anggunnya, sehingga setiap kali aku ingin menanyakan namanya mulutku tak sanggup bersuara. Tapi aku tidak takut, malu atau sungkan berhadapan dengannya. Dan yang terpenting aku tahu, bahwa aku mengenalnya.

Rasanya aku masih gadis kecil yang dulu, dengan rambut dipotong seadanya model kurung batok, hasil cukuran bapakku di teras belakang rumah kami yang luas. Model itu kuperoleh sebagai hasil bapakku menelungkupkan separuh bulatan tempurung kelapa sebagai "cetakan" di atas rambut. Sebab, di masa itu kalau ingin dicukur di kapsalon -begitu orang menyebutnya-, perlu uang yang tidak sedikit. Sedangkan ayahku cuma pegawai negeri dengan lima anak yang menjadi tanggungjawabnya untuk dihidupi. Sebagai anak kecil, tentu tak perlu aku menikmati "kemewahan" salon kecantikan seperti itu. Hanya kedua mbakyuku yang besar yang pernah diizinkan masuk ke situ. Ke "Gunting Rambut Sukabumi" di ujung Jembatan Merah mengarah ke Cikeumeuh atau ke "Kapsalon Zus Merry", tempat baru di ujung jalan rumah kami yang letaknya dari ujung ke ujung sebab lokasinya tepat di belakang "Toko Goan" yang merupakan deretan toko terujung di Jalan Banten sebelah kanan. Aku sangat iri dan termimpi-mimpi bisa mencicipi guntingan rambut di situ. Dan akhirnya keinginanku tercapai juga menjelang pesta natal di tahun tujuh puluh. Sekolahku milik gereja Zebaoth -setidak-tidaknya berafiliasi dengan gereja Zebaoth-, menugasiku untuk ikut tableau natal berperan sebagai malaikat. Aku hanya diwajibkan menyanyi di sudut panggung sambil menebarkan "sayap" mengisi suara yang diperlukan dalam rangkaian gerak tableau. Walaupun aku muslimah, tapi guruku yang kebetulan juga muslim diminta oleh kepala sekolah kami pak Nicko untuk menugasiku memerankan malaikat. Konon katanya, suaraku cukup baik untuk didengarkan. Aku merasa tersanjung. Maka, ornag tuaku memberiku kesempatan untuk potong rambut di kursi kapsalon Zus Merry dengan hasil yang gemilang. Tidak saja gayaku langsung berubah seperti Connie Francis yang lagu "Aldila"nya jadi favoritku dan paman, tapi entah kenapa tiba-tiba rambutku naik semua membentuk spiral menciptakan gelombang yang sangat indah. Menakjubkan, walaupun aku tahu tante Merry tidak mengoleskan obat apapun pada rambutku.

Di mataku perempuan itu sangat istimewa. Dia tidak pernah memarahiku, bahkan menertawaikupun tidak. Padahal, aku terlahir sebagai gadis "bodoh" yang kurang cekatan. Setiap kali kelas kami bermain kasti di halaman, aku selalu menjadi pecundang. Semua orang akan tertawa menyaksikan aku kebingungan mencari bola yang harus kupukul atau menyaksikan aku terlongong-longong tak tahu harus lari kemana setelah memukul bola.

Aku memang sangat tidak cerdas. selain itu matakupun sangat tidak bisa diajak melihat. Memang aku tidak buta, tapi segala yang ada di depan mataku nampak samar-samar dan berbayang-bayang semua. Dan susahnya, orang tuaku terutama ibu, tidak mau tahu keadaanku. Baginya sudah terlalu repot harus mengatur uang belanja istri pegawai negeri untuk menghidupi kami yang kebetulan berkaca mata semua. Apa boleh buat, aku harus menanggungkan segalanya sendiri. 

-ad-

Dia guruku di Taman Kanak-Kanak. Samar-samar kuingat namanya, ibu Sumiati. Ibu Sum sedikit lebih muda dibandingkan ibuku. Namun ibu Sum punya kecerdasan yang jauh lebih banyak. Aku maklum, karena bu Sum punya kesempatan sekolah lebih tinggi daripada ibuku yang cuma lulusan HIS, SD di jaman Belanda. Setiap pagi bu Sum akan berbelok ke halaman rumahku untuk menjemputku berjalan bersama ke sekolah yang lebih layak disebut "gudang" duaratus meter dari rumahku. Dan tanpa bantuan siapapun kecuali seorang perempuan keturunan Tionghoa yang kemudian selalu kami panggil Tante Anastasia, beliau akan menghadapi kami semua. Aku belum pandai menghitung, sehingga aku tidak pernah tahu pasti berapa jumlah murid di kelasku yang duduk pada bangku-bangku kayu warna-warni.

Bu Sumiati selalu memulai hari-hari kami dengan menyanyikan "Lagu Taman Kanak-Kanak", kemudian memanggil nama kami satu demi satu. Yang kuingat ada anak bernama Wati, Sri, Diana, Magda, Euis, Susi, Maemunah, Ine, Yani, Supri, juga Puspo, Buyung, Sartono, Sutisna dan beberapa anak lagi. Bu Sum berkeliling meneliti kuku-kuku kami. Jika ada yang kedapatan kotor atau panjang, tidak segan bu Sum memperlihatkannya kepada teman-teman dan mengatakan bahwa kuku-kuku itu membawa penyakit. Lalu bu Sum mengguntingnya dengan penjepit kuku yang aku tahu sekarang, buatan Cina.

Setelah itu bu Sum akan mengajari kami menggambar, melipat kertas-kertas warna, bernyanyi bahkan mengeja huruf. Aku paling suka pelajaran ini, karena bu Sum akan menggambar terlebih dahulu benda yang harus kami eja namanya. Dua buah roda di gambarkan berjarak, kemudian beliau menambahkan semacam garis bersilangan dengan ujung bawah melengkung ke kanan. Di sebelahnya sudah ada gambar sebuah mobil, yang menurut ajaran bu Sum harus kami eja sebagai o-t-o, oto. Lalu digambarnya pula bentuk-bentuk lain dengan huruf-huruf sederhana di sisinya. Aku memperhatikan dengan penuh semangat, sebab bu Sum akan menyuruh kami menerka hurf-huruf apa yang tertera disana. Hanya di sinilah kepandaianku menonjol. Aku bisa mengejanya dengan sempurna.

Sebagai imbalannya, bu Sum akan mendudukkan aku di pangkuannya sambil membuka buku cerita dan mulai membaca tentu dengan mengajak serta semua murid untuk menyimaknya. Dan lagi-lagi aku juga suka acara ini. Sebab wajah bu Sum dapat berubah-ubah dengan segala gaya dan mimiknya menampilkan watak dari tokoh dalam ceritanya. Suaranya bisa diubah-ubah sebagaimana yang dikehendaki si pengarang. Bukan main, di mataku bu Sum snagat luar biasa, aku terkagum-kagum padanya.

Taman Kanak-Kanak yang dipimpinnya bernama Perwari, yang setelah aku besar baru kuetahui singkatan dari Persatuan Wanita Republik Indonesia,  pemiliknya. Ibu mertuaku juga anggota di Perwari sehingga aku tahu pasti kiprahnya di dunia sosial sangat banyak. Di kelasku banyak murid-murid dari kalangan penduduk kelas menengah ke bawah, sehingga uang sekolah kami kadang-kadang ditunggak dan baru bisa dibayarkan beberapa bulan sekali. Untuk itu aku tahu, bu Sum akan selalu kena marah pak Wandi pembina sekolah yang kebingungan akan membayar gaji bu Sum dan uang saku tante Anna dengan apa. Aku menangkap rona gelisah di mata bu Sum kalau kebetulan dia membawaku berjalan menyetorkan uang sekolah ke rumah pak Wandi di daerah Kalapa Senggeh, kampung di dekat-dekat tempat tinggal kami. Karena jumlahnya tidak seberapa.

Namun bu Sum sangat teguh pada keinginannya mengajar. Aku menganggap demikian, sebab sekalipun pak Wandi habis memarahinya, tapi bu Sum tetap akan berdiri di muka kelas keesokan harinya, mengajari kami berbagai hal yang menyenangkan itu tadi. Suatu saat pernah kudengar bu Sum mengatakan pada pak Wandi, "saya ikhlas tidak diberi apapun pak, asal saya tetap dapat menemani ank-anak itu di kelas". Lalu pak Wandi menutup pintu kuat-kuat seakan-akan ingin mengatakan bahwa uang sekolah anak-anak tidak semata-mata untuk menggaji bu Sum saja, melainkan juga untuk menghidupi kegiatan organisasi Perwari. Kuingat kemudian bu Sum menggenggam tanganku, berbalik arah dan berjalan pulang meninggalkan halaman rumah pak Wandi. Kami berbimbing-bimbingan di bawah payung kertas Tasik kuning berbunga-bunga merah menuju rumah kami. Semua dalam kemesraan, kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.

-ad-

Aku harus dapat menjadi seperti bu Sum. Hidup dalam keterbatasan tapi tidak merengek dan tidak juga mogok kerja. Aku harus mementingkan kepentingan yang lebih utama, yaitu anak-anakku. Pengasuhan mereka harus ada di tanganku, dan aku sendirilah yang harus mengajari mereka bagaimana melangkahkan kaki dan berdiri dengan tegak serta bicara dengan mantap. Diriku harus tampil sebagai "ibu bangsa" seperti slogan hari ibu yang seriing didengung-dengungkan setiap bulan Desember tiba.

Karena itu dalam "tidur"ku aku merasa diberi kekuatan batin oleh bu Sum, sehingga ketika tiba saatnya kami berkumpul di rumah dalam keremangan senja, aku akan tetap ada di sana. Sekalipun mulut suamiku terkatup rapat dan aku hanya bisa bicara dengan bayangannya dan khayalan tentangnya semata. Aku rela, sebab bu Sumiati, guru utamaku telah menyuntikan semangat pengabdiannya padaku, siang itu, ketika seisi rumah menunaikan kewajiban utama mereka di luar rumah. Untuk masa depan kami dan kelangsungan hidup hari ini. Sejenak akupun tertidur lagi, kali ini tidur dalam arti yang sesungguhnya dengan menyunggingkan senyum keikhlasan.

Kekuatanku tidaklah terletak pada perlawanan fisik sebagaimana biasa dilakukan wanita-wanita lain pada umumnya. Dengan caraku sendiri, aku punya keyakinan bahwa aku sudah menang melawan belahan jiwaku yang sekali ini sedang "tertidur lena". Tuhan Maha Tahu.

3 komentar:

  1. Mbak Julie..ini kisah nyatata kah mbak? Sakit apa mbakyu? Bagaimana kondisimu sekarang? Banyak pertanyaan di kepala nih mbak...ayo teruskan ceritanya...siapakah perempuan paruh baya itu?

    Ngomong-ngomong, aku juga suka tempe loh mbak:))

    BalasHapus
  2. Maaf mbak, tadi belum membaca postingan sebelumnya..

    BalasHapus
  3. Memang rekaman kehidupan saya sendiri mbak. Dan maaf, belum siap dipostingkan, tadi pagi saya salah klik, jadi "mosting" deh. Hari ini saya menyelenggarakan Peringatan Hari Ibu dengan mengundang masyarakat Afsel dan diplomatic's circle dengan acara talk show mengenai "Women, Money and Modrn World". Key note speakernya perempuan Indonesia yang dinikahi oleh orang Afsel, moderatornya dinikahi oleh orang USA. Insya Allah masuk di Senthong si bundel, suatu saat nanti. Tunggu kisahnya. Terima kasih ya mbak Dwi.

    BalasHapus

Pita Pink