Powered By Blogger

Jumat, 04 Januari 2008

MENGUNTAI KENANGAN

Siang yang terik. Aku duduk berdua saja kali ini dengan suamiku di atas kendaraan Jerman inventaris kantor suamiku. Suhu pada aircondition di dashboard disetel ke arah terdingin, sedangkan tiupan saxophone mengalunkan "As Time Goes Bye" kesukaanku. Di sampingku mas Dj duduk mengemudikan mobil dengan halus.

Siang yang nikmat. Yang sudah lama tidak pernah kami lalui berdua-dua. Biasanya selalu saja ada alasan untuk melewatkannya di tempat terpisah. Dia di kantor dan aku di rumah, atau dia di tempatnya beraktivitas dan aku tidak bersamanya.

Sejak pisau bedah mengakhiri semua keluhanku, suamiku terbawa arus juga, ikut mengakhiri semua kebekuannya padaku. Perlahan-lahan cinta kasihnya yang dulu terbangkit lagi. Dan kamar 851 Raffles Hospital itulah saksinya. Saat aku harus masuk kembali ke ruang bedah untuk memotong sebelas senti ususku yang robek akibat pembedahan sebelumnya, dia mengambil buku yaasin ayahku dan membacanya sebagai penambah kekuatanku. Pun mulut itu yang mengecup keningku serta mengiringinya dengan pandangan mata hingga pintu ruang bedah tertutup rapat.

Siang ini dia juga yang menjemputku ke luar dari "puri" tempatku tetirah menuju rumah kami di sudut perkampungan yang sepi. Semua nampak dilakukan dengan senang dan sepenuh hati. Aku serasa terbang ke udara, melambung menyaksikan dunia penuh warna.

-julie-

"Aku kembali lagi ke kantor, ya?" pamitnya setelah menutupkan sehelai selimut ke tubuhku di atas pembaringan. "Ya, jangan pikirkan aku. Selamat kerja, semoga rejekimu barokah," jawabku seraya mencium punggung tangannya. Kemudian aku mencoba memejamkan mata. Aku ingat pesan dokterku agar enam minggu waktuku digunakan sebaik-baiknya untuk pemulihan dengan lebih banyak berbaring-baring saja dulu.

-julie-

Tiba-tiba diriku berubah jadi gadis kecil belasan tahun dengan rambut terurai sebahu. Sementara seseorang yang sedikit lebih tua berdiri mengawasiku lekat-lekat. Anak lelaki itu begitu sederhana, namun sorot matanya tajam. Pandang penuh keyakinan yang memesona. Dia menuntun sepeda kumbang hijaunya dan berdiri persis di depanku.

Aku menunduk mengalihkan pandangan. Tak sanggup rasanya aku bertentangan mata dengan pemilik hidung mbangir, rambut ikal lebat itu. Tangannnya yang kekar siap menggamit lenganku. "Ayo naik," pintanya. Aku menggeleng malu-malu. Sejak itu sepeda hijau tidak pernah singgah lagi di rumahku. Yang ada hanya pemiliknya dengan sepatu sandal Bata siap menemaniku berjalan kaki ke mana saja menuruti langkahku.

Itu juga yang setiap hari bersamaku ke Jalan Djuanda 16 tempat akhirnya aku menuntaskan masa remaja. Bahkan ketika akhirnya dia mendahuluiku ke ibu kota propinsi, aku sempat merasa sangat kehilangan.

Aku menyusulnya dua tahun kemudian. Dan kami sempat hidup bersama tiga tahun lamanya sampai dia terpanggil menjadi pegawai negeri di ibu kota negara, sehingga harus kembali ke kampung halaman kami. Dua tahun berikutnya kulalui sendiri sambil menelan sepi, walaupun Bandung sangat ramai dan penuh pesona. Sebab hidupku hanya terasa penuh semarak jika dia bersamaku, dia di sisiku.

-julie-

Rumah bersama kami yang pertama di tepian kanaal Cidepit, tak jauh dari kampungku. Persis berdiri tegak di tebing yang mengarah ke perkampungan Panaragan Kidul tempat tinggal para polisi di dalam asramanya. Kecil mungil dengan tiga kamar tidur yang nyaris tak menyisakan lahan untuk menggelar tikar sembahyang. Tapi aku bahagia.

Rumah itu dihadiahkan ibu mertuaku dengan segenap kasih sayang dan cintanya. Aku sendiri yang memilihnya ketika berulang tahun ke-17 seakan-akan aku adalah putri kandung beliau sendiri. Di lembah sana nun di kejauhan, nampak gunung Salak dengan pedesaan yang asri. Sebuah rumah berarsitektur Minangkabau berdiri tegak di tengah-tengah hamparan sawah, mempercantik panorama. Konon orang perlu melintasi sungai Cisadane yang seringkali airnya membuncah naik dan kerap mengambil nyawa, untuk dapat sampai ke sana. Kuingat Susi kawanku di SMP juga hanyut tergerus luapan Cisadane itu. Aku miris mengenangkannya.

Kenanganiku begitu jauh mengembara ke masa silam. Ke tahun-tahun dimana aku baru kehilangan buah cintaku yang pertama. Sekaligus aku melepas ibu mertuaku kembali ke haribaanNya mendampingi bapak yang sudah sangat lama berpulang. Tahun-tahun pahit yang mengawali tumbuh-kembangnya rumah tangga kami.

Waktu itu anakku lahir tanpa diduga. Seharusnya masih ada waktu sepuluh hari lagi, tapi fisikku yang lemah ditambah penyakit kanker hati yang tiba-tiba menggerogoti ibu mertua yang sangat kukasihi, memurukkanku ke titik nol. Anak dalam kandunganku turut merasakan itu, dan mendesak keluar dalam posisi sulit. Ia lahir di pagi hari di klinik bersalin dekat-dekat rumah tanpa bantuan dokter yang tidak mungkin datang menolongku. Semua berlalu dengan senyap, hanya ada rintihan lirih dari mulutnya. Lalu tanpa ampun Jibril memintanya sebagai persembahan kami ke haribaan Allah. Dia meregang nyawa di dekapan ayahnya. Dia pergi untuk membukakan pintu taman firdaus bagi neneknya yang menyusul kemudian.

Maka sisa-sisa hariku kulewatkan dengan duduk mencakung di tangga belakang rumah yang mengarah ke perkampungan. Bersama Elly dan Atik atau Mamiek kami mengobrol sambil menampi beras KORPRI jatah dari pemerintah. Walaupun tak banyak orang yang sudi mengonsumsinya, tetapi kami tetap mengambilnya untuk dicampurkan dengan beras yang kubeli eceran di pasar Kebon Jahe. Kami biasa menyantapnya dengan tempe goreng yang diproduksi pak Pece langganan ibuku dari tahun ke tahun, serta sekerat pindang tongkol dan tumis kangkung. Kadang aku tak habis pikir, bagaimana dulu ibuku bisa mengelola penghasilan ayahku yang juga pegawai negeri sehingga menghasilkan menu yang lebih mewah daripada yang kusantap sekarang. Tapi, ya, kusadari lagi, jaman telah berganti. Lahan-lahan banyak berkurang. Hasil bumipun ikut surut karenanya. Kami hanya sekedar menerima imbasnya, menempati lahan pinggir kali tanpa halaman dan nyaris berhimpitan. Tapi lagi-lagi aku bersyukur, bahwa aku bahagia bersama suamiku.

Di lain waktu aku kerap diteriaki tetangga karena kue kering yang kumasak harumnya terbang ke seluruh kampung. Aku memang senang membuat kue kering sebagai teman minum kopi karena aku masih perlu banyak berlatih membuatnya menjadi selezat buatan ibu mertuaku. Dulu, mama, demikian aku menyebutnya amat telaten membentuk satu-demi satu kue kering itu dengan tangan sehingga jadi suatu bentuk yang artistik. Dan hingga kini akupun belum dapat menyamainya.

-julie-

Entah berapa lama aku tenggelam dalam mimpiku. Tahu-tahu kekinian datang kembali bersama suara anakku yang menawarkan makan malam. Ah, Tuhan semakin sayang padaku rupanya. Kutoleh jam di meja agaknya sudah terlampaui waktu maghrib. Aku mendesah kecewa. Tapi dipungkasi anakku dengan celotehnya yang manja, "Allah Maha Tahu bu, yang penting ibu beristirahat dan cepat sehat." Lalu dia menghilang ke luar kamar untuk membawa baki makan malamku yang pertama di rumah. Semangkuk bubur ayam kesukaanku.

 

3 komentar:

  1. hmmm bener2 nih c emak suka bernostalgia......
    aku jadi terinspirasi pengen nulis masa kecil ku yang aku rasakan datar2 aja.....

    BalasHapus
  2. Biasanya malas untuk baca journal yang panjang2. Tapi gak sanggup berhenti untuk yang ini. Nice bun.

    BalasHapus
  3. Ah, kalau gitu saya berterima kasih banget sama bang Tiar.

    Ini iseng-iseng aja kok, buat latihan nulis supaya akhirnya bisa nulis novel kayak temen-temen yang lain-lain itu lho.

    Silahkan ditelusuri aja apa yang ada di rumah ini.

    BalasHapus

Pita Pink