Powered By Blogger

Minggu, 06 Januari 2008

PELAJARAN DARI KEHIDUPAN

Pohon di sudut kiri depan rumahku jelas pohon kelapa sawit. Koprakah namanya? Kalau tidak salah, begitu. Aku senang duduk-duduk di beranda sambil memandangi kopra yang jatuh dipatuki burung yang berebut dengan tupai. Ada atau tidak ada tamu yang menginap di rumahku untuk beristirahat maupun berobat. Maklum ini namanya Singapura, yang cuma tiga perempat jam ditempuh dengan feri dari pelabuhan di Batam Centre. Juga tidak butuh waktu panjang untuk dicapai dengan burung besi yang terbang dari Cengkareng yang kini berganti nama jadi Suta.

Dulu waktu aku di Sekolah Dasar guru di kelas enam menerangkan bahwa bumi nusantara kaya akan hasil bumi, termasuk kopra. Dagingnya walaupun kecil menghasilkan minyak yang bermanfaat untuk manusia. Tentu rasanya gurih walaupun berkulit keras. Pantas saja gigi-gigi tupai senang merebutnya dari cengkeraman jemari burung-burung kecil yang di Singapura ini dibiarkan asyik beterbangan. Dulu, mbak Meniek salah satu tamuku sampai iseng menghitung varietas burung yang hinggap,sambil menemani suaminya yang sedang dalam masa pemulihan dari penyakit pada empedunya. Juga bang Polis yang menemani almarhumah istrinya berobat sebab ketiadaan fasilitas pengobatan di Korea Utara tempat penugasan istrinya. "Aku butuh tempat melepas ketegangan, dan taman rumahmu inilah yang cocok," katanya waktu kusodorkan kopi tubruk ke hadapannya. Seperti diriku kopi itu diteguknya hingga tetes penghabisan, tapi dia membarenginya dengan rokok kretek yang dicarikan supirku di suatu toko yang menjual barang-barang kebutuhan dari Indonesia.

Kedua-duanya bukan saudaraku, tidak juga kerabat kami. Mereka datang mengetuk pintu karena mereka butuh teman berbagi perasaan ketika keluarga mereka sedang dalam vonnis antara ada dan tiada. Dan aku yang tidak ada bedanya dari mereka dengan senang hati akan membuka rumahku sekaligus juga membagi kegundahanku pada mereka. Kalau kuistilahkan dalam bahasa Inggris, lebih tepat disebut sharing pengalaman. Aku sendiri punya masalah kesehatan yang tidak habis-habisnya. Dan suamiku sudah terlalu terbiasa menghadapi kondisiku sehingga apapun yang terjadi, dia nyaris tidak banyak bereaksi dan tenang sekali.

Kali ini aku menjalani pembedahan yang keenam dan ketujuh kalinya dalam waktu yang sama. Dua hari berturut-turut perutku dibuka, isinya dibabat dan sisanya dicantumkan kembali. Aku sudah pasrah dan tidak merasakan apa-apa lagi. Hanya rasa syukur yang dalam, sebab pembedahan kali ini juga masih disertai rahmat Tuhan sehingga aku masih bisa kembali ke rumah dan menikmati senja di halaman rumah.

-julie-

Burung yang berparuh kuning berekor putih itu memang sangat lincah. Kuawasi dari tadi, dia sering dapat mematuki ceceran kelapa sawit di rumput yang ditinggalkan begitu saja oleh tupai saingannya atau bahkan masih asyik digerogoti tupai. Inikah jalak? Aku tidak yakin, nampaknya begitu. Duluuuuu sekali, aku masih sering melihatnya berterbangan bebas di halaman rumah orang tuaku yang nyaris mirip kebun raya, sehingga kini aku hampir lupa padanya. Waktu itu bemo 02 maupun bus-bus ke jurusan Parung belum lewat di depan rumah. Hanya ada beca dan sepeda yang ditunggangi orang satu-satu. Kadang-kadang bromfiets dengan merek DKW atau duccati lewat juga. Berselingan dengan mobil-mobil berbadan lebar panjang semisal Impala atau Bellair yang ekornya mencuat ke langit, atau De soto serta Fiat yang lebih membulat. Yang sering mengejutkan sapi-sapi dan kerbau yang digiring blantiknya dari pasar hewan di daerah Pondok Rumput sekarang. Konon waktu itu, kita dianjurkan tidak berpakaian merah sebab kalau binatang-binatang ternak itu kaget dan berlari mengamuk, tanduknya langsung akan mengarah kepada orang berbaju merah! Ah, itulah kenangan........

-julie-

Tiba-tiba aku serasa seorang gadis cilik dengan rambut dipotong kurung batok berbaju kerah matros. Aku berjalan menuruti langkah menuju sebuah rumah bilik pengap berlantai tanah di daerah Pabrik Es. Dan aku masuk ke dalamnya untuk menemui penghuninya, guru kelas enamku yang hidup berdua saja dengan ibunya yang sudah cukup sepuh. Suasana sangat gelap di dalam, walaupun hari masih siang dan panasnya matahari belum hilang. Emak tengah memberi makan si Koming kucing kampung berbulu coklat dengan nasi dan serpihan-serpihan ikan asin yang diaduk di piring kaleng. Pak Effendy begitu sayang padanya. Sering sehabis makan digendongnya si kucing dan diajak bercakap-cakap layaknya manusia. Suatu hari pak Effendy memamerkan padaku kehebatan Koming. Beliau menepuk-nepuk ekor si Koming tiga kali, berhenti lalu menepuk-nepuk lagi dua kali, sehabis itu mulutnya memberi aba-aba kepada Koming untuk menghitung. Demi Allah! Baru pada saat itu aku tahu seekor kucing ternyata mengerti perintah manusia dan bisa menghitung dengan tepat. Koming menggerakkan ekornya lima kali, tidak lebih. Sebagai hadiah pak Effendy mengangkatnya tinggi-tinggi dan menciuminya. Lalu si Koming diturunkannya dan disuruhnya menggeliat. Inipun berhasil dijalankan dengan baik. Sehingga aku merasa guruku adalah orang terpandai di seluruh dunia, atau bahkan sang kucinglah yang sangat pandai.

Pak Effendy amat sederhana, tapi kasih sayangnya seluas samudra. Beliau juga tidak picik. Sekalipun beliau muslim seperti diriku, tetapi beliau mengajar di sekolah Kristen. Setiap pelajaran agama, beliau akan menyerahkan kelas ke tangan pak Nicko kepala sekolah kami yang juga masih sangat muda. Beliau sendiri tidak akan keluar kelas atau menyuruh kami murid-murid muslim yang jumlahnya cuma enam dari dua puluh empat murid untuk ke luar kelas. Kami akan duduk bersama-sama menyimak kelas pak Nicko. Tapi di lain waktu pak Effendy tidak lupa mengingatkan kami untuk mengikuti kelas mengaji di sekitar rumah kami masing-masing. Dan jika sudah pukul tiga sore aku masih asyik bermain "cari-carian" di peta pada atlas pak Effendy, dengan halus beliau akan mengingatkan aku bahwa abah Akub sudah menungguku di langgarnya.

Rumahku cukup jauh dari rumah pak Effendy, tapi masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Dan karena murid di kelas kami sangat sedikit, pak Effendy dapat dengan mudah memantau kami satu-persatu. Ada kalanya pak Effendy sengaja mendatangi kami satu-satu dan duduk mengobrol dengan para ibu kami di rumah masing-masing. Entah apa yang dipercakapkan, tapi kurasa sangat positif, sebab kami semua jadi tidak berniat berbuat kenakalan sebab jika kedapatan kami nakal entah bagaimana yang terjadi, orang tua kami akan segera tahu dan menyediakan "ganjaran" yang setimpal.

Siang itu juga begitu, sama seperti siang-siang sebelumnya. Aku baru saja selesai menunjukkan letak kota Detroit di peta pada pak Effendy, dan sudah mencium tangan emak untuk berpamitan. Kakiku sudah sampai di halaman tanah becek yang basah oleh guyuran hujan. Tiba-tiba kudengar seseorang memanggilku dari arah atas. Kutengadahkan mukaku, untuk melihat sosok kecil disana. Peter melambaikan tangannya yang tidak memegang apapun. Sementara di tangan kanannya ada tenggok tempat sampah. Dia salah satu teman sekelasku. Kulitnya hitam legam, matanya bulat tajam, rambut itu kaku bergumpal-gumpal membentuk pusaran-pusaran di atas batok kepalanya. Aku membalas lambaiannya, "tunggu," kataku. Lalu aku bergegas naik nyaris tergelincir.

Peter menyambut tanganku dengan hangat. "Kamu kemana seharian ini?" Itu pertanyaanku yang pertama. Peter memperlihatkan luka di belakang kepalanya yang tertutup kapas dan plester memerah. "Aku sakit," katanya parau. Lalu suara itu mulai bergetar, "mami menjambakku dan menghajarku habis-habisan," ditelannya ludah untuk melancarkan perkataannya. "Aku dituduh mencuri uang mami, padahal aku tidak pernah tahu dimana mami menyimpan dompetnya," lalu air mata mulai merebak di pelupuk mata bening itu. Bocah lelaki dua belas tahun yang sama besarnya dengan aku ini memang teman sebangkuku. Dia tinggal bersama perempuan yang dipanggilnya sebagai mami beserta anak-anak mami yang nyaris sebaya, tapi berbeda wujud. Mami dan anak-anak itu berkulit lebih terang dengan mata sipit. "Apakah dia mamimu?" Tanyaku tak habis pikir. Sebab selama hidupku ibuku tak pernah memukulku barang sekalipun. "Bukan, dia istri papiku," terangnya. Aku tak habis mengerti, menurut nalar bocahku, dua orang berlainan jenis yang hidup dalam satu ruimah dengan anak-anak mereka tentulah sepasang orang tua, suami istri. "Mamiku sudah meninggal, dia mami adik-adikku", lanjutnya. Kini baru kumengerti dia adalah anak piatu yang telah kehilangan kasih sayang ibu kandungnya karena Kuasa Illahi. "Aku ingin kamu menjelaskan pada mami bahwa aku tidak tahu-menahu soal uang mami," pintanya, "kamu mau?" Ia merajuk dan menggamit lenganku. Aku tahu rumahnya tak jauh dari situ. Ayahnya berprofesi sebagai pemuka agama dan senantiasa sibuk dengan urusan gereja serta ibadat di rumah-rumah jemaah. Dia sendiri satu-satunya sahabat karibku. Yang mau main dengan aku bukan karena status orang tuaku maupun rumahku yang mentereng. Dia berteman denganku karena aku selalu mau mendengarkan semua cerita dan keluh kesahnya. Dan aku jugalah satu-satunya teman yang tidak pernah menjulukinya anak cengeng. "Maaf, Piet, aku tidak bisa melakukan itu, aku tidak tahu apa-apa tentang persoalanmu dengan mamimu," tolakku. "Dia bukan mamiku!" Serunya. "Mami yang baik tidak akan memperlakukan aku seperti ini," sesalnya sambil menunjukkan lagi luka di kepalanya. Aku mengusap lembut dan berujar, "Piet, aku harus pulang, aku akan pergi mengaji. Aku berjanji menolongmu dengan memintakan kepada Tuhanku agar kau dituntunNya melewati ujianmu yang berat ini". Lalu aku melangkah ke jalan besar melalui deruman mesin pabrik es dan muncul di pertigaan Ciwaringin untuk bergegas pulang sebelum rotan abah Akub siap menantang siapapun yang masuk langgar di waktu yang salah. Di belakangku masih kudengar Peter memanggil-manggil, "Julie, tolonglah........."

Ibuku menyambut di depan pintu samping rumah dengan cemas. Nampak dari raut wajahnya yang galau. "Masya Allah, anakku wedok," katanya. "Ibu kira kamu lupa mengaji, cepat mandi dan tukar bajumu dengan yang bersih selagi Nining belum datang. Nanti kamu kena rotan bah Akub," perintah ibu sambil mengelus dada. Dua bukit yang tipis nampak terbalut kain bertali-tali yang jaman sekarang sudah tidak ada lagi yang memproduksinya. Kebaya organza merah muda ibuku menutup tipis semuanya.

Aku selesai mandi tepat ketika Nining memanggil-manggil dari pintu pagar. Anak tukang kebun kami yang cantik ini selalu terlihat segar di balik kemiskinan yan mendera orang tuanya. Rambutnya yang hitam lebat sepinggang tak pernah lepas dari ikatannya yang diperkuat dengan karet gelang warna-warni ditumpukkan jadi satu agar tidak mudah putus. Dia memamerkan sandal Lily-nya yang baru hadiah dari tanteku di Jakarta ketika tante datang menengok ibu. Ah, Nining nampak semakin cantik. Kami berbimbingan menuju langgar Abah seratus meter dari rumahku.

Abah sudah siap di depan papan tulis hitam, membuka tuturutan untuk mengajari kami anak-anak pemula sambil menyiapkan Al Qur'an untuk anak-anak besar. Tongkat rotan itu ada di sampingnya membuat aku merinding. Kami mengucap salam dan mencium tangan abah. Aroma tembakau kuat merebak dari sana. Tak lama abah mulai memanggil kami satu persatu dan terakhir sekali kami diminta menuju ke kanaal Cidepit untuk membasuh kotoran sebab pelajaran shalat akan segera dimulai.

Asyiknya doa yang kupanjatkan di akhir dzikir tentu karena aku punya hutang, janji pada si Peter untuk mendoakan dirinya. Sehingga tak terasa Nining sudah berdiri di dekatku, menepuk bahuku dan mengajakku melangkah pulang. Tapi aku malah bangkit dan berbelok ke dapur umi, istri abah, sebab dari arah sana tercium sepiring rujak cuka yang segar menantang. Nining mendapat dua-tiga suap dari sendokku lalu kami beriringan pulang menjemput maghrib sambil aku melakukan tugas rumah tanggaku, mencari ayam-ayam peliharaan orang tuaku.

Dan lamunankupun kembali buyar, ketika mas Dj suamiku menghentikan mobil di carport lalu menghampiriku dan lagi-lagi membelai rambutku dengan sayang. "Kamu sudah nampak lebih segar hari ini," pujinya. Aku berterima kasih, mengangguk padanya dan melangkah bersama ke dalam rumah kami yang dibangun dengan landasan cinta kasih yang hangat.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pita Pink