Powered By Blogger

Sabtu, 26 Januari 2008

BALLADA SEPATU

Pada masaku kecil dulu, harga sepasang sepatu amatlah mahal. Karenanya beruntunglah orang yang memakai sepasang sepatu dengan pantas. Adakalanya sepatu diwariskan secara turun-temurun dari satu kaki ke kaki berikutnya, seperti halnya milikku. Walau ayahku orang berpangkat, tetapi pangkat ayahku tidak cukup untuk menjadikannya makmur. Ayahku orang yang sederhana dan bekerja bukan untuk mencari kekayaan. Bagi ayahku, kerja adalah pengabdian, baik bagi bangsa dan negara maupun untuk membahagiakan orang tua. Sebab dengan bekerja ayahku bisa menafkahi kami dengan halal, tanpa harus meminta-minta pula.

Sifat ayahku yang demikian ini menjadikannya seorang teladan. Tidak hanya di instansi tempatnya bekerja, melainkan tentu saja pada keluarga kami. Suamiku yang hanya mengenal figur ayahku sebagai seorang "kepala rumah tangga" mengadopsinya mentah-mentah. Dia akan sanggup bekerja tanpa mengenal batas waktu, asal hasilnya memuaskan dinas. Dan dia juga akan betah "meninggalkanku" untuk urusan-urusan pekerjaannya, asal dia setiap hari kembali membawakan rejeki yang halaal.

Aku tidak terlalu peduli pada itu. Buatku, dia ada di sisiku duapuluhempat jam atau hanya sekilas saja, tidaklah menjadi soal. Yang penting dia selalu mengingat tanggungjawabnya yang diambilnya ketika ayah menyerahkan aku ke tangannya di suatu pagi, saat dia baru saja dapat pekerjaan sebagai pegawai negeri. "Kali ini kuserahkan adikmu ke tanganmu sepenuhnya untuk selama-lamanya," begitu ucap ayahku dengan suara bergetar di ruang tamu rumah kami. Dan kudengar suamiku menyambut dengan ijab-kabul yang mantap. Suaranya lantang sampai ke telingaku yang mencuri-curi dengar dengan harap-harap cemas di ruang pengantin yang menempati kamar kakakku yang kedua. Kami menikah dengan adat Jawa, yang juga mengadopsi syariah Islam dengan tidak mengijinkan pasangan pengantin bersanding di acara akad-nikah. Mataku berbinar-binar lagi mengenangkannya. Mengingat-ingat pagi yang indah saat dulu aku dilepas untuk selamanya berjalan bersama mas Dj, cintaku yang satu.

-ad-

Sebetulnya aku tidak perlu marah mendengar rengekan anak bungsuku minta dibelikan sepasang addidas yang jadi impiannya di Jalan Suryakencana. Dia memang butuh sepatu itu walaupun harganya sangat mahal, sepertiga gaji sebulan suamiku. Tapi aku memang tak suka pada rengekannya, karena dia bersekolah di desa -dalam artian yang sesungguhnya- bersama masyarakat kelas bawah anak-anak para pedagang kecil, kuli bangunan, supir angkot dan petani. Aku ingin dia melihat kenyataan bahwa di sekitarnya masih banyak orang-orang yang hidup serba kekurangan, karenanya dia tidak pantas merengek. Seharusnya justru dia bersyukur dan menyisihkan sedikit uang sakunya untuk membantu teman-temannya yang kurang beruntung.

Sebutlah, membantu si Yanto atau Budi, misalnya. Ayah Yanto, montir pada bengkel di tepi jalan raya tak jauh dari rumahnya. Dan orang tua Budi berdagang bakso dari kampung ke kampung. Keduanya merupakan teman main anakku. Dan anakku dengan kemampuan yang ada rajin menularkan ilmu teknologi informasi kepada mereka berdua. Berjam-jam setiap minggu sepulang sekolah mereka akan duduk di muka komputer anakku dan asyik mempelajari apa yang ada. Aku bersyukur, dengan begitu anakku tidak lari ke luar rumah mencari teman yang aku tidak mengenal latar belakangnya.

Tapi anakku bukanlah anakku jika tidak pandai merengek. "Ibu tidak kasihan kepadaku, jalanan ke sekolah jauuuuuh dan medannya berat," begitu dia memberi alasan menyertai rengekannya akan sepatu baru. "Maksudmu bagaimana?" balasku bertanya. "Ya, karenanya aku perlu sepatu yang kuat untuk menginjak tanah becek campur batu-batu kali dan pasir," balasnya sambil menyusut keringat yang membajiri keningnya. Di punggungnya kaus dalam Rider telah melengket dengan seragam sekolahnya yang kubeli jadi di Jembatan Merah. Penuh resapan keringatnya sendiri. Aku memang iba melihatnya. Tapi aku telah terbiasa untuk mengatakan tidak dan meberinya pengertian, mumpung ayahnya masih di kantor. Sehingga waktu ini jadi kesempatan emas buatku mengatur rumah tanggaku sendiri.

"Adik," bujukku pelan, "ibu lebih suka kamu sering beli sepatu daripada sekali beli tapi mahalnya menyakiti perasaan teman-temanmu." Kupandangi wajahnya yang bulat telur yang mulai dihiasi jerawat disana-sini. "Hm, ibu pelit," gerutunya sambil melengos meninggalkanku yang berdiri di bawah anak tangga menuju ke kamarnya di lantai atas. Memang di rumahku yang kucicil dari BTN ini kami seakan-akan membuat dua buah rumah. Di bagian bawah untuk kami semua terdiri dari kamar tidurku, kamar untuk tetamu, ruang makan dan ruang tamu serta dapur. Sementara di atas anak-anak kami bebas melakukan apa saja tanpa khawatir kena semprot mulutku yang sejak aku menderita endometriosis galaknya melebihi salak anjing herder polisi. Kami menatanya menjadi dua buah kamar untuk masing-masng anak kami dilengkapi gudang mereka, ruang belajar bersama, kamar mandi mereka dan kamar pembantu kami.

"Dengar adik," bujukku lagi sambil membawakan segelas teh botol dingin kesukaannya serta sepiring kue pengisi perutnya yang mungkin mulai lapar lagi. Tiba-tiba dia sudah ada di tengah-tengah tangga akan kembali turun memasukkan seragam bekas pakainya ke keranjang cucian di kamar mandiku. Diterimanya teh botol dari tanganku, dan ditukarnya dengan menyerahkan baju-baju kotor itu. Dia tidak jadi turun, langsung masuk ke kamar kakaknya menyalakan komputer yang ada di situ mulai bermain.

Sehabis menaruh baju kotor, aku kembali ke atas mulai dengan ceramahku. Tentang sepatu itu. "Dulu, ibu juga berjalan kaki ke sekolah bersama bapakmu. Tapi ibu dan bapak tidak pernah memakai sepatu yang mahal-mahal, dan kami malah senang jika setiap tahun nenek-kakekmu membelikan kami sepasang sepatu baru," ujarku memulai sambil menyeret kursi di sebelahnya. Mata anakku nyalang menatap layar komputer yang baru berkedip-kedip mulai menyala. "Itu karena dulu belum ada sepatu mahal," balasnya ketus. "Bukan sayang, siapa bilang?" tanyaku. "Toko Sri Sura dari dulu sudah ada, namanya Eng Hoat," kataku berkisah sambil menyebut nama toko sepatu tertua dan paling terkenal karena keawetan produknya di Jembatan Merah, pertokoan tua di daerah kami. "Sepatu mereka bagus dan mahal, sekali-kali kami beli di situ. Tapi lebih sering kami beli di toko-toko lain karena kami tidak pernah punya keinginan harus selalu pakai sepatu mahal begitu," lanjutku. "Bukan, pasti bukan," sanggahnya, "pasti karena modelnya nggak ada yang ibu suka. Dan itu cuma satu-satunya toko sepatu bagus." Dia memonyongkan mulutnya menunjukkan kejengkelan hatinya.

Tiba-tiba aku jadi ingat kakakku yang ke empat. Umurnya enam tahun di atasku karena dia adalah kakaku langsung. Di antara kami lima bersaudara, dialah yang memiliki wajah paling cantik sekalipun tidak seorangpun di antara kami yang cantik. Rambutya yang hitam panjang selalu dicucinya dngan shampoo botolan, yang entah apa mereknya. Wajahnya dibedaki dengan Maya buatan Myrurgia, Spanyol yang dikemas dalam kertas bergambar nona cantik berambut keriting mempermainkan kipas di tangannya. Bibirnya dipoles dengan lipstick curian dari lemari rias ibuku yang aku ingat mereknya "Elizabeth Arden", serta diakhiri dengan semprotan minyak wangi Topaz, Avon atau Soir de Paris. Sekali-kali kalau pergi ke pesta ulang tahun temannya yang diisi dengan acara menari a-go-go dia memoleskan perona mata dari koleksinya yang berbentuk stick bersusun mulai dari warna biru muda di dasarnya, hingga hijau pada puncaknya. Kalau sudah begitu, ayah kami akan marah dan menyuruhnya mencuci muka dengan mengata-ngatai dia seperti orang kalah berkelahi.

Kakakku senang berdandan. Hampir setiap bulan dia mampir ke Pasar Bogor memilih satu-dua meter tekstil bagus dari toko cita Herotex dengan uang yang dimintanya pada kakak-kakak kami yang sudah berkeluarga. Selain itu, kakinya pasti dialasi sepatu warna-warni sesuai warna gaunnya atau eye shadownya yang biru atau hijau. Kadang-kadang kuning, merah atu oranye. Semua dipilih dari koleksi Wimo Shoes di toko "Tropic" yang memang terkenal karena koleksinya yang chic. Harganya jangan ditanya. Tapi ibu atau mbak Ning pasti akan dengan senang hati membelikannya karena dia sangat pandai mengambil hati orang tua. Sebetulnya persis sama dengan anak bungsuku ini.

Perjaka kecilku yang tak pernah rewel. Bahkan ketika dia sakit sekalipun. Aku ingat, dia tidak menangis sedikitpun ketika perutnya kembung dan gembung membesar disebabkan salah dosis obat sewaktu kami baru pulang dari Wina, Austria. Umurnya ketika itu belum genap lima tahun, sehingga masih rentan terserang penyakit. Lagi pula bicaranya pun belum lengkap, masih sedikit terbata-bata terkacaukan oleh bahasa Jerman yang sempat nyantel di lidahnya. Dengan keadaan yang demikian, kami sulit mengetahui keluhan anakku yang sesungguhnya. Hingga ketika dokter yang memberinya obat memutuskan untuk mengirim anakku ke kamar bedah, aku hampir saja menurut. Untung kemudian dia menyebut nama rumah sakit yang aku tidak begitu percaya. Karenanya kami tolak dan kami bawa anak kami ke RS PMI, RS tertua tempat kami sekeluarga biasa memasrahkan nasib. Dan di rumah sakit itulah kami bertemu dengan dokter berhati mulia yang kemudian menjadi langganan kami. Menurut beliau, anak kami tidak memerlukan tindakan bedah. Dia hanya perlu ditangani dengan cara tradisional yang sangat mudah. Dan dokter itu seratus prosen benar. Anakku cepat pulih di tangannya tanpa bedah, tanpa kesakitan dan tanpa air mata walaupun dokter Ali -demikian namanya- bilang, sebetulnya dia sangat kesakitan, hanya daya tahannya kuat.

-ad-

Sudah seminggu ini anakku terus merajuk. Gagal menembus belas kasihku dia lari ke pangkuan bapaknya. Tentu saja dia sebagai pencari nafkah tidak banyak pikir. Diturutinya kemauan anakku dan jadilah sepasang addidas baru hitam dengan garis-garis merah tiga, bersedia mengantarnya menapaki jalanan yang berat menuju ke desa Kayumanis, tempat dia bersekolah di SMPN 16. Kali ini aku lagi-lagi kalah dan mengalah. Apalah yang bisa kuperbuat? Aku hanya "bibi dapur" penunggu rumah "majikanku".

Kami mampir di rumah makan Alam Kuring di ujung jalan rumahku sehabis membeli sepatu itu. Tempat ini selain sangat dekat dengan rumah kami, juga sepi nyaris tanpa pengunjung. Pemiliknya seorang single mother berdarah Minang, teman SMA kakakku. Karenanya rasa masakannya agak sedikit melenceng dari pakem hidangan Sunda. Mungkin itulah yang menyebabkan restoran ini sepi pengunjung. Tapi kami justru suka duduk makan disana, di saung yang bertebaran di seputar lahannya yang luas. Kedua anak kami makan dengan lahapnya dengan hanya menggunakan jari-jari mereka. Kali ini aku tidak banyak cakap, juga tidak banyak makan. Nafsulku sudah hilang bersama tingkah anakku.

-ad-

Malam ini aku sibuk mengemasi barang-barangku, bersama suamiku besok kami akan terbang ke Singapura menjalankan tugas yang baru. Kali ini kami hanya berdua saja tanpa anak-anak sebab mereka belum selesai dengan kelas mereka sekarang. Menurut rencana, si kakak sudah tidak akan ikut kami lagi dan memilih jadi penunggu rumah. Tapi si bungsuku akan menyusul dua bulan ke depan.

"Kamu butuh apa dik? Apa yang harus ibu beli selama dua bulan ditinggal?" tanyaku membuka cakap ketika si bungsu duduk menjejeriku di lantai. "Nggak, semua masih ada. Juga sepatu itu. Aku cuma butuh kita cepat berkumpul lagi," jawabnya manja. Tangannya ikut melipat bajuku satu demi satu dan memasukkannya ke dalam kopor samsonite kami. "Ibu jangan marah lagi ya, sepatu itu akan aku pakai sampai bosan." katanya. Aku mengangguk mengiyakan. "Tapi adik harus tahu, hidup memang penuh perjuangan. Ada masanya adik susah seperti sekarang. Sekolah di desa,  jauh, banyak hambatan. Namun suatu saat Tuhan membalikkan hidupmu. Besok lusa kau akan jadi anak metropolitan di kota Besar yang namanya negara Singapura. Mana pernah kau sangka 'kan, anak desa melanglang buana?" timpalku sambil mengelus pucuk rambutnya yang tebal. "Iya," jawabnya singkat.

"Dulu, ibu dan bapak juga orang biasa. Tapi karena perjuangan bapakmu yang didasari rasa ikhlas sekarang bapakmu beruntung berkesempatan pergi kemana saja. Allah mengganjarnya dengan kenikmatan jua." tutupku sambil juga menutup kopor yang sudah mulai padat. Lalu tiba-tiba ku dengar teriakan anakku yang besar dari arah "rumah mereka" di atas sana, "Ibu, kopor yang di kamar adik tidak dibawa?" Aku berhenti mengepak, lalu meneliti tampilan koporku. Masya Allah, "Oh, ibu keliru ambil mas, habis ibu sejak kemarin marah-marah terus soal sepatuku," jawab si bungsu sambil tertawa mencibir padaku. "Yang ini koporku, punya ibu di kamarku," lalu dia tertawa terkekeh-kekeh, sebab kopornya sudah padat terisi harta pribadiku, bahkan termasuk hatiku yang kusimpan rapi di sana, di dalam jiwanya.

 

5 komentar:

  1. halah jeung aku kok ngajarin anak menikmati hidup serta rezeki yang dimiliki walau rada rada borju.(asal jangan besar pasak daripada tiang ajah) .....berharap mereka fight untuk menyongsong hidup..........agar mau kerja keras dalam belajar (kalu mo menikmati hidup) karena terbukti karena kerja keras sejak muda dalam belajar lah sang bapak bisa exist...........
    Tapi bagus juga nih aku harus sering sering baca your writing.........karena sense of social aku kadang suka udah ilang entah kemana.........kebanyakan gaol ama yang borju borju.....

    BalasHapus
  2. Maap nyonyah, saya bukan mau ngajarin yang borju supaya kenal rakyat, melainkan ngasih tau anak-anak kami bahwa hidup itu beraneka ragam. Jadi, mesti menyentuh segala lapisan supaya kalau kelak bisa jadi orang (begitu kan kepenginan kita), jangan lupa kepada orang-orang yang kurang beruntung. Ini didikan bokap gw dan jiwa pramuka yang terus ngendon di dalam jiwa kami (walaupun seragam udah lama..... dicabut, kecuali mas Dj baru lepas baju tahun lalu). Nuhun udah mengapresiasi karya sastra murahan saya.

    BalasHapus
  3. quote : "saya bukan mau ngajarin yang borju supaya kenal rakyat"

    Aku (maksutnya gw hehehehe) ngajarin anak menikmati rezeki yang kadang jadi rada rada borju............geto lho.....

    BalasHapus
  4. Asyiiiiik, bu Lily nggak tersinggung sama isi kisahku. Bu Lily baek deh......

    BalasHapus
  5. hehhehehe gak lah mosok tersinggung............biasa lah manusia itu berbeda....dengan perbedaan itu hidup jadi penuh makna (halah udah ketularan penyair lom nih) orang berbeda cara pandang itu biasa.

    BalasHapus

Pita Pink