Powered By Blogger

Selasa, 08 Januari 2008

PERASAAN YANG DITINGGALKAN

Di luar rumah kudengar rombongan ibu-ibu semua temanku berombongan berjalan beriringan sambil mengobrol. Aku tidak ada bersama mereka, masih menikmati cuti sakitku di atas kasur. Renyahnya tawa mereka serta celotehan ringan menggelitik kupingku. Aku menggigit bibir, menahan keinginan keluar.

Sudah lebih dari dua minggu aku terpaku begini. Bukan kehendakku memang, dan juga tak mungkin kutolak. Dalam masa tetirah ini aku bahkan justru menyukuri nikmat karena suamiku menjadi semakin sayang dan bisa menerimaku tanpa pamrih. Apa adanya. Padahal sebelum aku terpuruk, dia seperti tak mau tahu kondisiku. Dan aku tahu ini terjadi karena dia sudah lelah mendampingiku sejak dulu, ketika namaku masih perawan kencur.

Aku masih ingat dengan jelas betapa setiap bulan aku pasti merepotkannya. Datang kepadanya dengan keluhan sakit perut dan sejenisnya. Memasrahkan diri ke tangannya untuk diantar pulang ke rumah atau ditemani. Dan dia biasa melakukannya dengan ikhlas. Tangan itulah yang menuntunku melewati hari-hari menyakitkan sampai aku bisa tidur di kasur empuk bukan di rumahku sendiri, melainkan di luar negeri menumpang hidup padanya.

Tiba-tiba pintu kamarku diketuk orang, dan bu Bambang asistenku yang setia masuk mengantarkan salah satu temanku. "Mbak, kita ada pekerjaan di rumah sebelah,' ujarnya setelah mengucap salam. "Ikut yuk, sekedar duduk-duduk ngawasin aja," bujuknya. Aku menggeleng meyatakan penolakan, sebab aku tahu duduk-duduk di situ adalah hal yang tidak nyaman. Rumah yang di maksud adalah kediaman resmi pimpinan kantor suamiku. Dan pekerjaan mereka adalah pekerjaan besar yang menyita waktu, pemikiran dan perhatian penuh. Aku sudah dengar dari suamiku apa yang akan dihadapi karena suamiku ingin minta pengertian akan keterbatasan waktunya untukku. "Mbak nggak harus kerja kok, duduk-duduk sajalah sekedar melepas jenuh,' katanya lagi membujuk terus. "Maaf, aku belum sanggup," jawabku sambil terus berbaring. Tapi dia tak kalah ngotot. Akhirnya aku coba bangkit pelan-pelan dan merayap menuju rumah di sebelah.

Pekerjaan besar memang nyata. Boss kami duduk di ujung meja mengorganisir beban kerja yang dilimpahkan dinas ke tangan para ibu. Semua temanku memegang kertas dan pena masing-masing, mendengarkan instruksi dan pembagian kerja dengan cermat. Kecuali aku tentunya. Aku merasa seakan-akan semua mata teruju padaku yang hanya duduk separuh bersandar melorotkan tubuh di kursi sambil meringis-ringis. Sungguh suasana yang tidak nyaman. Karenanya kutahu, suamiku patut untuk merasa bosan. Dia menanggung malu akan keterbatasan fisikku sebagai pendamping suami, bukankah begitu?

Waktu makan malam tiba aku pamit pulang dan kembali menyendiri di pembaringan. Ibu-ibu masih asyik menyelesaikan tugas. Begitupun para suami, pasti belum akan masuk rumah sebelum lewat tengah malam. Resiko pekerjan pamong praja memang begitu. Apalagi di luar negeri, duapuluhempat jam adalah waktu yang tepat untuk urusan dinas. Kupandangi bantal kosong di sebelahku, dan kuraba dinginnya. Biasanya pada pukul sekian rambut halus lebat itu sudah ada di atasnya, mengharap belaian lembutku sambil menyenandungkan keroncong yang menggugah kantuk kami. Sudah puluhan tahun kami jalani ritual yang sama, untukku tanpa bosan.

-ad-

Dulu aku selalu duduk-duduk berdua dengannya. Melangkahpun selalu bersama, ibarat sepasang sandal, tak mungkin sandal kiri berjalan tanpa dibarengi sandal kanan. Cintanya yang hitam-putih tak pernah luntur. Dia akan bilang sayang, kalau dia memang sayang dan bencipun duingkapkannya kalau memang aku berubah tidak menjadi diriku sendiri.

Waktu itu aku pernah ditegurnya dengan sindiran karena terlalu sering pamitan ke rumah Agnes teman kepanduanku lain gugus depan. Padahal dia sendiri mengenal Agnes sebaik aku mengenalnya, sebab mereka sama-sama pernah ikut jambore di Sulawesi sebagai kontingen kota Bogor. Aku waktu itu hanya menonton foto-foto yang diambil mereka baik di lokasi Perkemahan Wirakarya maupun ketika di atas kapal Tampomas yang menyeberangkan mereka keluar pulau. Dokter tidak mengijinkanku ikut pergi, begitu juga dia. Mereka sama-sama takut aku sakit dan merepotkan disana. Aku cuma mengangguk sekalipun kecewa. Dan sebagai "upah"nya dia mengirimiku foto-foto itu serta sebuah hiasan dinding kayu bergambar rumah Tongkonan. (Menengok keadaanku sekarang, aku tersenyum sendiri, itukah tandanya aku akan hidup di rantau orang? Sebab rumah tongkonan itu sekarang berdiri di halaman rumah kami di Afrika Selatan).

Mas Dj tak lepas dari sisiku sebagaimana ia tak melepaskan aku seorang diri. Waktu tiba saatnya dia menimba ilmu di ibu kota propinsi, aku dipasrahkannya kepada teman lain yang dipercayainya akan menemani aku dengan baik. Dan amanah itu dilaksanakan sampai saatnya aku bergabung kembali di sisi tunanganku untuk juga melanjutkan sekolah.

-ad-

Malam itu adalah salah satu saksi betapa dia takut kehilangan diriku. Tanpa diduga-duga, nalurinya tiba-tiba menuntun langkahnya pulang ke rumah ketika aku sedang asyik akan ikut perkemahan Sabtu-Minggu bersama adik-adik kami penggalang se-kota. Aku baru saja selesai mendirikan tenda dibantu Helga, Suryaningsih, Ita dan Nina, sedangkan perkemahan belum sempat dibuka. Matahari baru saja resmi turun walaupun sejak siang udara dingin, basah oleh hawa musim penghujan.

Di tendaku Ningsih membuka bekalnya berupa sebungkus kacang sukro yang dimintanya dari warung bapaknya seorang pedagang hasil bumi dan kue-kue terkenal di kampungku. Helga asyik mengobrol dengan Hans dan Herry dari tenda putra di seberang sana yang terpisah api unggun. Mbak Wiwiek kakak pembina sekaligus guru ilmu ukurku di SMP melongokkan kepalanya mencari aku. "Jul, kakakmu datang, kau harus pulang," katanya. Aku dan teman-teman mendongakkan kepala serentak. "Tuh, dia di situ," sambung kak Wiwiek lagi. Dan di seberang sana pada tenda gugus depan 23 teruna impianku berdiri gagah. Tangannya masuk ke dalam saku celana, senyumnya membuncah cerah.

Hatiku langsung layu, kecewa. Aku tahu, dia pasti akan menyuruhku pulang dengan alasan takut aku sakit. Aku tak habis pikir, siapa yang telah membisikkan padanya bahwa hari ini aku akan ikut persami. Teman-temankupun memandang tak percaya, tapi mereka semua maklum. "Ya udah, pulang aja deh, daripada kita disalahin,' kata Nina bijak. Lalu dia membantu mengemasi barang-barangku yang baru saja aku keluarkan kemudian menyerahkannya pada mas Dj di luar tenda. Bagai kerbau dicocok hidung, aku menurut bangkit, membawa berbagai rasa, campuran antara kecewa dan senang. Senang sebab akhir pekan itu akan kulewati bersamanya seperti dulu. "Ibu menunggu di jalan raya," katanya sambil menggandengku.

Persis anak kecil kehilangan kesempatan, aku menurut mengikuti langkahnya dengan pandangan kabur karena kecamata yang mulai basah oleh lelehan bening air mataku. Aku kehilangan selera untuk bicara. Air mata itu begitu menyekat di tenggorokanku, sementra dia diam membisu. Nafasku mulai pendek-pendek dan gatal di tenggorokanku mendesak minta dibatukkan. "Diam," katanya. "Nanti orang-orang mengira kamu korban kejahatan," sambungnya lagi. Aku tidak peduli, keinginan menangis itu begitu kuat menemani kekecewaanku, apalagi setelah kami keluar dari lapangan Sekip tempat para anggota TNI bermukim, ibuku tidak nampak. "Dimana ibu?", tanyaku. "Di rumah," jawabnya singkat lalu membimbingku masuk ke dalam bemo hijau yang meraung-raung di kegelapan malam sepi meninggalkan asap pekat lagi bau. Lutut kami berdempetan di bangku belakang bemo yang memang sempit itu. Baru kusadari bahwa ternyata ibu ada di rumah dan ini hanya bentuk kasih sayangnya padaku semata. Bukan murni atas kehendak ibu. Tak urung aku berterima kasih juga padanya, sebab malam itu ternyata tidurku betul-betul tidak nyaman terganggu oleh batuk-batuk berkepanjangan yang keluar dari asmaku.

-ad-

Kecupan lembut pada dahiku dan guncangan tangan yang kekar membangunkanku dari tidur barusan. Suamiku sudah pulang dan berdiri di dekatku karena aku kedapatan menangis dalam tidur. "Sakit?", tanyanya? Aku menggeleng dan berusaha tersenyum lembut. Diusapkannya tissue ke pipiku dan digenggamkannya sebuah ke tanganku. "Aku bersih-bersih dulu, ya?" pamitnya sambil melangkah masuk ke kamar mandi membawa piyama bersih.

-ad-

Dia masih seperti dulu, baik dan penuh perhatian padaku sekalipun sekarang pekerjaannya sangat menyita waktu. Kelirulah penilaianku jika aku menganggapnya sudah punya dunia baru dan tidak membutuhkan aku sebagai pendampingnya lagi.

Tapi jujur saja, aku pernah sangat kecewa padanya. Dia lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah tidak bersamaku. Sekalipun aku tidak mempermasalahkannya, tetapi sahabatku menangkap nuansa aneh ini dan mencoba mendekatkan aku padanya lagi. "Aku sedang butuh waktu untuk diriku sendiri," alasannya pada sahabatku. Dia selalu menganggap aku terlalu bergantung padanya, tidak pernah bisa mandiri, dan tidak mau mengikuti perkembangan jaman.

Aku sempat terperangah, sebelum kemudian menyodorkan "Buku Harian Dari Maret ke Juli" pusaka kami yang menyimpan semua cerita kami di masa remaja dulu. Di situ jelas tertulis bahwa dia menyukai aku karena aku adalah pribadi yang tampil apa adanya.  Di balik itu semua dia juga menyiratkan keinginnya untuk memiliki istri yang tampil sebagai ibu rumah tangga murni. Memang dia tidak menyaratkan aku harus selalu mengurung diri, tapi nampak jelas bahwa istri ideal baginya adalah perempuan rumahan. Itu sebabnya dia dulu sangat mendukung bidang studi lanjutan yang kupilih karena kalau aku lulus nanti, aku masih bisa berkarya dari rumah. Dan seingatku, dia tidak pernah mempermasalahkan aktivitasku sebagai tukang antar-jemput anak semata. Aku menghela nafas dan menggeser tubuhku pelan-pelan mencari posisi yang nyaman. Punggungku mulai sakit-sakit menyaingi bekas sayatan pisau bedah pada perutku.

-ad-

Mas Dj menyingkap selimut di sebelahku dan memasukkan tubuhnya yang hangat ke dalam. Senyum itu begitu manis bertengger di bibir, lalu merebak pelan sambil menjelaskan bahwa aku tidak perlu risau akan ketidakhadiranku bersama teman-teman menangani pekerjaan kantor yang cukup penting ini. "Yang penting kamu sembuh sempurna," tegasnya. "Sekalipun aku bukan istri pendamping suami yang baik?", sindirku menirukan ucapannya sendiri ketika kejemuan sempat menjamah hatinya beberapa tahun yang lalu. "Ah, jangan pikirkan itu, kamu tetap mutiaraku apapun adanya. Kau selalu di hatiku dengan perhatian dan tulusnya kasihmu," bantah suamiku sambil mendaratkan sekali lagi kecupan di pipiku. Maka malam itu serasa bertaburkan bintang. Aku terlarut dalam pesta yang terang benderang sepanjang hidupku dengannya.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pita Pink