Powered By Blogger

Senin, 22 April 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (48)

Manusia macam apakah saya ini, sepertinya saya selalu merasa kurang berguna dan tidak bernasib untung? Itu yang sering terlintas di benak saya ketika sedang diam-diam merasakan nyeri yang intens menggerogoti tubuh saya. Dalam keadaan tak lagi bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang sederhana, saya tentu saja merasa diri jadi orang sia-sia. Apalagi hidup saya kini ditopang orang lain baik secara moral maupun finansial. Terasa benar bahwa saya cuma bisa menjadi beban orang lain dan belum bernasib mujur.

Tapi seringkali juga kemudian terlintas bahwa anggapan saya tidak betul, sebab saya toch ternyata dianggap orang tegar serta mampu menjadi contoh bagi banyak penderita kanker lainnya maupun para wanita yang tak mandiri. Yakni dengan melihat betapa saya masih bisa bertahan hidup serta berjuang semampunya mengenyahkan kanker maka sebetulnya saya ini masih ada gunanya setidak-tidaknya bagi orang lain kalau pun bukan bagi keluarga saya sendiri.

Itulah yang juga disampaikan oleh teman lama saya yang kemarin malam sengaja menjenguk saya ke rumah untuk mengantarkan titipan tanda sayang teman-teman yang sudah seperti keluarga saya sendiri dari Kanada. Retty Iskandar teman saya itu merelakan dirinya berlelah-lelah mencari rumah saya di bawah guyuran hujan senja hari hingga tersasar jauh nyaris menjangkau luar kota Bogor. Pasalnya dia sudah sekitar dua puluh dua tahun menetap di Kanada dan jarang menginjakkan kaki di Indonesia, apalagi di Bogor sini.

Dengan senyum manis teh Retty yang datang sendirian ~betul-betul seorang diri~ dari penginapannya di Cibubur meluapkan rasa senangnya bisa berdekapan lagi dengan saya sejak perjumpaan terakhir kami di tahun 2001 waktu keluarga saya mengunjungi rumahnya di Kincaid Court, Ottawa yang asri. Saya memang sudah mendapat kabar dari kawan kami mbak Lia bahwa Retty akan pulang kampung menengok adik iparnya yang sakit kanker stadium empat seperti yang saya ceritakan di salah satu jurnal saya sebelum ini. Mbak Lia pun sepertinya berharap saya bisa menjadi contoh supaya memotivasi ipar Retty yang katanya sudah sangat lemah. Karena itu teman-teman menitipkan tanda cinta untuk saya supaya Retty bisa langsung melihat saya bukan hanya melalui foto di jurnal saya. Dengan begitu lebih mudah nantinya mengungkit kembali semangat juang iparnya yang ternyata seperti dugaan saya, saya tahu siapa orangnya.

Perempuan yang usianya jauh lebih muda dibandingkan saya itu ternyata sesama pasien di sinshe tempat saya berobat yang juga dibawa oleh teman saya ke sana seperti halnya saya. Teman saya dan sinshe bilang, kondisi pasien yang satu ini lebih lemah dibandingkan saya terutama setelah kemoterapi. Tubuhnya kurus, staminanya melorot. Penyebabnya karena dia tidak tekun melanjutkan terapinya di sinshe kami setelah berobat ke rumah sakit atas permintaan sinshe seperti saya. 

Walaupun dulu sinshe menyatakan angkat tangan dan menyuruh saya ke dokter, tetapi hingga kini terapi totok syaraf dan jamu herbalnya tetap saya jalani. Caranya saya minum jamu tak harus menuruti dosis anjuran sinshe, melainkan disesuaikan dengan obat-obat kimia yang saya terima dari dokter atas sepengetahuan sinshe. Antara keduanya saya selingi waktu dua jam, guna memproses obat yang sudah lebih dulu saya makan agar efeknya maksimal serta tak berbenturan dengan efek obat satunya yang berlainan bahan itu. Di antara jamunya ada semacam asam folat yang berkhasiat untuk mencegah merosotnya kadar haemoglobin (HB) dalam darah yang terbabat oleh efek dahsyat obat kemoterapi. Selain itu, saya diberi energi positif melalui totok syaraf sinshe yang dilakukan semata-mata dengan tangan tanpa bantuan alat apa pun guna meningkatkan stamina saya sewaktu dikemoterapi. Hasilnya sekarang saya merasa badan tetap bugar bahkan cenderung kelebihan bobot. Bayangkan saja, saya bisa naik sebanyak lima kilogram selama dua kali kemoterapi sehingga membuat dokter onkologis saya terpana. Untung beliau masih mengizinkan keadaan ini, daripada saya tidak doyan makan sama sekali lalu menjadi kurus kering kekurangan gizi. Daya tahan yang menjadi modal utama melawan efek kemoterapi jangan sampai melemah, katanya beralasan. Jadi kalau saya tidak takut luka di payudara saya sobek berdarah-darah, saya disuruh berolah raga ringan untuk menjaga berat tubuh saya. Tapi ini harus dilakukan dengan berhati-hati.

Oleh karena itu, mencermati keadaan saya, sinshe dan saudara-saudara pasien yang satu ini mengharapkan saya bisa memotivasinya untuk rajin berobat baik ke dokter di rumah sakit maupun ke sinshe. Apalagi dia termasuk orang mampu. Adapun ongkos berobat sinshe kami boleh dikata hanya sepersekian dari ongkos berobat sinshe-sinshe yang kerap memasang iklan di media massa itu. Ini pun diizinkan dihutang terlebih dulu sesuai dengan kemampuan kantung pasien. Bahkan sepanjang pengalaman saya, saya sendiri seringkali menerima gratisan jamu atau korting harga asal saya rutin datang berobat. Intinya sinshe kami betul-betul berjiwa sosial seperti yang diajarkan oleh nenek-moyangnya di Kuil Shaolin di China sana.

***

Kondisi serupa adik ipar teman saya tadi banyak saya jumpai di RS. Teman sekamar saya sewaktu kemoterapi kemarin yang saya katakan kurus kering lagi lanjut usia ternyata sekarang saya tahu kenyataannya. Penglihatan dan pikiran saya telah tertipu oleh efek kemoterapi ibu yang satu itu. Dia jauh lebih muda dibandingkan saya, baru 47 tahun. Tapi fisiknya kelihatan sangat jauh lebih tua lagi rapuh.

Hari Sabtu kemarin saya berjumpa lagi dengannya di RS. Dia datang sendiri pula. Sedih sekali melihatnya, sebab tubuhnya yang ringkih cuma dibalut sehelai kaus oblong tipis yang dipenuhi noda darah serta nanah persis keadaan saya ketika belum mampu berobat ke RS dulu. Jalannya meski lancar akan tetapi kelihatan menanggung beban nyeri. Betul saja menurut pengakuannya, sejak menderita kanker payudara di tahun 2009, penyakitnya kini menyebar hingga mencapai hati, paru-paru, kulit bahkan ke tulang. Di sekitar tulang punggungnya itulah rasa sakit merajalela melebihi sakit di payudaranya yang luka tapi tak tertangani dengan baik. Soal luka ini sebetulnya mengherankan saya karena seharusnya ketika pasien sudah berobat ke RS maka lukanya akan dirawat dengan baik. Pasien beserta keluarganya juga diajari bagaimana cara membalut luka menganga yang potensial menimbulkan infeksi itu. Inilah yang tak terjadi padanya.

Saya betul-betul iba padanya. Sebab selain sama-sama berobat atas bantuan pemerintah dengan menggunakan Jamkesda seperti saya, pasien ini nampak kekurangan dalam segala hal. Kurus keringnya tubuh beliau patut menjadi penanda kekurangan nutrisi. Minimnya perhatian dari keluarga merupakan hal lain lagi yang memprihatinkan. 

Dari rumahnya di kawasan Kecamatan Bojonggede beliau sering datang ke RS sendirian menggunakan KRL. Dapat dibayangkan suasana di atas KRL ekonomi yang berdesak-desakan itu plus keadaan anak tangga naik ke dalam kereta, yang amat menyusahkan. Saya sendiri pun yang relatif lebih gagah sering kewalahan meski naik kereta disertai anak saya. Pasalnya tubuh kami sama-sama pendek, dan kondisi kesehatan kami sama-sama buruk. Waktu itu beliau bercerita seringkali terpaksa tidur di mushala RS karena kemalaman pulang berobat. Soalnya jadwal dokter kami kebanyakan sore hingga malam hari, dan karena keterlambatannya mendaftar beliau mendapat nomor-nomor pasien terakhir yang selalu diperiksa lebih dari pukul delapan malam. Hari Sabtu lalu pun demikian, beliau tampak berjalan gontai menuju mushala RS di waktu jam makan siang. Lalu lama beliau tak nampak keluar, sehingga saya mengasumsikan beliau merebahkan dirinya akibat sesak nafas seperti pengakuannya di ruang tunggu klinik ketika saya ajak mengobrol. Rasanya saya ingin menolongnya, tetapi apa daya, saya sendiri dalam serba keterbatasan. Saya pun hanya bisa mendoakan semoga selanjutnya anak atau sanak keluarganya ada yang rela mengorbankan diri mereka untuk mendampinginya, atau ada pengurus serta relawan YKI yang menolongnya. Tak terasa menggenanglah air di pelupuk mata saya, sambil merenungi betapa seharusnya saya merasa sangat bersyukur lagi atas keadaan saya sekarang.


Ya berkat kemurahan hati istri Walikota Bogor ibu Hj. Fauziah Budiarto, MM yang juga mengetuai YKI Bogor saya bisa menikmati kemewahan. Dalam arti kata pengobatan dan perjalanan penyakit saya dipantau baik-baik. Sekalian mendapat nutrisi yang amat dibutuhkan penderita kanker. Agaknya tidak demikian dengan wilayah lain. Seorang pasien lainnya yang berasal dari Kabupaten mengatakan tidak pernah dikunjungi dan dibantu YKI. Mereka takjub mendengar cerita saya soal kiprah YKI Bogor yang tidak hanya punya program di atas kertas. Sebab wacana mereka untuk memerangi sebanyak-banyaknya kasus kanker di wilayah kota Bogor dilaksanakan dengan baik. Saya berharap ketika nanti kami berganti Kepala Daerah, YKI masih akan terus dipimpin oleh insan-insan yang peduli dan penuh dedikasi mendampingi para penderita kanker. Sebab, ah ya, kanker itu, sekali lagi saudara-saudaraku, sangat menyakitkan. Sengatannya tidak hanya melemahkan daya tahan fisik seseorang, juga mental keluarganya yang kebingungan menerima tugas tak terduga dari Allah Sang Pemilik Hayat. Semogalah saya bisa diberi panjang umur dan diizinkan ikut serta kelak memberi perhatian kepada teman-teman penderita kanker lainnya yang tertebar di seputar Bogor dengan kondisi ekonomi-sosial yang beragam. Saya ingin membalas budi kepada semua pihak yang telah berbaik hati mengorbankan harta, benda dan perhatiannya untuk saya dan anak-anak semisal teman-teman saya di Ottawa, Kanada yang datang bersimpati diwakili ibu Retty Sari S. Iskandar seperti di momen temu kangen yang sempat diabadikan keluarga saya di bawah ini :







~Ungkapan terima kasih saya dan anak-anak ditujukan kepada :
Keluarga Dino Fikrie, Keluarga Ari Asmono (budhe Ninik), Keluarga Zulkarnain Dahlan, Keluarga N.T. Soegondo (oom Kentus dan tante Lia) serta terutama keluarga Deddy Hendarna (wa Deddy dan tante Retty)~

Semoga Allah memberikan balas amal-kebaikan anda semua sebanyak-banyaknya, sehat-sehatlah selalu agar kita masih diizinkan berkumpul berjumpa lagi!

(Bersambung)
  



8 komentar:

  1. mmhh tercenung baca bagian itu yang di bojonggede itu mbak, ga ada support dari keluarga sendiri.. sedih ya, udah sakit, berobat sendiri, ga ditemenin pula.. semoga ada yang sayang ibu itu ya..
    banyak sahabat dan sodara mbakjulie nih yang kasih support, suka deh banyak yang sayang..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebetulnya ada anak perempuannya, saya pernah ketemu dua kali. Pertama waktu ketemu di klinik dulu sekali, kedua waktu nganter kemo kemarin. Tapi ya gitu, habis ibunya selesai administrasi pendaftaran kemo langsung ditinggal pulang, sehingga baliknya lagi ke Bojonggede sendirian. Soalnya katanya anaknya baru habis melahirkan sih. Terus waktu saya tanya keluarga lainnya apa nggak ada, dijawab ibu itu, nggak ada yang bisa dimintain tolong sebab hubungan emosionalnya nggak dekat. Beda banget sih sama kondisi saya, di mana keluarga mantan pasangan saya aja begitu penuh perhatian sampai kemo pertama saya aja ditungguin beliau meski kakak saya justru nggak mau dengan alasan nggak tega :-)

      Alhamdulillah banyak ya yang masih peduli sama saya. Padahal kan kata mantan pasangan saya, orang udah pada menjauhi saya. Halah!!! :-p

      Hapus
  2. Terharu saya baca cerita di atas.
    Semoga senantiasa mbak Julie dan teman2nya itu selalu mendapatkan kedamaian meski kini sedang diuji dengan sesuatu yang justru makin mendekatkan pada kasih sayang-Nya yang Maha Luas.

    Di foto, mbak Julie tampak sehat sekali. semoga demikian.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh maaf ya kalau sampai terharu. Saya cuma mau cerita apa adanya, dan ini kenyataan yang sedang saya coba untuk atasi sebaik-baiknya. Saya harap betulan saya bisa berguna untuk YKI Bogor dalam mendampingi para pasien lainnya.

      Sehatkah? Itu kenyataannya kalau nggak lihat daerah yang lagi sakit dik Iwan. Dokter dan sinshe aja sampai tertakjub-takjub. Nah yang aneh lagi ada Perawat Senior yang sudah merupakan Kepala Bagian bilang tadinya nggak percaya saya itu pasiennya sampai dia dapat tugas dari poliklinik onkologi untuk menghubungi pasien dan merawat di harinya kemoterapi. Soalnya memang secara kasat mata saya seperti bukan orang sakit kanker sih. Cuma nanti kalau sudah "over dosis" kurang istirahat gitu, baru kelihatan bahwa saya orang sakit serius. Pokoknya Allah Maha Ajaib dengan segala KehendakNya.

      Salam untuk keluarga ya dik, semoga senantiasa sehat walafiat di tanah seberang.

      Hapus
  3. keton sehat nemen koh bund.....senyume luh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hiya bener, ngandel lah. Soale melas maring bocah-bocah ben ketone ora arep gelis mati koh. :-)

      Hapus
    2. iya bun, keliatan sehat di fotonya..:)
      memang benar perhatian dari orang dekat itu juga merupakan obat jiwa selain obatan-obatan fisik..
      dokterku bilang 70% penyakit datangnya dari pikiran..
      kalo bisa membuat fikiran selalu semangat, insyaalloh fisik pun mengikuti..

      doaku dari jauh untuk kesembuhan bunda...peluuukkk

      Hapus
    3. Sama-sama ya nak Rin, saya juga mendoakan nak Rin supaya penyakit itu nggak betah mampir di diri nak Rin. Sakit itu capek fisik dan kantungnya kan ya?

      Hapus

Pita Pink