Powered By Blogger

Senin, 08 April 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (43)





Betapa hebatnya reaksi obat kemoterapi terhadap pasien yang menerimanya. Saya mulai merasakannya sehari setelah kemoterapi saya yang kedua. Selain rambut saya yang berguguran, tubuh saya pun dilanda rasa panas seakan-akan saya sedang berdiri memasak di muka kompor. Padahal seharusnya kepala saya terasa sejuk sebab tak ada lagi juraian rambut yang melambai-lambai minta diikat seperti biasanya. Dari ujung kepala itulah awalnya rasa panas hingga menjangkau bagian terbawah tubuh saya. Soal keinginan saya, tentu saja menyetorkan badan saya ini di bawah pendingin ruangan atau memasukkannya ke dalam lemari es sekalian. Begitulah hebatnya rasa tidak nyaman yang biasa diistilahkan orang barat sebagai "hot flushes" itu. Pendek kata : Menyiksa!

Selain itu mulai kemarin kepala saya terasa ringan, sehingga meski tidak pusing rasanya malas benar beranjak dari atas kasur. Ketambahan perut saya mulai merasa tidak enak untuk menampung makanan. Jelasnya, mulai merasa sedikit mual. Sedangkan saya pun mulai juga mengalami sulit buang air besar seperti yang dikeluhkan pasien di sebelah saya ketika kemoterapi berlangsung kemarin dulu. Intinya : Tersiksa!

Pendek kata kemoterapi itu tidak nyaman, sehingga saya berkeyakinan zat-zat di dalamnya memang mantap untuk mengusir sel-sel ganas yang jahat dan minta menumpang hidup di tubuh saya sekarang ini. Jadi, saya tidak akan menyesal dikemoterapi apalagi saya memperolehnya secara gratisan berbekal rasa kasihan Pemerintah Daerah melihat warganya yang tidak mampu begini.

***

Seharian ini saya sama sekali tidak berkeinginan apa-apa. Bahkan juice setengah liter yang biasanya saya minum sekali teguk, kali ini masih setia menghuni pojok lemari es saya. Perasaan saya malas untuk menyentuhnya, meski kerongkongan saya sebetulnya justru dalam keadaan baik-baik saja tidak terasa kering menyakitkan. Begitu pun nasi dan sayur serta tahu lembut jatah makan siang saya, akhirnya berakhir di tempat sampah dengan perasaan bersalah sebab saya tak sanggup untuk memasukkannya ke perut saya. Entah mengapa rasanya saya malas benar menelan itu semua.

Saya kemudian cuma minum secangkir teh jahe dan makan buah-buahan yang juga tidak sanggup banyak-banyak. Sebutir jeruk, pisang dan manggis sedikit masuk ke perut sebagai penggantinya. Dengan itu saya berharap tubuh saya bisa bertahan tidak merasa lemas.

Dalam pada itu saya membolak-balik buku pemberian seorang dokter yang menjadi kontak saya di dunia maya mengenai pengalaman penderita kanker ovarium yang selesai dikemoterapi. Buku singkat yang ditulis dengan amat lugas itu terasa sebagai buku harian biasa, sehingga isinya mudah ditangkap. Perempuan berusia hampir enam puluh tahun itu menyelesaikan kemoterapinya di sebuah RS swasta di Semarang selama tujuh kali. Dia juga mengeluhkan kesulitan buang air besar seperti yang tengah saya hadapi. Selain itu, semua keluhannya rata-rata sama dengan keluhan pasien pada umumnya termasuk saya hari-hari belakangan ini.

Pasien itu menyikapinya dengan banyak mengonsumsi sayur dan buah-buahan, minum air putih serta menelan obat-obatan herbal yang diperolehnya dari luar negeri, bukan jejamuan Indonesia. Menurut penuturannya, itu membawa hasil. Tubuhnya menjadi kuat dan keluhan-keluhannya berkurang. Semangatnya berjuang melawan kanker memang patut diapresiasi. Dia tak takut menghadapi proses pengobatan yang mana pun termasuk pengangkatan indung telurnya (ovarium). Padahal dia melakukannya justru ketika dia menjauh dari keluarganya, yakni di daerah bukan di Jabodetabek tempat tinggal keluarganya. Justru dia kelihatan sangat ingin menghindar dari keluarga yang tentunya akan merasa amat prihatin jika setiap hari setiap saat harus melihat dirinya yang kesakitan. Saya setuju pada sikapnya itu, dan bermimpi seandainya saja masih ada kesempatan untuk berobat di tempat lain tentu saya akan melakukannya juga agar anak-anak saya mendapat kesempatan beristirahat dari kewajibannya merawat saya. Sebab nyatanya kanker itu memang menyedihkan dan merusak suasana saja. 

Yang mengherankan, pasien di buku itu tidak mengeluhkan rasa panas di tubuhnya. Sepertinya pasien-pasien lain pun begitu juga. Tapi entah apa yang salah pada diri saya. Rasanya saya hidup di rumah tanpa jendela, sehingga keadaan di dalam ruangan menjadi amat pengap dan panas. Sehingga ingin sekali saya memasang banyak penyejuk ruangan di sekitar saya. Namun saya tahu, itu hanya akan jadi pemborosan belaka sementara tubuh saya tetap saja kepanasan sepanjang waktu. 

Buku yang saya baca tadi juga menggambarkan proses kemoterapi yang berbeda pada masing-masing RS. Di tempat saya, pasien tidak menginap. Pemeriksaan penunjang dilakukan dari rumah sambil dirawat jalan. Ketika tiba harinya kemoterapi berlangsung, pasien yang hasil pemeriksaannya belum bagus tetap diizinkan tinggal di RS untuk dipulihkan terlebih dulu melalui pengobatan baik yang disuntikkan maupun yang ditelan. Sedangkan pasien yang saya baca bukunya menyebutkan, di RS tempatnya berobat pasien diharuskan tinggal di dalam RS selama kurang lebih dua malam. Semalam sebelum kemoterapi mereka menginap untuk diperiksa kesehatan secara umum sekaligus isi perut mereka dikuras sebagaimana yang biasa dilakukan terhadap pasien yang akan dioperasi. Lalu setelah selesai kemoterapi, mereka akan diinapkan kembali di kamar perawatan inap masing-masing untuk dipantau keadaannya sebelum diizinkan pulang ke rumah. 

Dengan membandingkan keduanya saya berkesimpulan masing-masing ada kekurangan dan kelebihannya. Dari segi ekonomis, tidak menginap tentu saja menekan biaya pengobatan. Akan tetapi pasien dengan sendirinya harus dibekali pengetahuan yang cukup tentang apa-apa yang harus dipersiapkannya di rumah supaya daya tahannya cukup baik menerima kemoterapi nantinya. Sedangkan kalau menginap di RS pasien tidak harus tahu apa yang harus mereka jaga, akan ada perawat yang mengingatkan mereka dan melakukan apa yang dibutuhkan. Tetapi tentu saja ongkos perobatan mereka jadi mahal. Saya menganggap cara di RS saya inilah yang praktis untuk diterapkan di Indonesia yang rata-rata masyarakatnya belum sejahtera. Yang penting ada kerjasama yang baik di antara para medis di RS dengan pasiennya sehingga penyulit pelaksanaan kemoterapi dapat diminimalisasi.

Begitulah ternyata efek kemoterapi pada saya. Memang terasa kejam, tapi ada yang lebih penting lagi, yakni kekejaman itu saya harap menghasilkan kesembuhan yang sempurna untuk saya. Saya cuma bisa berharap sambil terus melawan segala rasa yang datang semampunya. Ah, bisakah saya?

(Bersambung)
 

14 komentar:

  1. bunda julie...get well soon yaaa.. semangat..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih ya mbak Maya. Apa kabar? Semoga semua baik-baik dan sehat selalu ya.

      Hapus
  2. efeknya ke orang bedabeda ya mbak.. efek obat jadi bikin panas di badan mbakjulie, beda sama pengalaman di buku yang mbak baca..
    selalu semangat ya mbak walupun tersiksa, semoga lancar setelahnya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya beda. Tergantung jenis obatnya juga kan?!

      Hapus
  3. mugi diparingi sabar lan kiat...kanti mantun

    BalasHapus
  4. kadang efeknya berbeda pada setiap orang..
    kayak kemarin aku kena tifus, biasanya kan ada demamnya, ini aku ga ada sama sekali...paling cuma pusing banget..

    semangat terus ya, bun..*peyuk*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama ya, kita lawan deh penyakit nyebelin itu. Pelukan balik ah, sekarang udah sehat lagi belum? Hati-hati jaga makanan ya, saya ingat teman saya SMP ususnya sampai bolong.

      Hapus
    2. Kanker dan penyakit2 khusus lainnya memang mengubah pola hidup dan suasana hati bukan saja pasien tapi juga keluarganya ya Bu. Tapi yg saya simak (sy bisa mengetahui ini krn mereka2 termasuk Ibu, adalah para penyintas kanker yg pd dasarnya memang penulis/blogger) justru perubahan suasana itu yg diakibatkan oleh adanya anggota keluarga yg menyandang kanker malah menambah sisi positif diantaranya ialah kesadaran tinggi untuk berpola hidup lebih sehat. Penyakit ini membuat penderitanya bertambah ilmu, dan hebatnya (khusus para blogger) penyakitnya jadi ilmu yg bermanfaat untuk para pembacanya, sehingga bisa lebih aware dengan kesehatannya, salut :)

      Keep strong Ibuku sayang *peluk*

      Hapus
    3. Seharusnya sih begitu. Tapi anak-anak saya, masih aja suka jajan yang nggak bermutu deh. Susah juga untuk mengingatkannya.

      Saya memang menuliskan ini untuk pembelajaran banyak pihak sekaligus untuk dokumentasi keluarga saya sendiri nantinya. Pelukan balik ya...........

      Hapus
  5. assalamualaikum kak julie yang dikasihi

    Moga kuat semangat dan sentiasa positif untuk melalui rawatan kemoterapi..Mudah2an Allah kurniakan kesembuhan untuk kakak.

    BalasHapus
  6. Waalaikumussalam kakak yang cantik. Terima kasih atas segala doa-doa baiknya. Ya, saya inginkan nak sembuh kembali, tak mau macam kawan kakak alayarhamah kak Dahlia itu. Kakak apa kabar? Sihat sentiasa 'kan?! Itulah pengharapan saya bagi kakak.

    Peluk cium dari Indonesia.

    BalasHapus
  7. "kekejaman itu saya harap menghasilkan kesembuhan yang sempurna untuk saya. Saya cuma bisa berharap sambil terus melawan segala rasa yang datang semampunya. Ah, bisakah saya?"

    bisaaaaaaa....
    semangat bunda \^^/

    saya kalau minum jus alpukat seliter kadang juga sekali duduk bun, eh jadi curcol. tapi liat sikon juga bagaimana isi perut. kadang rasanya perut penuh sekali kadang engga :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, bisa tuh, alhamdulillah. Tapi juice alpukat saya malah nggak suka sih, jadi saya minum juice lainnya aja. Itu yang ada di foto jurnal lainnya yang di gelas dengan warna merah kan juice buah naga daging merah, buahnya kiriman kontak terbaru saya di Mp sebelum Mp tutup betulan. Di bulan tutupnya Mp saya masih dapat kontak baru tuh. Itu buahnya salam perkenalan dari Jawa Timur, alhamdulillah lagi deh.

      Hapus

Pita Pink