Powered By Blogger

Sabtu, 04 April 2009

NOSTALGIA RUANG GELAP DI DADA PEREMPUAN YANG TERHINA

"Kala ku mendengar suara murai berkicau
Lincah nian bergurau di atas dahan
Kuteringat saat itu kau di sampingku
Menunaikan sumpah setia dan cintamu.

Suatu saat kumendengar elang berbunyi
Jauh nian terpencil di puncak pohon
Hatiku tersentuh menahan air mata
Kuteringat pada waktu perpisahan."

Perempuan itu menyenandungkan lagunya. Lagu dari masa kecilnya, yang dijeritkan batin yang terluka dan hampa. Yang ditangiskan dari sekeping hatinya yang kosong, dibawa pergi kenangan lalunya.

Tak beringsut dia dari gua pertapaannya. Cuma matanya yang nyalang merayap-rayap menguak gelap. Yang ditimbulkan hujan. Dan badai dari harinya yang penuh duka.

Pada suatu masa, dia pernah muda. Pernah cantik dengan gairahnya yang membara.

Dia memang bukan perempuan biasa.

Di sebuah taman, dia ibarat bunga mekar kepagian. Yang harumnya mengoyak jantung lelaki yang bangun subuh.

Warnanya yang kemuning gading adalah seronce cempaka di sudut jendela. Di bawah bayang-bayang manusia yang memiliki rumahnya.

Perempuan itu harta simpanan yang tak terkuak. Oleh sembarang orang dengan tangan-tangannya yang kotor.

Dia Maha Dewi yang gemulai, lembut dan menebar cinta.

Perempuan itu rapsodhy yang dikungkung orkestra. Dari kamar musik orang tuanya. Keelokan semata. Bagai serangkai keindahan penawar gundah dan gulana jiwa. Bagi siapapun makhluk yang mendekatinya. Rapsodhy jiwa pengelana muda pencari rumah asmara.

~ 00000 ~

Kini perempuan itu terbaring, di lantai gua tanpa secarik kain. Menatap jauh lurus pandangannya ke sorga. Menyibak-nyibak Malaikat yang pernah berjanji menopangnya. Ketika dia melucuti harga dirinya. Di tangan lelaki yang merampas harkat kemanusiaannya. Dulu, tanpa ampun.

Yang ada hanya gelap. Mendungnya firdaus yang diciptakannya sendiri. Dengan mengirim air mata berdikit-dikit, ketika dia tidak pernah sudi menumpahkannya di dunia. Di dekat lelaki yang amat dibanggakannya. Dulu, suatu masa, di ketika itu.

Mendung itu menyibak kelamnya. Menampakkan seorang perrempuan muda yang tak lagi perawan. Lalu dengus-dengus nafas dan kucuran-kucuran air dari mata air di dasar hati lelaki yang merayunya. Dalam rajutan rajuk yang menjelma asmara. Sepasang kekasih yang terlarang.

Perempuan itu mengusap perutnya. Merabai dadanya. Dan menggigiti bibirnya. Menjalin jemari dalam kepalan doa, penghapus noda dan dosa mereka. Perempuan itu mengurai mayang dari matanya yang menyimpan duka. Perempuan itu kini sendiri.

Nafas cinta itu telah berlalu. Bersama harga dirinya yang terenggut bebas. Ketika ia meliukkan tubuhnya menarikan cinta. Di lipatan paha lelakinya dulu.

Astaghfirullah aladzim! Semoga Tuhan mengampuni dosanya.

~ 00000 ~

Di peluk malam dalam kelam gua dia tertidur. Tanpa mimpi, tak kenal lena. Hanya diam, bisu dan mati. Meratapi duka yang ditumpahkan padanya. Dari pelukan lelaki yang dulu merayunya dengan debar dada dan rona-rona cinta.

Sekeping hatinya menganga. Menebarkan bau dari luka yang meroyak.

Aku padanya. Menjemput dukanya dalam genggaman buku do'aku di sajadah panjang malam hariku

(Bishopscourt, ketika hawa panas menyembul di antara pokok-pokok kastanyet, April 2007)

2 komentar:

  1. Qq kok mboten mudeng Bunda? Wanita yang bertaubatkah?

    BalasHapus
  2. Baca satu-satu dari postingan yang pertama, judulnya "Perempuan Di Rumah Yang Terbelah". Nanti 'kan modeng.

    BalasHapus

Pita Pink