Powered By Blogger

Jumat, 03 April 2009

PAGELARAN PERTAPAAN DI RUMAH DUKA

Dua anak manusia terkungkung oleh keangkuhannya masing-masing. Berdiam di pertapaan sepi. Tinggalkan sifat duniawi, dan harkat manusia mereka.

Di pertapaan sepi, di sudut persimpangan jalan, di semak-semak bunga, cinta tak lagi ada terasa. Semua kesat, dan mengabur di pandangan yang buram. Selapis sutera hitam menjuntai, menggelapkan kejenihan nurani yang sirna dikoyak nafsu.

Hidup jadi bagai lakon di atas panggung. Dengan pemain-pemain pantomim yang asyik sendiri-sendiri membiarkan gelora jiwanya menyala-nyala sesuka hati Di bawah sana, anak-anak yang terlahir dari gua garba ibunda menatap iba, tajam tapi tak mengerti. Sedih campur bimbang. Seperti belati-belati yang mencari mangsa tak pasti.

~ 00000 ~

Sang perempuan menoleh ke belakang. Menembusi dinding gua yang sarat kelam.

Disana dulu, pada bagian belakangnya dia pernah ada. Menjalani hari-harinya dalam penjara waktu. Ketika dia terikat dalam sebuah komitmen perkawinan untuk kebersamaan.

Berkubang duka dia pernah ada. Melayari lautan cinta tanpa pernah keluar dari kungkungan ombaknya. Yang abadi menari-nari.

Lelaki itu penyebabnya. Setelah dia tahu bahwa lelaki itu bukan untuknya.

Lelaki itu bebas melantunkan sabdanya. Memberinya sederet aturan dan sebaris daftar dosa. Dengan semau hatinya.

Lelaki itu benci padanya. Pada setiap langkah ynag dilakukannya. Pada setiap pantun yang dibunyikannya. Pada dirinya yang tak lagi menjelma dewi. Di dalam tidur larut malamnya.

Keangkuhan lelaki itu adalah mahkota yang abadi. Dari kurun waktu ketika ia berupa merpati yang terbang bebas. Hingga ia jadi induk dari lagu cericit liirh di dahan pohon, yang ditumbuhkan cinta di halaman rumah mereka.

Perempuan itu pernah ternista. Tersiksa oleh apa yang tidak pernah dilakukannya. Tanpa hak untuk menjawab, tanpa ada pembelaan diri yang boleh disebut dari ujung lidahnya.

Di gua ini, perempuan itu melihat lagi. Dirinya yang dilucuti dari cinta dan ditelanjangi semena-mena. Oleh lelaki yang dulu menjemputnya dengan mahar janji surgawi. Lelaki itu yang kini menistanya.

Kini dia ingat lagi. Betapa malam itu dia membulatkan diri jadi milik lelaki itu. Di ranjang kapuk yang nyaris lapuk. Tanpa menuntut apapun. Hanya sebatas dengusan nafas yang menyentuh gendang telinganya.

Dulu perempuan itu begitu percaya dan dia telah bersyukur. Akan wujud cinta yang amat sederhana, layaknya tembang-tembang keroncong di piringan-piringan hitam tua.

Begitu melodius namun penuh bermakna dan membiuskan jiwa yang dilamun cinta.

Dulu, itu dulu sekali. Pada sebuah masa, ketika dunia belum dewasa. Lalu berubah tua. Dan menjelma manusia durjana.

~ 00000 ~

Lelaki itu mendongak ke angkasa. Mencari rembulan dan bintang yang mengangguk-angguk keletah.

Dia butuh mereka, untuk menuntunnya mencari pembenaran. Atas sangkaan yang pernah dituduhkannya pada sang perempuan. Jati dirinya sendiri.

Malam, oh gulita semata yang ada di bumi. Tak sepercik sinar, selarik embun datang ke permukaannya. Cuma dingin dan gelap yang kelam.

Lelaki itu terus mencari. Dan memutar kembali ingatannya mencari pembenaran diri.

Perempuan itu ada di sana. Pada singgasana yang berlainan rupa. Perempuan itu jadi makhluk asing untuknya, terlibas oleh anak-anak wayang yang melintas di kaki-kakinya. Dalam balutan sampur warna-warni dan topeng tembaga.

Lagu perempuan itu adalah alarm kematian yang bergaung cepat. Tinggi mengerit-ngerit menggigiti jiwa. Memekakkan telinga dan membutakannya. Bagai sederet Epitaph.

Pada hamparan padang yang lain. Wanita-wanita bergigi emas bersanggul konde bergoyang hilir-mudik. Mencabik-cabik hatinya, menoreh-noreh lukanya.

Bagai air mawar di atas secawan madu. Adalah obat ternikmat yang ingin dihisapnya.

Lelaki itu mabuk kepayang, hingga menulikan apa yang tak harus ditutupnya. Membutakan apa yang harus dilihatnya. Lelaki itu terserang durjana semata.

Allahu Akbar! Tuhan Maha Bear!

Maka dia ada diguncangan ombak. Yang memadati samudera kehidupannya. Kemudian melemparnya jatuh sendiri. Ke kedalaman bumi yang kekal.

Maka, adakah kini dia sadari? Bahwa hidup adalah sederet lakon. Yang butuh lelaki-lelaki setia dan perempuan bijak?

Bulan berkalang duka. Di balik bukit batu. Adakah hawa surga akan menciumnya?

Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.

(Ketika luka menjeritkan nyeri di suatu tempat, Bishopscourt, April 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pita Pink