Powered By Blogger

Kamis, 02 April 2009

DARI BUMI YANG TERBELAH : PERGULATAN MELAWAN KEANGKUHAN

Bumi gonjang-ganjing. Egoisme dua anak manusia meluluhlantakkan kebahagiaan. Mengusir kebanggaan yang dulu dipupuk tinggi agar menjulang menjelang mega keberkahan.

Bumi gonjang-ganjing adalah prahara tak bertuan, milik ibu dan bapaknya yang dikuasai syaithon.

Hati itu menguncup pedih. Mengunci diri di dada yang sempit.

Senyum itu tak lagi cerah. Tanpa kilau mentari dan kilasan angin di sudut-sudutnya. Mata itu begitu redup. Laksana sekawanan awan menggendong hujan. Berat bergelayut siap menangis. Menangiskan kesedihan yang datang bagai mimpi yang tak terbayangkan.

“Innalillahi wa innailaihi roji’un. Kami ini milik Allah semata, dan hanya kepada Allahlah kami akan dikembalikan.” Terucap kepasrahan dari sepasang bibirnya. Bibir yang belum pernah digunakannya untuk berkata buruk. Bibir yang penuh kehangatan cinta dan kasih sayang.

~ 00000 ~

“Aku tak pernah minta dilahirkan. Aku tertakdir sebagai korban nafsu birahimu. Tak ada lagi kini sayangmu padaku, makhluk yang tak pernah tahu apa-apa?”

Terlontar tanya dari hatinya kepada kedua insan dewasa yang telah menyebabkan dirinya lahir di dunia ini. Yang telah meluncurkannya dari perut jannah yang menjatuhkan Adam dan Siti Hawa dahulu ke bumi.

“Kau telah menelan buah khuldi itu. Kau melanggar buah terlarang. Kau penyebab segalanya.”

Teriakan itu begitu keras, menggema memadati relung hati, menjalari jantung yang pernah berdegup sangat kencang. Dia merentangkan tangannya. Menghalau segala makhluk yang masuk mengganggu bapak dan ibunya. Dia maju menghadang, dengan mata memerah saga dan muilut membuncah busa. Dia menangis kuat-kuat, meledakkan dadanya di tengah rumah mereka.

~ 00000 ~

Kedua budak-budak cinta itu saling berpagutan. Memaknai anaknya dengan kemarahan yang saling membakar.

Manusia dewasa selalu merasa sebagai Maha Dewa. Yang unggul dan serba ingin dibenarkan. Keji melindas harga diri anak-anaknya sendiri. Makhluk-makhluk yang lahir karena nafsu birahi mereka semata.

“Takdir adalah bagian dari keimanan yang harus kau yakini, anakku. Terimalah dia apa adanya.”

Si ayah membelah jantung anaknya. Dengan sepagut gigitan yang pedas.

Di balik punggungnya, si ibu meratapi pedih, seraya mengusap-usap anak rambut itu dengan kelima jemarinya silih berganti.

“Bukan maksudku melukaimu, sayangku. Ayahmu benar belaka. Takdir itu tak bisa dielakkan. Songsonglah ia dengan kelapangan hatimu, bukan dengan kemarahan yang menyala di dalam dadamu.”

Kembali si buyung budak cinta mengaum garang.

“Ya Tuhanku! Sungguh aku berlindung kepada-Mu dari segala godaan syaithon yang terkutuk dan mimpi-mimpi buruk!”

Lalu tangannya bersedekap di dada. Debur jantung itu begitu nyata, menembusi rongga-rongga kulit arinya, menjalarkan panas dan rona merah ke segenap permukaan wajahnya. Juga pada lekuk liku mata dan hidungnya. Lelaki muda itu begitu terluka.

Bumi gonjang-ganjing. Tiada purnama empat belas di belantara malam berbintang. Hanya gelap dimana-mana. Di seluruh permukaan bumi yang dipijaknya.

Lalu desir angin itu, bagai melagukan kematian dengan seruling bambu. Yang kerap ditemukannya di sisi-sisi sungai di kampung ibunya. Lelaki muda itu begitu tersayat.

~ 00000 ~

Dua makhluk Tuhan telah melampaui harkat dirinya, kembali kini mereka bagai seonggok daging tak bernyawa. Tak berotak, tak kenal malu.

Mereka saling berebut, bergelut melucuti diri. Membiarkan dada mereka terbuka menjaring luka.

Sang lelaki tetaplah teguh. Pada hasrat kelaki-lakiannya yang ingin menguasai perempuan.

Perempuan itupun memaparkan lukanya, yang dulu ditorehkan sendiri oleh bapak dari anak-anaknya. Yang pernah meminangnya dengan segumpal senyum, sederet puisi serta seonggok mawar yang mengandung romantisme.

Dua makhluk Allah tak lagi mengenal malu, di hadapan buah-buah cinta mereka.

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya nikmat yang telah Kau anugerahkan, dan lunturnya keselamatan yang telah kau berikan kepadaku. Dan aku berlindung kepada-Mu dari  musibah dan murka-Mu yang datang dengan tiba-tiba.”

Lelaki muda itu berseru lagi. Dengan seluruh daya yang tersisa diisak tangisnya, lelaki yang penuh duka.

Aku berdiri di dekatnya. Membaui semua lelehan keringatnya. Mengecup semua cucuran air matanya. Aku tetap bersamanya. Berjuang dalam doa-doa malam mengharap ridha Tuhannya untuk kelanggengan biduk yang dibangun ayah-ibunya.

 

(Tertangkap di Bishopscourt, Maret-April 2009)

8 komentar:

  1. buyung, jangan kau lelah berdoa untuk orang terkasihmu, karena doa seorang anak yang sholehlah yang akan di ijabah olehNYA.

    BalasHapus
  2. tidak gampang mengawal emosi ya Bu, nafsu, amarah, senang, bangga, sombong..etc...salut sama ketekunan Bu Julie menulis di blog ini...semoga sukses

    BalasHapus
  3. Ya tante Kris, nanti saya bisikan sama Rizqi. Terima kasih udah diingetin, katanya gitu. Tapi tolong juga dong tante Kris bantu doa terus.

    BalasHapus
  4. Iya kak Lia. Apalagi pada sepasang manusia yang bermusuhan, aduh, pusing lihatnya, soalnya mereka pada slaing bercakar-cakaran dengna segala nafsu angkaranya.

    BalasHapus
  5. Hmmmmm, naon La? Kintun pidu'a pikeun anjeunna we nya. Nuhun sateuacannna.

    BalasHapus
  6. sama namanya dengan anak tante niyyy / Rizky yang ini anak bunda Amy yaaa..., kita berdoa bersama yaaa...agar kita bisa selamat dunia dan akhirat, amin.

    BalasHapus
  7. Terima kasih tante, bisik Rizqi di ujung sana dengna suara timbul-tenggelam diterbangkan angin......... Amin, amin, amin. Duh, tante Kris baik sekali *budhe Julie jadi berkaca-kaca membayangkan betapa Rizqi sangat berharap*

    BalasHapus

Pita Pink