Powered By Blogger

Kamis, 30 Oktober 2008

"SI BEBEK JELEK" : KILAS BALIK ANAKKU IX

Perempuan desa yang terlempar oleh nasibnya ke dalam genggamanku tentulah perempuan yang mempunyai perasaan yang sama dengan diriku. Tak pernah membayangkan akan sampai disini, di belahan bumi yang lain yang namanyapun belum terekam di otaknya dengan baik.

Perempuan itu sama denganku yang hanya pernah berencana sampai ke negara tetangga di ujung mata. Di belakangnya sana ada buah hatinya yang mengharapkan sering berjumpa, setidak-tidaknya berkirim kabar. Anak yang dikasihi serta suaminya di kampung halaman, penahan langkahnya untuk mengarungi angkasa luas yang jaraknya tak lagi terbilang.

Akupun punya Andri yang dulu melepasku ke Singapura tanpa pernah tahu bahwa perjalanan karier ayahnya akan menembus Republik Afrika Selatan ini. Ketika kami berpisahan empat tahun lalu, dia menegarkan diri untuk menjaga rumah sekaligus mencoba mencari peruntungannya sendiri terlepas dari kami. "Aku adalah tuan untuk diriku sendiri. Aku menetapkan bahwa Bogorlah tempatku yang sesungguhnya. Tapi ibu jangan khawatir, aku akan tetap bersama ibu dalam seluruh doa dan usahaku," katanya memberi alasan sebelum aku mengangguk mengerti menyetujui keinginannya untuk ditinggal.

Berbeda dengan Andri, Harry justru ingin tetap bersama kami sekalipun kepindahan kami ke Singapura adalah dua bulan menjelang kenaikan kelas.

Air muka itu begitu muram ketika Garuda Indonesia selesai menimbang bagasi kami. Digenggamnya tanganku erat-erat. Disandarkannya kepala yang ditumbuhi rambut lebat itu ke dadaku. "Aku pasti kangen ibu," rengek anak bungsuku,

Andri menariknya menjauh dan membisikkan sesuatu. Di dekapnya tubuh yang jauh lebih tinggi darinya itu. Sekalipun berperawakan lebih kecil, tapi jiwa anakku tak kerdil. "Adik, ingat. Dua bulan lagi kau pasti berkumpul bersama bapak-ibu," kudengar dia meneteramkan adiknya. Tangan itu mengusap lembut pipi si bungsu. "Kita hadapi semuanya bersama. Aku ada disisimu dan akulah yang bertanggungjawab atas semuabya, atas dirimu juga," katanya lagi menyolok mataku menimbulkan rasa pedih disana. Serpihan permata jernih menggantung pada pelupukku siap membasahi pipiku sendiri. Kugigit bibirku pengunci haru.

-ad-

Andriku menjadi dewasa karena ditempa keadaan. Dia terpaksa memutus sekolahnya di kelas 2 SMP jurusan Latin yang diraihnya dengan susah payah di "Athenee Royal Cromelynx", Brussel, Belgia pada awal tahun 2002. Suamiku kembali ke Indonesia tidak pada akhir tahun ajaran.

Andriku menangis keras. Dia mengutuki perjalanan karier ayahnya, Dia menyalahkan kami yang telah keliru memilih jalan hidup. Maksudnya jalan hidup yang berbeda dari keinginannya.

-ad-

Ketika dia tengah menikmati kebahagiaannya di kelas Latin yang membutuhkan perjuangan, kami merasa berdosa memaksanya pulang. Ayahnya mengupayakan segala cara agar dia dapat tinggal sementara hingga kenaikan kelas di Belgia sementara aku juga terus melanjutkan pengobatanku yang baru dimulai.

Harry memilih ikut pulang. Karena itu kami pindah menyewa sebuah studio untuk kami berdua tak jauh dari kantor suamiku di Belgia. Andri pergi-pulang sebagaimana dulu dengan menumpang angkutan kota.

Di kamar kami yang tak seberapa besarnya itu aku menghabiskan waktu sendiri, Sekali-kali aku masih menjalani rutinitasku di Dharma Wanita Persatuan atas kehendak Ibu Duta Besar sebagai Penasehat organisasi kami. Berlatih kulintang dan menjaga serta mengawasi Kantin Pegawai yang entah mengapa sejak dulu dibebankan kepadaku, menjadi pengisi waktu luangku.

Bersama Andri kuhabiskan senja hari di muka pesawat televisi sambil menyantap pangsit goreng yang kami beli di toko. Tayangan favoritenya adalah "Thalasa" sebuah programa tentang alam laut dan sekitarnya, "Enak ya bu pangsitnya," katanya selalu sambil mencocol sambal dari piring keci berbentuk ikan yang kami temukan di sebuah toko di dekat studio apartemen kami. 'Seperti buatan ibu biasanya," sambungnya lagi sambil terus mengunyah. Kentara sekali bahwa dia sedang mencoba mengusir gelisah hatinya atas status ijin tinggal kami yang tidak pasti. Pangsit berisi kepiting, udang dan rebung itu habis dikunyahnya tanpa jeda.

Aku mengangguk sambil ikut makan dari piringnya, sepiring berdua. "Ibu susah membuat sendiri sekarang, peralatan dapur ibu tak memadai," kataku berkilah. "Ya, nggak 'pa'pa, yang penting enak," jawabnya lagi sambil merapat ke tubuhku. Matanya kelihatan menatap televisi dengan pandangan kosong. Bagaikan hanya ingin merasakan kesejukan samudera biru di layar sana.

Lain kali dia melabuhkan channel televisi kami ke stasiun Perancis yang menayangkan hiburan cabaret. Perhatiannya sangat besar bahkan kadang-kadang memaksaku untuk ikut menyimak bersamanya. Mulut itu turut menyenandungkan lagu dalam cabaret selagi matanya menatap layar tak berkedip.

-ad-

Kebersamaan kami semakin erat jadinya, hingga suatu hari dia menarik diri dariku. Tidur menjauh memisahkan diri di sofa waktu aku melontarkan kegalauanku soal ijin tinggal kami. "Bapak telah menemukan sekolah yang bisa menampungmu mas," kataku membuka pembicaraan. "Sekolah apa?" tanyanya tak mengerti benar. Bola matanya bulat mengarah padaku.

"Ada Sekolah Perancis di Jakarta yang bisa menampungmu andaikata kita pulang sekarang," jelasku hati-hati. "Pulang sekarang?" tanyanya tak percaya dengan mata terbelalak menghunjamku.

Aku mengangguk. "Ya, kau tahu kita tidak punya ijin tinggal yang resmi sekarang ini. Dan ini akan membahayakan kita sendiri,' ungkapku mencoba menjelaskan.

Dia menjauhkan mukanya dan memandangku tak mengerti. "Bukankah dulu bapak bilang kita bisa tinggal disini sampai kenaikan kelas empat bulan lagi? Bahkan bapak pernah menawariku menyelesaikan SMP disini?" tanyanya tak percaya.

Kembali aku mengangguk. Menelan ludahku sendiri adalah salah satu upaya mengusir kegalauanku juga. Lalu serentetan tanya-jawab yang lebih berupa penjelasan dariku mengalir tanpa henti.

Malam itu jadi malam pertama ketegangan kami. Dia tak lagi mempercayai kami orang tuanya, serta aku tak bisa lagi membuka mata hatinya. Dalam keadaan demikian kami seperti hidup dalam sepi. Bersama-sama tapi nyaris tanpa suara. Dia tenggelam dalam pelajaran atau kebisuannya di muka televisi. Dan aku juga dalam bacaanku serta kerajinan tangan yang kucoba untuk kukerjakan sekedar penghalau sepi, tapi tak pernah selesai.

Malam-malam dan hari-hari berikutnya adalah pertengkaran sengit yang sering membuahkan air mata dan permusuhan pada diri anakku. Sementara itu sakit pada kandunganku justru terasa semakin menghunjam menenggelamkan aku di atas kasur yang kutiduri bersamanya. Aku pada punggungnya, dan dia pada punggungku.

-ad-

Begitulah kiranya perempuan yang sekarang dalam dekapan keluargaku ini. Sama galaunya menahan segala perasaan seperti diriku dulu. Di hatinya ada kecewa dan rindu yang berbaur menjadi kesedihan.

Maka setiap kali aku berpapasan dengannya dan melihatnya kusut masai, ingatanku terlempar selalu kepada Andriku. Juga pada kenanganku bersamanya, di suatu masa di awal tahun 2002. Masa yang sudah selayaknya jadi kenangan bagi kami, sebab Andriku kini tak akan pernah lagi mau mengalaminya. Namun dia tetap ada disini, di hatiku selalu.

24 komentar:

  1. duh jadi ikutan sedih...
    tapi enak kali yah kl pindah2, bukan antar pulau lagi tapi antar benua.. wow..!

    BalasHapus
  2. begitu rasanya ya, Tante? mungkin sampai saat ini aku masih seperti Andri pada masalah yang berbeda. sebenarnya bisa dibicarakan tapi kok selalu saja ada jurang pemisah yang tak bisa kamu tempuh kecuali dengan diam.

    aduh, Tante. tak heran ya para ibu sering sakit karena anaknya kayak aku ini, ndableg ra iso dikandani -- sak karepe dhewe.

    *nangis aku*

    BalasHapus
  3. Cape mbak Ratih. Capek badan, capek hatinya.
    Barang pindahan belum semua selesai dibongkari, tiba-tiba ada aba-aba pindah lagi. pergaulan belum erat, udah mesti bubar jalan cari teman lagi. Makanya Si bebek Jelek minta ijin jaga rumah pada akhirnya. Hehehe.......

    BalasHapus
  4. Aku ya bingung arep njawab apa.........

    BalasHapus
  5. Dik Andri begitu dewasa dan kaya jiwa ya Bunda...
    Apa resepnya agak anak-anak kita bisa menjadi anak yang kaya jiwa seperti ms Andri, Bunda...???

    BalasHapus
  6. Tiap pilihan pasti ada konsekuensinya ya Bunda... Termasuk ketika kita seperti 'dipaksa' untuk menjalani pilihan itu... tapi syukurlah masa berat itu sebagian besar telah bisa dilalui dengan cukup baik (setidaknya menyimak cerita Bunda selama ini)...

    BalasHapus
  7. bener juga kata iklan, dewasa itu pilihan. Salam buat mas Andri yah Tante :)

    BalasHapus
  8. Oh begitu ya? Saya dulu tidak secara khusus mendidiknya karena saya bukan sarjana pendiidikan dan bukan pula sarjana psikologi.

    Tapi sejak di dalam kandungan saya, saya sudah mengajaknya berkomunikasi dengan cara memperdengarkan lagu-lagu kesukaan saya (umumnya lagu-lagu lebut mulai dari klasik hingga keroncong asli) sambil mengajaknya bicara dan menepuk-nepuk kandungan saya.

    Pada sektu saya hamil adiknya demikian juga. Dia saya libatkan berperan mengasuh dan mengasihi adiknya. Saya bawa periksa kehamilan dan setiap dokter menempelakan alat pendeteksi jantung, saya bilang sama dia, "dengar 'kan adik bunyi di dalam? Dia mau bilang hallo padamu, tapi adik 'kan belum pandai bicara. Ayo mas yang bilang hallo adik." Dia terus emnempelkan tangannya ke perut saya.

    Begitu adiknya lahir imirnya sudah 3 tahun lebih sebulan, jadi dia sudah ngerti bahwa adiknya adalah sosok yang belum bisa apa-apa tanpa bantuannya. Saya bbilagn, "mas harus bantu adik ya, supaya adik bisa jadi seperti mas dan cepat bisa diajak main." Kalau adikny anangis saya suruh panggilkan saya atau suruh periks apopoknya. Kemudian waktu sy ganti popok adiknya dia saya minta tolong ambilkan talk, baby cream dsb. Habis saya susoni atau saya dulangi, dia saya suruh ngajak ngobrol. Saya ada juga di dekatnya, sebab namanya anak-anak, kalo gemes kan suka dicolok-colok matanya. Hahaha......

    Waktu adiknya SD kelas 1 saya sekolahkan di sekolahnya dia (untung keterima). Saya minta dia ngawasi adiknya di sekolah. Jadi dalam semua proses berssama adiknya dia saya libatkan. Begitu aja sih, nggak ada kiat apa-apanya.

    Oh ya, mereka dapat lahan sendiri sebagai rumah tinggal mereka. Rumah saya di Indonesia di BTN jadi kami buat bertingkat. Mereka mengokupasi lahan atas dengan jatah punya kamar masing-masing tapi satu kamar belajar, satu kamar mandi dan stu gudang bersama. Dan dia sebagai yang tua merasa "berkuasa" atas milik bersama itu. Sehingga apa-apa harus "taren" dulu sama dia. Di rumah mereka itulah mereka main bersama dan menyelesaikan segala-galanya bersama.

    BalasHapus
  9. Dua tarikan (mungkin lebih, sehingga cukup complicated) yang sama kuat.....sama wajib, sama menyedot energi, menggoyah emosi, tapi sama menjanjikan sesuatu berkah...
    (Bu, ada yang hampir sama dalam banyak tulisan kaum ibu, wanita umumnya...yaitu sesi waktu hampir sama kebanyakan jarang menyelipkan soal yang satu ini, tanggal bulan waktu dari apa yang terkisah...he he he puntennnn..atau memang saya yang kurang jeli menangkapnya ? Bisa jadi juga...punten deui...)

    BalasHapus
  10. Ya, alhamdulillah mbak Leila. Kami sudah mulai menuntaskan fase-fase yang harus kami lalui dalam kehidupan ini dengan selamat. Tinggal menata masa depan si bungsu. Dia dalam keadaan tanggung. Sekolah di sekolah Amerika yang akhir tahun ajarannya beda dengan di Indonesia. selagi anak-anak kelas XII ujian, dia masih belajar. selagi test SPMB dilaksanakan, dia baru mau pengumuman kelulusan.

    Tapi akan kami sikapi dengan mencari PTS yang masih buka atau home schooling setahun supaya dapat ijazah Indonesia. Tahun depan baru coba ikut SPMB. Dia menerima semua ini dengna pasrah karena dia sadari kekeliruannya sendiri. Waktu mau pindah kesini saya bilang dia mau saya pulangkan ke Bogor, tapi dia nggak mau. Ya sudah, katanya sekarang sudah jadi resiko ya harus dihadapi. Untung dia tenang, jadi membantu saya untuk tenang juga. Yang gedandapan justru bapaknya. Tapi sedang saya upayakan untuk jadi tenang juga.

    Terima kasih ya mbak Leila udah bersedia mampir terus disini.

    BalasHapus
  11. Ho gitu ya, iklan apa tuh mas? Iya insya Allah salamnya dibaca sendiri sama da suatu hari nanti. Sekarang dia lagi belajar buat UTS dan ek warnet cuma sekedar bikin PR yang katanya nggak habis-habis.

    Selamat mengayuh biduk karier ya mas Andi, semoga dapat asisten yang cocok supaya bisa sampai ke pelabuhan yang bagus.

    BalasHapus
  12. Ini kisah dalam serial rangkai-berangkai kang. Jadi memang saya nggak nyebut tanggal. Soal si papih kita juga ada di salah satu blog ini tapi bukan kilas balik anak saya judulnya. Pokoknya ada saya kisahkan betapa papih berjasa mewarnai hidup kami jadi semarak gitu.

    Terima kasih ya kang sudah berkenan menjalin silaturahmi kembali dengan kami. Semoga nggak akan terputus-putus lagi. Sampai jumpa suatu hari nanti di kampung.

    BalasHapus
  13. Amin, InsyaAllah....
    Maksudnya Papih Gn. Batu tea begitu ? Ok nanti kita ubek ubek dongengnya deh...
    Nuhun..

    BalasHapus
  14. Ya. Silahkan trace ke "Aku Mengadu Padamu, Mama". Disitulah memory keluarga kami bersama papih.

    BalasHapus
  15. ehm bu julie ,,, saya ampe gak bisa comentar yg ada nyesek dihati ini persis yg saya alami 2th yg lalu cuma beda versi aja bu,,, saat kami pulang bersama yoga dan harus meninggalkan bpknya

    BalasHapus
  16. saya juga gak bisa membayangkan kalo suatu saat nanti harus berpisah dengan anak-anak, pasti rasanya gak enak ya bu.

    BalasHapus
  17. Kenapa waktu itu mesti pulang dik? Ceritain coba kayak aku bikin cerita begini. Biar bisa jadi kenang-kenangan untuk keluarga sekaligus pembelajaran untuk temen-temen di Mp. Mau nggak? *kepengin........*

    BalasHapus
  18. Siap-siap ya bu Yudi kalau anak-anak sudah mulai dewasa kita pasti mengalami. Aku baru selesai posting serial ini jilid ke X tuh seperempat jam yang lalu.

    BalasHapus
  19. hehehe bu julie,,,, intinya sih kalau saya hamil anak ke2 dan banyak pertimbangan

    BalasHapus
  20. Bu, KOREKSI...

    Peristiwa itu pada awal tahun 2002, bukan 2003.

    BalasHapus
  21. Hehehe....

    Saking pedihnya ya masa-masa itu sampai lupa tahun kejadiannya....

    JGN SAMPAI TERULANG LAGI AH.........

    WHAT A SAD STORY & HISTORY...

    WHAT A SAD PAIN

    JGN SMPAI KITA TERSAKITI LAGI KYAK GITU..... SO PAINFULL

    BalasHapus
  22. MEMBACA POSTINGAN CERITA ITU,

    rasanya hati ingin marah.......

    BalasHapus
  23. Dear darling, maafkan ayah-ibumu yang telah menjalani kodrat manusiawi kami yang tak sempurna. Hidup ini hanya milik Allah. Karenanya, kita sebagai anak wayang tak mampu berbuat apa-apa untuk mengaturnya. Kita hanya menyerahkan diri ke tanganNya belaka, dan mencoba menjalani sebaik mungkin. Soal bagaimana "laju larinya" kendaraan kita, hanya Allahlah yang bisa menetapkannya.

    Terimakasih atas doa pengharapanmu. Insya Allah kita berkumpul kembali segera setelah bapak menuntaskan kewajiban dan tanggungjawabnya ya nak.

    Selamat belajar dan merintis masa depanmu. Kamu selalu disebut dalam doa-doa ibu yang nyaris tak ada jeda setiap hari. Peluk hangat ibumu.

    BalasHapus
  24. Udah dikoreksi tuh. Iya ya, makanya kata adik ibu jangan suka menyebut diri nini-nini, jadinya kan tua beneran plus pelupa lagi! Halah!

    BalasHapus

Pita Pink