Vision, nama Panti Asuhan Muslimin itu memang bukan barang baru untukku. Sekilas pernah kubaca dari semacam booklet yang aku lupa entah dulu kudapatkan dimana. Maka ketika sekretaris suamiku yang trengginas itu menyebutkan nama Vision dalam daftar Panti Asuhan Muslimin yang kuminta, aku langsung menyilahkannya untuk menghubungkan kami.
Letaknya di tengah kota Cape Town, di dalam barisan perkampungan muslimin di Gatesville, salah satu kantong umat muslim di kota bekas cengkeraman kuku-kuku pemerintahan apartheid ini. Sebetulnya ini kunjungan kerja Dharma Wanita disini. Tapi aku menganggapnya sebagai suatu kunjungan kekeluargaan diriku, maklum aku dari dulu terobsesi ingin menjenguk anak-anak terlantar itu dimanapun mereka berada. Bagiku anak-anak panti asuhan adalah anak-anak yang layak dilimpahi perhatian, maklum mereka berada disana bukan atas kemauannya sendiri, melainkan oleh paksaan nasib.
Di benakku tergambar anak-anak kurus kering dengan mata cekung yang tak terawat sempurna. Juga kulit-kulit kusam akibat kurang gizi dan sejenisnya. Maka kuputuskan untuk sedikit berbagi kebahagiaan dengan mereka menjelang tibanya Idul Adha sekaligus tahun ajaran baru bagi rakyat Republik Afrika Selatan.
-ad-
Kami lima orang ibu ditemani Maya sekretaris suamiku duduk manis di dalam van yang dikemudikan pak Asep suami salah seorang diantara kami. Di bagian belakang beberapa buah kardus berisi buah tangan telah kami muat dan kami bungkus rapi. Sore yang mulai dipadati kendaraan orang pulang kantor dihiasi sinar mentari hangat yang menyemburatkan keringat di musim summer. Sebagai asisten pemandu jalan duduklah Bu Asep di samping suaminya membaca denah lokasi. "Ambil route yang ke arah Hannover Park ya pak," tegasnya ketika suaminya mulai ragu mengarahkan mobil. Di belakangnya kami bicara sendiri-sendiri pasrah nasib pada pasangan itu.
Di perempatan lampu merah Maya kedengaran berseru dari jok belakang untuk mengarahkan mobil ke kiri. "Di dalam situ pak," serunya mengingatkan. Konon katanya dia pernah bertandang ke rumah seseorang kenalan di daerah panti itu. Perlahan mobilpun dibelokkan ke kiri. Deretan rumah-rumah penduduk yang bersih teratur mirip rumah-rumah di perumahan BTN kita memagut mata menatapnya. Rumput halus tumbuh di halaman muka yang sempit. Bahkan ada yang langsung disemen sampai ke pintu masuk rumah. Warna-warni rumahpun sangat cerah sekalipun bukan warna ceria yang menyolok pandangan.
Terbacalah tulisan "Jackson Crescent" pada papan penanda jalan di sebelah kanan mobil kami. "Ya, ini dia tempatnya," kata Maya dan Bu Asep berbarengan. Di dalam sana pada ujung belokan di jalan yang menyerupai letter U itu nampak sebuah rumah megah dengan sederet mobil bagus serta para perempuan paruh baya berdiri di terasnya.
Pak Asep membuka kaca jendelanya dan menanyakan dengan takzim apakah betul rumah itu bernomor satu. Perempuan yang disapa membalas dengan mengiyakan, sekalipun Maya sudah mengingatkan untuk menanyakan dengan menyebut nama Vision Children's Home saja. Sekejap itu juga kami turun beramai-ramai. Dan aku mulai menyapa akrab sambil tak lupa memeluknya dengan salam alaikum yang tulus.
Perempuan itu menjawab penuh hormat. Senyum mengembang di bibirnya telah kuartikan sebagai pertanda undangan masuk ke rumah. Lalu aku mengusap rambut keriting seorang bocah cilik yang berlari menggelayut di tubuhnya. "Ini anak Ibu?" tanyaku. "Bukan, ini salah satu cucu saya," jawabnya manis. Dipersilahkannya kami duduk sambil ditanya asal-muasal kami. "Dari Malaysia?" tanyanya minta penegasan. Kutelan ludahku. Lagi-lagi salah tafsir, batinku. Kujawab tegas, "bukan, kami perempuan Indoensia, suami kami bekerja untuk pemerintah kami disini," lalu kududuki kursi tamu yang empuk di dalam rumah megah berdinding beton yang kelihatan kukuh dan nyaman itu. Hawa dingin memancar layaknya dari ruang berpendingin.
Bermunculanlah satu-persatu anak-anak muda dan orang dewasa dari dalam rumah, mengakibatkanku langsung menuju puncak acara. "Berapa anak asuh ibu semuanya?' tanyaku pada perempuan yang menerimaku tadi selagi mata kawan-kawanku berjalan menyusuri ruang. Dia menyebutkan semuanya berikut cucu-cucunya. Rasanya tak sebanyak informasi yang kudapatkan dari Maya. Maka kulirik Maya yang juga kebingungan.
"Maaf," sela Maya hati-hati, "apakah kami tidak keliru masuk rumah, inikah Vision Children's Home yang kami kontak minggu lalu?" Perempuan itu sempat ternganga sebentar sebelum akhirnya menyadari keadaan. "Oh, masya Allah, bukan. Ini rumah tinggal kami anak-beranak. Ini adalah kali kesekian orang keliru masuk," jawabnya sambil tersenyum mengakibatkan kami juga tersenyum sendiri menahan geli campur malu.
Kami pamit mundur sambil menyatakan maaf dan penghargaan kami kepada mereka yang telah dengan begitu mudah mempersilahkan kami memasuki rumahnya. Kedengaran tawa tertahan disana-sini disertai ucapan senang bertemu dengan saudara seiman secara tidak sengaja. Lalu kamipun masuk kembali ke mobil menuju ke arah yang ditunjukkan kenalan baru kami supaya sampai di Vision. Maya membela diri dengan sahutan enteng, "maklum orang kaya rumahnya luas. Jadi saya kira anak-anak itu diasramakan di bagian loteng rumah yang kelihatan luas tadi," diikuti derai tawa lepas kami.
-ad-
Rumah nomor satu itu ada di ujung lain dari jalan berbentuk U tadi. Tulisan Vision jelas tertera di dinding kuning gading yang sangat mirip dengan rumah pertama. Sepasang suami istri berumur empatpuluh tahunan menyongsong kami dengan tawa yang cerah. Anak-anak kecil hilir mudik di ruang tamu sempit yang didominasi meja-kursi sederhana itu. Tanpa basa-basi panjang sehabis kuperkenalkan teman-temanku kami langsung dibawa berkeliling rumah.
Kamar-kamar sempit teratur rapi dengan ranjang-ranjang susun dua-tiga tingkat mengisi sebagian besar lahan pribadi yang sesungguhnya tidak luas itu. Ibu Pengsuh Panti memperlihatkan isi lemari mereka yang dipenuhi baju dan perlengakapan pribadi. Tatanan rapi menyolok mataku. Jauh lebih rapi jika dibandingkan kondisi di lemari dan kamar kami di rumah. Anak-anak kami memang nampaknya terlalu manja, terlalu bergantung pada kebaikan orang lain semata.
Ruang belajar memanjang terdapat di sisi kiri rumah berdempetan dengan ruang kerja pengurus panti yang dididirkan pada tahun 1991 itu. 33 orang anak kini berada dalam asuhan mereka, dewasa dan balita, si kecil yang sejak tadi berjalan hilir-mudik mendekati kami mengiringkan si ibu yang dicintainya Soraya Jacobs yang secara alamiah belum pernah melahirkan seorang anakpun. Pancaran kasih sayang nampak di bening mata Ibu Jacobs yang bertubuh sintal dengan kulit bersih itu.
Anak-anak nampak duduk berjejer berhadapan di meja-meja itu. Buku dan alat tulis di tangan mereka. Di sebelahnya lagi sekelompaok bocah perempuan membentangkan kaus kaki sesuai instruksi seorang ibu muda yang cantik berambut keemasan hasil semiran. "Mereka mengerjakan keterampilan membuat boneka jari," jelas Ibu Jacobs sambil mempersilahkan kami berkenalan dengan sang volunteer yang sabar mengajari gadis-gadis belia itu. Anak gadis kecilnya nempel di sebelah dengan wajah menarik hasil dari dandanan kuncir rambutnya yang lebih dari lima. Namun sorotnya mirip sekali dengan gadis Indonesia, sehingga mengakibatkanku menyapanya sebagai "my dear children". "Tapi nenek moyang kami dari Malaysia," jawab si ibu tegas. "Ya, ya, kita tetap bersaudara," sambutku meninggalkan senyum persahabatan.
Di dinding terpampang daftar panjang berderet berisi tugas kewajiban mingguan masing-masing anak berikut daftar pelajaran mereka. Ada tercantum nama sekolah serta kelas dan wali kelas mereka. "Saya dan suami harus hafal satu-satu tentang mereka," jelas Soraya menangkap maksud saya. "Saya dan suami selalu datang sendiri menghadrii semua pertemuan dan urusan sekolah mereka," lanjutnya sambil memperlihatkan detail kegiatannya. Sementara itu di dapur sana kelihatan anak-anak gadis remaja sibuk menyiapkan hidangan makan malam. "Sayalah nanti yang memasaknya," jelas Soraya lagi. Kami mengangguk-angguk paham.
Tak ada bising anak bertengkar. Tak ada teriakan-teriakan mendamaikan mereka seperti yang biasa terjadi di rumah-rumah kami yang justru sering berakibat merusak suasana. Adik-adik kecil saling bergulat di pelukan kakaknya. Tak semuanya anak-anak yatim piatu. Sebagian bahkan merupakan anak-anak terlantar yang tak dikehendaki orang tuanya.
Kasih sayang kutemukan di panti itu. Berikut rasa bahagia dan penuh syukur yang terpancar serta terucap ketika mereka dengan patuh mengikuti kami ke bagasi mobil mengangkuti buah tangan kami yang tak seberapa untuk mereka. "Terima kasih tante, silahkan datang lagi ya," rajuk mereka ketika kami naik ke atas mobil dan melambai dari balik jendela di senja yang cerah itu. Hatiku tergerak kembali lagi. Mungkin lain kali kubawa serta anakku sekedar menunjukkan padanya betapa cinta itu memang nyata.
Semoga anak-anak di Vision menjadi orang-orang yg sukses kelak...
BalasHapushehehe...samapai salah masuk ya bun..?
BalasHapuswalah malu nyah jika tersalah alamat bun yah?
BalasHapustapi kenapa tuh orang langsung nembak, bahwa bunda dan teman2 bunda.. dari malaysia!!
maaf seperti nyah pergerakan darma wanita malaysia lebih terkenal dibanding indonesia
heheheheh sekali lagi maaf cuman nanya
mungkin sebelum bu julie datang, kamar dan lemari mereka udah diberesin dulu kali.
BalasHapussalam//bunda jumpa lgi kat sini
BalasHapusapa kabr bunda?
Amin pak guru. Walaupun hidup sederhana, tapi mereka nampak terawat dan penuh sopan santun. Mestinya kami kemarin ngajak anak-anak kami. Tapi mereka juga baru pulang sekolah, jadi keberatan ikut serta. Terima kasih ya pak Agus sudah mampir disini.
BalasHapusIya wong sama-sama rumah paling ujung di jalan crescent. Rumah yang pertama, sugih sisan, jadi luasnya nggak ketulungan. Membuat salah penafsiran, dikira asrama.
BalasHapusBukan begitu. Disini wanita Malaysia nggak punya perkumpulan karena nggak ada Konsulat Malaysia. Tapi semua orang disini kalau lihat wajah Asia berjilbab, ngertinya orang Malaysia aja. Indoensia dulu nggak dikenal, sehingga sekarang kita buat kantor disini untuk memproklamasikan diri bahwa mereka yang merasa keturunan Asia Tenggara, neenk moyangnya bukan Malaysian, melainkan Indonesian alias keluarganya Syekh Yusuf dan kawan-kawannya.
BalasHapusBoleh jadi begiut. Tapi herannya, semua tempat bersih rapi, teratur. Padahal itu jam mereka belum lama pulang sekolah. Baru kira-kira dua jam.
BalasHapusWalekum salam teh Emul, apa kabar? Semoga sehat selalu di perantauan. Salam erat dari Cape Town. Terima kasih udah nengok saya.
BalasHapusSebagai refleksi diri ya bunda. Ada kasih sayang terasa di panti, maka kita juga harus mampu menumbuhkan tali kasih sayang di antara keluarga di rumah.
BalasHapusmungkin perlu kunjungan studi banding para petinggi Depsos .... supaya bisa menggali bagaimana mengelola Panti Asuhan secara Well Done ... bukan cuma Done Half Half *lebih enak sih kadang-kadang ... heheheee*
BalasHapusYa, betul sekali mbak. Bagaimanapun juga kita harus ngaca dari mereka yang sebetulnya makhluk-makhluk susah, tapi kok ya masih kelihatan saling meyayangi dan memperhatikan satu sama lain. Hebat tenan tuh! Subsidi dari pemerintah boleh dibilang nihil, tapi pasangan suami-istri itu alhamdulillah masih dikarunia rejeki untuk anak-anak asuhannya yang 33 orang ini. Bukankah itu wujud kasih sayang Allah juga?
BalasHapusBetul mas. Saya juga bilang sama pengelola panti bahwa di Indonesia kita nggak bisa berbuat sebagus itu. Apa mungkin juga karena orang kita hidup lebih susah (sedikit lebih susah dibanding orang-orang Cape Malays) sehingga nggak banyak yang rutin jadi donatur ya?
BalasHapusSaya bilang anak-anak korban tsunami dulu itu nasibnya masih juga memprihatinkan. Pengelola panti di Indoensia harus belajar dari ibu dan bapak ini untuk memberdayakan apa yang ada untuk penghasilan pantinya. Mereka setuju kalo ada yang mau belajar, mereka bilang mereka akan sharing pengalaman dengna senang hati.
kok bisa salah bun???
BalasHapusTampak luar gedungnya dan gedenya bangunan mirip. Ternyata, yang mirip cuma tampak luarnya aja. Di dalamnya Vision justru sempit. Kekekekeke......... dasar!!! Udah gitu dua-duanya sama-sama di ujung jalan pula
BalasHapusselamat menikmati cinta, Bunda... :)
BalasHapusIya terima kasih. Saya jadi tahu artinya cinta kasih dari bu Soraya setelah kunjungan ke rumahnya itu. Serunya punya anak 33 orang dengan karakter yang beraneka ragam dan hidup serba pas-pasan pula...... waw!
BalasHapusSubhanallah...buatkan tulisan nya yyg pengalaman ngurus 33 orang anak dong bunda...He, jadi cerita berseri gitu...
BalasHapuslucu juga kejadian yg salah masuk rumah itu hehehe
BalasHapusIya sih udah ada di pikiran saya. Insya Allah nanti ya. Nggak janji tapinya.
BalasHapusIya mas, makanya saya jadi postingin di sini. Geli sendiri. Habis rumahnya sama-sama di ujung jlan bentuk huruf U. Warna catnya sama. Terus ukuran rumah yang saya masuki pertama tuh luas, jadi pantes kalo kita bilang asrama. Giman nggak dengan pedenya masuk situ, hayo?! Wakakakaka,,,,,,,,,,
BalasHapus