Powered By Blogger

Rabu, 19 November 2008

"BATU KARANG YANG TEGUH" (I)

"Batu karang yang teguh

Engkau perlindunganku

Di tengah ombak dunia

Engkau yang berdirilah........"

(Kidung liturgi gerejani)

Begitu dulu kupelajari sepenggal bait kidung gereja ketika aku masih kanak-kanak. Keluargaku memang unik. Kedua belah pihak orang tuaku mempunyai dua agama yang berlainan di dalam satu rumah tangga. Islam dan Protestan ditambah satu aliran kepercayaan. Karenanya aku dan saudaraku mengawali pendidikan dasar di sekolah-sekolah Protestan atau minimal Katholik. Itu harga mati yang ditetapkan bapakku, untuk menanamkan saling pengertian dan cinta kasih di antara kami. Dan sepenggal lagu itu terasa akrab di telingaku.

Kubayangkan batu karang yang teguh itu, seakan-akan sebuah tonggak raksasa yang dipancangkan Tuhan di dasar laut, menjulang mengarah kepadaNya. Nun di kedalaman sana aneka rupa kehidupan menyatu. Ikan-ikan yang cantik berebutan makan, kerang-kerang yang ditinggalkan mutiaranya, serta ombak samudera yang naik ke atas, meluap menghempaskan seluruh isi laut hingga ke daratan yang jauh. Tapi batu karang itu, tak tergonyahkan. Tak juga tergerus asinnya laut. Begitu tegar menghadap padaNya.

--------

Kudapati dia di dalam rumah tanggaku sekarang. Pada perempuan paruh baya itu. Bu Mien, aku biasa memanggilnya, adalah sandaran hidup bagi banyak jiwa di sekitarnya.

Ketika dirinya masih pantas bergelung di dada ibunya, maut memisahkan dirinya dari sang kekasih. Dia menjadi bocah cilik piatu yang kemudian tumbuh dalam asuhan tangan banyak orang. Tapi ada satu yang tak mungkin dilupakannya, seorang perempuan desa yang dijulukinya sebagai Wakti, inang pengasuhnya yang setia itulah sumber kasih sayangnya.

Aku kerap mengobrol berdua dengan Bu Mien di saat senggang. Dengan tenang dia menuturkan semua perjalanan hidupnya yang penuh warna tanpa minta belas kasih. Begitu tegar, setegar sikapnya dalam berbicara jika kami sedang berdiskusi di dapur rumah tinggal kami.

-ad-

Bu Mien lahir dan besar di Jawa Timur dari seorang ayah berdarah Madura dan ibu wanita tanah Jawa asli. Di bawahnya kemudian ada lagi tiga orang adiknya yang sama-sama butuh dan haus kasih sayang, Terlebih-lebih setelah ayah kandung mereka wafat menyusul sang istri dikala mereka masih layak menyusu.

Kakak-kakaknya yang cukup banyak jumlahnya kemudian mengambil alih peran orang tua mereka dan menjadi panutan hidup selanjutnya. Dalam masa itu Ismintarsih kecil kemudian mencari jati dirinya sendiri dan menemukan dirinya terdampar dalam buaian lonceng gereja.

Kelak beliau melanjutkan sekolah di ibu kota propinsi sambil bekerja menghidupi diri sendiri, hingga kemudian berjodohan dengan seorang pemuda dari kota Surakarta yang kemudian menjalin asmara hingga akhir hayat dengannya.

Sering terbit kesenduan dan kerinduan yang dalam di diri Bu Mien jika beliau berucap tentang suaminya yang disapanya dengan Mas Hardjo. "Suami saya begitu lembut dan sabar, berlainan dengan saya yang cenderung temperamental dan suka membantah," tuturnya suatu hari. Kami sedang bersama-sama menyelesaikan pekerjaan rumah tangga di dapur. Dan dari perangkat audio Sony kedengaran "Candra Buana" yang dilantunkan mesra oleh Titiek Puspa dalam beat yang mengayun-ayun mengajak berjoget swing. Lagu kesukaan Bu Mien yang ditularkan oleh almarhum suaminya.

"Mas Hardjo memang romantis sekalipun dia tidak pandai bernyanyi atau main musik. Lagu ini sangat disukainya dan tak bosan-bosan didendangkannya dengan suaaranya yang pas-pasan nyaris tanpa ekspresi," cerita Bu Mien sambil terus meracik bahan masakan. Matanya nampak basah entah oleh keringat yang disebabkan uap masakan di panci yang tengah dijerangnya, ataukah kepedihan hati. "Suami saya juga nggak pinter nyanyi kok bu," timpal saya apa adanya. Terngiang di telingaku suara suamiku yang tak jelas nadanya melagukan balada-balada Ebiet G. Ade kesayangannya, Namun, suamiku selalu nampak bangga menyuarakannya. Sama bangganya seperti ketika dia menirukan Yon Koeswoyo berlagu di layar kaca sekedar untuk menyenangkan hatiku.

-ad-

Sepuluh tahun lamanya Bu Mien merawat Pak Moedihardjo suaminya yang didera stroke. Tanpa bantuan siapapun, sebab ketika itu putra-putrinya masih di bawah umur semua.

Pekerjaannya pada sebuah koperasi di Surabaya terpaksa dilepas juga, sekalipun suaminya sudah tak mampu bekerja di luar rumah dan terpaksa pensiun sebelum waktunya. "Saya bawa anak-anak menetap kembali di kampung bapaknya supaya bisa berdekatan dengan saudara-saudara kandung bapaknya,' ungkap Bu Mien mengawali kisah hidupnya di Surakarta. Disitu dia mencoba peruntungan dari dalam rumah.

Beliau mulai menerima pesanan kue-kue kering serta makanan-makanan lain semampunya. Padahall kisahnya, dulu beliau tidak menguasai ilmu dapur. "Ibu mertua sayalah dulu penguasa di dapur kami, sehingga saya tinggal numpang makan saja," demikian alasannya.

Tapi nasib mengatakan lain. Biaya pengobatan stroke yang tidak ringan ditambah ongkos rumah tangga termasuk sekolah putra-putrinya yang tidak ringan memacu semangatnya untuk mempelajari ilmu kuliner. Dengan berbekal pesangon suaminya Bu Mien berhasil menjajakan kuenya hingga ke Surabaya. Dan tester kue-mue itu tentu saja keluarganya sendiri.

"Adakanya saya merasa begitu terpuruk dan lelah ketika orang mempertanyakan darimana saya bisa mendapatkan semua biaya pengobatan suami saya," keluhnya dengan mata menerawang. Dia menarik nafas dalam-dalam, ada kesan kegetiran pada hembusan nafasnya. "Apa jawaban ibu?' pancingku. "Hmmm......, saya hanya tersenyum," jawabnya kali ini dengan senyuman yang mengembang manis. Mata arifnya menatap padaku seperti menghunjam. Aku gemetar dibuatnya, sebetulnya lebih tepat dikatakan miris membayangkan kesulitannya ketika itu.

"Hanya Allahlah sandaran hidup saya. Saya tak putus berdoa, bahkan dalam tidur saya," Bu Mien melanjutkan. Sekarang aku mulai menyimak. Aku sendiri merasa seperti terpelanting ke sudut yang dingin nyaris tanpa harga diri menyadari aku begitu dimanjakan keadaan.

-ad-

Nyaris setiap malam selama sepuluh tahun Bu Mien bergolek di lantai di bawah ranjang suaminya untuk melindunginya jika dia terjatuh dalam tidurnya. Tapi lebih sering lagi dia merebahkan kepala di sisi pembaringan suaminya sambil duduk begitu saja. 'Saya takut dia tiba-tiba pergi tanpa permisi," alasannya. Lagi-lagi menyiratkan kepahitan.

Tubuh lelaki gemuk itu diurusnya sendiri. Beliaulah yang memandikannya bahkan juga mengangkatnya ke kamar kecil ketika sang suami membutuhkannya. "Entah apa sebabnya, saya selalu menemukan kekuatan ketika dia memerlukann bantuan tenaga saya untuk membersihkan dirinya," kembali mata itu menerawang jauh menembusi dinding-dinding waktu. Aku semakin terkagum-kagum padanya.

"Merawat orang sakit bukanlah pekerjaan sulit untuk saya," paparnya ketika aku menyerahkan Eti seorang perempuan desa yang datang ke rumahku minta perlindungan dalam keadaan jiwa yang tertekan.

---------

Aku hanya bisa merasa kasihan dan bingung waktu menyaksikan Eti tak lagi mampu menangkap makna pembicaraanku yang lugas dan sederhana. Bu Titiek juga melaporkan bahwa Eti merasakan ketakutan yang tak beralasan serta kebingungan yang sangat. Dia seperti kehilangan orientasi ruang dan waktu, juga ketenangan. "Dia ketakutan mendengar suara vaccum cleaner dan mesin blower di halaman," lapor Bu Titiek ketika aku baru pulang belanja dengan Pak Bambang di suatu siang.

Kudapati Eti tertelungkup di atas pembaringan Bu Titiek dengan menutupi kedua belah telinganya. Air mata imengucur deras dari mata yang sayu kelelahan dan kosong tak bernyawa. Kupanggil-panggil namanya. Dia semakin rapat menyembunyikan diri di dalam bantal. Menyibak-nyibak ke kedalaman bantal yang tak tahu apa-apa soal hidup ini.

Akhirnya Bu Titiek berhasil membujuk Bu Mien untuk mengonsultasikan Eti kepada dokter. Padahal selama ini Bu Mien selalu beranggapan dapat menenangkan Eti, sekalipun berarti kami butuh waktu lama dan harus bersabar. Pengalamannya merawat suami sakit selama sepuluh tahun telah mendidiknya untuk tabah dan sabar.

Sekarang tak mungkin lagi semua kesabaran Bu Mien diterapkan pada Eti. Bu Mien bersikeras untuk berangkat sendiri mengantarkan Eti, dan pulang dengan laporan bahwa Eti menderita tekanan jiwa yang menjurus kepada depressi.

Hari-hari selanjutnya Eti selalu disisinya, sekalipun dia lebih dekat kepada Bu Titiek seorang pembimbing spiritualnya. "Mamie," demikian Eti memanggilnya kemudian. Dan Bu Mien akan menyambut panggilannya dengan penuh sayang. Di dadanya perempuan muda itu rebah menumpahkan segala gelisahnya. Di sisi tubuhnya juga Eti selalu menyembunyikan diri minta kehangatan. Sama seperti keinginannya terhadap Bu Titiek.

"Bu Titiek, kepiye sih carane ngucapno dongo penenang iku?" suatu hari kudengar Bu Titiek menirukan bu Mien minta diajari beristighfar sambil tersenyum disambut gelak Bu Mien di dapur. Eti sedang terlelap sehabis disuapi mereka berdua dan kubujuk makan pil penenangnya. "Lha opo'o, aku gak ruh. Padahal njenengan mau iku gek siram tho......" sahut Bu Mien dengan tawanya. Aku mendengarkan dengan seksama penuh rasa ingin tahu.

"Gampangane, muk astaghfirullah ae Bu," jawab Bu Titiek tak kalah geli. "Alah, embuh opo'o mau mung tak kon nyebut Allah, Allah, terus," sambar bu Mien sambil menyembunyikan kegeliannya. Aku ikut tersenyum dan menggodanya demi meredakan stress, "Mbok bilih Bu Mien kedah ngucap syahadat rumiyin," gurauku diikuti kicau burung di dahan pohon jambu bol mini sana, Pagi itu terasa indah, seperti keindahan yang ditawarkan oleh ketulusan hati Ibunda Ismintarsih di dalam merawat orang-orang yang butuh pertolongan di sekitarnya. Semoga Allah memberkahinya dengan tetap menjaga keteguhan jiwa-raganya yang seperti batu karang di samudera sana.

30 komentar:

  1. "Tapi batu karang itu, tak tergonyahkan. Tak juga tergerus asinnya laut. Begitu tegar menghadap padaNya."

    Itulah bentuk pengibaratan yang mempunyai makna yang dalam dan hanya orang yang punya prinsip dan komitmen yang layak mendapat penghidupan

    BalasHapus
  2. Betul, hanya itulah yang dapat saya tuliskan untuk mengapresiasi pengorbanan seorang Bu Mien, sahabat saya. Terima kasih sudah mampir ke tempat saya.

    BalasHapus
  3. :)
    makasih sharing ceritanya ya Bu :)

    maaf, dc jarang mampir
    smoga sehat selalu ya bu
    salam
    dc

    BalasHapus
  4. cerita yang sangat mengugah bunda..tx ya

    BalasHapus
  5. keep writing n sharing it with us ya bunda...saya banyak belajar dari postingan bunda..semoga bunda selalu sehat..amin

    BalasHapus
  6. Berkah, Kasih dan Sayang Allah itu meliputi seluruh makhluk Nya, tak bias agama, gender, negara, ideologi atau apapun. selalu tercurahkan tiada henti.

    TFS kisahnya yah tante ^_^

    BalasHapus
  7. Sama-sama. iya gpp ga mampir-mampir juga. Sama kok saya ya juga jarang mampir 'kan?! Soal selera baca kan nggak bisa dipaksa bang. He....he.....he.....

    BalasHapus
  8. Sama-sama mas Anto. Terima kasih juga suka ngungkapin keadaan di kampung kita, sehingga menimbulkan rasa rindu dan selalu kepengin pulkam.

    BalasHapus
  9. Semoga kita bisa dapat pelajaran dari orang-orang yang harus berjuang demi keluarganya. Sebab trus terang, saya sendiri sering lupa menyukuri kenikmatan saya. Ha....ha.....ha.....

    Terima kasih mbak Tatiek.

    BalasHapus
  10. Terima kasih doanya. insya Allah, sepanjang say aketemu akses internet saa akan terus bagi-bagi pengalaman hidup. memang intinya saya ngempi begitu sih. Terima kasih lagi karena jeng Wien rajin ngampiri saya.

    BalasHapus
  11. Ya, saya juga sependapat. Terima kasih kembali mas Andi. Lihatlah di luaran sana banyak orang yang sedang berjuang demi masa depan ynag lebih baik tanpa harus emnggadaikan harga diri mereka. Begitu mulianya.

    BalasHapus
  12. bu julie memang pandai sekali menulis dan menceritakan kisah seseorang. salam saja buat bu Mien semoga akan selalu tegar dan diberikan kesehatan. Amin

    BalasHapus
  13. Tante lili... TOP deh tulisan tante..... terharu dan salut untuk Ibu Mien.

    BalasHapus
  14. Mkasudna kumaha Wat? Saya anaknya pa Endai kitu? Halah sok aya-aya wae. Biasa aja lagi! Salamnya diterima dengna senang hati dan dibalas salam kembali. Beliau tersenyum-senyum bacanya. Terima kasih atas doanya, katanya. Semoga Allah juga berkenan melimpahkan kebaikan kepada bu Yudi sekeluarga.

    BalasHapus
  15. Ih, Linda gitu deh. Kayaknya keluarga suamimu memang tukang ngoceh semua kok plus tukang tralala-trilili nggak ada juntrungannya. Salam kangen buat semuanya. Insya Allah kita ketemuan di rumah tante Ning Bandung, mau?

    BalasHapus
  16. Touching banget Bunda... saya kadang mengeluh ngurusin suami yang saat2 tertentu menurut saya banyak maunya, sangat gak sebanding dengan pengabdian Bu Mien kepada suaminya.... Semoga beliau dan juga Bunda serta orang2 hebat yang Bunda ceritakan selalu sehat dan mendapatkan lindungan-Nya...

    BalasHapus
  17. Amin, amin, amin ya Rabbal al amin!!! Saya meneteskanair mata membaca doa indah ini. Itulah makanya saya buat postingan ini, supaya saya sadar sesedar-sadarnya bahwa saya makhluk ynag sangat beruntung dan dikeleilingi ornag-ornag baik yang memberikan kebahagiaan untuk saya semata.

    Sudah dsempat nyari pak Bambang Moedjianto?

    BalasHapus
  18. Sudah Bunda.... hehehe... Saya tanyaken kepada seorang rekan di Central Control Room, dia kenal dengan beliau. Tapi beliau bertugas di bagian lain, tidak di CC Room yang didominasi usia 20-30-an. Jadi nggak pernah leporan on air soal kondisi jalan raya.

    BalasHapus
  19. Ada pelajaran tentang kesetiaan pada pasangan hidup, kesabaran dan tidak kenal menyerah. Saya kadang sering bertanya, apakah saya mampu jika berada di posisi seperti Bu Mien?

    BalasHapus
  20. Oh gitu ya? Jadi bener 'kan ada pasangan-pasangan yang terpaksa rela berpisah demi sebuah pengabdian dan tuntutan memenuhi kewajiban menghidupi keluarga?! Sungguh patut diacungi jempol. Terima kasih mbak Niken.

    BalasHapus
  21. Semua saya rasa dan saya harap merenung juga seperti keng Enton. Beratlah kalau kita disuruh njalanin yang begini. Makanya saya apresiasi disini. Nah tadinya beliau bertiga nggak pada tahu. Tapi tadi pagi saya persilahkan baca. Reaksinya, mata berkaca-kaca kang. Begitulah kesetian seorang pasanan hidup yang kadang-kadang tidak terpikirkan oleh kita.

    BalasHapus
  22. aku baru baca setengah .... tapi hylmi dah ribut mau tidur ...
    aku terusin besok ah ....
    budhe apa kabar? selamat berakhir pekan ...

    BalasHapus
  23. Hallo! Terima kasih udah nyempetin marani aku ya nak. Alhamdulillah kami baik-baik aja. Ini udah mau nutup kompi mau njemput pakdhe ke airport. Beliau baru pulang dari Hongkong.

    Semoga nak Siti sekeluarga juga sehat sejahtera selalu. Peluk cium untuk semuanya. Mas Hylmi sayang bune?! Pancen bocah pinter tuh.

    BalasHapus
  24. Subhanallah......
    Kalau aku jadi bu Mien, belum tentu bisa setegar itu. Wong..capek dikit aja, rasanya sudah mau mengeluh terus.....Masih harus banyak belajar dan berdoa nih mbak.

    BalasHapus
  25. Saya juga merasa begitu. Makanya saya angkat topi terhadap beliau dan saya apresiasi kesabaran serta ketelatenannya mengabdi tanpa pamrih disini. Semoga ada manfaatnya buat teman-teman yang mau baca. Anak saya aja kalo diminta ngurusin kebutuhan suaminya pake ada ngomelnya dngan alasan udah kesiangan mau ngantor dsb he....he......he...... kayaknya dia mesti ngaca dari bu Mien deh. Nanti kalo saya pulang ke Indonesia saya bilangin.

    BalasHapus
  26. alhamdulillah, Tante dikeliligi oleh manusia-manusia yang jiwanya terpanggil untuk senantiasa memahami orang lain sehingga hidup ini serasa penuh berkah.

    sekarang, salam hormat dan kenal buat Bu Mien :-)

    BalasHapus
  27. Wa syukurillah nak Rike. Iya saya sangat bahagia kaena keberuntungan saya dikelilingi mereka yang baik budi. Salamnya saya sampaikan ke bu Mien. Terima kasih ya mbak.

    BalasHapus
  28. terharu bacanya.. bu mien emang orang langkah.. semoga hidupnya selalu terberkahi.. juga eti.. bu titiek dan m.julie..

    BalasHapus
  29. Amin-amin-amin, terima kasih mbak Tintin. Kami memang diwajibkan baik untuk bisa melayani masyarakat yang memang jadi tugas kami toch?

    BalasHapus

Pita Pink