Powered By Blogger

Senin, 17 November 2008

TONGGAK-TONGGAK HIDUP

Hidup adalah perjuangan, demikian kata-kata yang patut kuhayati di sepanjang kehidupan keluargaku. Adakalanya kami merasa begitu nikmat, terlalu nikmat malah, sehingga sering lupa akan kasih Allah. Take it for granted, begitu orang bule menyebutnya. Segala kesenangan itu kami nisbikan menjadi sesuatu yang kami anggap memang hak kami untuk mendapatkannya, serta hak Tuhan untuk memenuhinya, Adakah Allah rela kami perlakukan seperti itu? Hanya waktu yang menjawabnya.

Satu demi satu, pelan-pelan Allah menegur kami dengan halus. Melalui kejadian-kejadian tak terduga, mata hati kami terbuka. Begitulah hidup. Ada suka, ada dukanya. Ada nikmat, ada susahnya. Karenanya sepatutnya kami bersyukur dengan memujaNya sepenuh jiwa melalui pengabdian padaNya di sepanjang hayat.

-ad-

Bersama kami tinggallah tiga sosok yang sebelumnya asing bagi kami. Ibu-ibu dan ayah sejati bagi keluarga mereka. Nasib membawa mereka ke tengah-tengah keluarga kami, meninggalkan keluarga-keluarga mereka di Indonesia yang menanti penuh rindu.

Ismintarsih Mudihardjo

Perempuan tinggi langsing berumur 53 tahun ini membawa tekadnya untuk menjadi ibu tunggal yang bertanggungjawab terhadap kedua putra-putrinya yang sudah dewasa melalui pengabdian kepada kepentingan masyarakat di tempat tugas kami. Dengan meninggalkan keluarganya di Surakarta sepeninggal suaminya yang menyerah takluk digerogoti stroke, beliau berperan sebagai Kepala Rumah Tangga kami di Wisma Indonesia Konsulat Jenderal RI, Cape Town.

Bu Mien, demikian beliau dipanggil, penganut Protestan yang taat yang tak pernah lupa mencerna ayat-ayat dalam Alkitab Injil yang digenggamnya di sisi tempat tidurnya. Setiap minggu beliau juga tak lupa mempelajari dan menyimak khotbah gerejani yang diperoleh dari jaringan internet. Pembawaannya agak temperamental sesuai dengan darah Madura yang diwarisinya. Tapi hatinya sangat lembut, tulus dan mudah tersentuh.

----------

Bambang Triawan

Adik ipar bu Mien ini berada di tengah keluarga kami lebih dari empat tahun. Ditinggalkannya keluarganya di Jakarta demi memperoleh penghidupan yang lebih baik untuk mencukupi biaya penddidikan kedua orang putranya yang sebaya anak-anak kami, dua orang jagoan.

Jangan terkecoh oleh kumis lebatnya dan kebiasaannya untuk tak mudah menerima perkataan orang begitu saja. Di balik kekerasan hatinya, ada jiwa yang halus dan mudah iba. Seringkali kudapati dia merogoh kantung pribadinya untuk mengambil sedikit uang pembeli ticket angkutan kota tukang-tukang kebun di kediaman kami. "Kasihan bu, mereka pulang kesorean," katanya sambil menundukkan kepala di mukaku suatu maghrib waktu angin baru reda dari kegiatannya memorak-porandakan apa saja di halaman rumah kami. Agaknya dia sangat berhati-hati takut menyinggung perasaan kami.

Dalam pekerjaannya sebagai supir pribadi keluarga kami, pak Bambang lebih menyerupai asisten pribadiku. Dia setia mengantarku berputar-putar di dalam pasar memilih-milih sayur, daging, bahkan ikan di Geylang Serai dan Tekka Market semasa di Singapura dulu. Karenanya dia mendapat predikat supir teladan dari para pedagang di pasar. Belum lagi ketelatenannya mengantar dan mendampingiku berobat di Raffles Hospital Singapura. Karenanya, banyak orang yang keliru mengira dia sebagai suamiku. Ah, ada-ada saja. Tapi suamiku hanya tersenyum menyadari kesibukannya yang padat sehingga nyaris tak punya waktu untuk mendampingiku konsultasi dan menetapkan jadwal-jadwal operasi serta treatmentku yang berangakai itu. Apa boleh buat, begitu pernah dikatakannya.

Bagi anakku, pak Bambang juga bagai pamannya sendiri. Tidak saja pak Bambang setia mengantar-jemput ke sekolah, melainkan juga setia menemaninya menyelesaikan tugas sekolah bahkan mengajaknya bermain. Pak Bambang dan Haryadi, dua lelaki yang sering saling bergandeng tangan.

-----------

Titiek Endah Sayekti Mudjianto

Sebagai seorang instruktur dansa dan senam di Dharma Wanita Persatuan di Surakarta, bu Titiek punya pembawaan yang gemulai namun tegap. Wajahnya lembut ayu keibuan dengan mata yang sedikit sayu. Kulitnya putih mulus, seperti tubuhnya yang terawat prima di usia menjelang setengah abad.

Ditinggalkannya suaminya seorang staff pada Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya bersama kedua putra-putrinya untuk menimba pengalaman di negeri yang jauh ini. Tekadnya cuma satu, menjadikan kedua buah hatinya sarjana tak seperti kedua orang tuanya.

Cinta kasih dan rasa setia kawannya yang tinggi tak diragukan lagi. Itulah sebabnya bu Titiek memilih menemani bu Mien berkelana mengabdikan diri melalui pelayanan masyarakat di luar negeri, di tempat kami sekarang ini. Bicaranya yang lembut disertai senyum yang menyejukkan memikat banyak hati padanya. Tak heran jika di dalam phone book ponselnya kutemukan berderet nama yang konon adalah kawan-kawan dan tetangganya. Bahkan aku sendiripun selalu senang berdekatan dengannya yang cenderung menjadi pendengar yang baik sekaligus teman ngobrol yang menyenangkan. Dari dirinyalah kudapatkan pelajaran tajwid untuk memperbaiki bacaan kajiku.

-----------

Eti Sumiati

Nama yang sesungguhnya sebetulnya tak kuketahui. Aku juga tak bisa mengoreknya. Sebab perempuan ini datang tiba-tiba dalam kondisi mental yang sangat menderita ke pangkuanku di suatu pagi.

Pakaiannya sangat sederhana ditutupi jilbab biru tua pada kepalanya. Matanya sayu, kosong dan selalu menunduk memainkan bola matanya di atas alas kaki yang berupa sepasang sandal murahan. Dia tak banyak cakap. Juga tak bisa banyak bercakap-cakap sesuai keinginan kami. Pribadinya seperti orang linglung.

Lalu dikemudian hari kami ketahui dia melarikan diri dari majikan kaya-rayanya yang membawanya dari Malaysia, tempat dulu dia mencari penghidupan untuk anak gadis semata wayangnya yang berumur lima tahun di desa. Semua itu dilakukannya demi menambah pemasukan keluarga membantu suaminya seorang pedagang siomay keliling di ibu kota.

Dia nyaris lupa bagaimana nikmatnya sepiring nasi. Dia hampir tak ingat lagi bagaimana televisi bisa memberikan hiburan, juga radio, tape recorder dan perangkat audio lainnya. Hidup baginya adalah kesenyapan semata dikurung kewajiban bekerja, kerja dan kerja keras.

Perempuan yang malang. Yang selalu dipersalahkan oleh permainan nasib. Permpuan yang tak punya daya untuk membela nasibnya sendiri.

-ad-

Merekalah tonggak-tonggak hidup itu. Tonggak kehidupan yang dipertemukan nasib di dalam rumah tanggaku. Yang telah mengajariku betapa nikmatnya hidup bagiku. Tanpa cacat, tanpa setitikpun kepahitan.

Pada mereka aku berkaca. Mencermati dan menghayati arti perjuangan, rasa syukur dan kebahagiaan menerima nikmat Illahi.

Bu Mien, bu Titiek dan pak Bambang menjadi rantai-rantai yang menjerat kebahagiaan Eti yang sudah porak poranda. Di hati mereka ada sumur cinta yang menyejukkan dan tak pernah kering.

Pada bu Mien, bu Titiek dan pak Bambang perempuan desa dari Majalengka itu menyerahkan dirinya, Dari sumur kasih sayang merekalah Eti bisa tegak kembali, melangkah ke depan menyusun masa depan yang lebih baik.

Sementara bagiku? Mereka jugalah sumber pelajaran hidup. Bahwa aku tak boleh merasa tak bahagia. Bahwa aku tak boleh merajuk jika Allah mengganjarku dengan sedikit rintangan sebagai teguran atas kealpaanku untuk selalu mengabdi padaNya.

Merekalah tonggak-tonggak kehidupan itu. Yang berdiri dengan tegar di bawah terpaan panas, hujan dan terpaan badai demi kelangsungan kebahagiaan keluarga mereka. Dan untuk itu aku angkat topi. Menyatakan rasa banggaku serta kekaguman yang tiada habis. Semoga Allah tak henti-hentinya memberi mereka kenikmatan yang sempurna.

(Kutuliskan semua kenangan ini dengan menaruh hormat atas jasa mereka tanpa mengesampingkan Fitriasari, gadis enerjik di pelukan ibunda Ismintarsih)


Tepian Atlantik, medio November duaribudelapan disaat gelap malam menyapaku

38 komentar:

  1. salam kagem para temen2 mbakyu yang luar biasa itu
    tentunya sangat bahagia mempunyai rekan2 seperti itu di kehidupan mbakyu

    BalasHapus
  2. Matur nuwun kangmas, annti saya sampaikan. Merekalah yang membantu saya tetap tegar menghadapi semua garis nasib saya betapapun kerasnya.

    BalasHapus
  3. bunda, bu titiek tu suaminya siapa namanya...kita lagi ada kerjasama dengan DLLAJ neh mungkin saya di sini bisa saling bertukar sapa...btw, seperti biasa..tulisan yang menggugah..TFS

    BalasHapus
  4. Pak Bambang Moedjianto, jeng. Putranya dipanggil dengna nick name mas Kiki, seorang apotheker yang baru selesai di wisuda. Si bungsu namanya dik Erlien, masih di SMP. Mereka tinggal di Makam Haji.

    BalasHapus
  5. hari ini tiada coment bun
    hanya kata bangga dan terharu dengan cara hidup bunda terhadap orang asing
    jika lah semua manusia berjiwa seperti bunda..alamkah damai nya hidup ini

    BalasHapus
  6. mudahan bs menginspirasi kita2 bahwa hidup adalah perjuangan

    BalasHapus
  7. Ananda Eddy, tak ada kata orang asing untuk saudara sebangsa. Semua adalah keluargaku juga. Begitupun dirimu, seandainya saja dulu kita dipertemukan Tuhan waktu di Singapura.

    Salam hangat untukmu, selamat mengais rejeki di negeri tetangga. Barakah Allah menyertaimu selalu!

    BalasHapus
  8. Eh ya, begitulah kira-kira makna di balik apresiasi saya kepada mereka. Terima kasih mas Ton.

    BalasHapus
  9. Sumangga. Semoga bisa ketemu. Saya malah belum pernah ketemu beliau. karena saya diperkenalkan kepada bu Titiek oleh bu Mien melalui pak Bambang yang sudah elbih dulu ikut saya, di rumah pak Bambang di Jakarta. Matur nuwun jeng Wien. Kalau sempat bertemu beliau, sampaikan slam hormat dan penghargaan kami sekeluarga.

    BalasHapus
  10. Terimakasih membagi tulisan ini Tante..
    Tulisan ini mengingatkan bahwa di sekeliling saya bnyk orang yg membantu, dn keberadaannya patut disyukuri dan dihargai

    BalasHapus
  11. Terimakasih membagi tulisan ini Tante..
    Tulisan ini mengingatkan bahwa di sekeliling saya bnyk orang yg membantu, dn keberadaannya patut disyukuri dan dihargai

    BalasHapus
  12. Terimakasih membagi tulisan ini Tante..
    Tulisan ini mengingatkan bahwa di sekeliling saya bnyk orang yg membantu, dn keberadaannya patut disyukuri dan dihargai

    BalasHapus
  13. Subhanalloh..semoga kebaikan bunda mendapat balasan pahala dari Yang Di atas. Amien.

    BalasHapus
  14. Sama-sama neng. Tante berbahagia kalu tulisan tante bisa jadi inspirasi orang lain untuk berbuat sesuatu juga (yang baik tentunya). Selamat berkarya. Tulisan re Abah Iwan atau yang sejenisnya udah ada lagi neng? Tante lama nggak sempat-sempat blog walking yang sempurna. Maaf ya.

    BalasHapus
  15. Alhamdulillah, masih banyak orang-orang yang jauh lebih baik daripada saya, di dunia ini. Saya merasa menjadi semkain "kecil" dan "tak berarti". Terima kasih bu Ita.

    BalasHapus
  16. tfs ya bu.. udah berbagi cerita. kali ini ceritanya bikin saya terharu (maaf jarang berkunjung ke rumah mayanya)

    BalasHapus
  17. Sama-sama, terima kasih kembali udah mampir kesini. Gpp kok jarang-jarang dateng. Saya juga jarang-jarang blog walking. Kebanyakan njawab komen-komen orang baik di site ini maupun di site satunya. Halah!! Malu-maluin diri sndiri, jadi kayak orang pameran........

    Apa kabar Ni? Semoga sehat sejahtera selalu.

    BalasHapus
  18. Alhamdulillah baik bu. cuma lagi sibuk ma kerjaan aja. jadi jarang posting or blog walking. ^_^

    BalasHapus
  19. salam tante julie,
    saya bener2 kagum dah ma tante yg satu ini. terimakasih cerita2nya slalu menginspirasi.

    BalasHapus
  20. salam tante julie,
    saya bener2 kagum dah ma tante yg satu ini. terimakasih cerita2nya slalu menginspirasi.

    BalasHapus
  21. Ntar saya tanyaken kawan2 DLLAJ soal Pak Bambang, karena 3-4 kali sehari saya menelepon kantor DLLAJ menanyakan situasi lalu lintas Solo yang terpantau dari belasan CCTV di kantor DLLAJ. Kalo Bu Titiek titp salam akan saya sampaikan...

    BalasHapus
  22. bu julie jadi inspirasi women deh setiap cerita2nya bener2 membukakan mata hati kita semua ,bu cerita suka duka di luar negri bu biar saya ada temen curhatnya

    BalasHapus
  23. Bu, banyak orang sederhana di sekitar kita ya. Tapi betapa luar biasa mereka. Yang luar biasa lagi, kepiawaian Bu Julie menggambarkan sosok mereka ke hadapan kita. Nuhun bu....

    BalasHapus
  24. tentunya mereka2 itu sekarang juga merasa senang udah ikut dengan bu julie... dan mudah2an sampai bu julie pulang gak ada masalah apa2 ya. semuanya aman terkendali hehehe...

    BalasHapus
  25. Harusnya teh juli jadi novelis ya,
    Ditunggu deh cerita berikutnya..........

    BalasHapus
  26. Walekum salam nak Dhanuh. Saya biasa-biasa aja tuh. Senangnya memang ngoceh, tapi fakta. Gitu memang niatnya ngempi. He....he.....he.....

    Matur nuwun ya nak sudi dateng-datang ke tempat saya. Tantemu sing kondang eleke iki.

    BalasHapus
  27. Ha....ha.....ha....., soal pak Bambang?! Nggak ada yang perlu dipersoalkan pada pak Bambang. beliau ikhlas ridha lillahi ta'ala istrinya nemenin saya disini. Nggih, nuwun jeng. Nanti kalo bisa ketemu beliau sampaikan salam hormat dan rasa bangga saya pada keluarga beliau. Saben esuk lan mbengi pak-bu Bambang tansah SMS-an, jadi inspirsi saya untuk mersra selalu bersama pasangan hidup. Sebetulnya justru keluaga mereka itulah yang menginspirasi saya membantu suami melaksanakan amanat tugasnya. Ha....ha.....ha.....

    Salam hangat untuk jeng Niken sekeluarga.

    BalasHapus
  28. Oh gitu ya? Saya cerita apa adanya tuh dik. Ayo tiru saya, tuliskan aja apa yang ada di perasaan, supaya nggk jadi ganjelan. Jangan pikirin soal gaya bahasanya. Yang penting bahasa yang mudah dimengerti kontak kita, udah cukup. Ditunggu tulisan-tulisannya ya dik. Kalo mau minta dikoreksi, nanti boleh juga saya dandani sedikit-sedikit (karena saya yakin semua orang pasti bisa nulis).

    Peluk cium buat semuanya di rumah. Si bungsu malah aku belum pernah tahu ya?

    BalasHapus
  29. Betul kang Enton, banyak orang yang terpaksa berpisah dan rela meninggalkan keluarga hanya demi menyelamatkan perahu rumah tangga mereka. Tapi, soal tulisan saya, saya rasa biasa aja apa adanya. Memang itu yang saya lihat pada mereka. Saya jadi inget anak jurnalistik baru masuk tahun ini (angkatan 2007), dia bilang dia masuk jurnalistik karena terinpirasi tulisan saya yang nggak pernah sampai lulus di jurnalistik. halah!! Begitu memalukan..........

    BalasHapus
  30. Insya Allah. Tapi siapa tahu hatinya ya?! Terima kasih doa dan pengharapan dik Wati, menyejukkan hati saya.

    BalasHapus
  31. Nggak ada keharusan ah.......... saya ge bingung.......... dulu bu Kustiara juga bilangnya sama dengn ndik Iedus. Atau katanya mending sambil jadi penyanyi di RRI sekalian! Haduh!! Era..........tulungan geura!!

    BalasHapus
  32. Berarti tulisan ibu bermanfaat bagi orang lain kan? Bisa mengispirasi orang untuk menjatuhkan pilihan hidupnya. Terus menulis bunda...

    BalasHapus
  33. Oh gitu ya? Insya Allah. Terima kasih moral supportnya kang. udah baca postingan saya terakhir di site satunya? Komenin dong.........

    BalasHapus
  34. Nah cocok kan teh ....eh ngomong2 masih ada gak ya ibu bahasa indonesia kita itu..........?

    BalasHapus
  35. Pamg emggalna soal ya masih soal TKI. Judulna mah hilap, pokona pang luhurna we.

    BalasHapus

Pita Pink