Powered By Blogger

Sabtu, 22 November 2008

"BATU KARANG YANG TEGUH" (III)

Sumber cinta kasih itu ada dimana-mana di sekelilingku. Aku punya kerabat kerja yang baik di dalam rumah tanggaku. Manusia--manusia yang tangguh dan penuh dedikasi, yang siap mengorbankan diri dan keluarganya untuk kebahagiaan siapa saja.

Kusaksikan Eti, seorang perempuan muda terlantar yang tiba-tiba menghambur ke kediaman kami dalam keadaan jiwa yang kacau sedang mebenamkan muka di pangkuan Bu Titiek. Tangan penari yang gemulai itu membelainya. Bisik merdu dan mesra mengalir dari setangkup bibirnya yang mungil sempurna. "Kamu jangan putus harapan, Allah menolongmu. Ayo ucapkan kalimah-kalimah itu, bertasbihlah, ayo Ti......."

Bahu itu berguncang-guncang. Tangisan lirih terlontar memecah pagi yang beku. Entah kenapa, burung di langit sana seperti enggan mampir ke rumahku. Anginpun tak juga menelurkan simfoni alam dari deretan pepohonan besar di pekarangan kami. Hanya senyap, sunyi yang tersedot ke kedalaman bebatuan di punggung-punggung pegunungan di belakang kediaman kami.

-ad-

Lenggang gemulainya segera tertangkap mata anakku ketika kami baru pertama berkenalan satu setengah tahun yang lalu. Dia datang menghadap kepada kami di Hotel Millenium Sirih atas permintaan pak Bambang.

Kami dalam persiapan pindah tugas suamiku dari KBRI Singapura ke KJRI Cape Town ini. Bu Rini, istri pak Bambang mengundurkan diri demi anak-anak mereka yang sudah tiga tahun terlantar tanpa asuhan orang tuanya sama sekali. Karenanya pak Bambang memerlukan "motor" pengganti. Dan pilihannya jatuh kepada kakak iparnya sendiri yang kemudian membawa serta bu Titiek, sahabatnya, seorang instruktur senam dan dansa anggota Dharma Wanita Persatuan di Surakarta.

Tutur katanya sangat lembut dan terjaga, mengingatkanku pada putri keraton. Tapi beliau mengaku hanya pendatang dari Jawa Timur di Surakarta. Beliau bersedia mengemban tugas apapun dan rela meninggalkan suaminya seorang PNS serta kedua putra-putrinya yang masih bersekolah demi pengabdiannya kepada orang banyak. Beliau telah mendengar tantangan ini sebelumnya dari keluarga pak Bambang.

"Saya akan merasa bahagia jika saya bisa melayani orang banyak," katanya menegaskan kesediaannya. "Mas Bambang dan anak-anak juga rela ditinggal, saya akan membantu mencarikan biaya untuk ujian professi apotheker anak sulung saya yang sebentar lagi diwisuda serta biaya sekolah si bungsu di SMP," tekadnya sambil menyebut nama suaminya yang membuat kami terperangah. Bambang juga, seperti Pakne asisten setia kami itu.

Kulihat kesungguhan di raut wajahnya. Dan terbukti, tiga hari kemudian sebuah paspor hijau bercap Kantor Dinas Imigrasi Surakarta sudah sampai di dalam map perlengkapan mutasi suamiku. Wajah Bu Titiek Endah Sayekti Mudjianto yang berseri-seri tertera disana.

-----------

Dugaan kami meleset. Bu Titiek ternyata bukan tipe perempuan yang gampang menyerah dan mengeluh. Beban tugas berat melayani masyarakat yang tiada putus-putusnya di dalam rumah tangga kami dijalaninya dengan sabar penuh senyum.

"Saya merasa seperti sedang berhadapan dengan anak saya sendiri," pengakuannya kepadaku ketika Eti tengah lelap tertidur akibat obat penenang dan obat tidur yang didapatnya dari dokter. Dengan jiiwa keibuannya Bu Titiek mebenamkan diri merawat Eti yang tak lagi mengenali diri serta keadaannya. Eti yang sudah terhisap oleh tumpukan ketegangan yang merusak jiwanya sedemikian lama.

Tangan halus bu Titiek mengusap-usap pipi Eti yang dingin, selagi matanya tak lelah-lelah melekat pada sosok perempuan desa itu. "Semalam dia mengamuk lagi," cerita bu Titiek. "Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah rumah majikannya, dan matanya melotot. Dia menceracau ketakutan dan marah-marah dalam Bahasa Sunda," tegasnya.

"Kenapa Bu Titiek tak memanggil saya?" tanyaku.

"Saya tahu ibu sedang istirahat. Saya masih bisa menenangkannya dengan tuntunan doa-doa, shalawat dan tasbih," kudengar jawaban yang sejuk dari mulut Bu Titiek yang merekah merah jambu.

"Tapi bukankah hanya saya yang paham Bahasa Sunda?" sanggahku.

Bu Titiek mengangguk mengerti, tersenyum dan menjawab lagi, "ya, saya tahu, tapi saya upayakan untuk memahaminya dan alhamdulillah dia mau mengerti. Semalaman dia tidak tidur, melingkarkan lengannya di badan saya, dan menjepit kaki saya di antara kedua betisnya," urai Bu Titiek manis sekali. "Tak terbayangkan andaikata itu terjadi pada diri kita, pada anak-anak kita," sambungnya seperti ingin menceritakan kerisauan perasaannya. Mata itu menerawang ke kejauhan, ke arah langit yang membiru di sela-sela daun hijau. Dan anginpun mulai menggoyangnya meniupkan semilir yang menyusup melalui celah-celah jendela kamar. Ada seberkas sinar kuning yang garang, tapi cuaca tidak panas. Inilah Afrika Selatan dengan tepian Atlantiknya.

----------

Hidupnya bukanlah sebagai orang susah yang menderita. Tak dinafikan beliau memang bukan orang kaya. Mana mungkin seorang PNS yang mengandalkan sumpah pegawai negerinya bisa mengalami hidup makmur. Tapi Bu Titiek juga tidak sengsara. Rumahnya yang dicicil dari BTN di pinggiran kota adalah tipe rumah mapan dengan sepetak halaman yang disesaki tanaman hias penambah penghasilan keluarga. Karenanya kini, rumah kami juga semarak dengan indahnya bunga-bunga yang dirawat Bu Titiek bersama para tukang kebun kami yang memang sudah disediakan dinas untuk merawat properti negara.

Lepas dari Akademi Bank di sebuah ibu kota propinsi beliau menikah dengan pemuda pilihannya sendiri, lalu dibawa merantau ke Banjarmasin mengikuti irama kerja suaminya sebelum akhirnya menetap di Surakarta, sebagaimana aku mengikuti suamiku selama ini. Disitulah dia berkenalan dan berkawan akrab dengan Bu Mien yang kemudian mengajaknya ikut kami merantau ke Afrika.

"Insya Allah anak saya akan segera dapat pekerjaan di pemerintah," kata Bu Titiek waktu kutanya soal kelanjutan sekolah si sulung. "Dia sudah lulus berkat hasil di perantauan ini, dan sekarang sedang menunggu pengumuman penerimaan pegawai negeri," lanjutnya dengan mata berbinar-binar. Ada nada kebanggaan disana pada seorang ibu yang tak lelah-lelahnya mendidik dan membesarkan buah hati. "Doakan anak saya ya bu," pinta Bu Titiek yang kusambut dengan ya serta harapan yang sama. Pengorbanan Bu Titiek dan keluarganya tak sia-sia rupanya.

Tiba-tiba ponsel di meja tidurnya berdering menyerukan panggilan SMS. Bu Titiek cepat meraihnya, "dari si ayah," katanya tanpa kutanya. Rona merah memenuhi kedua pipinya yang bulat. "Wah kemesraan pak Bambang nggak pudar ya bu," godaku. "Semakin menjadi, bu," balasnya malu-malu. "Ini lho dia menanyakan apakah saya sudah mandi dan shalat shubuh, dia tidak tahu bahwa summer telah menggeser waktu," terangnya tanpa kuminta.

-----------

Eti menggeliat di pembaringannya. Mengalihkan posisi tidurnya sambil membelalakkan matanya, nyalang mencari-cari sesuatu. "Ibu........," panggilnya. "Iya Eti, ibu ada disini," seru Bu Titiek dari depan meja setrikaan dengan sekeranjang cucian bersih yang minta perhatian. "Ibu jangan pergi," kudengar rengekan itu lagi.

Lalu kedengaran suara mesra seorang ibu membujuk anak kecilnya. Aku di ruang keluarga mengamatinya dari balik buku-buku kesehatan jiwa yang sengaja kubeli untuk membantu mengurai misteri ini. Aku tak lagi mempan mengandalkan kemampuan teori ilmu komunikasiku yang dulu kuserap di bangku sekolah.

"Ayo sayang, Eti, jangan melamun. Ingat Allah. Ingat kebesaranNya. Ingat kasih sayangNya. Ingat pertolonganNya yang mengantarmu mencapai rumah ini."

Lalu sedu-sedan itu lagi dan rintihan-rintihan yang terus berulang beruntun menyita kesabaran siapapun yang mendengarnya.

Kulongokkan kepalaku ke kamar itu. Dua sosok perempuan duduk berdampingan. Yang seorang teronggok di pangkuan lainnya dengan kepala yang bergoyang-goyang tak tentu arah. Juga pandangan kosong dan sedu sedan menghambur.

Di sampingnya, seorang ibu memeluknya mesra, mendaratkan lentik-lentik jemarinya di anak rambut itu. Mengusir semua gundah dan keringat dingin yang membasahi. "Ini tasbih yang ibu janjikan untukmu, ayo kita dzikir sama-sama sayang," imbaunya.

-ad-

Aku menutup pintu kamar itu kembali. Mundur, melangkah menjauh membawa basahnya mataku oleh keharuan yang ditumbuhkan sikap manis Bu Titiek menghadapi orang asing yang sama sekali tak dikenalnya. "Ya Allah, semoga Engkau mengaruniakan kebaikan dan barokahmu untuk keluarga Bu Titiek yang rela terabaikan demi manusia-manusia lain yang perlu bantuan dan haus kasih sayang. Semoga Engkau memasukkan Bu Titiek kelak ke dalam sorga dunia dan akhairat yang bertaburkan melur yang semerbak wangi sepanjang masa........" air matakupun turunlah mengaliri kedua pipiku yang tiba-tiba serasa membara. Aku telah tertampar oleh keadaan yang menyadarkanku bahwa ternyata aku makhluk yang sangat beruntung di dalam hidup ini.

28 komentar:

  1. wajar ajah bunda merasa sebagai orang paling beruntung dalam hidup ini selain di berikan kehidupan yang layak serta keluarga yang penyanyang.. bunda juga bisa menerima dan menghargai orang apa adanya ..apalagih zaman sekarang semuanyah manusia kebanyakan payah dan ego.terlalu sulit untuk menimbangkan kepentingan pribadi dan sosial.

    BalasHapus
  2. wah...cerita yang bisa memberikan banyak hikmah yg bisa ditiru

    BalasHapus
  3. SubhanaLLOH...bersih jiwa & hati beliau ya, Bu...tanpa ada prasangka & praduga...semuanya seolah diserahkan ke Yan Maha Tahu...

    Thx so much 4 d'new lesson, Ibu... :)

    BalasHapus
  4. subhanAllah ya bun ...
    semoga bumi Allah ini dipenuhi oleh orang2 yang penuh cinta kasih

    BalasHapus
  5. T.O.P.B.G.T.
    top banget pokoknya kisah2nya dah, tante. bingung menemukan kata2 yang tepat untuk memujinya, sebagai tanda penghormatan wat tante & smua kru yg terlibat dalam drama2 kehidupan yang tante sutradarai.

    BalasHapus
  6. Dear Edi, bingung saya mau jawab komenmu. Saya manusia biasa yang banyak sisi-sisi buruk dan kekurangannya juga. Tapi, justru kekurangna dan keburukan saya ditambal oleh orang-orang yang menyayangi saya dan keluarga saya dengan segala kerelaannya berkorban. Jadi, itulah alasan saya untuk bersyukur kepadaNya.

    Semoga Allah senantiasa menuntun saya melangkah menuju jalan ynag disukaiNya. Amin.

    Terima kasih sekali lagi atas perhatian dan kesediaanmu datang ke tempat saya. Barakallahu!

    BalasHapus
  7. Kebetulan kalau begitu. semoga saya tidak dianggap menggurui. Saya tuliskan semua ini sebagai bentuk apresiasi saya kepada orang-orang di sekitar saya yang telah sangat berbaik hati untuk kami.

    Jangan merasa "dikementeri" ya kang. Ampunilah kelancangan saya.

    BalasHapus
  8. Terima kasih kembali jeng Lulu. Saya sangat terpesona menyaksikan betapa banyaknya orang berhati mulia di sekitar saya. Semoga Allah emlimpahkan kebaikan dunia wal akhirat kepada beliau dan teman-temannya beserta keluarga mereka.

    BalasHapus
  9. Insya Allah, amin. Nampakany akita harus mulai dari keluarga kita sendiri dulu Ni. Baru orang-orang tergerak juga untuk mencontoh sehingga jadi semakin banyaklah orang yang berhati emas. He....he.....he.....

    BalasHapus
  10. Sutradaranya Gusti Alalh nak Wardi (he, wis ora salah ya?). Saya cuma penulis naskah. Jadi saya berperan membunyikan lakon yang dirancangNya sehingga bisa jadi pelajaran hidup utnuk ornag bayak. Ora usah muji nak, cukup didongakna wae keluargaku wis seneng kepati-pati. Matur nuwun.

    BalasHapus
  11. manusia2 di sekitar kita, bagaimana pun keadaannya, tetaplah dapat menjadi cermin kehidupan bg kita ya bu.. yang dpt kita ambil hikmahnya...
    ikut trenyuh..

    BalasHapus
  12. Luar biasa Bu Titiek ini..... Saya benar-benar harus belajar darinya. Keperkasaannya, ketebahannya, keluwesannya, ketulusannya, cara dia menebarkan kasih sayang, semoga Allah meridhoi dan membalas dengan setimpal setiap pelukan dan zikir-tasbihnya untuk Etty dan yang lain-lain. Amien, ya Rabbal Alamien...

    BalasHapus
  13. Betul. Dan kita bisa lulus menjalani ujian hidup juga karena terdorong rasa malu terhadap mereka yang ada di sekitar kita dan kenyataannya, mereka hidup lebih berat daripada kita, namun toch ya survived! Saya banyak belajar dari emreka, dan dari pasien-pasien yang berobat dengan menginap di ruamh kami. Makanya, saya bisa survived juga melawan gangguan kesehatan saya. Alhamdulillah. Sebab saya terinspirasi utnuk tidak mau "kalah perang" seperti mereka yang akhirnya "berguguran" satu-satu. Hanya menyisakan seorang yang kembali segar-bugar, yaitu kakaknya pak Dino jubir istana itupun karena ybs. masih relatif muda.

    BalasHapus
  14. Amin, amin, amin ya Rabbal al amin. Saya ikut mendoakan dan mengamini karena saya tahu betapa ketegaran perjuangannya melewati semua ujian Tuhan patut diacungi jempol. Alhamdulillah putranya sudah lulus ujian apotheker dan sedang melamar kerja jadi PNS. Hasil pengorbanan mereka sekeluarga juga sih.

    BalasHapus
  15. semoga sekarang daftar PNS ga pake duit ya bu...

    BalasHapus
  16. tentunya bu julie merasa bersyukur ya berada di dekat orang2 yang baik, dan pastinya mereka juga senang berada di dekat orang yang baik dan ramah seperti bu julie..

    BalasHapus
  17. Kayaknya dia nggak cerita anaknya minta kiriman untuk biaya ujian test jadi PNS deh. Semoga aja nggak ada yang mata duitan lagi.

    BalasHapus
  18. Kayaknya dia nggak cerita anaknya minta kiriman untuk biaya ujian test jadi PNS deh. Semoga aja nggak ada yang mata duitan lagi.

    BalasHapus
  19. Kayaknya dia nggak cerita anaknya minta kiriman untuk biaya ujian test jadi PNS deh. Semoga aja nggak ada yang mata duitan lagi.

    BalasHapus
  20. Iya, saya merasa sangat bersyukur. Sebab sepanjang saya di LN nggak pernah ada orang ikut saya yang merengek minta pulang atau mogok kerja. Dulu saya pulangkan yang ngasuh anak-anak dari pos ketiga karena dia sudah sangat cukup umur untuk nikah, dan anak-anak saya sudah masuk SMP.

    Ya tapi, mereka nggak rewel bukan karena saya menyenangkan. Melainkan karena saya nggak rewel juga. Asliny asih sifat saya banyak jeleknya, cuma untungnya saya cuekan. Jadi ya nggak pernah rewel. He....he.....he......

    BalasHapus
  21. Amin ya Robi Alamin,Ya jeng Yuli.Mudah2an Orang2 yang seperti Bu Titik dll yang telah mengabdi dengan tulus dan iklas,seperti juga yang berada dilingkungan saya,mendapat barokah dari Allah SWT,Amin.Iwan Jalal yang dimaksud Jeng?Allhamdulilah.

    BalasHapus
  22. Amin, ya rabbal al amin. Banyak yang mendoakan mereka, pasti Allah akan mendengar dan mengabulkannya. Insya Allah.

    Iya, pasien-pasien yang berangkat treatment dari rumah saya antara lain uda Iwan.

    Semoga mbakyu senantiasa diberkahi kesehatan yang baik, saya doakan.

    BalasHapus
  23. Tiada lain kata kata bagus sudah mengalir dari rekan lain...
    Seperti yang suah sudah, tulisan bu kita ini sangat sarat makna.
    Sangat pantas dikumpul dan dijadikan buku cetak.
    Atau diperluas sharing kisah kisah yang menyentuh ini di media tanah air...banyak tuh tabloid tabloid bagus yang berisi kisah kisah berisi begini...
    Sok atuh...

    Tambahan: merespon postingan lain mengenai 'sesuatu yang menimpa' diri bu kita ini betul betul tidak menduga, mahap sebelumnya kalau saya melontarkan pertanyaannya tempo hari. Hapunten da teu nyangki geuning kitu dongeng aslina. Mung tiasa ngiring prihatin wae tikatebihan...mugi kapayun sadayana dina kaayaan sehat walafiat berekah rahayu ginanjar kawilujengan...amiinn..
    Baktosna ka sadaya.

    BalasHapus
  24. Dear kang Sjam, saya bahagia kang Sjam masih berkenan menyapa saya walaupun secara fisik kita belum pernah bertemu. Insya Allah kalau Tuhan meridhai suatu hari nanti kita akan ketemu juga entah di Gunung Batu atau dimana saja. Saya nggak merasa keberatan kok kang ditanya soal yang itu. Saya cuma malu kalau mesti nulis bolak-balik di site ini soal yang sama. Rata-rata kontak lama saya sudah bosan denger "tangisan" saya, ha....ha.....ha.....

    Kang, saya sebetulnya bukan penulis. Jadi kalau saya mesti menulis secara terbuka untuk dibukukan belum ada niat sekarang. Bahkan suami saya aja nggak pernah tahu saya nulis macam apa di blog karena dia terlalu serius dan nggak punya waktu untuk santai seperti kita. Jadi nggak pernah iseng-iseng ngeblog atau buka blog kami (saya dan anak-anak).

    Penulis yang betulan tentu nggak sekedar nulis beginian lah kang, jadi malu saya kalau harus berdiri sejajar dengan mereka. Walaupun kalau ada orang berminat menerbitkan akan saya silahkan, tapi tentunya saya nggak mau punya inisiatif duluan. Buat saya tulisan saya masih terlalu biasa. Curhatan ibu-ibu yang kalau untuk masuk site satunya nggak pas gaya dan isinya. Terima kasih ya kang.

    BalasHapus
  25. Sebuah cerita yang menarik dan penuh hikmah, bunda
    Semoga Allah memberikan nikmat & baroqahnya kepada orang seperti Bu Titik ini

    TFS, bunda

    BalasHapus
  26. Terima kasih teh Metta. Selamat datang di rumah keluarga saya. Semoga persaudaraan ini ada manfaatnya buat kita bersama.

    BalasHapus
  27. itu bu titiek harus jadi mentri sosial ya mbak.. jiwanya hebat mau ngurus orang2 tanpa prasangka.. bertindak dengan hati.. salut mbak..

    BalasHapus
  28. Memang iya, saya makanya sangat berhutang budi sama dia.

    BalasHapus

Pita Pink