Powered By Blogger

Sabtu, 01 November 2008

"SI BEBEK JELEK" : KILAS BALIK ANAKKU X

Ibu muda itu seharian mengurung diri dalam kamar, setelah kemarin sama sekali tak tidur barang sejenak pun. Matanya menatap kosong ke kejauhan yang tak berbatas. Mulutnya rapat, tapi biji-biji tasbih lengket dalam genggamannya,

Aku ingat peristiwa serupa. Awal 2003 ketika Andriku kecewa atas keputusan kami memulangkannya ke Indonesia selagi sekolahnya di kelas 2 SMP belum tuntas.

Aku dan bapaknya memilih mencarikan sekolah di tanah air sekali pun dengan konsekuensi di luar kota, jauh dari rumah atau uang sekolahnya tinggi. Kami khawatir suatu hari nanti petugas imigrasi dan polisi merazia identitas penduduk asing dan mendapatkan kartu izin tinggal kami yang sudah kadaluwarsa. Kejadian itu pernah terbawa dalam mimpiku.

Rasanya siang itu akhir pekan. Anakku ada di rumah sedang menonton televisi ketika bell pintu dibunyikan orang. Dia menyambutnya di depan untuk menyapa tetamu yang datang. Seorang lelaki tegap berpakaian seragam.

Kudengar dari dalam dia menanyakan aku dan mau memeriksa ijin tinggal kami. Seketika wajahku pucat pasi. Kurasakan getaran kakiku yang menggoyahkan semangat, sehingga aku buru-buru menguak gordijn jendela lalu bersembunyi di sudutnya. "Ibu saya tidak ada di rumah," kudengar jawab anakku dalam Bahasa Perancis yang fasih. "Surat ijin tinggal kami ada pada ibuku," katanya tenang.

Kudengar lelaki itu mendebat. Dan rasanya tirai di tempatku mengurung diri masih tembus pandang. Lelaki itu menyapukan matanya ke seluruh ruang mencari-cari aku. Kutahan nafas serta kegelisahan yang sangat. Aku hampir terjatuh terduduk. Keringat dingin membanjiri badanku membawa selapis bajuku lekat ke kulit.

Tiba-tiba semuanya menjadi terang. Andri mengguncang-guncang tubuhku sambil melap keringat dingin yang tiba-tiba juga sudah singgah di diriku di atas sofa bed di muka televisi studio apartement sewaan kami di Montald Avenue. "Ibu kenapa?" tanyanya cemas? "Sakit sekali?" kudengar getaran di pita suaranya yang gelisah.

Aku menggeleng. Meneguk ludahku menuntaskan kecemasanku yang baru lalu di alam mimpi. Jam menunjukkan pukul enam sore. CNN masih menayangkan berita yang itu ke itu juga di layar kaca situ. "Ibu mimpi, rasanya Gendarmerie mendatangi kita dengan pejabat imigrasi mas," jawabku lesu.

Aku bangkit mencuci muka lalu menyiapkan makan malam kami. Di saat itu aku memutuskan untuk membuka pembicaraan soal masa depan kami.

"Kita pulang saja ya nak," kataku memecah sunyi diantara kunyahan-kunyahan sayur selada air dan ayam bumbu rujak serta lodeh asal jadi kegemaran anakku. Muka itu tengadah menatapku dengan bulatannya yang dibesar-besarkan. Dia menghentikan kunyahanannya, Mulut itu mengerut menciptakan suasana permusuhan lagi.

"Ibu dan bapak benar-benar tidak sayang padaku dan ingin menghancurkan diriku," ucapnya. Ada jerit kegetiran di situ. Pada mulutnya yang memberengut dan matanya yang nampak marah.

"Bukan begitu cintaku," begitu sambutku sambil menatapnya juga. Kusandarkan sendok di tepian piring. "Izin tinggal kita di sini tidak resmi, tidak ada, ibu tidak tenang sekarang." Kutatap wajahnya, Ada air menggantung di tepian mata, dia menangis.

Lalu malam itu kembali jadi malam permusuhan. Dia merebahkan diri di sofa, dan baru berpindah ketika aku menggusurnya paksa serta menyelimutinya ketika punggung itu memunggungiku. Agaknya semalaman dia masih menyimpan amarahnya padaku, lebih tepat kekecewaan pada jalannya nasib kami. Pagi harinya dia berangkat sekolah dengan raut muka mendung seperti cuaca pagi musim winter.

Aku terus bertukar SMS dengan suamiku seharian, sampai malamnya kuterima pemberitahuan bahwa Lycee Francais di Jakarta bersedia menampungnya dan mengharapkan dia cepat kembali untuk ikut test penempatan kelas. Bahkan daftar-daftar buku pun dikirm suamiku satu-satu lewat beberapa kali SMS untuk mencegah kekeliruan informasi.

"Mas, kata bapak kau diterima di Lycee France Jakarta, dan besok kita diminta mencari buku pelajaran untukmu," kataku di atas kasur. Kusampaikan rincian pembicaraan ayahnya dengan pihak sekolah Perancis di Jakarta itu.

Anakku terpaksa setuju juga pada akhirnya. Kami berangkat bersama sepulang sekolah menyusuri kota mencari toko buku yang menyediakan buku-buku pelajaran dari negara Perancis. Harganya tidak murah, tapi aku tak peduli lagi. Kami memesannya untuk diambil minggu depan, selagi kami menyelesaikan administrasi persekolahan baik di sekolah anakku maupun di Lycee Francais Brussels serta di KBRI.

Kemarahan itu tidak hilang sepenuhnya. Terlebih-lebih ketika dia tahu beberapa pelajaran sekolah Perancis jelas berbeda dengan pelajaran SMP Belgia. Terutama pelajaran kimia itu serta semacam pendidikan moral Perancis.

Thalasa dan pangsit goreng sudah tak ada artinya lagi. Anakku jadi apatis dan mengurung diri di dalam jiwanya sendiri. Setiap pagi dia masih berangkat ke sekolah selagi urusan kami belum selesai dan ticket kiriman ayahnya belum sampai di tangan. Tapi berangkat yang nyaris tanpa semangat lagi. Aku menangis dalam hati, untuknya permata hatiku yang terluka karena nasib.

Sore itu aku harus ke kantor berlatih kulintang dan menyanyi karena Ibu Duta Besar ingin membuat acara perpisahanku dengan orang-orang tua penghuni panti wreda yang biasa kami kunjungi. Kebetulan aku dijadikan band leader serta penyanyi untuk acara-acara dinas, sehingga dijadwalkan aku mengisi acara minum teh sore penghuni panti untuk yang terakhir kalinya sebelum aku pulang, sekalian berpamitan kepada mereka.

Anakku masuk rumah sudah menjelang pukul lima, lebih lambat dari biasanya. Kuduga mungkin dia sengaja ingin melupakan kepahitannya dengan berjalan-jalan bersama teman-temannya yang walaupun tidak seberapa banyak tetapi adalah teman-teman akrab yang dipilihnya dengan hati-hati termasuk beberapa temannya sejak SD.

Dengan gelisah kutunggu anakku di muka pintu. Terlambat bukanlah kebiasaanku, terlebih-lebih jika ada seniorku menunggu. Rasanya aku sudah hampir meluap begitu melihat dia naik ke dalam rumah menggendong tasnya yang berat dan folder-folder tebal di tangannya dengan santai. "Ibu mau ke mana?" hanya itu tanyanya sebelum kami berpisahan lagi.

-ad-

Dik Selly salah satu temanku menawari pulang dengan mobil suaminya yang disupiri oleh salah seorang staff suaminya selepas maghrib itu. Aku menolak dengan halus. Kukatakan aku masih harus mampir ke suatu tempat mencari sesuatu. Padahal sesungguhnya aku hanya ingin menyendiri menenangkan batinku karena sesore ini latihanku tak kunjung mulus seperti terbawa suasana hatiku yang galau.

Selly membukakan pintu untukku dan mendudukkanku di belakang selagi dia menjejeriku. Dia seakan-akan tahu apa yang kurasakan. "Mbak, dilemma betul ya mbak mengikuti kata anakmu atau suami?" terkanya sambil menatapku. Aku tersenyum padanya. "Begitulah hidup kita sebagai keluarga diplomat, jeng," jawabku. Sepanjang jalan yang memang tak jauh itu kami akhirnya hanya saling membisu sampai aku diturunkan di muka apartemen sewaan kami yang sudah mulai sepi.

Sepuluh menit lamanya aku berdiri dalam dingin di luar pintu. Anakku tak merespons bell yang kutekan berkali-kali sampai penyewa apartemen di lantai dasar keluar secara kebetulan karena hendak menutup gerai kecantikannya sebab sudah malam.

Aku minta izin masuk membawa kegelisahan yang sangat. Aku khawatir Andriku sakit dan pingsan di dalam kamar sana. Sejak kecil dia memang lemah dan rentan terserang asma.

Kakiku terasa lemah menyangga tubuhku naik ke lantai tiga. Lorong yang temaram lagi sunyi menambah kegelisahanku. Kuraih pintu studio kami dengan cepat. Kuguncang-guncang tangkainya. Kuteriakkan namanya sambil menggedornya terus-menerus. Tak kering bibirku menyeru namanya sekalipun aku tahu kegaduhanku akan mendatangkan kemarahan penghuni lain.

Hanya senyap semata. Kini aku yang mulai merasakan gejolak itu. Tenggorokanku kering, dadaku tersumbat. Aku mulai terbatuk-batuk dengan keringat dingin merembes di kulitku mengalahkan dinginnya winter di bagian utara bumi. Kuraih tas tanganku mencari inhaler asmaku, yang kebetulan tak ada di sana. Aku lupa membawanya dari wastafel kamar mandi tadi sore.

Butuh hampir setengah jam untuk dapat melihat sendiri anak kecintaanku yang berdiri separuh memejam dengan gurat-gurat bekas tidur di pipinya. Kupeluk dirinya seraya menghambur ke dalam. "Kau sehat?' tanyaku pertama kali sebelum menghambur ke kamar mandi menghirup serbuk kesayanganku penyelamat jiwa.

Muka lesu itu mengangguk menggarami suasana yang hambar. "Ya, kenapa?' dia balik bertanya. Kurasakan deru nafasku mulai melambat.

"Cintaku, mas, ibu menunggumu membukakan pintu hampir setengah jam tadi," jelasku sambil langsung menyiapkan makan malam kami, Jam wekker di atas televisi menyatakan hari hampir pukul setengah sembilan malam. Aku tersenyum senang sekaligus getir, melupakan kepanikanku di muka pintu tadi.

Begitulah seorang ibu, anak-anak adalah prioritas utama sebagai pertanggungjawaban kepada ayah mereka yang telah mengizinkan kami menjadi pabrik bagi junior-junior mereka.

Di hadapanku Andri berdiri mengangkuti peralatan makan selagi aku menghangatkan menu di dapur. "Kenapa?' tanyanya polos. Di dalam hati aku mengutukinya, mengapa dia begitu dangkal menangkap kegelisahan dan cinta kasihku.

Aku tidak menjawab. Kuselesaikan tugasku sampai tiba saatnya kami makan bersama. Seperti hari-hari yang lalu ketika kami masih kumpul berempat. Aku mulai menjawab pertanyaan sederhananya tadi dan dia menyimak penuh. Terasa betapa kami betul-betul menjadi makhluk yang sudah hanyut dalam pikiran dan perasaan masing-masing.

"Jadi aku bersalah?' tanyanya tanpa dosa. Aku terdiam tak menjawab. "Bukan salah siapa-siapa mas, ini salah nasib kita. Permainan nasib, maksud ibu,' jawabku santai mengakhiri makan malam kami selagi semangkuk yoghurt strawberry yang lembut masuk ke mulutku menghilangkan kepahitan. Andri di hadapanku, mempermainkan sendok di tangannya yang nyaris menyendoki pudding coklat yang tak jadi-jadi juga disantapnya.

Episode itu kini seperti membayang kembali saat aku menyaksikan ibu muda asuhanku seperti diriku dulu, terpuruk dalam galau, resah dan kebingungan tanpa tepian. Kututup kembali pintu kamarnya sehabis kusunggingkan senyum dan kuelus pundaknya. "Teruskan berzikir dan istighfar ya teh, Allah akan menolongmu segera," pesanku padanya.

19 komentar:

  1. Tante, aku jadi inget ibuku lagi. dan rasanya aku nggak akan mampu sesabar beliau menghadapi gelombang hidup yang beliau arungi dalam keluarga kami. rasanya dadaku sesak. rasa bersalah tak bisa terelakkan. tapi memang ada hal bernama "cita dan cinta" yang jadi jurang diantara kami.

    BalasHapus
  2. Maaf ya mbak kalau postingan tante senantiasa "menyakiti" memory dan perasaanmu.

    Semoga nak Rike bisa mengakhiri rasa bersalah itu dengan sukses melalui cinta kepada ibunda dan keinginan untuk mengerti beliau. Salam hangat.

    BalasHapus
  3. sebaliknya, ini mengingatkan aku untuk senantiasa ingat bahwa memang ada saat orang tua dan anak gak selalu "bersama". juga mengingatkan anak bahwa betapa besar juga usaha orang tua untuk menehan diri dari membuat keputusan yang merugikan kedua belah pihak. pokoknya, Tante telah mengingatkanku untuk menjadi anak bijak dan (kelak) ibu yang bijak juga.

    thank you pokoke tanteku...

    BalasHapus
  4. Ada kalanya seorang anak merasa kecewa dan tidak memahami kondisi yang membuat orangtuanya "tampak tidak cinta" kepadanya. Namun seiring dengan bergulirnya waktu, justru keterombang-ambingan hati ini akan membuat emosi sang anak matang, membuatnya menjadi pribadi yang tangguh. Dan semua akan baik-baik saja.
    Mohon doakan Bunda, saya bisa meniru Bunda yang selalu tegar dan tetap penuh cinta menghadapi segala problema...

    BalasHapus
  5. Oh gitu? Insya Allah ya mbak, mbak Rike akan jadi ortu yng jauh lebih baik daripada saya yang nggak makan pengalaman siapapun. Lha dulu walaupun bapak saya PNS tapi 'kan di dalam negeri, jadi bisa gak pindah-pindah domisili.

    Terima kasih kembali. Apa kabar kekasih gelapmu?

    BalasHapus
  6. Analisa yang sangat bijak dan tepat dari seorang ibunda sejati nih bune mbak Yasmin, Saya doakan mbak Yasmin dapat tauladan yang sangat baik bahkan lebih baik daripada apa yang saya tauladakan kepada anak-anak saya, dari seorang ibu bernama Niken. Semoga!!

    BalasHapus
  7. banyak anak-anak yang memutuskan tinggal di LN setelah orangtuanya selesai tugasnya. tapi saya suka berpikir apa saya bisa ya, meninggalkan anak2 seperti mereka2 itu. pastinya banyak pikiran kali ya.

    BalasHapus
  8. Ya, kata temen saya Selly Bernard, namanya dilemma. Anak-anak belum cukup dewasa untuk bisa mengatur hidupnya sendiri, sedangkan kita juga nggak mungkins ering-sering emninggalkan bapaknya dan rumah tangga.

    Akhirnya anak saya pulang juga kok, dan surprissed. Dia bisa menerima keputusan kami dengan lapang dada. Tunggu lanjutannya terus ya bu.

    BalasHapus
  9. Tante saya baru baca si bebek x dan ix, ck...ck...ck...sungguh luar biasa bunda yang satu ini. btw kenapa judulny si bebek jelek tante? hubungannya gmn?
    O ya sekarang kuliah di mana si sulung?

    BalasHapus
  10. Karena dia unik, seperti cerita "The Ugly Duckling" yang dulu suka saya bacakan dan ceritakan untuk dia. Jadi dia lain dari anak-anak yang ada di dekatnya.

    BTW dia bukan anak sulung. Yang pertama wafat, dia lahir yang kedua. Tapi, saya punya dua anak perempuan mbakyu-mbakyunya dia karena mereka memang keponakan yang ikut saya asuh sejak bayi. Sebagian dari teman mereka di sekolah dulu jadi kontak saya di Mp ini udah pada jadi ibu-ibu dan bapak-bapak semua karena mereka memang sudah lama lulus sekolah. Namun alhamdulillah masih pada kenal juga dengna saya.

    Saya bukan ibu yang istimewa mas. Seperti halnya ibu-ibu yang lain di muka bumi ini, saya punya sisi-sisi baik dan banyak buruknya. Cuma mungkin saya termasuk ibu yang langka, karena masih suka ngempi dan gaul dengan orang-orang muda bahkan dengan teman-teman anak saya sendrii. Selain itu saya punya record tentang masa kecil mereka seperti contohnya serial ini. Jadi saya dimata nak Dhanuh beda dari ibu-ibu lainnya. Gitu tha?!

    Terima kasih atas hubungannya dengan saya di site ini.

    BalasHapus
  11. ¤oh gt... manggut2 mode on. tapi mas andriny nggak ugly kan? hwekekekek
    sek sek tante, mikir sambil ngitung mode on. Tahun 2003 msh smp kok dah bpk2. bingung ga nyambung mode on.
    ¤langka?? berarti harus dilindungi dwnk tante he he.bagiku tante tetep great mother, maybe one out of seribu.
    ¤mav neh tante log inny lelet. kirain dah ga da kehidupan cos di blog sebelah tadi dah sunyi. btw di situ jam berapa tante? disini dah jam 03.12 am

    BalasHapus
  12. Yang SMP Andrie. Yang udah jadi bapak-bapak dan ibu-ibu itu mbakyu-mbakyunya karena tahun 2003 itu keponakan saya udah pada dewasa semua (malah udah ada yang saya nikahkan). Makanya sekarang temen-temennya udah bapa-bapak dan ibu-ibu. Kalo mas Dhanuh baca profile saya dulu sebelum masuk kesini, insya Allah mudheng. He...he....he.....

    Indonesia dan South Africa beda 6 jam lebih siang di Indonesia. Jadi saat saya "breakfast" di depan kompi ini, mas Dhanuh sedang "lunch" atau malah udah balik lagi ke meja kerja/meja belajar.

    BalasHapus
  13. inspiratif !
    boleh saya beri masukan juga bu ?
    ehm....
    bikin jurnal atau blog kadang memang mengasyikkan but.... jurnalan2 ibu terlalu panjang...sptnya lbh bagus di pecah jadi dua...
    soalnya saya takut......
    pembaca akan gampang boring, apalagi font tdk divariasi spt warna, garis miring dll
    saya takut pembaca hanya menyenangkan ibu dg langsung menulis komen tanpa dibaca semuanya

    so....
    lbh bagus diambil bagian cerita, yg ada "sentuhan hatinya"
    it's just my opinian

    BalasHapus
  14. Iya memang mas, betul gitu.
    Tapi saya nggak akan terpengaruh, karena saya memang buat untuk diri saya dan keluarga. Kebetulan mereka (kontak-kontak saya) saja yang datang ngampiri kesini. Jadi mereka yang nggak ngmapiri berarti yang nggak minat baca. Hahaha......

    Nah, rata-rata yang komen itu kok ya nyambung dengan isinya blog saya. Ha...ha....ha.... pada pinter-pinter menyarikan intinya deh yang komen disini.

    Ayo mas, dicoba bikin yang serupa ini (boleh aja nggak perlu panjang-panjang), tapi yang pasti kenangan mains buat keluarga sendiri nantinya.

    Terima kasih ya mas saran dan masukannya.

    BalasHapus
  15. Saya merasakan apa yang ibu rasakan. Saya saja yg kerja diluar kota yg bisa ditempuh dengan 2 jam perjalanan..Kadang2 terasa berat kalo dah kangen keluarga, apalagi Ibu ya. Sya yakin IBu orang yang kuat dan tegar.
    //kata mertua saya buat ngobatin kangen, bawa baju anak2 aja. Jadi ditempat tidur saya selalu saya simpen baju mereka. (Boleh dicoba tips nya Bu.)

    BalasHapus
  16. Iya saya juga dulu bawa baju mereka waktu masih kecil-kecil. Tapi sekarang udah pada mahasiswa malah ada yang sudah ibu-ibu, kalo kangen ya ditahanlah.

    Semoga kang Husein bisa bertahand engan pekerjaan yang sekarang atas doa restu keluarga aga kariernya melaju mulus dan penuh barokah.

    Terima kasih sudah mampir ke tempat saya.

    BalasHapus
  17. Bunda, saya hari ini lagi haus bacaan yg menyejukkan hati. Trus saya jalan2 di sini dan nemu seri 'bebek jelek' ini.
    Duh, Bunda.... sungguh menyentuh hati saya yg paling dalam.
    Cinta seorang Ibu memang tak ada duanya di dunia.
    Tulisan Bunda ini, yg saya yakin ditulis dg segenap cinta (karena terbaca di setiap pilihan katanya), pastilah jadi sebuah harta berharga buat mas Andri...

    Ijinkan saya memeluk Bunda dengan segenap rasa sayang....

    BalasHapus

Pita Pink