Powered By Blogger

Jumat, 28 Februari 2014

INTERMEZZO: DARI GUBUK KE ISTANA (1)

Apa yang akan aku tulis ini agak keluar dari kronologi Serenada Dalam Lembah Biru. Tulisan ini khusus menceritakan saat-saat terakhir ibuku tercinta menjalani hidup di dunia hingga pada waktunya dipindahkan ke rumah barunya yang entah bertipe berapa dan bertingkat berapa. Maka dari itu kusematkan judul INTERMEZZO untuknya.

Jari-jemari ini belum terasa lelah saat ungkapan-ungkapan terakhir bunda tertuang dalam lembar putih nan bercahaya ini sekira hari selasa 18 Februari malam lalu. Justru diri ini yang sempat bertanya pada bunda, "Apa ibu belum capek? Bukannya ibu mau istirahat?". Dalam keadaan nafas yang seperti dibuka-tutup salurannya, beliau hanya menjawab "Belum". Maka tak ada rasa curiga maupun khawatir yang muncul di pikiranku. Aku hanya bisa terus mengagumi sosok wanita yang masih ingin menunjukkan semangatnya ini. "Luar biasa sekali ibuku ini" pikirku dalam hati. Malam itu aku tak bisa mengucapkan perasaan ini keras-keras. Seolah-olah ada yang memaksa diri ini untuk tidak mengatakannya langsung pada bunda. Tapi semua itu terjadi pada hari selasa. Selepas itu, tak ada yang tahu hendak berbuat apa bunda kelak.

Dua hari berselang, malam semakin menusuk raga ini dengan hawa dinginnya. Bunda sudah tak merangkai kata-kata lagi. Mungkin ini adalah istirahat bunda dari kegiatan rutinnya. Apakah ini sekedar istirahat atau "istirahat" yang lebih lama lagi? Malam itu bunda terlelap dengan pulasnya, terbangun setiap dua jam sekali hanya selama kurang lebih satu menit sebelum kembali menikmati tidurnya yang tenang. Selama beberapa hari sebelumnya, tidur menjadi emas dalam gua besar bagi bunda. Satu sampai dengan satu setengah jam lamanya adalah waktu yang paling lama yang bisa bunda tempuh saat terlelap. Lantas selebihnya bunda tak kuasa menutup mata sayunya yang mengundang banyak senyum serta tangan baik untuk menenangkannya. Hari kamis lalu sungguh benar-benar seperti Allah mempersiapkannya untuk tidur lebih tenang lagi di kemudian hari.


Punggung yang terkena decubitus (lecet)


Fajar telah menyongsong di hari Jum'at yang memang tak begitu cerah. Ku bangkit dari tidurku di atas lantai dingin yang ditutupi selimut tebal hasil perburuan kakakku di dekat RS. Bunda telah bangun, hendak dibersihkan badannya oleh perawat-perawat cantik sambil ku bantu mereka memiringkan badannya yang memang sudah tak bisa miring sendiri itu akibat patah tulangnya dan punggungnya sudah terkena decubitus (lecet akibat kuit yang lembab). Setiap ruas tubuhnya diusap menggunakan washlap (mudah-mudahan tulisannya tidak salah, kalau salah nanti bunda yang koreksi dari sana, hehe) beroleskan sabun batangan warna merah yang seolah-olah menggambarkan semangat bunda. Usai dibersihkan, bunda diolesi krim pelembab kulit yang biasa beliau gunakan sudah sejak beberapa tahun belakangan ini semenjak produk serupa yang merupakana merk dagang internasional menjadi tak terjangkau harganya. Kuolesi sampai ke kepalanya yang memang sudah tanpa rambut dan alis.


Saat diuap dengan obat asthma
Seusai dibersihkan, layaknya hari-hari biasa di RS, bunda meminta pada perawat untuk diuapi dengan obat asthma. Hal ini sudah menjadi ritual harian yang dijalani bunda semenjak pindah dirawat di RS Dharmais. Pagi itu proses penguapan berlangsung seperti biasa, namun seusai diuap rupanya nafas bunda tak membaik. Masih teringat di benakku betapa susahnya bunda harus bernafas dalam ketidak berdayaan untuk bergerak.

Selepas itu tak lama kemudian datanglah seporsi nasi kuning lengkap beserta empingnya dan teh manis hangat yang menjadi sarapan pilihan bunda pagi itu. Beliau pun langsung meminta untuk disuapi sarapannya itu. Kuantarkan sendokan pertama ke mulutnya yang masih agak basah setelah dilap tadi. Kemudian kususulkan sendokan kedua yang dilahapnya dengan cukup cepat. Nampak bunda cukup menikmati sarapan pagi itu meski mengaku agar seret. Lalu setelah berhenti sejenak, disantaplah sendokan ketiga dengan perlahan-lahan. Tak berapa lama kemudian bunda meminta menyudahi sarapan paginya. "Sudah ah dik. Buat kamu aja nasi kuningnya" katanya padaku. Tanpa pikir panjang, nasi kuning lengkap yang sejujurnya tak seenak buatan bunda di rumah itu pun kulahap dengan cepat. Mubadzir kalau tak dimakan, pikirku saat itu.

Seusai menyantap nasi kuning, bunda bertanya padaku "Kita punya apa sih dik?" Lalu ku jawab "Ada roti kalau ibu mau." "Roti apa dik?" tanyanya kembali. "Ini yang aku lagi gigit, roti pisang." jawabku. Lalu bunda bilang "Ya udah mau deh daripada gak ada yang dipakai buat ngisi perut." Lantas kuserahkan roti itu ke tangan kanannya yang sudah dipenuhi noda-noda berwarna biru akibat terlalu sering ditusuk jarum baik untuk mengambil darah, diinfus maupun untuk kemoterapi. Baru saja dua gigit bersarang di mulutnya, bunda menyudahi santapan rotinya dan meminta agar diberi obat pagi saja supaya bisa segera tidur lagi dan beristirahat yang cukup. Rupanya obat-obatan itu tak mampu membuatnya terlelap. Bunda semakin gelisah dan tiba-tiba meminta agar tangan kanannya dipegangi. 

Tak lama datanglah petugas laboratorium yang hendak mengambil sample darah. Maka kulepaskan tanganku dari cengkraman tangan bunda sembari mempersilahkan petugas laboratorium bekerja. Tusukan pertama gagal, begitu pula dengan tusukan kedua. Sebab pemeriksaan ini mengharuskan pasien diambil darahnya dari pembuluh darah perifer. Biasanya ketika bunda harus diambil darahnya dari situ, beliau akan merasa sangat amat kesakitan hingga tak jarang berteriak sambil sesekali meneriakkan nama dokter onkologisnya. Namun apa yang terjadi pagi itu cukup berbeda. Tak ada teriakkan sekecil apapun, hanya ada tarikan bibir yang menandakan rasa sakit itu. Diriku pada saat itu hanya berpikir bahwa mungkin bunda sudah mulai terbiasa dengan suntikan di bagian itu. Akhirnya diputuskan bahwa pengambilan darah dibatalkan pagi itu, akan dicoba lagi nanti siang atau sore. Aku dan kakakku bergantian masih terus memegangi tangan kanan bunda yang mencengkram makin kuat. Saat kami hendak mandi pun salah satu tetap harus memegangi tangan bunda. Mungkin ini awal dari firasat buruk bunda yang akhirnya tak tersampaikan kepada kami.


Lengan bunda yang sudah membiru
Awalnya, foto yang sempat kakakku potret untuk menggambarkan tangan bunda yang sudah membiru akibat hematoma adalah yang foto sebelah kiri. Namun dengan instinct fotograferku, aku memotret ulang dengan hasil foto yang di sebelah kanan agar nampak jelas hematomanya serta pasien yang menderita. Ternyata hasilnya malah menyerupai salam perpisahan bunda yang sempat kuabadikan.

Jam menunjukkan pukul 9:30 pagi, seorang perawat masuk seperti biasa membawa alat pengukur tekanan darah. Dengan ramahnya dia mengucapkan "Bu, saya tensi dulu ya". Lalu dibalasnya oleh bunda dengan sebuah anggukan kecil dalam rasa sakit yang teramat sangat pedih. Pada saat yang bersamaan aku pamit untuk pergi ke sebuah pusat perbelanjaan di seberang RS yang meski kecil tapi cukup lengkap. Sebab sejak seminggu belakangan ini, bunda seringkali meminta dibelikan es krim merk "M" yang punya beberapa varian rasa antara lain Brownies, Gold dan Infinity untuk menenangkan pikirannya. Menurut beberapa orang dan hasil jalan-jalan mayaku, cokelat mampu meredakan ketegangan pikiran manusia. "Bu, aku pamit ke SJ dulu ya. Mau beli es krimnya ibu sama keperluan lainnya." Lalu bunda menjawab "Ya udah, hati-hati ya". Pergilah aku dengan segera.

Hanya sekitar satu jam lamanya aku berada di sana, lalu aku kembali ke kamar di RS. Dengan wajah dan badan yang masih agak dihinggapi air-air keringat, aku mengetuk pintu kamar sambil menyapa "Assalamualaikum bu". Betapa terkejutnya aku ketika mendapati bunda dalam keadaan yang terengah-engah. "Ibu kenapa mas?" tanyaku pada kakakku yang setia menemani selama tiga minggu lamanya di RS Dharmais. Secara sigap ia pun menjawab "Gak tahu. Orang ini barusan baru habis diuap lagi kok." dengan wajah yang agak panik. Tanpa pikir panjang, kuperiksa tiap-tiap bagian dari selang oksigen yang memang sudah terpasang sejak awal masuk RS ini. Sebenarnya selang oksigen itu sempat dilepas setelah menjalani operasi patah tulang di paha kirinya. Namun tak sampai dua hari, bunda meminta selang itu dipasang lagi. Lalu akhirnya ku temukan penyebab sesak nafas bunda yang saat itu makin menjadi-jadi. Siapa sangka ternyata selang oksigen bunda tak tersambung lagi ke tabung oksigen selepas diuapi tadi. "Nih mas, selangnya gak nyambung." ujarku. "Oh, maaf banget ya." balasnya dengan nada memelas dan agak panik. Jadi rupanya bunda hanya dipasangi selang oksigen tanpa ada oksigen yang keluar. Saat itu juga kusambungkan kembali selang oksigen itu. Dalam sekejap pernafasan bunda terdengar sedikit membaik walaupun benar-benar hanya sedikit sekali membaiknya.

Melihat kondisi bunda yang semakin mengkhawatirkan, para perawat dibantu dokter umum yang berjaga di lantai 7 tempat bunda dirawat, memutuskan untuk memasang alat monitor untuk memantau detak jantung, tekanan darah, pernafasan serta kadar oksigen bunda. Alat yang sama pernah terpasang tepat seminggu sebelumnya dengan hasil pemantauan yang baik sehingga tak perlu dipasang lebih dari 24 jam. Sampai dengan saat ini, hasil pemantauan melalui layar masih cenderung baik. Tekanan darah masih berkisar di antara 140 sampai 160 sementara detak jantung masih berada di kisaran 90 sampai dengan 102. Sedangkan kadar oksigen dan pernafasannya pun masih cukup bagus, sampai tak ada kesan mengkhawatirkan yang muncul di diri kami.

Tak berselang terlalu lama, bunda sekali lagi minta agar bisa tidur dan beristirahat. Lalu kami dimintanya untuk memintakan sepucuk obat tidur kepada perawat. Ternyata apa daya keinginan bunda ini tak dikabulkan perawat dengan alasan dapat mempengaruhi paru-paru dan kerja jantung. Untuk itu mereka akan berkonsultasi kepada segenap dokter yang menangani bunda dengan penuh kasih sayang. Setelah berkonsultasi dengan dokter orthopedi, ternyata obat tak kunjung diberikan. Dokter orthopedi ternyata ingin berkonsultasi dengan dokter ahli kemoterapi, yang ternyata malah mengonsultasikannya kepada dokter spesialis jantung dan spesialis paru-paru. Sekian jam menunggu obat itu pun tak kunjung bunda dapatkan. Rupanya dokter jantung tak memberikan respon apa-apa. Dengan sigapnya, sekira jam 1 siang meski penuh risiko, dokter ahli kemoterapi memberanikan diri memutuskan untuk memberikan obat tidur dengan dosis terkecil. Namun apa daya bunda merasa sudah terlambat sekali. "Ah, kalau gini ya udah percuma. Ibu udah keburu gak pingin tidur." ujarnya berkali-kali. Kami hanya bisa menenangkan bunda sembari memberi tahu bahwa obat tidur yang akan diminumnya baru akan bereaksi beberapa jam kemudian. Bunda pun makin kesal dan jengkel dengan pihak rumah sakit. Kami memaksanya untuk menelan obat tidur itu bersama obat-obat siang yang biasa bunda konsumsi setiap hari. Tapi siang itu bunda tidak mau makan sama sekali meski menu makan siang telah tersaji sejak 2 jam yang lalu. Maka kami berinisiatif menyuapinya dengan sebuah pisang Cavendish yang hanya mampu bunda santap separuhnya dan tiga belah pepaya. Seusai itu barulah segala obat-obatan tadi kami berikan pada bunda.

Dalam keadaan yang seperti itu kami masih harus terus memegangi tangan bunda yang cengkramannya semakin erat seolah tak ingin berpisah dari kami. Bunda menyuruh kami memesan makan siang yang dapat diantarkan langsung ke kamar dari pusat perbelanjaan di seberang RS agar kami tidak harus melepaskan cengkraman tangan kanannya. Tak berselang terlalu lama, tibalah makanan pesanan kami dan kami disuruhnya untuk makan secara bergantian. Bunda tak kunjung dapat tertidur dan semakin mengeluh tentang lambatnya obat tidur diberikan. Untuk menenangkan diri bunda minta disuapi es krim lagi namun ternyata tak ada pengaruhnya sama sekali. 

Kondisi bunda seusai itu semakin nampak berbeda. Saat itu kondisi bunda seperti seseorang yang tengah batuk berdahak namun tak dapat menelan maupun mengeluarkan dahaknya sendiri. Dahak itu seolah-olah seperti tersangkut di kerongkongannya. Berulang kali bunda memintaku mendekatkan piring ginjal yang selalu tersedia di ranjangnya sebagai wadah apabila seandainya beliau hendak muntah atau mengeluarkan kotoran apapun dari mulutnya. Namun ternyata piring ginjal itu tetaplah bersih hanya berisi sedikit ludah-ludah kecil yang mungkin merupakan hasil dari usaha keras bunda membuang dahaknya. "PirGin.. PirGin.." ucapnya berkali-kali meski tetap saja tak ada yang keluar.

Jam menunjukkan pukul 3 sore dan snack sore pun tiba. Kali ini menunya berupa sepotong kue kecil dan segelas jus alpukat yang memang tak nampak begitu menarik. Bunda masih saja gelisah dengan keadaan yang tak kunjung memberinya kesempatan untuk tertidur. Dalam kegelisahan yang sedemikian beratnya bunda sempat bertanya pada kami "Adik sayang kan sama ibu? Mas sayang kan sama ibu?" yang lalu kami balas dengan jawaban "Ya" serta anggukan kepala terikhlas kami. Seumur hidup, apa yang paling kami bisa ikhlas lakukan dan berikan antara lain adalah merawat dan menyayangi orang tua. Kemudian bunda memintaku untuk mengusap-usap kepalanya yang sudah sama sekali tak memiliki rambut akibat efek kemoterapi terakhir pada tanggal 20 januari lalu di Bogor. Alisnya pun sudah habis bak dicabuti tiap hari oleh mahluk-mahluk tak kasat mata.

Jarum pendek menunjukkan jam 4 sore telah tiba. Bunda bertanya padaku "Kita punya sirup apa?" "Gak ada sirup bu." jawabku. Pertanyaan itu diulangnya sekali sambil kujawab "Kita gak punya sirup bu. Kalaupun aku turun beli ke bawah mungkin udah tutup. Ada juga jus alpukat kalau ibu mau." dengan tenangnya. Beliau hanya menjawab "Ah ya udah." yang tak kuanggap sebagai sesuatu yang terlalu serius.

Sekira satu jam kemudian atau sekitar jam 5 sore, bunda memintaku untuk menyuapkan jus alpukat itu kepadanya. "Ya udah ibu mau deh jus alpukatnya" begitu ujarnya padaku. Tanpa pikir panjang, sesegera itu juga kusuapkan jus alpukat yang sebenarnya isinya tidak terlalu banyak itu. Pada tegukkan terakhir, seperti biasa bunda menganggukkan kepala sebagai isyarat untuk menyudahi minumnya. Jus itu tak dihabiskannya, menyisakan sedikit pada bagian dasarnya atau boleh dikatakan hanya nyaris habis saja.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 5:30. Segelontor cairan berwarna kecokelatan mulai keluar dari mulut bunda yang sebelah kanan. Kubersihkannya dengan beberapa helai tissue kering tanpa ada rasa panik sedikitpun. Aku menganggapnya sebagai kotoran biasa yang mungkin memang tadi tak sempat tertelan. Sekira lima belas menit kemudian atau tepatnya pukul 5:45 keluarlah cairan serupa dari mulut sebelah kirinya yang dengan sigap langsung kubersihkan sambil aku terus mengajak bunda beristighfar seraya menyebut nama Allah SWT. dan menyemangatinya. "Ibu kuat kok bu. Allahu akbar. Bismillahirrahmanirrahim." ujarku berulang kali. Kakakku yang juga berada di ruangan itu turut menjadi panik karenanya. Kusaksikan dengan seksama mata bunda sudah mulai tak bergerak sama sekali. Rasa panik yang teramat sangat ini memaksaku memanggil para perawat yang langsung datang berdua disusul salah seorang perawat lainnya kemudian. Tekanan darah bunda melonjak menjadi 196 sedangkan detak jantungnya menembus angka 126. Dalam waktu yang amat sangat singkat detak jantungnya menurun ke angka 122, 120, 100, 91, 90, 71, 62, 61, 60, lalu sempat naik lagi menjadi 61 dan kemudian 62. Akan tetapi tiba-tiba langsung turun lagi ke angka 45. Karena kondisi yang semakin kritis maka dipanggilah dokter jaga sore itu yang langsung mengecek kondisi secara keseluruhan. Detak jantung semakin merosot hingga ke angka 20-an dan sesaat kemudian tibalah pada titik terakhir yaitu angka NOL (0). Dipegangnya lah nadi bunda lalu dokter itu menyampaikan pada kami "Mas, ikhlaskan aja ya ibunya udah gak ada".

Tanpa ada rasa kaget yang berlebih, kami segera menghubungi semua orang untuk mengabari kejadian ini. Aku sendiri sembari menahan rasa sedih yang teramat dalam ini berusaha menghubungi orang-orang yang ku punya nomor kontaknya di telepon selulerku meski sebagian besar daripada mereka tak mengangkat teleponku. Setengah jam lamanya kami mengabari sanak saudara, kerabat serta teman tentang wafatnya bundaku tercinta. Kakakku tak sama sekali menunjukkan raut wajah yang sedih, malah masih bisa sedikit bergurau dengan orang-orang yang dihubunginya.  

(bersambung)

[Haryadi] 

8 komentar:

  1. (mudah-mudahan tulisannya tidak salah, kalau salah nanti bunda yang koreksi dari sana, hehe)
    --> Bunda memang selalu jeli dan teliti ya. Saya pernah dikoreksi karena nulis "combro". Kata Bunda harusnya comro karena singkatan dari onCOM di jeRO, dan bukan onCOM di jeBRO.... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. dan saya korektor tulisan Bunda Julie di mp:D

      Hapus
  2. gak sanggup baca-nya, mas..

    BalasHapus
  3. Ya Allah Mas Yadi...mbrebes mili aku bacanya, apalagi liat foto2 kondisi terkahir Bunda Julie... waktu ke sana aja, tadinya mau foto sama Bunda Julie, tapi aku gak tega mas..:(
    Alhamdulillah...Bunda sudah mendengar langsung di saat terakhirnya beliau, kalau kalian semua sayang Bunda..

    BalasHapus
  4. ibu...saya mampir ke blog ibu... masih suka gak percaya ibu udah pergi selamanya... masih jelas terbayang saat pertama kali saya ketemu ibu di cape town. sambutan ibu sangat hangat membuat saya yg baru pertama kali bertugas ke luar negeri mendampingi suami, merasa 'dipeluk'... belum lagi cerita-cerita ibu yg mengalir saat kita semua menusuk sate di wisma untuk acara 17 agustus-an... terlalu banyak kenangan untuk dilupakan... sekarang ibu sdh gak merasa sakit lagi... perjuangan ibu sdh berakhir.. namun boleh ya bu bila saya kangen saya mampir lagi ke blog ibu membaca kisah-kisah yg ibu tuliskan...serasa ibu sendiri yg sedang bercerita..seperti dulu..
    -al fatihah untuk ibu-

    rita

    BalasHapus
  5. Saya belajar banyak dari blog ini, Bunda Julie dan anak-anaknya. Al Fatihah untuk Bunda.

    BalasHapus
  6. saya tiba-tiba kangen bunda dan meluncur ke sini... bunda selalu memanggil saya dengan 'nak' dan kadang2 'nduk'. saat msh di MP, sy mimpi tulisan bunda dibukukan dan mengirimkan satu untuk saya dg tanda tangannya segala. saat sy menyampaikan hal itu, bbrp hari setelahnya sy justru mendapat paket sekardus mi intan berisi banyak sekali jajanan khas bogor, termasuk manisan mangga dan salak. "kamu kan hamil, biasanya senang yg asam2 kan?"
    bunda sangat baik, smg Allah menempatkan bunda di sisiNya yg indah...

    BalasHapus

Pita Pink