Powered By Blogger

Jumat, 14 Februari 2014

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (176)

aru-paru saya bermasalah kembali. Mulai kemarin sore, tiba-tiba saya merasa sesak nafas lagi. Padahal, sudah dua hari saya tidak memakan oksigen. Sebab, direncanakan tadi pagi hari Kamis (13/2) saya akan mulai dengan program radiasi yaitu penyinaran dengan sinar-X yang amat kuat untuk menghambat tumor-tumor yang tumbuh sangat banyak dan cepat di tengkorak kepala saya. Tumor-tumor inilah yang membuat saya sangat kesakitan dan nyaris tak berdaya sehingga perlu dirawat di RS. Padahal selain itu, saya punya tumor lain yang juga semakin mengkhawatirkan di tulang selangka saya (tulang supraklavikula) di daerah bahu. Tumor yang itu akan dihambat dengan obat kemoterapi yang selama ini belum terbeli disebabkan harganya yang terlalu mahal. Sayangnya, kondisi pernafasan saya justru menjadi penghambat dimulainya program radiasi. 

Padahal tadi pagi, sesuai rencana dokter, pada pukul 10 saya akan menjalani pemetaan sasaran radiasi sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Meski dikatakan dua mesin radiasi tidak dapat berfungsi semua, akan tetapi keadaan saya yang mengkhawatirkan membuat dokter-dokter yang menangani saya atas permintaan onkologis saya dr. Bayu Brahma, Sp.B (K) Onk mengutamakan mesin yang masih cukup baik untuk saya pakai terlebih dulu. 

Saya dibawa dengan ranjang kamar perawatan saya dengan terlebih dulu melepas kantong transfusi darah saya dan menggantinya dengan infus, namun tetap menggendong tabung oksigen portable menuju ke klinik instalasi radioterapi. Di lantai bawah tanah kamar dingin itu, banyak pasien menunggu. Kebanyakan adalah pasien rawat jalan dengan wajah aneka rupa dan kulit menghitam di sana-sini karena efek radiasi. Memang biasanya pasien radiasi tidak menginap di rumah sakit melainkan pergi-pulang setiap hari. Terkecuali pasien-pasien yang sudah sangat tidak berdaya dan hanya bisa berbaring-baring saja. Ketika minta persetujuan untuk radiasi di counter BJPS-JKN dulu, anak saya sempat ditanya mengapa pasien menginap. Untunglah mereka bisa menerima penjelasan kami yang diajarkan oleh dokter ahli radioterapi dr. Dewi S. Soeis, Sp.Rad. (K) Onk. Pasien-pasien di ruang tunggu klinik radioterapi kebanyakan mengarahkan pandangannya ke arah saya. Agaknya mereka di dalam hati merasa lebih beruntung dibandingkan saya, sebagaimana dulu saya juga merasa demikian jika melihat pasien-pasien serupa saya sekarang yang banyak lalu lalang di lantai bawah tanah itu. 

Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya saya dibawa masuk ke dalam klinik. Di situ saya dipindahkan ke meja radiasi yang amat keras serta sempit. Kepala saya tidak diberi bantal. Hanya dialasi dengan semacam bantalan kecil seukuran bantal bayi yang diberi lekukan di tengahnya dan terasa amat keras guna menahan kepala dan leher pasien yang akan dikerjai agar tidak bergerak-gerak. Rasanya tentu saja sangat tidak nyaman. Apalagi diposisikan dalam keadaan datar di saat pasien sedang terengah-engah kena serangan asma. Di atas meja itu, kepala saya akan dibuatkan topeng yang dimaksudkan untuk menjaga dan menahan daerah-daerah yang tidak ada tumornya supaya tidak tersentuh sinar-X yang amat kuat itu. Tentu saja mula-mula muka saya dibekap dengan semacam cetakan topeng yang terasa hangat terbuat dari campuran karet dan plastik. Meski di bagian hidung, diberi berlubang untuk memudahkan pernafasan yang dalam hal saya terpaksa dibantu oleh tabung oksigen. Tapi tentu saja saya tetap tersiksa kepayangan. Dokter dan para teknisi berulang kali menyatakan minta maaf. Mereka membicarakan tumor-tumor saya yang nampak oleh mereka secara kasat mata. Diraba-raba dan ditunjuknya satu demi satu yang katanya amat banyak padahal saya tahu tumor saya jauh lebih banyak lagi terletak agak ke belakang kepala saya. Sebetulnya, saya ingin memberitahukannya akan tetapi saya tidak mungkin bersuara. Sehingga, dokter Dewi akhirnya bisa merasakan bahwa saya amat kepayahan di balik topeng itu. Mulut saya sudah menganga-nganga mencoba menghirup udara yang betul-betul amat saya perlukan untuk paru-paru saya. Layaknya jadi seperti ikan kehausan oksigen. Padahal, proses pemetaan baru berlangsung separuh jalan. Namun mengingat kondisi saya saat itu, dokter Dewi tidak berani melanjutkan lagi. Akhirnya, proses pemetaan dihentikan dulu dan akan dilanjutkan esok hari dengan langkah selanjutnya berupa penggambaran tumor sasaran radiasi. Proses pekerjaan tadi pagi akhirnya menjadi sia-sia belaka. Saya dibawa kembali ke kamar perawatan saya sambil merasakan sesak nafas yang semakin menjadi-jadi. Namun dalam pada itu, hiburan datang tanpa terduga. Sahabat-sahabat lama saya semasa saya tinggal di Wina, Austria 23 tahun yang lalu datang menjenguk saya. Masing-masing berkorban menumpang bus Transjakarta Busway untuk menunjukkan simpati, doa, dan pengharapan mereka atas keadaan saya dan bagi kesembuhannya. Subhanallah ternyata nyaris tak ada teman-teman yang melupakan saya dan anak-anak, apalagi membenci kami seperti isu yang dihembus-hembuskan orang tak bertanggung jawab yang nampaknya kurang suka terhadap saya. Menjelang sore, kemenakan bos saya di penugasan pertama 28 tahun yang lalu tiba-tiba menelpon menanyakan keadaan saya dan tempat perawatan saya. Mereka mengatakan akan berkunjung setelah mendengar keadaan saya yang terakhir dari banyak orang yang katanya amat memprihatinkan.  

***

Hari ini Jumat (14/2) keadaan saya semakin memburuk. Pagi-pagi sekali sesak nafas saya sudah menjadi-jadi. Apalagi sudah nyaris 5 hari saya tidak bisa buang air besar (BAB) lagi. Dada saya terasa amat berat. Nafas saya memburuk membuat saya hampir terkena status asmathicus yakni serangan asma yang sudah sangat berat yang bisa membawa kematian. Padahal, obat-obat asma saya dosis tinggi yang selama ini diamsukkan ke dalam darah saya yang terhubung lewat infus sudah dihentikan selama dua hari. Keadaan ini cukup mengejutkan para perawat. Begitu selesai mandi dengan cara dilap di atas tempat tidur, kedua telapak kaki saya pun tiba-tiba terasa amat dingin. Sehingga, saya minta kantong buli-buli berisi air panas untuk menghangatkannya dan perlu meminjam selimut anak saya yang dibawa dari rumah untuk melapisi selimut rumah sakit yang sesungguhnya sudah cukup menghangatkan. Tak lama kemudian, sambil menunggu jam kerja dokter, untuk mendapatkan pemeriksaan, saya diinhalasi yakni diuapi dengan menggunakan obat yang dimasukkan ke dalam sebuah alat lalu dihubungkan dengan oksigen dan dibekapkan ke hidung serta mulut saya. Namun itu tak banyak menolong. Dalam pada itu, anak saya Andri segera melaporkan keadaan saya kepada dokter Bayu sebagai dokter utama komandan dari pengobatan saya. Padahal, beliau ternyata sedang bertugas di luar RS. Tetapi beliau dengan segala tanggung jawabnya segera bertindak. Rumah sakit dihubungi begitu pula kami. 

Pukul delapan dokter spesialis paru datang memeriksa kondisi saya. Beliau pun nampak amat terkejut. Kemudian obat-obatan asma saya kembali ditingkatkan. Setelah itu, masuklah spesialis bedah tulang yang merasa bersalah karena kemarin telah memaksa saya untuk mulai melatih gerakan-gerakan tubuh saya terutama di bagian kaki. Agaknya beliau lupa bahwa saya tidak sebugar pasien-pasien lainnya, disebabkan kondisi paru-paru saya yang asmatis. Jadi pada akhirnya, dokter Achmad Basuki menyatakan minta maaf dan menunda semua latihan fisioterapi untuk kaki saya. Agak siang, masuklah dokter jaga yang masih amat muda. Katanya namanya dokter Naya. Beliau bertanya-tanya mengenai kondisi saya yang saat itu sudah memakai oksigen lagi dalam kapasitas yang besar. Kemudian beliau keluar untuk berbicara dengan para perawat. Setelah itu, perawat pun memanggil anak saya karena ada dokter mencari membicarakan kelanjutan rencana perawatan saya hari ini. Rupanya, dokter Bayu sebagai komandan mereka meminta saya untuk kembali dipindah ke ICU, setidak-tidaknya ke HCU (High dependency Care Unit). 

Ternyata, di ponsel anak saya ada juga instruksi dokter Bayu untuk segera mencarikan tempat bagi saya di ICU atau di HCU. Anak saya pun bergegas memenuhi perintah itu. Sayangnya, baik ICU maupun HCU penuh semua. Bahkan di HCU sudah ada 3 pasien mengantri. Demi mendengar SMS tadi, saya menjadi semakin ngeri. Terbayang oleh saya suasana para pasien di dalamnya yang serba membutuhkan segala alat untuk menolong kondisi mereka, yang menurut anak saya memang betul-betul memprihatinkan. Bahkan, ada yang lehernya sudah dibolongi sehingga membuat keluarganya sendiri tak tega untuk melihatnya. Saya katakan kepada anak saya untuk menjawab SMS dokter Bayu dengan penolakan perawatan di sana. Namun sekaligus saya berjanji untuk tidak menerima tetamu kecuali keluarga saya yang sudah barang tentu ingin menjenguk saya sendiri setelah menerima laporan anak saya tentang kondisi terbaru saya. Kalaupun mereka datang nanti, saya sudah berjanji tidak akan banyak bicara mengobrol melayani mereka. Dokter Bayu tidak menjawab panjang lebar tapi masuklah dokter Naya yang mencoba membujuk saya agar mau dipindah sesuai dengan instruksi dokter Bayu. Tetapi saya tetap bersikukuh untuk menolaknya sambil memperlihatkan SMS antara kami dengan dokter Bayu. Saya katakan pada dokter Naya bahwa saya pun merasa amat menyusahkan dokter Bayu yang sudah jelas-jelas berupaya keras menolong saya. Apalagi dokter-dokter di kampung halaman konsulen beliau semua menghendaki agar saya dibawa kembali ke kantor beliau di RS Dharmais. Itu artinya, sarana pengobatan di RS di kampung kami tidak memadai untuk menangani saya. Mereka hanya menghendaki kelak jiwa saya sembuh boleh kembali kepada mereka untuk mengontrol kesehatan saya. Dokter Naya dan para perawat mengatakan saya tak boleh punya rasa bersalah kepada dokter Bayu. Sebab, dokter Bayu cuma menjalankan tugasnya sesuai dengan yang diamanahkan oleh profesi tanpa pamrih. 

Entah bagaimana terjadi, kini kamar perawatan saya sudah menyerupai ruang ICU dengan segala peralatan medis tertancap di sana sini untuk saya pakai. Apalagi kemudian dokter ahli jantung datang memeriksa kondisi saya serta memerintahkan perawat untuk memeriksa kondisi jantung saya secara intensif dengan alat EKG. Setelahnya, obat-obat jantung saya diganti dengan yang lebih ringan. Akan tetapi, tensi, pernafasan, kadar oksigen, dan irama jantung saya terus dimonitor melalui sebuah mesin yang terhubung selama 24 jam ke tubuh saya. Dokter jantung mengatakan saya tidak boleh terlalu lelah baik menerima tamu apalagi berlatih fisioterapi. Saya diharapkan bisa menyaring tetamu saya dan beristirahat banyak. 

Dokter saraf pun setuju dengan pendapat dokter jantung. Saya tidak dianjurkan untuk menguras tenaga, termasuk harus menunda pengobatan radiasi saya yang memang sesungguhnya sudah sangat mendesak dilakukan. Untunglah menjelang sore, dokter radioterapi juga datang memeriksa kondisi saya dan sepakat mengatakan bahwa radiasi harus ditunda sampai keadaan saya membaik. Bahkan beliau menyimpulkan sendiri saya tidak bisa berbaring datar pada masa sekarang, disebabkan kondisi pernafasan saya yang payah. Artinya, radiasi saya tertunda lagi oleh kondisi saya sendiri. 

Hari ini yang datang menjenguk betul-betul cuma keluarga saya. Itupun hanya setengah jam saja. Sebab, anak bungsu saya secara tegas telah menolak teman-teman Dharma Wanita Persatuan (DWP) saya serta handai taulan yang ingin datang. Walaupun katanya mereka kemarin sempat mencari saya di ICU. Namun saya sudah keluar dari sana. Maafkan saya teman-teman semua. Saya sampaikan terima kasih kepada anda semua yang setia dan punya segudang cinta kepada saya dan anak-anak. Percayalah suatu hari nanti kita akan berjumpa kembali. Saya tetap menggengam harapan hidup dalam kepercayaan saya kepada Allah yang amat saya muliakan. Selamat malam! 

(BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pita Pink