Powered By Blogger

Rabu, 05 Februari 2014

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (173)

aafkan saya. Akhir-akhir ini, penulisan jurnal terpaksa tersendat-sendat dikarenakan saya sedang mengalami hari-hari terburuk di dalam masa perawatan medik saya. Sudah delapan hari memasuki hari ke-9 saya terpaksa terbaring lemah tanpa daya bahkan sekedar untuk menggeser tubuh di pembaringan ruang perawatan Kamar 706 Ruang Anggrek 2 Lantai 7 RS Dharmais, Jakarta. Tulang paha saya yang patah yang seharusnya direncanakan dioperasi pada hari Senin lalu, terpaksa tertunda disebabkan saya terserang asma cukup parah untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun merasakan bebas serangan. Sehingga sekarang, para dokter sedang berkonsentrasi untuk memperbaiki kesiapan paru-paru saya. 

Pagi itu dokter bedah tulang cukup terkejut di dalam konferensi pagi menerima laporan dari dokter ahli anestesi bahwa saya sedang terserang sesak nafas akut yang mengakibatkan paru-paru saya tak mungkin untuk menerima obat-obat anestesi yang amat keras sifatnya. Memang demikian adanya dokter ahli anestesi sudah sempat memeriksa saya terlebih dulu sambil menanyai ini-itu. Saya jelaskan kepada beliau bahwa saya penderita asma yang sudah beberapa kali mengalami kekambuhan tepat di atas meja bedah. Di saat pembedahan seringkali nafas saya tiba-tiba menjadi berkerut otot-ototnya hingga asupan oksigen ke paru-paru tidak mencukupi dan membahayakan. Ketika operasi selesai, saya terbangun sudah di dalam pengawasan para perawat yang sedang menghidupkan berbagai mesin di dalam ruang gelap dan senyap Ruang Intensive Care Unit (ICU) sebuah rumah sakit.

Kini saya sedang menjadi pasien utama dokter ahli paru-paru. Beliau selalu memeriksa saya dengan cermat. Saya mendapat pengobatan asma yang sesuai baik langsung melalui jarum suntik maupun melalui penguapan dan hirupan serta obat-obat yang diminum. Proses pengobatan ini terbukti amat menolong karena berangsur-angsur saya mulai merasakan perbaikan. Nafas saya mulai terasa ringan meski oksigen dengan selangnya masih tetap menempel di hidung saya. 

Selain itu, saya seringkali mengalami serangan panas seperti biasanya selesai dikemoterapi. Suatu hari di tengah malam buta, tiba-tiba tubuh saya dibanjiri keringat lebih deras daripada hari-hari biasa di rumah. Sehingga, semburan pendingin ruangan yang biasanya efektif tidak lagi berdampak apa-apa. Rasanya kompor lebih banyak lagi dihidupkan di atas kepala saya sehingga saya tak hanya bisa menggoreng telur melainkan juga merebus seonggok daging yang cukup liat di sana. Saya terjaga dari tidur saya yang memang kini tak pernah nyenyak dan memanggil-manggil perawat serta anak saya untuk menolong saya. Kepadanya saya mintakan untuk mengompres seluruh tubuh saya setidak-tidaknya menyeka dengan air dingin. Sungguh saya tidak dapat menanggung lagi semua rasa yang amat menyiksa ini. Tentu saja perawat berkeberatan, begitu juga anak saya. Tetapi saya tetap memaksa. Akhirnya mereka mengalah dengan menyeka tubuh saya menggunakan lap basah dingin. Dilanjutkan oleh anak saya dengan mengompres kepala saya menggunakan handuk basah dingin dari dalam lemari es sepanjang malam. Keesokan harinya kami semua tentu saja bangun dalam keadaan tidak bugar. Anak-anak saya merasa letih lesu padahal dalam keadaan masih harus menyelesaikan urusan administrasi dengan menggunakan JKN-BPJS disebabkan oleh belum tertatanya program ini dengan baik. Sedangkan saya sendiri lesu dengan nafas terengah-engah karena amat kehausan oksigen meski masih terus menempel di hidung. Namun alhamdulillah banyak teman serta kerabat yang masih mengunjungi saya sekedar menghibur. Cerita-cerita mereka yang lucu menyerikan muraman saya. Saya bahkan hanya bisa menjawab sepatah-sepatah disebabkan tak mampu bernafas dengan baik. 

Hari kemarin pun saya masih belum terlalu fit. Tapi pengobatan asma saya sudah mulai banyak menunjukkan hasil. Pagi-pagi sehabis mandi saya menyantap sarapan, saya jatuh tertidur lelap sehingga onkologis masuk pun saya tak menyadarinya. Menurut anak-anak, beliau yang begitu lembut hati melarang anak-anak membangunkan saya. Biar katanya. Izinkan ibu tidur nyenyak. 

Ternyata beliau lebih memilih bicara dengan para perawat dan mengorek segala sesuatu mengenai keadaan saya dari rekam medis serta laporan perawat. Padahal, di dalam hati saya senantiasa merindukan pertemuan dengannya sebab memandangnya, cukup dengan hanya memandangnya, pasien yang manapun sepakat dengan saya sudah cukup merasa lega. 

Berikutnya datanglah dokter ahli bedah tulang dan juga dokter ahli paru yang masing-masing membuat kesimpulan sendiri-sendiri untuk dirundingkan bersama guna memutuskan kesiapan operasi saya. Waktunya tetap serba belum menentu. Kemudian lagi menjelang sore datanglah dokter spesialis saraf yang diundang untuk menjadi konsulen dokter onkologi saya di dalam menangani benjolan saya yang di kepala. Sebab berdasarkan hasil pemeriksaan CT-Scan yang terbaru, tumor-tumor itu sudah menembusi tulang tengkorak kepala saya menjalar jauh ke mana-mana. Oleh karena itu, seluruh saraf saya diperiksanya dengan teliti dan seksama. Belakangan beliau mengatakan onkologis telah mengambil rencana pengobatan yang sangat tertata. Jika operasi masih terus tertunda, beliau diminta untuk mengobati kepala saya saja terlebih dulu, melalui proses penyinaran (radiasi) sebanyak sepuluh kali untuk menghemat waktu perawatan di rumah sakit. Tadi pagi itu ditegaskan kembali oleh dokter Bayu Brahma, Sp.B (K) Onk. kepada saya. Tentu saja saya sangat bahagia karena terbukti lagi tidak salah memilih dokter. Saya katakan saya tunduk patuh kepadanya asal saya bisa segera mencapai pemulihan dan diizinkan kembali dirawat di kampung halaman. Sungguh, saya benci Jakarta. Bagi kami, Jakarta sangat tidak nyaman. Daerahnya padat, kotanya tidak ramah, dipenuhi oleh kabut asap polusi dan kami terpaksa menumpang jauh di atas tanah pada lantai 7. Anak-anak saya selalu mengatakan hanya bisa melihat kepadatan lalu-lintas di jalanan. Bukan bunga-bunga dan kupu-kupu yang berterbangan bebas di rerumputan di teras di luar kamar perawatan saya di kampung halaman. Ah, sungguh kami orang desa yang biasa hidup rata dengan tanah. Sehingga, menimbulkan senyum di bibir dokter Bayu. Kata dokter Bayu, "Ya ya sabar dulu ya. Kalau semua program sudah selesai, nanti boleh pulang". 

***

Banyak orang yang membantu mencerahkan hari-hari saya berjuang melawan kanker selama ini. Di antaranya, dua orang gadis putri kolega saya di Kementerian Luar Negeri. Tanty Hamdani gadis berlesung pipit yang diperindah dengan dua buah tahi lalat di pipinya sudah dua kali mengunjungi saya. Mantan pegawai di sebuah lembaga internasional di New York yang baru saja mengundurkan diri dan kembali ke Indonesia untuk memulai mencari pekerjaan di sini mengaku banyak belajar bahasa Indonesia dari blog saya ini, sekaligus mengamat-amati bagaimana sikap saya dalam menghadapi segala tantangan hidup. Yang seorang lagi seorang dokter muda yang kini tengah belajar kembali mendalami bidang psikiatri juga asik mengajak saya bicara sekalian menganalisa pola perilaku dan sikap saya yang katanya amat istimewa dan belum pernah dijumpainya pada pasien-pasien kanker terminal yang pernah ditangani sebelumnya. Namanya dokter Annisa Triyono sarjana Universitas Indonesia (UI) berwajah hitam manis nan sangat lembut mencirikan putri Jawa yang sejati. 

Annisa berpendapat, menyikapi penyakit berat semacam kanker tentu saja diperlukan tidak hanya sekedar pengaturan pola hidup melainkan juga optimisme yang hanya bisa ditumbuhkan dari dalam diri sendiri melalui tingkat pemahaman yang tinggi akan penyakit yang dideritanya sekaligus kepasrahan. Sampai saat ini kata gadis itu, tante memang masih sulit disembuhkan dan karenanya diperlukan kerjasama tim medis yang menangani dengan pasien itu sendiri. 

Gadis lembut ini di mata saya juga merupakan suatu perkecualian. Ketika dia baru menyelesaikan sarjana satunya dia berniat untuk mengabdi di daerah terpencil sebagai tenaga dokter PTT. Alasannya di sanalah dia dapat mengabdikan diri sepenuhnya sesuai dengan panggilan hatinya sebagai mahluk sosial. Tetapi apa daya, kedua orang tua yang sangat mencintainya tidak menyetujui niatan gadis bungsu yang lama melanglang buana menghabiskan hidupnya bersama orang tua di negara-negara maju nyaris di seluruh dunia. Sebab itu dia kemudian memilih bekerja di sebuah RSUD di Jakarta saja. Selepas itu dia kembali menimba ilmu yang juga sempat ditentang oleh kedua orang tuanya serta dipertanyakan oleh banyak teman-temannya. Ilmu itu adalah ilmu kejiwaan, yang di mata orang banyak tidak bergengsi serta bukan merupakan sumber penghasilan yang baik di kemudian hari. Tetapi Annisa adalah putri sejati. 

Dia tetap dengan pilihannya berlandaskan alasan bahwa dia ingin mengabdikan diri untuk jiwa-jiwa yang terlantar terutama anak-anak penyandang autis yang di Indonesia masih dianggap beban tetapi belum banyak mendapat perhatian dan pendidikan khusus. Bagi dr. Annisa uang bukanlah segala-galanya, tetapi kehidupan yang lebih baik pada anak-anak autis itu nanti dianggap memperkaya jiwanya dan menjadikannya kenyang dengan sendirinya. Dia teringat masa kecilnya di New York ketika teman-teman satu sekolahnya yang kebetulan penyandang autis diperlakukan dengan sangat baik dengan mendapat bimbingan dan perlakuan khusus di dalam sebuah kelas dengan pendidik tersendiri. Dan itulah obsesinya untuk anak-anak Indonesia yang membawa bulat tekadnya mempelajari psikiatri sekarang ini.

Kata Annisa dia sudah pernah menjalani pendidikan di berbagai rumah sakit di Jakarta ini antara lain di Rumah Sakit Kanker Dharmais tempat perawatan saya, juga rumah sakit Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto termasuk RSCM sekarang ini. Ada banyak dijumpainya pasien-pasien terminal bahkan yang belum pun menderita depresi hebat disebabkan ketakutannya akan serangan kanker itu sendiri. Annisa mengatakan tugasnya sebagai tenaga psikiater untuk mendampingi dan menumbuhkan semangat hidup kepada mereka. Itu yang sangat mencengangkannya begitu melihat kondisi kejiwaan saya. Meskipun saya sempat mengalami kejang otak selama beberapa saat sehingga hilang kesadaran. Saya menjawab sambil bergurau bahwa sumber kekuatan saya selain anak-anak yang amat berbakti dan karenanya merupakan harta amat berharga saya, juga adalah dokter saya yang kebaikannya sangat luar biasa. Selain hatinya yang lembut pembawaannya pun juga amat menawan. Tak pernah terlontar kata-kata yang membodohkan pasien, mengecilkan arti kami, maupun sekedar memberikan instruksi dalam keadaan tidak bersahabat. Annisa hanya tertawa. Katanya, ketika beliau mengajar di kelas mengenai ilmu bedah dan kanker pembawaannya bisa sangat jauh terbalik. Beliau begitu tegas serius dan bersungguh-sungguh sehingga tidak ada mahasiswa yang main-main. Saya pun nampaknya harus sepakat dengan cerita dr. Annisa. Sebab di satu sisi, onkologi saya tidak bisa dibawa main-main. Beliau selalu ingin dan hanya menghendaki hasil yang terbaik untuk pasien.

 ***

Persiapan operasi saya tetap terus direncanakan meski dihadang oleh serangan asma yang kemudian diperburuk oleh percepatan detak jantung saya akibat pemberian aminophilin, obat asma. Tetapi pagi ini kamis (06/02), dokter ahli bedah tulang didukung dokter ahli paru telah sepakat untuk mengoperasi saya besok pagi. Adapun setelah operasi, program saya selanjutnya berlanjut di ruang radioterapi dengan penyinaran di kepala guna mematikan tumor-tumor yang sudah merusak jaringan tulang tengkorak saya oleh dr. Dewi Soeis sebanyak sepuluh kali. Saya cukup bahagia ditangani oleh dr. Dewi Soeis yang berwajah dan berpembawaan sangat keibuan. Lagi-lagi saya anggap dr. Bayu Brahma tak pernah keliru memilihkan konsulen untuk menangani pasiennya sendiri sebagai komandan. Saya beri beliau gelar Komandan Jagoan. Tolong doakan saya teman-teman. Semoga saya masih bisa melanjutkan kehidupan saya untuk berbagi pengalaman dan semangat di dalam memerangi penyakit yang mematikan ini. 

Terima Kasih. Saya pamit sejenak. 

(bersambung)

2 komentar:

  1. Insya Allah semua pengobatan ibu lancarrrrr...ibu sama anak2 bisa cepet pulang ke kampung halaman....amin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sampai hari ini rupanya belum jadi operasi juga.Sebab trombositnya masih rendah.

      Hapus

Pita Pink