Powered By Blogger

Senin, 03 Februari 2014

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (172)

embaran-lembaran sejarah hidup saya ternyata selalu penuh warna. Tidak hanya suka cita dan keberuntungan saja yang saya alami. Kesulitan, hambatan, dan masalah pun nyaris tak pernah kering. Mengingat keadaan saya yang tak tertangani dengan baik di kampung halaman, onkologis saya menyuruh anak saya untuk segera mencari kamar rawat inap di RSKD. Akan tetapi sebagai peserta JKN-BPJS, kamar-kamar di Dharmais dikatakan penuh semua. Padahal, dokter ahli bedah tulang menyatakan tak sanggup menangani operasi saya di kampung halaman disebabkan keterbatasan peralatan dan tenaga medis. Akhirnya, onkologis saya menggunakan kekuasaannya sebagai PNS di RSKD untuk mendapatkan kamar. Kasus saya dianggap kasus gawat darurat yang perlu diutamakan. Bayangkan saja, tubuh bagian kiri saya mulai dari atas hingga ke bawah belum bisa ditangani di Bogor. Sehingga, mobilitas saya selama seminggu amat terbatas dan mengakibatkan luka-luka lecet di sekujur punggung hingga pantat saya. Ini mengakibatkan rasa pedih serta gatal yang tak tertahankan. Kemudian, onkologis memberitahu bahwa dirinya berhasil mendapatkan kamar dengan mengupgrade atau menaikkan jatah JKN dari Kelas I ke VIP. 

Selasa sore (28/01), saya dipindah menggunakan ambulans ke RSKD. Tak dinyana, walaupun tidak hujan tapi jalanan macet parah. Ambulans dengan sirenenya meraung-raung tetap sulit mendapatkan prioritas bahkan sejak keluar dari halaman RS di Bogor hingga tiba di halaman RSKD malam harinya. Untuk itu dibutuhkan waktu 4 jam dua kali jauh lebih lama dari waktu tempuh yang normal. Untunglah, hujan baru turun kemudian ketika kami tiba di IGD RSKD. 

Menjelang kepergian saya ke Jakarta, banyak sekali perawat yang khusus menjumpai saya untuk menyampaikan doa selamat sekaligus permintaan maaf. Saya menjawabnya dengan "Mohon didoakan bisa bertemu lagi di kampung halaman." Sebab saya hanya ingin mengakhiri hidup saya di kampung halaman. Di situlah saya dilahirkan, menghirup air susu ibu untuk pertama kalinya dan kalau boleh menumpahkan kembali isi perut saya untuk terakhir kalinya ke tanah. Bahkan perawat-perawat di poliklinik juga turut bergantian mendoakan saya. Ini membuat saya terharu sebab saya menyadari bahwa saya bukanlah siapa-siapa akan tetapi menjadi pasien terfavorit di RS itu.

Meski pihak rumah sakit sudah mengontak RSKD terlebih dahulu, nyatanya proses penerimaan dan pemeriksaan di IGD memakan waktu lama. Agaknya ini disebabkan tenaga perawat yang sangat sedikit yang kebetulan saat itu baru bergantian jaga. Namun Subhanallah, tanpa diduga perawat yang menjemput saya ke Lantai 7 adalah Pak Yoyok, perawat yang sudah sangat mengenali saya. Tiba di lantai 7, jam makan sudah terlewat sedangkan di kamar, meskipun VIP, tidak tersedia paket apapun sebagai welcoming parcel. Perlengkapan ruangannya pun telah jauh dari kamar yang saya tempati di RS di kampung halaman. Suasananya tidak "serumah" seperti di sana selain seakan-akan berada di langit yang tak memungkinkan kami melihat rerumputan. Dinding-dinding pun kosong tanpa hiasan pemandangan atau bunga. Ketika anak saya meminta makan malam untuk saya, mereka mengakui sudah tak punya apa-apa lagi kecuali setangkup dua tangkup roti. Daripada menanggung lapar, apa boleh buat roti itu saja yang saya makan mendekati pukul sepuluh. 

Sesuai dugaan saya, keesokan harinya, onkologis sayalah yang datang paling pagi. Jam belum menunjukkan pukul 8 namun beliau sudah menjenguk saya untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Kemudian, lebih siang lagi datanglah dokter ahli bedah tulang yang baru sekali ini saya jumpai dilanjutkan dokter ahli kemoterapi dan diakhiri oleh dokter ahli paru-paru sebab saya diindikasikan mengalami serangan sesak nafas dengan riwayat penyakit asma.

Seharian itu keadaan saya relatif stabil kecuali sesak nafas yang hebat. Tetamu yang menjenguk saya untunglah tidak banyak cuma dua orang saudara sepupu saya yang masing-masing datang sendiri di waktu yang berbeda. Sepupu perempuan saya benar-benar menjadi pemomong untuk anak-anak saya. Mereka dipersilahkan makan sememntara sepupu saya menemani saya dan menyuapi dengan sabar. Dibujuk-bujuknya saya untuk makan agak banyak seraya memberikan nasihat-nasihatnya di dalam menjalani hidup ini. 

Katanya sebagai manusia kita adalah tempatnya salah. Sebab hanya Allah yang maha segala. Kepadanya lah kita harus senantiasa berserah diri dan memohon segala sesuatu hal termasuk perbaikan hidup kita. Mengenai kehilangan yang pernah saya alami wajar belaka kalau saya sulit untuk menerimanya. Namun kakak saya mengatakan semua adalah skenario Allah. Beliau juga pernah dirampok di jalanan tanpa terduga di dalam mobilnya pada pagi hari. Sialnya beliau tidak hanya kehilangan dompet dan kartu identitas dirinya melainkan juga sejumlah perhiasan seberat 50 gram yang secara tak sengaja terbawa di dalam tasnya. Tentu saja semula merasa berat menerima kenyataan ini. Tetapi setelah tafaqur kakak saya sampai pada tingkat kesadaran bahwa harta-harta itu tidaklah seberapa dan telah diatur tuhan untuk dilepas kepada pihak lain. Jadi menurutnya kehilangan perhatian dan cinta kasih dari sahabat sendiri yang sudah menjadi bagian dari keluarga kami selama berpuluh-puluh tahun adalah kehendak Allah yang baik yang dimaksudkan untuk mencuci dosa-dosa saya namun tak mudah untuk menerimanya. 

Sore harinya perawat menyampaikan pesan dari dokter ahli kemoterapi bahwa besok pagi saya harus menjalani Magnetic Resonance Imaging (MRI) guna mendapat gambaran yang paling baru mengenai tumor pada kepala saya. Malam harinya alhamdulillah saya bisa tidur nyenyak meski pikiran saya cukup cemas membayangkan proses MRI yang akan saya jalani untuk kesekian kalinya sepanjang hidup saya.

***

Ternyata keesokan harinya, kata Pak Darman operator MRi yang juga saya kenali dengan baik dalam keadaan mengenakan tabung oksigen, saya tidak mungkin dimasukkan ke dalam mesin MRI yang bekerja selama 20 menit. Sehingga, sebagai solusinya, dokter spesialis radiologi atas persetujuan dokter ahli kemoterapi yang memerintahkan MRI, menggantinya dengan pemeriksaan CT-SCAN yang hanya makan waktu beberapa menit saja. Siang harinya, mulai ada lagi orang yang menjenguk saya. Kemungkinan karena kelelahan menerima tetamu, malam harinya saya merasa sangat lemah, gelisah, tubuh terasa sangat panas dan tak dapat tidur. Tengah malam, saya meminta zuster untuk menyeka badan saya dengan air dingin. Namun celaka setelah tertidur beberapa jam, keadaan saya memburuk yang keesokan harinya sehingga saya memerlukan penguapan untuk membantu pernafasan saya. Serangan sesak nafas ini berlangsung beberapa hari sehingga menggagalkan rencana operasi penyambungan tulang saya yang telah terjadwal pada hari senin pagi (03/02) sampai keadaan saya membaik.

Dalam pada itu ternyata para pengunjung tetap setia mencari saya seperti mereka di kampung halaman. Bahkan tak dinyana komunitas mantan blogger Multiply menyempatkan diri. Teh Icho Cholisoh beringsut sebentar dari kantornya menumpang Kopaja dari sekitar Daan Mogot untuk menyampaikan senyum manisnya dan kartu ucapan yang cantik hasil karya putrinya Dela, sebagai penghibur saya. Bersamanya turut serta disampaikan salam dan doa dari bunda Mia Piyik, cici Kristin Halim dan sejumlah teman lainnya yang kini berumah di Wordpress.com. Tak disangka lagi kak Evi Bachtiar, pembaca setia blog saya kini yang sebetulnya berjanji akan bertemu saja di poliklinik akhirnya naik ke ruang rawat inap menyampaikan salam dan doa dari ibu Elen Widyasari kontak saya di Multiply yang belum pernah saya jumpai namun hatinya sangat lekat kepada saya. Semua ini insya Allah akan menjadi tambahan semangat untuk saya melawan semua keadaan yang menghambat operasi saya sebab bagaimanapun juga pengobatan kanker saya terancam tertunda terus jika kaki saya belum bisa disambungkan kembali. Namun saya tetap optimis sebab saya merasa berada di tengah-tengah tim medis yang tepat, tangguh dan solid. Mohon tolong saja terus doakan saya lagi agar saya masih tetap dappat berbagi mengenai perlawanan terhadap kondisi penyakit yang mematikan. Terima kasih.

Pengetikan naskah ini oleh kedua putra saya.

(bersambung)

3 komentar:

  1. Subhanallah...walau di ketik oleh putra2nya...tapi semangat bu julie untuk berbagi cerita di blog ini ga hilang....jadi kapan di operasi nya bu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rencananya hari kamis Insya Allah kalau gak ada halangan.

      Hapus

Pita Pink