Powered By Blogger

Rabu, 12 Februari 2014

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (175)

h Tuhan, tak disangka takhayul orang Jawa seringkali benar adanya. Selama dua hari telapak tangan kanan saya terasa gatal. Semula saya kira merupakan efek samping salah satu pengobatan saya. Tetapi walau saya sudah menggaruknya sedemikian rupa, gatal itu tidak juga berkurang. Secara iseng saya teringat mitos orang Jawa bahwa jika tangan kanan gatal, maka akan memperoleh rezeki. Anak saya Andri cuma tertawa sambil mengatakan itu kepercayaan musyrik tak ubahnya seperti mitos yang mengatakan bahwa jika kita mengelus patung perempuan tidur berbaring di salah satu sudut alun-alun kota Brussel, Belgia maka kita bisa kembali lagi ke sana. Saya pun sepakat dengannya. Namun tak disangka, kemarin pagi tiba-tiba teman kuliah ketika saya muda dulu Doddy Hudaya menelepon dari Bandung. Beliau menanyakan kabar dan rencana pengobatan saya, sambil menanyakan tempat perawatan saya. Menurutnya, jika ada kesempatan, teman-teman kuliah saya ingin menengok ke Jakarta. 

Sebetulnya, Rani Purbani adik kolega saya di Kementerian Luar Negeri sudah dua kali datang menjenguk saya bersama kakak iparnya dan teman SMA mantan suami saya yang kebetulan bersahabat dengan mereka. Pada waktu itu, Rani alias Ani begitu ibu mungil ini biasa disapa, sempat meminta nomor akun tabungan anak saya tanpa diketahui tujuannya. Karena setengah memaksa, anak saya pun memberitahukannya. Ternyata yang terjadi setelah telepon dari Doddy, purna tugas dosen di Bali, tadi pagi Sabtu (8/2) masuklah kiriman yang diberitakan oleh Ani sebagai tanda cinta dan simpati dari teman-teman kuliah saya. Lagi-lagi saya bersyukur alhamdulillah Allah telah menggenapi nyaris semua biaya kebutuhan hidup anak-anak saya yang akhir-akhir ini selalu berkurang dari sumbernya disebabkan hal-hal yang tak terduga maupun terpakai oleh biaya perawatan saya. Ya, legenda itu memang mitos berbau takhayul. Tetapi nyatanya begitu kiriman itu tiba, gatal-gatal di telapak tangan saya pun hilang. Kadang-kadang hal yang demikian memang menakjubkan dan sulit dipercaya. Namun itulah kuasa Tuhan. 

***

Setelah menerima pemberitahuan dari Ani bersyukur dan mengucap terima kasih, meluncurlah si bungsu Haryadi ke sekitar rumah sakit untuk mencari kebutuhan kami yang tak ada di dalam gedung rumah sakit. Tak terasa sudah lebih dari 10 hari saya terbaring di RS Dharmais. Anak-anak yang mendampingi saya berkorban sedemikian rupa tidak pernah pulang ke rumah di Bogor dengan bertahan menginap di rumah sakit beralaskan tikar sembahyang saja. Karena itu, mereka cukup tahu apa saja kebutuhan yang dapat kami penuhi dari dalam gedung rumah sakit dan mana-mana yang harus dicari sendiri di luaran sana. Termasuk kebutuhan makan mereka yang seringkali harus dipesan dari restoran di sebuah pertokoan tak jauh dari seberang rumah sakit. Matahari ternyata mengecoh. Di luar, hujan turun rintik-rintik. 

Keadaan saya ini yang masih serba dihantui ketidakjelasan pengobatan membuat perasaan masih tidak begitu tenang. Namun tadi siang Darmasita teman saya kuliah lainnya, yang kebetulan kakaknya sedang dirawat di RS ini juga menghibur saya dengan menegaskan bahwa jika kita memohon kepada Allah saja dengan tingkat kepasrahan yang tinggi, disertai permintaan yang masuk di akal maka kita akan terselematkan dari pintu kematian. Katanya dia kerap mengalaminya sendiri ketika dia terserang suatu penyakit yang cukup mengkhawatirkan. Ita teman saya itu, tadi duduk berlama-lama mengobrol dengan saya dengan maksud menghibur. Dia membawa cerita mengenai kekinian teman-teman kami baik kisah sukses maupun pengurangan yang menghampiri satu-dua orang di antaranya. Karena begitu lama, kakak iparnya segera memanggil-manggil untuk kembali ke ruang perawatan kakaknya. 

***

Dari obroloan dengan anak-anak saya, barulah saya sekarang menangkap dengan jelas apa yang terjadi di awal-awal perawatan saya di RS di kampung halaman yang menyebabkan saya akhirnya dilarikan ke RS Dharmais. Selain kaki saya patah akibat kelalaian saya sendiri, saya juga pernah mengalami masa kritis berupa kejang otak. Namun ketika itu alhamdulillah saya masih bisa dituntun untuk mengucap istighfar dan memuji keagungan tuhan oleh zuster Nina perawat yang sedang menangani saya saat itu. Fasilitas dan pelayanan RS di kampung sebetulnya sangat baik. Jauh lebih memuaskan dibandingkan di RS yang sekarang. Kecuali kelengkapan alat-alat kesehatannya. Maklum lah RS di kampung masih belum diambil alih oleh pemerintah daerah. Meskipun seperti halnya RS ini, mereka dulu dimiliki oleh partai politik terbesar penguasa orde baru. Di sana para perawat rajin sekali berkeliling menengok pasien sambil menanyai ini-itu. Ketika membagikan obat, pihak keluarga pasien bahkan diminta untuk menandatangani persetujuan penerimaan obat. Lalu setiap kali terjadi pergantian rute tugas, mereka akan berkeliling kamar untuk menyampaikan adanya pergantian petugas itu. Belum lagi jika pasien membutuhkan mereka, hanya dengan sekali menekan bel mereka sudah datang merespons. 

Walaupun sama-sama menempati ruang VIP, di rumah sakit yang sekarang ini terasa kurang tertata perabotannya. Bayangkan saja, lemari pakaian hanya berupa sebuah rongga di dinding yang tinggi menjulang tanpa ada sekat-sekat untuk menaruh barang pakaian termasuk fasilitas gantungan baju. Ruang tamu pun hanya terisi sebuah love seat tanpa ada meja tamu. Apalagi ruang makan lengkap terisi seperangkat meja makan. Bandingkan dengan RS di kampung di mana ruang tamu terisi seperangkat sofa, ruang makan juga lengkap, dan lemari merupakan lemari yang wajar. Di muka kamar mandi dilengkapi dengan jemuran handuk. 

Tadi pagi ketika saya bangun pukul 4 untuk menunggu subuh, saya betul-betul mengalami hal yang mengecewakan. Infus saya habis. Saya memanggil perawat tetapi mereka baru datang setengah jam kemudian ketika saya mengebel untuk kedua kalinya. Itupun mereka bilang infus saya belum kering lalu saya ditinggalkan begitu saja dengan janji akan menyiapkan infus selanjutnya. Tetapi nyaris setengah jam juga mereka baru kembali lagi yang ternyata menyadari kekeliruannya sendiri sebab telah mengambil infus yang salah yang tak berisi obat. Baru setelah lewat pukul 5, sambil memandikan saya mereka mengambilkan stock yang sesuai. Alangkah kecewanya hati saya sebab merasa terabaikan. Hal yang demikian ini tak pernah terjadi pada pelayanan RS di kampung halaman. Satu hal lagi yang berbeda, dokter jaga pun tidak pernah mengecek pasien dari kamar ke kamar melainkan hanya menetap di IGD dan baru akan bertidak memberikan instruksi kepada perawat melalui telepon bila diperlukan. Tidak seperti di kampung halaman yang setiap hari dokter jaga akan berkeliling dengan sendirinya memeriksa dan menyapa pasien dari kamar ke kamar. Alangkah rindunya saya pada suasana di kampung halaman.

Ini hari minggu (09/02). Alhamdulillah saya bisa memenuhi nasihat dan permintaan perawat untuk beristirahat dengan baik guna mempersiapkan operasi penyambungan tulang yang sudah tertunda seminggu lamanya. Sejak kemarin perawat satu-satunya yang amat menaruh perhatian kepada pasien ini, meminta saya untuk tidak banyak menerima tamu. Andaikata terpaksa, tetamu yang datang sebaiknya tidak dilayani dengan mengobrol panjang lebar. Sebab hanya sekedar untuk berbicara pun, saya memerlukan banyak tenaga. Dengan kata lain, kebanyakan bicara membuat kapasitas nafas saya turun drastis yang mengakibatkan nafas saya terengah-engah. Akan tetapi sebetulnya mustahil untuk memnuhi permintaan itu, karena para tetamu umumnya sangat penasaran ingin mengorek keterangan dari diri saya sendiri. Begitupun saya tidak puas jika tidak menjawabnya sendiri. Semalam saya sempat merasakan ketegangan yang sangat, hingga otot-otot tubuh saya terasa kram. Tetapi saya mendapat nasihat dari salah satu penjenguk saya bahwa untuk menekan stress dan kegundahan sebaiknya saya banyak-banyak makan cokelat. Karena kandungan zat di dalam cokelat merupakan relaksan yang amat baik. Saya mlelemanfaatkannya dengan menyantap es krim cokelat yang berisi cokelat yang kental. Terbukti, setelah menyantap 2 buah es perlahan-lahan saya bisa tertidur nyenyak hingga subuh. Sedangkan hari ini hanya ada tetamu satu keluarga saja yakni putri-putri bibi saya bersama suami dan anak-anaknya sepulang dari gerja. Beruntungnya mereka sadar diri tidak berlama-lama di kamar saya.



Guna persiapan operasi besok, ternyata saya harus diamnbil darah dua kali. Pertama-tama tengah hari, katanya untuk persiapan bank darah. Sore harinya mereka mengambil untuk pemeriksaan darah rutin guna mengecek kadar hemoglobin. Saya amat kecewa mendapati kenyataan ini. Sebab semua vena saya sudah sulit dicari. Karena sifatnya yang halus lembut, tipis sudah pecah-pecah dan bengkok-bengkok. Saya menanyakan mengapa pengambilan darah itu tidak sekaligus saja tadi siang. Kata mereka, karena dokter yang memerintahkan pemeriksaan darah sama sekali tidak mau tahu kondisi pasien. Namun untunglah efek dari es krim cokelat itu meredam ketegangan saya. Proses pengambilan darah saya lebih mudah dari biasanya. Saya berharap ini adalah tusukan terakhir menjelangan operasi. Artinya, besok pagi saya jadi dioperasi. Semoga hal itu terjadi. 

***

Pada akhirnya saya menjemput harapan kembali. Berharap akan seperti matahari di luaran sana hari senin (10/02), dokter-dokter bebulat tekad untuk mengoperasi saya. Ini akan menjadi bilangan ke-13 operasi sepanjang hidup saya. Mula-mula sekali pada pukul 7 pagi dokter Agus yang akan melakukan pembiusan, mengecek kesiapan saya. Dalam keadaan saya sudah tidak wheezing, yaitu itu nafas saya sudah tidak berbunyi memburung. Beliau menganggap kondisi paru-paru saya sudah cukup prima. Jadi, langkah pertama tindak pengobatan saya bisa dilaksanakan. Beliau bilang pagi ini operasi akan telah maksimal. Pukul setengah sembilan, perawat pun medorong tempat tidur saya ke ruang bedah di lantai 3. Tak ada rasa takut, ngeri, dan hal-hal serupa yang menciutkan hati. Saya begitu siap akan menjalani operasi ini. Akan menjadi lebis siap lagi ketika saya masih menunggu giliran pemakaian ruang operasi. Di dalam sana para perawat pria menyambut saya dengan cekatan dan menanyai beberapa hal yang berkaitan dengan operasi saya. Di antaranya menanyakan siapakah yang melakukan operasi terakhir untuk membuang payudara saya dan bilakah itu terjadi. Saya masih bisa menjawab dengan jelas. Hingga akhirnya betul-betul didorong ke dalam ruang bedah setelah didahului doa keluarga saya yang hanya terdiri dari kedua anak saya. Itu bedanya persiapan operasi di tanah air dan di luar negeri. Di sana, saya hanya disuruh minta diri kepada keluarga saya. Di dalam ruang operasi ternyata dokter-dokter yang akan menangani saya sudah siap. Seperti biasa, dokter Agus dengan senyumnya yang menyejukkan menyapa saya terlebih dahulu. Kata beliau, pembiusan akan dimulai. Saya jawab bahwasanya saya ingin mempermudah tugas para tenaga medis di dalam menusukkan jarum-jarum yang akan mereka pakai untuk bekerja. Untuk itu, saya sudah bicara dengan onkologis saya, mohon agar ketika saya dioperasi dapat ditanampkan sebuah alat yang difungsikan sebagai semacam pembuluh darah. Sebab tahulah sendiri, pembuluh darah saya baik di tangan maupun di kaki sudah rusak semua sehingga sulit dipakai. Tetapi onkologis saya mengatakan beliau tidak dapat memasangnya sendiri. Sehingga  ketika ada dokter lain yang bisa melakukannya, beliau mengizinkan. Hal itu tanpa disadari ternyata sudah tertangkap telinga dokter Achmad Basuki yang sudah berganti rupa mengenakan pakaian bedah sehingga membuat saya pangling. Beliau langsung menyahut bahwa itu akan dilakukannya tetapi tidak permanen. Direncanakan hanya untuk kebutuhan sekarang saja. Walaupun demikian, saya sudah cukup merasa senang. Sebab kaki yang dipakai menginfus saya selama 2 minggu sudah menjadi amat bengkak kehilangan rasa pula. Setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi. Saya terjaga kemudian di ruang ICU persis seperti keinginan dokter Agus yang disampaikannya sebelum saya jatuh terlelap. 

Teman-teman saya ternyata banyak yang datang. Ibu ketua DWP Kemenlu, menunjukkan perhatian dan tanggung jawabnya yang besar turut menemani anak-anak saya di ruang tunggu ICU. Hal serupa dilakukannya pada operasi saya yang terdahulu. Begitupun kemudian istri dari Inspektur Jendral Kemenlu yang merupakan sahabat akrab saya juga nekat datang bersama pengurus Dharma Wanita di bagiannya. Meski beliau tahu pengunjung di ICU sangat terbatas tapi beliau tetap nekat masuk menjenguk saya sambil mengatakan kepada perawat setengah berbohong bahwa dia adalah kakak saya. Kebetulan pula beliau akan betul-betul berpamitan untuk mengikuti mutasi suaminya sebagai duta besar di KBRI Beijing. Dalam keadaan masih belum terjaga benar, saya sempat melihat sosoknya satu-dua menit menyapa saya dengan menyebut namanya mengatakan akan minta diri sambil mendoakan saya. Kak Didot, begitu beliau biasa saya panggil memang selalu punya perhatian khusus bagi saya. Sebab saya pun tahu beliau tak memiliki banyak sahabat yang karib. Kasih dan sayangnya yang tulus tak bisa saya nafikkan. Ada sedikti torehan air mata ketika beliau bertatap muka dengan saya meski cuma sejenak. Saya berada di ruang ICU selama satu hari penuh pasca operasi yang cuma memakan waktu satu setengah jam saja. Menurut anak-anak saya, ketika operasi baru selesai dokter Ahmad Basuki langsung menjelaskan jalannya operasi beserta hasilnya. Semua dikatakannya mulus. Tanpa penyulit di bagian pernafasan. Katanya tulang saya langsung disambungkan dengan  plat titanium yang lebih bisa ditoleransi oleh alat-alat pemindai yang biasa digunakan di pintu-pintu masuk bandara mauapun toko-toko. 

***

di dalam ruang ICU

Di dalam ICU sana sudah barang tentu suasana sepi. Ditingkahi bunyi alat-alat medis saja. Dan ternyata Subhanallah, saya merupakan pasien teringan. Hanya sebuah selang yang dipakai menyedot lendir dan dahak dari alat pernafasan saya. Saya diminta perawat untuk menelan selang yang sangat kecil dan putih namun panjang itu yang diumpamakannya sebagai bakmie. Meski tidak nyaman tapi tak ada cara lain. Saya pun melakukannya. Sehingga membuat kerongkongan dan tenggorokan saya teriritasi. Rasanya sangat kering di situ. Membuat saya segera ingin minum beberapa jam kemudian waktu saya sudah boleh mulai makan-minum lagi. Tapi tentu saja, saya hanya boleh meneguk sesendok-sesendok air putih hangat. Perawat melakukannya begitu hati-hati hingga saya selamat keluar dari ICU. Bayangkan saja menurut cerita anak saya, ada pasien yang sudah berhari-hari terbaring di ruangan itu. Bahkan pihak keluarga masing-masing pasien sampai menggelar tikar di ruang tunggu dan bermalam di sana. Saya sebetulnya direncanakan dokter untuk dipindah ke ruang HCU barang semalam. Akan tetapi tiba--tiba beliau berubah pikiran demi melihat yang dinilainya sangat prima. Saya sudah tidak tergantung lagi pada oksigen, juga sudah mulai lancar berbicara.
Tersenyum di ruang ICU
Saya langsung dikembalikan ke kamar perawatan saya dengan obat-obat penahan nyeri diganti dengan jenis morphin. Obat-obatan ini ternyata berupa selembar plastik tipis yang cukup ditempelkan ke dada pasien. Sayangnya, efeknya terlalu keras untuk saya sehingga malam harinya saya mulai muntah-muntah hingga pagi. Hanya dengan menelan tiga sendok bubur pun, saya langsung muntah. Oleh sebab itu saya mencoba mengganti makanan saya dengan satu-dua keping biskuit beserta teh panas. Akan tetapi itupun bukan merupakan pilihan yang tepat. Saya terus-terusan muntah hingga menjelang pagi sampai subuh. Sudah barang tentu tidur saya dan anak saya terganggu semua. Untunglah pagi-pagi sekali, dokter Achmad Basuki yang mengoperasi saya sudah datang menjenguk. 




Demi mendengar laporan saya dan perawat, dokter Baksuki mengatakan ternyata saya tidak cocok diberi obat penahan nyeri dari jenis morphin itu. Karenanya, obat akan diganti dari jenis lainnya yang dimasukkan ke dalam infus sebagai suntikan. Dan itu sudah terlaksana tadi siang. Alhamdulillah saya sudah bisa merasa nyaman dan tidak muntah-muntah lagi. Selanjutnya hari ini saya diprogram untuk kembali ke instalasi rehabilitasi medik. Tangan saya yang limfedema memang sudah sangat lama tidak difisioterapi secara benar. Sebab selain kondisi tubuh saya semakin melemah, yang mengakibatkan saya sulit bepergian jauh, Jakarta pun kerap dilanda banjir. Tetapi berhubung saya terpaksa dirawat inap, maka fisioterapi segera berlanjut kembali bersama-sama dengan fisioterapi pemulihan tulang kaki yang patah. 

Saya dilayani oleh jeng Anisa yang sudah biasa memfisioterapi tangan limfedema saya. Gadis belia itu kemudian membawa masuk kepala tata usaha Instalasi Rehab Medik yang menurut pengakuannya sudah lama merindukan kedatangan saya. Akhirnya sambil difisioterapi, kami saling mengobrol melepas rindu. Kegiatan fisioterapi selanjutnya terpaksa dilakukan di kamar rawat inap saya. Dilatih gerak pada bekas operasi saya oleh fisioterapis yang kami hanya pernah dengar namanya yakni pak Buwana. Orangnya berpembawaan lembut namun punya semangat yang tinggi untuk memaksa pasiennya menggerak-gerakkan anggota tubuhnya yang memerlukan fisioterapi. Alangkah bahagianya saya dilayani beliau. 

Adapun mengenai program pengobatan saya selanjutnya kini menjadi jelas juga. Besok, kamis  (13/02) saya akan mulai diradiasi yang didahului dengan program simulasi untuk menghambat tumor-tumor di tulang tengkorak kepala saya. Ini direncanakan 10 kali. Masing-masing akan berlangsung selama 10 menit saja. Bersamaan dengan itu tumor di tulang selangka saya dan supraclavicula yang besarnya semakin menakutkan akan dilanjutkan dengan kemoterapi. Dokter ahli kemoterapi, akan mengganti obat-obatan saya menjadi lebih mudah dimasukkan namun efeknya lebih dahsyat. Diharapkan kemudian tumor yang mulai menyerang tulang paha saya juga bisa segera dihambat entah bagaimana caranya, sebab dokter ahli bedah tulang belum menceritakannya kepada saya. Program pengobatan saya masih panjang. Tapi saya tidak boleh takut menjalaninya. Sebab saya sangat ingin membalas kebaikan dan bakti anak-anak saya, serta onkologis saya yang budiman. Para relawan kanker yang lagi-lagi datang menjenguk kembali memberikan moral support dengan menyatakan persetujuannya. Perhatian orang-orang terhadap saya memang tidak ada habisnya. Subhanallah!

(bersambung) 

5 komentar:

  1. Ibuu.. kangeen, lama tidak berkunjung semoga ibu diberikan kesehatan dan selalu dalam lindungan Allah SWT..:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Mbak Nely. Saya memang masih di rumah sakit. Kanker saya sudah menyebar ke mana-mana dan saya sudah dalam proses akan menjalani pengobatan. Doakan saja ya Mbak Nely semoga saya masih kuat dan panjang umur. Amin. Salam kangen kembali. Wass,

      Hapus
  2. Ibu Juli, salam kenal, sy Inge pasien KPD juga, setiap kali baca jurnal Ibu, sy seperti baca buku cerita ketika sy kecil yg selalu berharap sang tokoh utama selalu menang!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah berkenan mampir ke blognya bunda Julie. Syukurlah kalau memang apa yang beliau tulis ada manfaatnya untuk anda.

      Hapus

Pita Pink