Powered By Blogger

Senin, 29 Juli 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (93)

Tubuh saya serasa membeku. Penyebabnya hari ini saya harus menjalani pemeriksaan tulang lagi di tempat yang dinginnya mirip di dalam koelkast. Soalnya segala peralatan pemeriksaan di Instalasi Radiologi memang harus dipelihara di ruangan berpendingin yang amat kuat supaya tetap bisa berfungsi dengan baik.

Pemeriksaan tulang yang biasa disebut dengan istilah Inggris bone scanning ini memerlukan daftar tunggu yang panjang, kira-kira seminggu. Soalnya banyak yang memerlukan jasanya dari seluruh Indonesia. Sudah begitu pasokan nuklir dari BATAN yang menjadi tenaga utama pengoperasian mesin jumlahnya terbatas. Seringkali RS malah kehabisan di saat penggunanya sedang meluap. 

Sewaktu menerima pengumuman giliran hari diperiksa, petugas RS mewanti-wanti pasien untuk datang paling lambat pukul delapan pagi membawa sedikit makanan dan dua liter air minum. Air minum itulah yang terpenting bagi pasien. Ternyata faktor pukul delapan menjadi alasan terpenting kedua, mengingat banyaknya pasien yang mengantri. 

Hari kemarin kami tiba terlambat satu jam sebab Senin seperti biasanya menjadi hari tersibuk di jalanan. Sebetulnya kami sudah berangkat pukul lima lewat sedikit, namun kepadatan yang membuat mobil tersendat-sendat punya alasan kuat untuk menghambat laju perjalanan kami. Anehnya di RS belum nampak seorang pasien pun mengantri di loket Instalasi Radiologi. Padahal kami sempat mampir ke kasir terlebih dulu untuk menyelesaikan pembayaran pemeriksaan saya ke suatu klinik di hari Jumat yang terlupa saking sibuknya wara-wiri dengan segala urusan di RS. Waktu itu anak saya sama sekali tidak ditemani kakaknya yang sengaja saya suruh berbagi tugas merapikan rumah. Akibatnya si bungsu harus mengurus semuanya sendiri dari satu klinik ke klinik dari satu tempat ke tempat. Di situlah keteledoran terjadi. Untung saja tidak dipermasalahkan pihak RS.

Begitu kami melaporkan jadwal perjanjian saya, petugas di loket pendaftaran merasa lega. Rupanya memang tidak ada lagi pasien bone scan yang datang pagi-pagi selain seseorang di dalam sana. Mereka maklumi keterlambatan ini. Seperti halnya kami juga memaklumi kelalaian mereka yang membuat penyelesaian administrasi pembayaran kami harus diulang dua kali. Agaknya Ramadhan telah mengakibatkan banyak orang lelah lahir dan batin di seputar RS ini.

Saya adalah pasien kedua setelah seorang ibu dari Rawamangun yang juga penderita kanker payudara bertahun-tahun lamanya. Namanya Maesaroh menunjukkan beliau muslimah seperti saya. Tapi apa boleh buat persyaratan kesehatan melarang kami semuanya menunaikan ibadah puasa sehingga saya dapati beliau sedang minum sebanyak-banyaknya di selasar ruang tunggu pasien yang dibatasi dengan semacam garis polisi untuk menghindari kontaminasi nuklir terhadap para pengantar pasien.

Suasana amat hening, baru terlihat ramai mendekati pukul sepuluh pagi. Bahkan seorang perempuan kedengaran menelepon suaminya dengan gundah setengah menangis melaporkan kehilangan dompetnya yang antara lain berisi uang pembayaran biaya bone scanning yang jumlahnya mendekati sejuta rupiah berikut kartu ATM dan lain-lainnya. Saya turut merasakan kesedihannya. Coba bayangkan saja. Mendekati Idul Fitri yang berhampiran dengan tahun ajaran baru di saat sakit serius seperti ini tentunya butuh kesabaran ekstra. Perempuan itu menyadari dompetnya hilang setelah berada di lantai bawah tanah RS bukan sehabis mengantar anaknya ke sekolah sekalian membayar ongkos buku paketnya. Saya tiba-tiba serasa menelan ludah yang pahit.

Cukup lama kami hanya berdua-dua. Bu Saroh yang cuma mengenakan selapis pakaian dengan jilbab panjang tipis tentu saja menyembunyikan kedua tangannya yang alhamdulillah normal tidak membengkak seperti tangan saya di balik kerudungnya. Kakinya ternyata cuma beralaskan sandal tanpa berkaus pula. Tak heran jika dia mengeluh kedinginan dan mual-mual. Boleh jadi dia masuk angin. Apalagi serta merta dia bersedia menerima uluran permen pedas yang saya bawa dari rumah. Terus terang saja, sejak kejadian muntah-muntah di dalam mesin scanner dulu saya lebih berhati-hati mempersiapkan diri kini. Selain memakai baju lengan panjang yang tebal ditutupi jilbab panjang dan sweater, saya mengenakan sepatu pantofel lengkap dengan kaus kaki serta mengantungi permen mint dan permen jahe. 

Menurutnya baru kali itu lagi dia berobat setelah lama menghilang dari dokter karena hanya mengonsumsi herbal yang antara lain katanya berasal dari keladi tikus serta jamur-jamuran. Alasannya, setelah operasi yang pertama beberapa tahun lalu dia kapok kembali ke RS. Dia takut dikemoterapi juga diradiasi. Alangkah menyedihkannya. Dua hal pokok dalam pentalaksanaan penyakit kanker itu ditakuti bukan karena komponen biayanya yang tak terkira mahalnya, melainkan oleh efeknya yang menurut saya tak seberapa dahsyat dibanding sakit kanker itu sendiri. Seperti apa yang saya buktikan. Tapi kali ini dia terpaksa menyerah sebab kankernya tumbuh kembali dengan masif. Saya iba melihatnya lalu mengusulkannya menyuruh pengantarnya membelikan kaus kaki di mini market di dalam area RS supaya badannya merasa agak nyaman. Gadis yang memanggil dirinya bude itu menuruti permintaannya kelihatan dengan terpaksa.

Dalam pada itu pak Darman perawat di situ yang bertugas menyuntikkan cairan kontras ke tubuh pasien nampak lalu lalang seperti kebingungan mencari-cari pasien. Sedangkan teknisi perempuan yang datang kemudian menjanjikan bahwa mesin akan berfungsi lancar tak seperti yang dulu saya alami, mogok di tengah-tengah pemakaian. Saya cuma bisa menyahuti dengan sepotong kata amin. Terbayang bukan apa jadinya jika kita seolah-olah tertelan sebuah mesin raksasa? Walau scanner yang dimiliki RSKD terbilang tua menurut operatornya, tetapi penampakannya kira-kira menyeramkan begini :




***

Saya mendapat giliran kedua bone scanning. Separuh gemetar saya melangkah masuk. Agaknya mereka di dalam sana tahu persis bahwa saya mengalami trauma. Petugas yang saya duga seorang dokter perempuan itu menjanjikan kepada saya bahwa mesin tak akan mogok bekerja. Katanya, kalau itu terjadi tak hanya pasien yang susah. Petugas akan merasa lebih susah lagi karena pasien sudah disuntik dengan obat mahal tapi sia-sia belaka. Namun dia mengakui bahwa mesin yang dipegangnya adalah mesin tua yang perlu diremajakan seandainya pemerintah menaruh dana cukup besar untuk memfasilitasinya. Maklum pengadaan alat kesehatan tidak bisa dibilang murah.

Setelah melepas kacamata, saya dibaringkan di meja scanner yang sempit lalu tangan dan lengan saya diposisikan persis di samping badan diikat dengan strap. Tubuh pun termasuk di dalamnya, pada dua tempat dipasangi strap, baik di bagian sekitar perut maupun kaki. Pasien pun diselimuti kain wool tebal sehingga merasa nyaman, dengan kepala dibiarkan terbuka menghadap ke langit-langit lurus. Sehabis itu mesin berjalan mendorong tempat berbaringnya pasien secara perlahan ke dalam tabung pemindaian. Rasanya tentu saja bagaikan tertelan entah di perut binatang buas apa. Yang jelas langit-langit scanner rasanya cuma beberapa inci saja di atas kepala kita. Lalu selanjutnya pelan-pelan sekali seakan memperhitungkan inci demi inci tubuh pasien, mesin menarik tubuh ke luar. Semuanya memakan waktu sekitar seperempat jam. Terasa sensasi yang aneh ketika mesin itu menyeret-nyeret tubuh kita, bahkan kilatan-kilatan mesin scanner yang seakan-akan mengoyak tubuh pun terbawa sensasinya hingga sekarang. Memang kedengarannya terlalu berlebihan alias lebay, namun pada diri saya sejujurnya begitulah rasanya. Karenanya saya sangat bersyukur ketika semuanya selesai dengan sempurna, lalu saya diminta menunggu di luar ruang untuk melihat apakah ada yang perlu ditindak lanjuti setelah hasilnya diperiksa.

Di dalam ruangan sudah masuk pasien ketiga yang juga penderita kanker payudara seperti saya. Dia penduduk asli Jakarta yang difasilitasi oleh dana Kartu Jakarta Sehat sehingga nampak tenang-tenang saja menjalani pengobatannya yang jelas-jelas memusingkan kepala banyak orang termasuk saya. Bukan saya tak menyukuri rizki yang alhamdulillah selama ini selalu saya terima dengan mudah, tetapi terus terang ongkos bone scanning yang tidak murah ini membuat saya harus menghentikan dulu pengobatan ke sinshe yang saya akui kehebatan manfaatnya.

Anak-anak saya tampak sudah menunggu dengan cemas di area ruang tunggu pengantar. Saya tahu si bungsu khawatir saya muntah-muntah lagi. Begitu melihat saya baik-baik saja, mereka menarik nafas lega. Lalu si kakak segera beranjak pergi ke klinik dokter onkologi saya yang saya rasa sudah menunggu untuk memastikan hasil pathologi anatomi saya yang dijadikan persoalan oleh dokter yang sedang melaksanakan penelitian obat yang ingin saya ikuti.

Kira-kira sepuluh menit kemudian saya dipanggil petugas. Katanya saya diharuskan mengikuti roentgent kepala di ruangan lain di sekitar situ. Entah apa sebabnya, mungkinkah mereka mencurigai sesuatu kelainan di rongga kepala saya atau pada tulang selangka saya yang ditumbuhi benjolan? Saya tak banyak tanya, melainkan langsung menuju klinik yang dikatakannya. 

Di situ tak ada siapa-siapa. Agaknya jarang orang yang butuh jasa roentgent kepala. Saya tak heran, karena sebagian besar pasien yang sempat mengobrol dengan saya rata-rata wanita penderita kanker payudara.

Saya membayangkan roentgent serupa dengan yang dilakukan pada dada saya untuk mengecek kesehatan paru-paru. Ternyata mesinnya beda. Saya lagi-lagi diminta berbaring menghadap ke langit-langit. Dan mesin pemotretnya tergantung di atas meja pemeriksaan itu. Pemeriksaan yang disebut fluoroscopy ini memang baru kali ini saya ikuti. 





Pemeriksaan ini amat singkat serupa benar dengan roentgent dada alias thorax photo. Saya tak ketakutan waktu kepala saya difoto dari dua sisi yakni bagian atas dan bagian samping. Syaratnya cuma satu, pasien melepas kerudung, kacamata, perhiasan logam serta ritsluiting alias zipper pengancing baju. Karena bagian punggung pasien harus menyentuh meja yang dingin itu.

Di sini kesalah pahaman terjadi. Operator mesin menyuruh saya menunggu dulu karena hasilnya akan diperiksa dulu. Tapi tak dinyana setelah sejam berlalu dia tak muncul kembali. Sampai akhirnya pasien lain mengusukan agar bertanya mengenai itu ke bagian pendaftaran. Tubuh saya sudah terasa lemas, tentu saja kami ikuti gagasannya. Apalagi saya kasihan kepada anak saya yang kedinginan dan nampak jemu. Padahal untuk membuang jemu itu saya sempat mengobrol dengan sesama pasien kiriman dari Bogor yang saya kenali suaminya dulu sewaktu sama-sama sedang mendaftar di RS. Pasangan suami-istri sepuh itu sampai tertakjub-takjub menyadari ingatan saya yang begitu jernih. Padahal begitulah saya, umumnya tak mudah melupakan sesuatu sehingga sering menjengkelkan orang-orang dekat saya yang ingin sedikit menipu-nipu. :-D

Kami diizinkan pulang, karena pemeriksaan sudah selesai tinggal diambil hasilnya keesokan harinya. Bergegaslah kami menuju ke klinik dokter onkologi saya hanya untuk mendapati bahwa giliran saya sudah terlewat tetapi dokter sedang rapat dengan pihak farmasi yang mendadak datang. Tentu saja membuat pasien yang tersisa gelisah semua hingga ada yang membatalkan kunjungan. Untung saja tak lama kemudian beliau kembali, lalu mempersilahkan kami masuk. Semula saya yang kelelahan menolak. Saya minta anak saya yang menghadap. Belakangan saya dipanggil juga karena dokter ingin menjelaskan sesuatu.

Debaran di dada menyambut kesempatan itu. Aduh, ada apa lagi ini, pikir saya bertanya-tanya. Setelah bertukar salam dan senyum, hati saya seketika menjadi lega. Kata dokter kami keliru mendapatkan lembar laporan hasil Pahologi anatomi tumor saya. Yang meragukan dan kini sedang dibaca beliau itu, adalah laporan terbaru sewaktu payudara dan kelenjar getah bening ketiak saya dibuang. Bukan laporan primer hasil biopsi yang dikehendakinya. Pantas saja isinya tak sesuai baik dengan catatan beliau di RS maupun memori saya. 

"Ah, seingat saya baik di sini maupun di Bogor saya tulis HER2 positif estrogen negatif, bu," tegasnya. "Lha mengapa tiba-tiba dilaporkan meragukan? Kalau gitu biar saya telepon asisten saya di Bogor untuk bertanggung jawab mencarikan dokumen penting itu hingga ketemu," putusnya geram. Buru-buru saya tengahi dengan usul akan mencari sendiri di RS ini karena jaringan itu dulu kami periksakan di sini sehingga saya yakin mereka memelihara arsipnya.

"Okay kalau begitu, saya buatkan surat untuk Kepala Instalasinya ya," dokter belia nan penuh perhatian kepada setiap pasiennya segera menulis surat disertai instruksi permintaan untuk diserahkan kepada dokter ahli pathologi anatomi yang sebetulnya sahabat sepupu saya di gereja mereka. Dunia memang sempit walau saya tak pernah berani menghadap beliau untuk memperkenalkan diri seperti saran bibi saya.

Anak bungsu saya yang merasa telah melakukan kelalaian karena tak cermat membaca kertas yang disodorkan petugas laboratorium segera berinisiatif mengembalikannya sambil menyerahkan surat permintaan dokter saya. Apa daya laboratorium sudah tutup karena sudah pukul tiga sore. Namun melihat sosok-sosok pegawai berseragam di balik tirai ruangan itu saya menyuruh mereka masuk. Hasilnya petugas di situ mengakui kekeliruan mereka, tapi tak bisa memenuhi permintaan kami saat itu juga karena penanggung jawab bagiannya sudah pulang. Meski berbalut kecewa tapi alhamdulillah kini hati kami menjadi lega karena kemoterapi saya agaknya akan segera terwujud. Sore itu kami bertolak pulang dengan sebersit lagi harapan baru. Semoga Allah berkenan memanjangkan nyawa saya kembali.

(Bersambung)

9 komentar:

  1. amin amin yra, senang bacanya bu.

    ada aja yg bikin deg2an ya...


    salam
    /kayka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehehe....... saya sih masih deg-degan nunggu keputusan dokter besok. Tapi setidak-tidaknya kayaknya ada titik terang sih.

      Salam hangat!

      Hapus
  2. mudah2an lancar bund gak ada halangan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin-amin-amin. Ini keinginan terkuat saya saat ini meski obat kemonya tergolong yang paling keras yang ada sekarang ini. Matur nuwun ya kang. Semoga kang Emil sehat senantiasa di perantauan.

      Hapus
  3. kog bisa ada salah paham begitu mbak?
    wah 3 pasien bisa sharing pengalaman tuh kena kanpay..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lha menurut pendengaran saya kan teknisinya bilang pemeriksaan udah selesai, tapi jangan pulang dulu karena dia mesti lihat hasilnya. Eh, ditunggu-tunggu sejam lebih deh kayaknya kok nggak nongol-nongol. Saya pikir istirahat siang kok lama banget........

      Hapus
    2. Soal hasil biopsi yang nggak jelas di mana itu, kelalaian murni di pihak saya kayaknya. Karena waktu itu saya bawa sendiri jaringannya ke RSKD bukan RS yang bawakan. Hasilnya juga saya ambil sendiri, tapi apa arsipnya di rumah bukan masuk ke MR di RS saya yang nggak teliti.

      Hapus

Pita Pink