Powered By Blogger

Jumat, 12 Juli 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (85)

Kamis, 11 Juli 2013 adalah hari yang paling menyakitkan untuk saya. Bukan sakit oleh kanker saya yang sudah "diceraikan" dokter dari tubuh saya lewat pembedahan, melainkan karena merisaukan kakak saya.

Kakak saya disarankan dokternya untuk segera menjalani pengangkatan payudara karena menderita kanker stadium II-A. Usianya sudah 71 tahun, tetapi di masa gadisnya pernah menderita tumor jinak. Selain itu mengingat dia bersaudara kandung dengan saya, maka untuk menghindari keadaan yang lebih buruk, pengangkatan payudara secara radikal menjadi penting baginya. 

Lain dokter lain caranya, begitu kesimpulan saya mengamati kasus kami. Lain pasien, lain juga penerimaannya, begitu kata kakak saya mengomentari kegelisahan saya di dalam menghadapi masalah beliau.

Tumor kakak saya masih terbilang kecil. Katanya baru sebesar 3-4 cm saja, jauh lebih kecil daripada tumor saya yang sudah sebesar biji alpukat ketika pertama ke dokter. Belum lagi tumor saya tak hanya nyeri, melainkan gatal, pecah dan bernanah-berdarah. 

Nasehat dokter yang menyatakan sebaiknya payudara kakak saya segera diangkat, disikapi kakak saya dengan terburu-buru mencari ruang rawat inap. Jadi, bukan dokternya yang mengindikasikan kakak saya kapan harus mulai dirawat. Beda sekali dengan kondisi saya yang semua hal mengenai hari operasi dan mulai masuk RS untuk rawat inap ditentukan dokter. 

Dalam kasus saya, penatalaksanaan penyakit sudah lebih dulu terencana dengan baik. Karena stadium lanjut yang amat ganas dan agresif, maka saya tak bisa terburu-buru dioperasi. Saya diberi obat yang dimakan dulu berupa hormon selama beberapa minggu. Hasilnya dipantau. Jika mengecil berarti penyebab penyakit saya adalah hormonal, pengobatan bisa diteruskan dengan obat-obat hormon yang sesuai. 

Kebetulan tumor saya tak merespons terapi hormon, maka sampel jaringan tumor saya diperiksakan lagi ke laboratorium pathologi anatomi lebih lanjut untuk memastikan sebabnya. Hasilnya diketahui berasal dari virus. Jadi saya harus diobati dengan anti viral melalui kemoterapi. Secara teoritis hasilnya akan maksimal jika kemoterapi dimulai sebelum dioperasi dengan mencobakan berbagai obat guna melihat mana yang paling ampuh. Obat yang bisa memperkecil tumor, itulah yang seterusnya akan dipakai. Kemoterapi ini tak boleh lebih dari empat kali. Jadi, begitu tumor mengecil dan jadi memudahkan dokter untuk mengambil semua sel-sel kanker saya, maka operasi segera dilaksanakan. Beberapa minggu setelahnya kemoterapi dijalankan lagi untuk membabat tuntas sisa-sisa dan bekas-bekas tumbuhnya sel itu.

Tata laksana penyakit saya setahu saya memang wajib untuk kanker stadium lanjut. Namanya "neo adjuvant therapy". Ini yang dulu tak pernah dilakukan dokter negara tetangga terhadap saya, sehingga terus-menerus menimbulkan kekambuhan kembali.

Adapun untuk kanker stadium awal kakak saya, dokter langsung mengoperasi tanpa menyampaikan pasca operasi akan diapakan sebagai tindak lanjutnya. Bahkan prosedur menuju operasi pun beda dengan standar operasional pelaksanaan operasi saya. Dokter saya mengharuskan saya membawa hasil pemeriksaan darah lengkap terbaru minggu itu ke klinik guna menetapkan hari operasi. Jika masih ada yang kurang baik, harus diobati dulu. Pada saya kedapatan sel darah putih saya nyaris habis dirusak obat-obatan kemoterapi, sehingga perlu segera disuntik leucogen untuk menaikkannya. Sehabis disuntik sekali lagi dilakukan pemeriksaan darah berikut pemeriksaan echo jantung, USG perut dan roentgent guna persiapan kesiagaan tim dokter yang membantu dokter saya. 

Dokter kakak saya memberikan lembaran formulir pemeriksaan darah lengkap, tetapi tak menanyakan hasilnya ketika kakak saya menghadap ke klinik. Echo jantung pun tidak dimintanya. Sedangkan USG perut dan roentgent memang sudah ada hasil pemeriksaan dari beberapa minggu sebelumnya. Untuk diketahui efek radiasi pada penggunaan alat roentgent memang tak boleh sering-sering terjadi, karena membahayakan pasien.

Perbedaan di atas itu sudah merisaukan saya. Apa yang terjadi seandainya pasien dalam keadaan kurang fit sewaktu dioperasi? Tapi kakak saya mencoba menenangkan saya. Walau saya tahu dirinya pun mengerti kegundahan saya. Belum lagi karena keterbatasan waktu dokternya, operasi hanya bisa dilakukan malam hari. 

Malam hari, itu juga yang membimbangkan saya. Bagaimana seandainya dokter mengantuk dan konsentrasinya berkurang?! Ngeri sekali saya membayangkannya.

Dari waktu ke waktu saya terus menghubungi keluarga kakak saya di RS pada harinya operasi dijadwalkan akan dilakukan. Semula dijanjikan pukul tujuh malam. Karenanya kakak saya mulai menginap di RS pagi harinya, lalu berpuasa sejak siang. Nyatanya hingga pukul lima sore perut kakak saya belum dikuras, sebagaimana mestinya pada setiap prosedur pembedahan. Tetapi dokter konsulen, yakni anggota tim dokter sudah ada yang menengok ke kamar kakak saya. Tapi sampai lewat waktunya kakak saya masih belum diapa-apakan. Baru kemudian diberi tahu bahwa operasi diundur ke pukul sepuluh karena dokter anestesi berhalangan.

Pukul sepuluh malam waktunya mata minta dipejamkan. Bayangkan, betapa jeleknya gambaran-gambaran yang tercipta di kepala saya. Untung akhirnya malah dibatalkan, karena dokter bedah onkologi tak lagi bersedia. Jadi operasi diundur keesokan harinya, malam ini, pukul sembilan.

***

Peristiwa ini membuat beban pikiran saya menjadi berat. Bahkan sejak beberapa hari sebelumnya ketika kakak saya baru pulang dari klinik mengabarkan rencana operasi itu. Akibatnya asam lambung saya meningkat mengambuhkan penyakit di saluran pencernaan saya. Sinshe mengatakan saya sakit maag walau nyatanya saya tidak merasa mual apalagi muntah. Saya lebih cenderung menduga penyakit Irritable Bowel Syndrome (IBS) saya kambuh kembali setelah sempat tenang beberapa tahun. Gejala-gejalanya tampak nyata, perut saya nyeri, kembung, terasa penuh dan sering sekali minta dikosongkan segera. Duh, tiba-tiba saya merindukan dokter saya di negeri tetangga yang menemukan penyakit itu pada saya dulu. Dia lah yang menghindarkan saya dari kanker kolorektal waktu itu. Apakah penyakit ini ada hubungannya dengan stress tak jelas benar. Tapi saya menduganya demikian.

Sinshe meningkatkan lagi dosis obat nyeri lambung saya, sekaligus menerapi dengan totok syaraf. Saya berharap ada hasilnya karena saya baru akan diperiksa dokter spesialis penyakit dalam besok sebagai syarat lulus uji untuk kemoterapi minggu depan. Ya, kemoterapi saya akan segera dimulai lagi untuk setahun ke depan. Sayang sudah tiga hari obat sinshe tak membawa perbaikan yang berarti.

Jadi tahun ini saya batal berpuasa. Baik dokter maupun sinshe tak mengizinkan saya. Ada rasa kehilangan ketika kini saya hanya diam sebagai penonton saja. Kebersamaan ibadah dengan hiasan takjil yang lezat di meja makan bersama anak-anak saya itulah yang saya rindukan.

Sementara itu fisioterapi untuk kasus pembengkakan di tangan saya masih terus berlangsung. Seminggu tiga kali saya harus ke RS di Jakarta. Sedihnya hari ini fisioterapist mengaatakan kondisi saya yang seharusnya sudah membaik tak kunjung tercapai. Bahkan jari-jari saya pun harus ikut-ikutan dibalut. Penampakannya menjadi demikian :



Bayangkan, dengan tangan seperti itu pergerakan saya amat sangat terbatas, bukan? Tapi apa boleh buat. Hanya inilah caranya untuk membantu menjadi normal lagi. Tak ada salahnya menerima nasib begini :-D

(Bersambung)

4 komentar:

  1. Ada-ada saja cobaan ya, Bund.
    Mudah-mudahan kakaknya Bunda operasinya berjalan lancar.

    Bund, sakit ya itu tangannya yang bengkak?
    Sabar ya...


    Eh,lupa.... selamat ulang tahun ya, Bund. Semoga Tuhan selalu menganugerahi Bunda dengan kesehatan dan kebahagiaan...
    Muaaaahhhhhh
    *kecup-kecup sampe basah kuyup

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang hakekat kita sebagai manusia adalah tempatnya kesabaran diuji deh cik. Puji Tuhan, iya operasinya lancar selama 2 jam, separuh waktu dari operasi saya karena kelenjar ketiaknya tuh belum ditumbuhi tumor, jadi ngangkatnya sekaligus dengan payudaranya. Waktu itu yang bikin saya panik kan karena operasinya malam. Takut dokternya ngantuk, matanya nggak awas dsb.

      Tangan saya nggak sakit, karena sejak semula sebelum dioperasi ya udah sakit, bengkak begini hihihihi....... kan jadinya nggak tambah kerasa sakit. Walau tadi pasien di kubikel sebelah saya di ruang fisioterapi ngeluh kesakitan.

      Kok ada yang masih inget hari kemarin sih? Beneran saya bingung, SMS dari jam sahur sampai jam tarawih ngantay ngirim doa. Terima kasih banyak ya dik, salam sayang untuk semuanya yang ada di rumah cikpie.

      Hapus
  2. kog bisa ya dokter batalin operasi kakaknya mbak? harusnya sudah terjadual gitu.. tapi lancar kan setelah operasi..

    sekarang masih dibalut tangannya mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah nggak tau deh, RS kecil sih mungkin ya........... alhamdulillah lancar. tadi pasiennya dah dirawat di rumah kok, pulang dari RS kemarin sore.

      Pembalut mesti dipakai terus, prediksinya nurse physioterapist malah nakut-nakutin, seumur hidup katanya sih.

      Hapus

Pita Pink