Powered By Blogger

Sabtu, 20 Juli 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (89)




Fisioterapi. Kegiatan pemulihan fisik yang satu itu akhir-akhir ini mendekatkan saya dengan RS Kanker Dharmais lebih akrab lagi. Saya harus menjalaninya di sana dipandu serta dilayani seorang perawat setiap dua hari sekali kecuali akhir pekan. Setidak-tidaknya program yang terjadwal hingga pekan depan sudah membuat saya merasa jenuh dengan suasana rumah sakit. Sebab di Bogor saya pun nyaris seminggu satu atau dua kali ke RS. Jadi fisioterapi menambah kejenuhan saya meski saya menyukai kegiatannya yang membuat otot-otot saya terasa lebih lentur kemudian. 

Kemarin siang fisioterapis saya menemukan bekas jahitan operasi di ketiak saya memerah, basah pula. Dikhawatirkan terjadi infeksi di situ. Dia menanyai saya tentang apa yang terjadi. Tentu saja saya tidak tahu apa-apa, sebab, selama ini saya sangat takut menyentuhnya bahkan ketika membersihkan tubuh selagi mandi. Pasalnya daging di situ membengkak membentuk gumpalan yang bentuknya mengerikan. Adapun sekarang memang saya merasakan nyeri di situ selain ngilu di tulang selangka tempat tumbuhnya benjolan baru yang kemarin dulu diketemukannya. Jadi besok di ruang kemoterapi saya harus mengadukannya kepada dokter bedah umum dan dokter jaga yang mengawasi kemoterapi saya selagi dokter onkologi saya yang muda belia masih menyampaikan seminar di negara tetangga yang dikenal piawai menangani masalah kanker. Ah, sungguh suatu hal yang ironis.

Banyak kejadian yang menguras emosi saya kemarin. Tapi bukan berarti saya bertengkar lalu marah-marah kepada orang lain. Melainkan saya terharu menyimak komunikasi yang dilakukan melalui E-mail oleh anak-anak saya dengan ayah mereka, juga komunikasi saya dengan teman-teman Dharma Wanita Persatuan yang sudah seperti saudara kandung saya sendiri.

Mula-mula anak saya berinisiatif menyampaikan laporan perkembangan kesehatan saya kepada ayah mereka nun di seberang samudera. Diberitakannya tentang tumor saya yang kedapatan tumbuh kembali namun belum terdeteksi dengan baik mengingat onkologis saya sedang bertugas ke luar negeri. Selanjutnya anak saya juga melaporkan penggunaan dana yang tak sedikit dalam rangka terapi saya akhir-akhir ini. Diakhiri dengan keadaan perkuliahan serta rencana mencari pekerjaan mereka berdua. Biasanya laporan yang demikian itu hanya mendapat tanggapan satu-dua kalimat saja yang intinya mendoakan apa yang terbaik bagi mereka serta suntikan kesabaran berbalut tawakal di dalam menjalani hari-hari mereka yang serupa ujian hidup.

Tapi tak demikian kali ini, ayah mereka bisa bicara sedikit lebih panjang. Beliau tak dinyana-nyana mengirimkan doa bagi kesembuhan saya dalam keprihatinan yang sangat. Sesuatu yang sudah lama tak pernah terasa di dalam hidup kami karena apa yang diungkapkannya selama itu hanyalah basa-basi yang kental. Sebagai orang yang pernah menjadi bagian hidupnya berpuluh-puluh tahun lamanya tentu saya bisa membedakan ketulusan dari keterpaksaan belaka. Beliau kali ini bahkan berpesan agar anak-anak tidak usah memikirkan hal-hal lain, karena sekarang saatnya mereka mencurahkan tenaga dan pikiran hanya untuk merawat saya semata. Menarik sekali. Sesungguhnya saya jadi terkejut karenanya dan sulit untuk mempercayai bahwa E-mail itu semua murni keluar dari isi hatinya yang terdalam lagi tulus. Tapi jauh di dalam batin saya tahu dia sedang benar-benar tergerak untuk meringankan semua beban batin anak-anaknya sendiri yang selama ini cuma bisa menahan pedih. Bayangkan, ayah mana yang tega menyengsarakan darah dagingnya sendiri jika dalam keadaan normal? Terharu saya merasakannya.

Demikianlah jika Allah telah berkehendak, maka tiada yang bisa melarangNya. Sebagaimana halnya jika seseorang mengingini sesuatu, tentu tak mungkin tercapai tanpa Ridha dariNya.

Adapun teman-teman saya juga mendatangkan keharuan tersendiri. Seperti memiliki ikatan batin dengan saya. teh Nanan yang menjadi semacam "Ketua Tim" dalam upaya pengobatan saya menjelang saya tidur malam berkirim SMS dengan pertanyaan standar, "Apa kabar dik? Sehat kan ya?" yang senada dengan keinginan hati saya menceritakan soal tumor yang baru tumbuh itu. Tentu saja sepotong tanya itu membuahkan pembicaraan mendalam.

Meski merasa prihatin dan tak mampu memberikan saran atau pertolongan medis, tetapi teman saya berkirim doa sambil terus menyuntikkan semangat hidup. Dia tak menghendaki saya memikirkan hal-hal lain di luar kesehatan saya, termasuk kondisi kakak saya. "Fokus pada program pengobatanmu sendiri aja dik, hanya kamu lho yang bisa melawan penyakit ini. Jangan buru-buru ketakutan, tunggu dr mu kembali ya," pesannya. Sementara itu sebetulnya saya sudah segera memberi tahu pengawas kesehatan saya, yaitu ibu dokter Maria yang cemerlang lewat E-mail. Tapi pada waktu itu saya minta beliau tak segera menyebarluaskan kondisi terkini saya ini kepada teman-teman lainnya guna menghindari kegelisahan hati mereka. Coba, bayangkan saja, dana pengobatan saya selama ini kalau sudah tak lagi terbayar selalu akan diupayakan oleh teman-teman baik saya tersebut. Jadi alangkah susahnya mereka kalau tahu saya kini cenderung memburuk.

Ternyata dugaan saya benar, dari teh Nanan kabar ini langsung menyebar ke seluruh dunia. Dalam perjalanan menuju ke RSKD kemarin saya ditelepon mbak Sandra yang kebetulan sepupu suami teh Nanan, mas Arief. Dalam kelelahan jiwa saya memang membiarkan saja deringan dari dalam tas tangan saya. Tapi kemudian saya tak tega juga lalu membalasnya dengan SMS sebaris. Jadi begitu selesai dengan sesi fisioterapi saya barulah saya kembali mengirim SMS menceritakan kondisi saya yang pasti membuatnya justru penasaran ingin mendengar sendiri dari mulut saya. Dan mbak Sandra kemudian kembali menelepon saya. Dia bilang dia sangat yakin saya sangat siap mengulang kembali rangkaian proses pengobatan saya. Apalagi dengan didukung niat dan tekad bulat teman-teman kami untuk terus membantu sekuatnya. Menurutnya setiap kami kini semakin giat membawa nama saya di dalam doa-doa harian mereka. 

Rasanya tak mudah percaya begitu saja saya mendengar itu semua. Bukankah saya makhluk tak berarti dan lagi tiada berharga? Saya merasa selama ini saya memang lebih banyak berdiam diri dibandingkan teman-teman lain yang asyik mengurusi kegiatan organisasi. Jadi kenyataan ini berhasil mendatangkan air mata haru ke pipi saya.

***





Kemoterapi lanjutan saya menanti setelah fisioterapi yang akan berakhir esok. Seperti biasanya ini bisa dilakukan di Bogor saja dengan bantuan dana Jamkesda. Dulu semasa pihak pejabat di DKK menolak pendanaan operasi saya di RSKD kantor asal onkologis saya, saya diperkenankan menggunakan dana bantuan atau pinjaman dari pihak lain. Artinya saya boleh membayar sendiri tapi kelak saya akan diizinkan melaksanakan kemoterapi di Bogor.

Jadi kemarin seharian saya kembali masuk ruang kemoterapi. Kami tiba agak siang, kira-kira pukul delapan mengingat masuknya bulan Ramadhan. Perkiraan ini ternyata keliru, meski Ramadhan ruang kemoterapi tetap dibuka pukul tujuh sehingga ketika tiba di sana, spot favorit saya yang cuma berupa sebuah kursi malas sudah ditempati orang. Akhirnya saya memilih tempat tidur yang dulunya tidak saya minati sebab modelnya kuno dan tidak kokoh. Pasien di atasnya bergerak sedikit, tempat tidur beroda itu langsung goncang. Ah, menyebalkan sekali, namun apa boleh buat bahkan buntut-buntutnya saya malah sempat terlena di situ hingga tak melihat pergantian shift jaga perawat.

Zuster Nining yang biasa disapa teteh oleh semua orang nampak berjaga berdua dengan Zuster yang kalau tak salah dengar namanya Wiwiek. Cepat tanggap dia mengerti bahwa saya merindukan spot yang sudah dipilih orang itu. "Bu Julie mau di situ ya?" Tanyanya tersenyum tipis. "Ya. Kalau masih kosong tapinya......," jawab saya dengan senyuman masam pula. "Ah bisa, saya bilang deh sama pasiennya," katanya seraya meneriakkan nama seseorang tapi buru-buru dicegah co-partnernya. "Husy. Nggak boleh, siapa cepat dia dapat dong teh," sergah teh Wiwiek yang tentu saja bisa saya mengerti. Duduk atau tiduran memang sama-sama ingin saya coba dulu sih. Siapa tahu dengan tiduran malah nyaman. Jadi saya teruskan saja mengatur diri di sudut yang berhadapan dengan "bilik pengoplosan obat". Ruang kemoterapi memang dibuat di balik ruang apotik dengan melubangi dinding pemisahnya memakai sebuah jendela. Di area itu yaitu di sebuah sudut dipasanglah partisi yang difungsikan sebagai tempat mencampur koktail obat-obatan kemoterapi yang sangat beracun itu. Apoteker yang bertugas masuk mengenakan pakain khusus yang amat rapat membalut seragam RS mereka sehingga penampakannya bagai astronot di ruang angkasa. Lalu obat-obat yang dimasukkan lewat jendela dikerjakan amat hati-hati, guna dimasukkan ke tubuh kami para pasien yang menanti dengan pasrah. Ada yang sangat tenang seperti saya, ada yang belum-belum sudah bolak-balik ke luar masuk WC untuk menumpahkan isi perutnya, bahkan yang lain ada yang terbatuk-batuk kambuh penyakit asthmanya. Tapi yakinlah, alhamdulillah itu bukan saya meski saya pun punya penyakit asthma yang sudah lama terkontrol dengan sendirinya. Hari itu kami cuma bertiga, dua pasien onkologis kakak saya berikut saya yang kini tak lagi berteman setelah onkologis saya cuma sanggup berpraktek seminggu sekali.
 


Seperti biasa saya selalu menjadi pasien yang paling fit. Berkas-berkas saya lengkap. Hasil pemeriksaan darah di laboratorium memenuhi syarat dan kesehatan umum saya baik kecuali masalah pada perut yang tak mempengaruhi jalannya kemoterapi. Ini dibuktikan dengan surat persetujuan dokter spesialis penyakit dalam yang terlampir di Rekam Medis saya yang sudah mulai tebal meski kalah tebal dari Rekam Medis saya di sebuah RS di negeri tetangga. Dulu di sana saya biasa menyamakannya dengan "my lovely pillow" saking tebalnya.

Adapun dua pasien lain sama-sama bermasalah. Mereka tidak punya hasil pemeriksaan laboratorium terbaru, seperti yang terjadi ketika dokter mereka mengizinkan kakak saya dioperasi. Sungguh berbeda dengan kebijakan dokter saya yang minta hasil terbaru. Bahkan waktu saya akan dioperasi dulu, hasil pemeriksaan laboratorium saya tiga hari sebelumnya dianggap sudah kadaluwarsa dan harus diulang. Akibatnya mereka perlu ke laboratorium dulu sebelum dokter jaga datang memeriksa pasien. Tentu saja lagi-lagi kemoterapi dimulai lebih siang. Belum lagi kemudian pasien yang ternyata sedang terserang asthma harus diterapi dulu, namun setelah diterapi dan diizinkan dokter spesialis penyakit dalam dia harus dipulangkan menuruti instruksi dokter onkologinya yang jarang mengawasi kemoterapi pasiennya tapi tak juga menitipkan kepada koleganya seperti dokter saya yang selalu mangkir.

Tabung oksigen yang dikandangkan di bilik saya kemudian dipindahkan ke tempat pasien yang kena asthma. Dia menerimanya dengan senang hati bahkan dalam sekejap nafasnya lega. Tapi saya sepakat dengan onkologinya untuk menunda kemoterapi beliau berhubung saya juga pasien asthmatis yang sering sekali kambuh di atas meja bedah meski hati saya tenang menghadapi pengobatan saya. Agaknya kata perawat pada sebagian orang kemoterapi membuat nyali menjadi ciut. Tak heran jika ibu itu terserang asthma, sedang yang seorang lagi terus-menerus muntah-muntah. Oh, betapa beruntungnya saya dikaruniai dengan ketenangan dan keberanian kecuali ketika jarum infus akan ditusukkan. Masalahnya vena saya kecil, halus dan bengkok-bengkok sehingga susah dicari. Kemarin vena yang masih belum sembuh betul pun terpaksa terkena tusukan juga dalam rangka mencari titik yang paling pas. Sakit saat itulah satu-satunya yang menjatuhkan citra saya di ruang kemoterapi.

Koktail obat saya diberikan paling dulu, tapi entah mengapa saya malah selesai paling akhir. Saya pikir tentu karena dosisnya lebih banyak dibanding pasien satunya yang sama-sama menderita kanker payudara. Sedang koktail kemoterapi pasien asthmatis yang batal dipakai jadi bermasalah karena sudah terlanjur mulai dikerjakan pengoplosannya. Untung saya dengar ada solusinya dengan cara disimpan kembali ke dalam lemari pendingin yang hanya bisa mempertahankan kesegarannya selama tiga hari. Artinya si pasien harus dikemoterapi selambat-lambatnya hari Rabu. Tak terbayangkan andaikata dia masih belum sehat juga. Itulah gunanya menjaga diri dari kontaminasi penyakit, termasuk influensa. Saya sendiri sering kena tegur karena malas mengenakan masker penutup hidung. Sekarang itu menjadi bahan pelajaran untuk saya.

Dengan dibaringkannya saya di tempat tidur, saya sempat terlelap. Tak seperti ketika saya memilih duduk di kursi malas. Tahu-tahu saya sudah dibangunkan petugas dapur gizi untuk makan siang yang saya tolak karena melanggar diet yang ditetapkan sinshe saya yang terbukti sekarang mempercepat tumbuhnya benjolan tumor itu lagi. Saya kemudian dibelikan nasi dengan tahu goreng dan sayur acar kuning serta sejumput balado teri di kantin oleh anak saya. Bahkan dengan bahagia dia menyuapkan sedikit demi sedikit nasi yang sesungguhnya tidak banyak itu tapi toch tak mampu saya habiskan sebab perut saya cepat terasa penuh.






Adzan maghrib pun menggema, menyeru ummatNya untuk membatalkan puasa. Saya ikut-ikutan terbangun, lalu mempersilahkan para perawat yang sudah berganti orang dan anak saya menikmati hidangan mereka yang terpaksa dimakan di ruang kemoterapi demi merawat saya seorang. Aduhai, mereka tentu akan dapat berkah yang besar dari Tuhan karena pekerjaan kemanusiaan mereka itu. Insya Allah saya akan mendoakan mereka.

(Bersambung)

7 komentar:

  1. masih diperban tagannya bund?

    tetep sabar ya bund..mugi diparingi cepet sehat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Esih ko kang, malah tambah abuh baen kiye.

      Amin-amin-amin. Kesuwun pandongane.

      Hapus
  2. semua manusia itu memiliki arti di hadapan Sang Khaliq, tetap semangat dan semoga cepat sehat kembali...senyum and keep happy blogging always...salam sehat selalu dari Makassar :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas sapaannya yang menyenangkan pak. Salam sehat kembali.

      Hapus
  3. akhirnya tempat tidur yang tadinya ditolak malah nyaman ya, jadi bobo deh..
    itu mbak, diet dari sinshe apa aja? kog lupa ya.. emang pihak rs ga dikasih tahu biar mbak kalu makan siang disediakan yang boleh dimakan gitu..
    bapaknya anakanak baik ya mbak masih mau memperhatikan.. semoga banyak membantu.. dan anakanak jadi tenang mengurus bundanya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi ya gitu deh, saya kurang nyaman. Habis tempat tidurnya nggak stabil, goyang-goyang dikit jadi bikin pusing.

      Saya dilarang makan daging dan unggas kecuali ayam kampung. Menurut dokter sih pasien boleh makan sesuka hatinya lho.

      Amin. Apa boleh buat kayaknya, kan anak-anak milik kami berdua.

      Hapus

Pita Pink