Powered By Blogger

Senin, 15 Juli 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (87)

Minggu pagi. Matahari tentu saja belum nampak karena adzan subuh pun belum dikumandangkan orang. Saya bangun bersama anak-anak saya, hendak menyertai mereka menyantap hidangan makan sahur. Tapi sepagi itu ponsel saya sudah terang benderang mengantarkan banyak pesan. Yang membahagiakan banyak sekali, datang dari teman-teman SMP dan SMA saya berupa doa untuk kesehatan saya yang lebih baik di tahun mendatang. Tak disangka, lebih dari dua puluh SMS itu pengirimnya masih teringat akan hari jadi saya. Padahal jujur saja, seumur-umur saya tak pernah merayakannya bahkan tak juga mengumumkan. Tapi tak dinyana mereka masih banyak yang ingat tentang saya. Terima kasih banyak, syukur alhamdulillah.

Di antara itu ada sebuah kabar duka cita. Guru aljabar saya di SMP yang baru hari kemarinnya saya dengar sakit keras telah berpulang pada pukul tiga pagi. Innalillahi wa innailaihi raji'un. Belum sempat saya menjenguknya bersama kemenakan yang berencana mengajak saya ke kediaman beliau.

Meski dalam keadaan yang belum bugar benar, tapi ajakan kakak kelas saya ceu Indah yang sebetulnya teman mantan suami saya untuk melayat bersamanya tak saya tolak. Suaminya berbaik hati singgah dulu di rumah saya supaya saya tak harus naik angkutan kota ke rumah duka yang lumayan jauhnya itu. Kata ceu Indah dia khawatir jika bekas luka operasi saya tersenggol-senggol orang di perjalanan.

Saya kenakan baju ternyaman yang bisa saya kenakan dengan mudah sehabis mandi. Lalu selapis tipis bedak pun saya sapukan agar tampaknya wajah saya berseri-seri. Ceu Indah datang tepat pukul tujuh ketika saya belum sempat menelan obat saya. Untung beliau dan suaminya bersabar menunggu barang sejenak. 

"Sudah sehat Jul?" Tanya mereka serempak ketika saya sudah memosisikan diri di bangku belakang dengan nyaman. Lalu obrolan pun mengalir lancar. Sejak saya sakit ceu Indah belum sempat menengok saya karena kesibukannya sebagai guru dan kecintaannya kepada cucu pertama mereka yang baru berumur beberapa bulan.

Pagi itu meski saatnya hari bebas kendaraan di sekitar Lapangan Sempur tetapi kami tetap bisa lewat. Jejeran pedagang kagetan memenuhi kaki lima menjajakan aneka barang. Suasana minggu pagi yang gempita dengan gairah penduduk yang berolah raga agaknya tak nampak, maklum terbalut puasa Ramadhan. Tapi di rumah duka sudah banyak pelayat. Agaknya beramai-ramai orang mendatangi rumah itu segera selepas sembahyang subuh guna menyampaikan penghormatan terakhir karena diberitakan jenazah akan dimakamkan pukul sembilan pagi. Sayang tak ada teman saya satupun. Ceu Mala kakak kelas saya yang saya jumpai pagi itu bilang, Yus teman satu angkatan saya sudah meninggalkan tempat. Sedang Yanti adik ipar ceu Mala tinggal di luar kota sehingga tak mungkin hadir. 

Adapun yang mengejutkan adalah kang Harry suami beliau ternyata sudah lebih dulu menghadap Illahi. Tubuhnya yang ringkih didera diabetes mellitus justru dilibas serangan jantung di waktu pagi. Kang Harry yang terkenal juara sekolah lulusan Pondok Pesantren ternama di Jawa Timur cuma mengeluh masuk angin. Karenanya beliau minta dibaluri dengan obat gosok. Tak lama setelahnya beliau terlihat lemas, muntah-muntah hingga minta dibaringkan. Dalam tidurbya itulah beliau melepas nyawa. Innalillahi wa innailaihi raji'un.

Saya kemudian menceritakan soal sakit saya sendiri. Tanpa malu-malu saya sebutkan diri saya nan tak lagi menjadi wanita sempurna serta kedermawanan onkologis saya yang muda dan cemerlang mantan murid di SMP kami. Tak dinyana kang Wawan, satu-satunya pelayat lelaki di deretan perempuan menyahuti perkataan saya. 

Istri kang Wawan sudah tiada karena serangan kanker otak di RS lain. Tentu saja dia ditangani onkologis yang berbeda dengan saya. Kisah kang Wawan istrinya juga menjalani serangkaian kemoterapi. Mata kang Wawan mengarah ke jari saya yang pada sebagian kuku mulai menghitam akibat efek kemoterapi. Dia mengharap saya tegar, teguh pada pengobatan yang menyiksa itu, apalagi saya sudah datang kepada dokter yang tepat. Alangkah mengharukannya suntikan semangat itu bagi saya, karena sebelumnya kami tak pernah kenal akrab.

Semakin siang pelayat semakin banyak, terutama tentu saja teman-teman istri pak guru yang merupakan teman satu angkatan mereka. Di antaranya ada mbak Sri kakak kelas saya sejak di SD hingga di SMA yang datang bersama beberapa orang lainnya, termasuk mbak Retno yang kini bertubuh subur tapi justru kelihatan tambah cantik. Mula-mula mbak Sri tak mengenali saya, tapi kemudian dia langsung teringat, terutama setelah saya menanyakan anggota keluarganya satu demi satu. Kakaknya telah bepulang seorang. Tapi saya tak menanyakan sakitnya apa. Saya memang cukup akrab dengan keluarga mbak Sri karena selain kami tinggal di kampung yang berdekatan, saya sering sekali bermain-main di rumahnya waktu SD dulu. Saya senang minta buah jambu biji yang tumbuh di halamannya dan dipanjat Bambang adiknya yang sekelas dengan saya. Mbak Sri cukup terkejut mendengar kabar saya. Terlebih-lebih ketika menyadari bahwa antara saya dengan teman sekelasnya di SMA dulu sudah tak ada hubungan apa-apa lagi selain terikat anak-anak kami berdua. Dia mengulum senyum pahit, seraya menggigit bibirnya sendiri. "Kok gitu ya dik ceritamu?" Lontarnya seperti tak habis pikir, ah semua orang memang sama saja. Mereka selalu kebingungan sendiri.

Saya cuma sempat bertemu dengan Renny sahabat saya yang tadinya juga berniat menjemput saya tetapi telah saya tolak. Pasalnya sejak suaminya meninggal karena sakit menahun, dia meninggalkan rumahnya di dekat tempat tinggal saya untuk kembali ke ibunya. Di sana dia merawat perempuan yang sangat dicintainya itu. Seperti bakti anak-anak saya kepada saya. Saya tak mau Renny yang datang bersama kakak perempuan dan Dewi adik mereka memutar arah dulu demi agar saya bisa menumpang. Walau saya tahu, Renny selalu rela melakukannya seperti berulang kali saya alami sejak anak-anak saya masih kecil dulu.

Dunia memang sudah tua, karena umur kami pun ternyata tak muda lagi. Banyak teman yang sudah tiada, atau pasangan mereka yang mendahului. Berbekal keikhlasan tentunya manusia tak boleh meratapi takdir. Tapi, siapa orang yang tak larut dalam duka ketika menghadapi kematian? Istri almarhum yang sudah kering dari air mata saja masih nampak kuyu meski tahu bahwa kematian itu justru meringankan sakit lahir dan batin yang mereka derita bersama. Bayangkan, guru kami terbaring karena stroke cukup lama. Perawatan di RS yang bagus tak membuahkan hasil, sehingga percuma saja beliau tinggal lama dari RS ke RS. Belakangan keluarganya membawa pulang ke rumah. Dalam selubung kematian yang tak jelas kapan akan sampai di lubang kubur. Bayangkan, betapa penderitaan mereka yang ditinggalkan....... Saya cuma tepekur, meratapi diri yang tak juga punya bekal cukup untuk mencapai RibaanNya.

Pagi itu kami kembali ke rumah masing-masing dalam pikiran yang pasti tak sama. Saya merasa kematian menantang saya. Tapi tentunya tak demikian dengan ceu Indah dan suaminya. Ceu Indah cuma merasa otaknya semakin pelupa. Termasuk lupa menghafal suatu daerah dan jalan menuju ke sana. Ya, siapa bilang kami masih muda? Tubuh saya sudah semakin menuntut perhatian dibandingkan dulu. Buktinya, hari itu bahkan hingga sekarang perut saya yang berulah masih saja terasa sakit. Saya tak tahu lagi apa yang harus saya perbuat. Dokter yang cakap bahkan sinshe yang paham guna tetumbuhan untuk kesehatan manusia belum bisa menolong saya. Jadi hanya kepada Tuhan lah akan saya mohonkan lagi kesembuhan ini. Sebab saya belum mau meninggalkan anak-anak saya. Belum cukup puas rasanya saya bersama mereka yang baik budi namun masih jauh menuju masa depan mereka yang tertata. Ya Allah, kuatkanlah saya, la haula wala quwwatta illa billah........

(Bersambung)

6 komentar:

  1. happy belated birthday mbakyu.. semoga selalu semangat ya dan segera sembuh total.. sehat bahagia dikelilingi keluarga tersayang.. pelukpeluk..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih ya. Ini peristiwa langka dalam hidup saya. Biasanya karena saya nggak suka dirame-ramein jadi nggak merasa hidup saya makin tua di hari itu. BTW doanya saya aminkan banget, mengingat ada lagi benjolan tumbuh baru. Semoga bisa dibabat dengan kemoterapi deh.

      Hapus

Pita Pink