Powered By Blogger

Minggu, 28 Juli 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (92)

Saya kelelahan. Tubuh saya mulai terasa lemah meski saya kuatkan untuk bangkit dari pembaringan saya. Anak-anak saya pun nampaknya butuh waktu sejenak untuk menyepi dari suasana RS yang selalu mencekam. Apalagi suasana RS Dharmais yang jadi pusat penelitian penyakit kanker nasional. Sebab selalu saja ada pasien dengan kondisi yang memiriskan. Di atas kursi-kursi roda tubuh terkulai layu dengan sorot mata dingin atau tanpa gairah terpaku tak berdaya. Belum lagi yang mengenakan balutan di sana-sini, yang jauh lebih mengerikan dibandingkan balutan pada tangan saya. Ada yang berpembalut di kepala, di leher, juga di berbagai bagian tubuh lainnya. Dan anak dengan malformasi pada wajahnya disebabkan tumor yang tumbuh masif di pipinya. Seringkali saya akhirnya ikut memuji Tuhan yang telah menjadikan saya nampak sebagai orang sehat meski lengan saya sekarang nyaris sebesar paha balita. Belum lagi tubuh saya jadi miring sebelah dengan dada kempis sesisi yang saya samarkan di balik kerudung lebar yang alhamdulillah memang telah saya gunakan beberapa tahun terakhir ini. Dulu pakaian sedemikian rupa itu murni sesuai dengan kata hati saya yang ingin menutup aurat lebih rapat. Tetapi kini ada tambahannya, saya jadi bisa menyembunyikan diri saya yang sudah cacat tak lagi sempurna.

Hari Kamis itu saya mengistirahatkan diri di rumah saja. Saya rasa pak Jamil kenalan saya pun butuh waktu untuk bersama anak-istrinya melaksanakan ibadah di bulan suci ini tanpa gangguan. Maka waktu sehari itu saya gunakan untuk melengkapi kekurangan ibadah saya dengan doa-doa dan dzikir yang tak berkesudahan seperti yang disarankan banyak orang. Ya, hanya dengan itu lah kita bisa berupaya mengetuk pintu surga yang akan menurunkan Kasih Sayang dariNya. Konon jika kita ikhlas diuji dengan penyakit di bulan Ramadhan, maka Allah akan menghapus dosa-dosa kita sebanyak-banyaknya yang menurut saya dengan catatan jika kita sendiri berupaya untuk terus berbuat baik tanpa menggerutui cobaanNya. Jangan pernah berharap dosa-dosa kita akan pupus jika kita tak tulus berhubungan dengan Sang Pemilik Hidup.

***

Hari Jumat sengaja saya berangkat ke RSKD lebih siang hanya ditemani si bungsu. Semula tujuan saya cuma ke Instalasi Rehabilitasi Medik guna menjalani fisioterapi dilanjutkan dengan konsultasi. Keadaan lengan saya sudah terlewat untuk dinilai dokter. Pasalnya awal minggu itu saya sibuk ke berbagai unit serta klinik sehubungan dengan tumbuhnya benjolan baru di saat kemoterapi harus segera berlanjut. Jadi penilaian dokter rehabilitasi medik sempat terabaikan secara tidak disengaja.

Kelelahan saya belum juga berkurang. Di mobil yang lega saya memilih membaringkan diri. Tak saya hiraukan hiruk pikuk suasana jalanan. Dada dan lengan kiri saya yang sakit terasa berdenyut-denyut, lebih tepatnya seperti tertekan karena ditikam. Entah apa sebabnya. Tak banyak yang bisa saya lakukan untuk meredamnya kecuali dengan menelan sebutir pil pereda nyeri yang akhirnya juga saya putuskan tak saya lakukan. Saya memilih berdzikir mengiringi seringaian lebar saya. Karena itu pak Jamil tak mau menyalakan Radio Elshinta kegemarannya. Perjalanan pun lalu terasa senyap seolah-olah masing-masing orang menghimpun kekuatannya sendiri-sendiri untuk menyikapi sakit saya dengan baik. Tak terasa saya sempat terlena barang sekejap ketika kemudian mata saya bisa menandai daerah sekitar tol Tomang dekat RS. Saya harus segera bangun dan bangkit mencoba menggapai kesembuhan saya.

Sama dengan hari-hari yang lalu lobby RS penuh pengunjung. Bahkan trolley barang serupa yang sering saya temukan di hotel-hotel besar nampak akan digunakan orang. Mungkin ada pasien yang baru saja akan menginap membawa kopor besar dan aneka kebutuhannya sehari-hari; tapi boleh jadi juga ada pasien yang habis menjalani perawatan panjang akan pulang ke kediamannya.

Di Instalasi Rehabilitasi Medik tak begitu banyak pasien yang akan diterapi, sehingga saya langsung mendapat perawatan. Di kubikel terujung yang menghadap jalan raya rasanya saya seperti mendapat penyegaran. Langit cerah di luar sana menampakkan matahari panas di kejauhan. Jakarta memang tidak sedang hujan. Zuster Ela melayani saya sambil melayani dua orang pasien lainnya. Begitu selalu kejadiannya di sana. Saya rasa dikarenakan kurangnya tenaga paramedis pelayan pasien rehabilitasi.

Sehabis dari situ saya segera mengunjungi klinik dokter yang akan memperjuangkan kasus saya supaya bisa dijadikan bahan penelitian untuk menyampaikan beberapa laporan keadaan saya sebagai syarat pengajuan permohonan partisipan penelitian. Saya tiba persis ketika nama saya sedang diteriakkan resepsionis untuk masuk ke ruang tunggu yang sempit. Di ruangan seluas kira-kira enam kali lima meter itu banyak pasien duduk menunggu kesempatan periksa di beberapa klinik sehingga kami bercampur jadi satu. Seseorang dengan selang dirapatkan di hidungnya duduk di kursi roda tak jauh dari saya. Kemudian masuk pula perempuan paruh baya yang sudah saya kenal pada kunjungan sebelumnya, yang datang membawa keluhan kanker pada rongga sinusnya. Dia kini berkursi roda pula, memilih duduk jauh dari kliniknya dekat lelaki yang lehernya berpembalut. Memang di situ ada klinik dokter bedah spesialis telinga hidung dan tenggorokan, selain dokter kulit dan ahli kanker anak-anak yang bergantian praktek dengan dokter yang akan saya kunjungi.

Kami sempat saling menyapa. Perempuan yang diantarkan anak perempuannya itu bicara dengan suara sengau minta penjelasan perawat yang menagih hasil pemeriksaan laboratoriumnya yang terbaru. Agaknya petugas laboratorium keliru memberikan lembar hasilnya, sehingga anaknya perlu kembali ke lantai satu untuk menukarkannya. Bisa dimaklumi, pasien RSKD memang sangat banyak datang dari seluruh penjuru Indonesia.

Ibu itu berasal dari Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan keluhan hidung tersumbat dan pilek yang tak kunjung selesai. Keadaan itu menimbulkan pendarahan yang keluar begitu saja dari langit-langit mulutnya. Bisa dibayangkan, betapa mengerikannya. Dia tengah menghadapi operasi, selagi dia mempertanyakan tangan saya yang berpembalut tebal. Sepertinya semua pasien saling memiliki empati untuk pasien lain yang dijumpainya. Tak bisa disangkal sebab kanker memang kejam, mengerikan dan menyakitkan.

Sedangkan lelaki tua yang pita suaranya nampak sudah tak berfungsi lagi berulang kali mendekati tempat sampah, membuka tutupnya dan meludahkan sesuatu. Sedih dan takut saya melihatnya. Yang saya khawatirkan ludahnya mengandung bibit penyakit yang bisa membahayakan pasien lain. Padahal untuk diketahui semua pasien kanker diwajibkan menjaga kesehatan baik-baik agar bisa melawan gangguan virus yang mudah masuk ke tubuh yang daya tahannya telah rusak kena obat-obatan kemoterapi. Yang mengherankan anak lelakinya yang mengantar yang jelas jauh lebih tua dibandingkan anak saya tidak berinisiatif menyediakan tissue untuk membantu membersihkan sekresi lendir ayahnya. Begitu rupanya di Indonesia kesadaran menjaga kesehatan dan kebersihan masih perlu digalakkan terus. Juga sikap kasih sayang anak kepada orang tuanya. Untung itu tak terjadi pada keluarga saya.

Ketika tiba giliran saya dipanggil masuk, Doktor Noor menerima laporan saya dengan kecewa. Pasalnya meski hasil test uji darah yang diminta dokter jantung baik, tetapi hasil Pathologi Anatomi yang dulu saya peroleh sebelum dikemoterapi dan dioperasi berada dalam "wilayah abu-abu". Maksudnya tidak jelas benar apakah HER2 saya benr-benar positif, sebab di lembaran yang ditandatangani dokter spesialis pathologi anatomi yang secara kebetulan adalah sahabat salah seorang sepupu saya tapi belum sempat saya temui meragukan. "Ya Allah, kalau meragukan begini bagaimana mereka bisa menerima sampel? Padahal saya sudah mengemis-ngemis minta diluluskan," keluh ibu yang sangat menaruh kasihan kepada saya itu. Raut mukanya tertekuk tertunduk tajam. Semua ini mengganggu pikiran saya. Air muka saya pun seketika berubah gelisah. Tapi beliau segera menelepon koleganya untuk minta solusi. Tak ada cara lain, katanya saya diharuskan memeriksakan ulang jaringan sampel tumor saya ke RSPUN dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Ya Tuhan, bisik saya kini, ujian apa lagikah ini yang harus saya lalui sebelum saya mati menghadapMu atau diizinkan kembali membawa nyawa pinjaman baru dariMu? Terbayang masa-masa kritis saya di suatu rumah sakit dulu ketika anak-anak saya menunggui saya dengan kegelisahan yang memuncak dibarengi doa-doa yang kental.

Waktu itu saya baru saja menjalani operasi pengangkatan sebelah indung telur saya yang selalu menyakiti karena ditumbuhi kista. Itu bukan operasi pertama di daerah perut karena selain melahirkan dua anak melalui bedah Kaisar, saya pernah menjalani operasi untuk kehamilan ektopik juga pembuangan rahim. Yang terahir saya lakukan tepat setahun sebelumnya. Nasib sial mengikuti operasi ke-8 sepanjang hidup saya. Tiba-tiba saya muntah darah tak berhenti-henti hingga nyaris kehilangan seluruh kesadaran saya. Dalam keadaan kritis itu saya diperiksa lebih teliti dengan mesin CT Scan yang mendeteksi kebocoran di usus halus saya. Segera dokter mengembalikan saya ke meja bedah untuk membuang sebelas centimeter usus bermasalah itu yang mereka gambarkan sudah dalam keadaan luka lama yang kronis dan busuk. Akibatnya setelah itu saya dirawat di ruang ICU sebab nyawa saya nyaris melayang. Untung Tuhan berbelas kasihan dengan menjadikan anak-anak saya sebagai perawat yang telaten menyemangati hidup saya sehingga saya bisa kembali ke kehidupan normal hingga kini.

Tapi menghadapi fakta temuan baru mengenai penyebab penyakit saya yang dianggap meragukan, hati saya kembali ciut. Nyali saya seperti layu. Yang kini memberatkan pikiran saya adalah soal pendanaan obat saya yang kembali tak jelas harus dicari ke mana. Saya sama sekali tak punya sumber dana. Sedangkan minta tolong kepada teman-teman saya tak akan bisa terlaksana dikarenakan harga obat yang amat fantastis itu. Haruskah saya korbankan nyawa saya hingga di sini?

Lorong gelap dengan lubang yang menganga dalam siap menampung jasad saya seterusnya. Ya Allah, tolonglah lagi saya ke luar dari belitan sakratul maut yang tak henti-hentinya menghampiri saya ini. "Allahuma la sahla idza ma jaaltahu sahlaw wa anta tajalul husna idza syita sahlan. Allahumasyfi ana, Allahumasyfi ana....... isyfi ana. Innama amruhu idza aradha syaiayyaqqullallahu kun fayakun. La haula wa la quwwata illa billah..... Amin," gumam saya terus menerus seraya mengiba hanya kepadaNya Sang Pemilik Nyawa. Semoga Allah berkenan mengabulkannya lagi. Niat saya akan saya persembahkan kesembuhan saya bagi tim medis yang telah berjuang merawat saya juga anak-anak berbakti yang dianugrahkan sebagai harta karun terindah bagi saya serta sahabat-sahabat setia yang penuh pengorbanan.

(Bersambung)

14 komentar:

  1. entah kenapa saya sedih baca tulisan bunda yg ini. maafkan ya bunda.

    doa setulus2nya dari jauh bunda, semoga doa2 bunda dijabah oleh allah swt, amin amin yra.


    salam
    /kayka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Justru saya yang minta maaf ya kak. Nggak tau kenapa saya sempat hilang pengharapan. Tapi hari ini lagi-lagi keajaiban terjadi. Ada berita yang menggembirakan walau belum berarti saya bisa langsung dapat diikut sertakan sebagai partisipan penelitian itu. Terima kasih lagi atas doa dan simpati kakak. Semoga kakak pun senantiasa sehat wal afiat di negeri nun jauh di sana itu.

      *peluk kak Ika*

      Hapus
  2. Ya Allah tolonglah Ibu saya ini ya Allah ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin-amin-amin. Saya memang belum mau mati, saya masih ingin sehat lagi untuk memberikan kebahagiaan kepada mereka yang berjuang dan berkorban mati-matian untuk menolong saya.

      Semoga neng Winny sekeluarga juga senantiasa diberikan kesehatan yang baik. Sakit itu menyiksa jiwa raga beneran deh.

      *peluk cium disertai salam untuk pa Elan dan putra-putri*

      Hapus
  3. semoga pemeriksa ulang di rs cipto lancar ya mbak.. semoga stok sabar mbakjulie selalu ada.. dan semoga jadi sample penelitian..

    iya soal kesadaran berobat kita minim, kali aja si bapak itu ga bisa beli tisu jadi buang dahak sembarangan walupun di tong sampah, tetep aja rumah sakit banyak penyakit.. semoga anak-anak selalu sayang orang tuanya ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya malah nggak jadi diperiksakan ulang. Ada kesalahan pengarsipan di RS tadi. Nanti saya ceritakan belakangan, ini baru selesai mandi dan shalat pulang dari RS.

      Bukan nggak mampu beli tissue lah, kayaknya kesadaran akan kebersihannya aja yang kurang. Salam manis dan salam sehat untuk jeng Tintin. Kapan mudik ke Semarang bikin kue sama ibunda?

      Hapus
    2. tgl 7 mudik mbak.. ga sempetlah bikin kue sama mama.. mama udah lama pun ga bikin kue, yang bikin pasti adikadik yang emang tukang kue.. salam manis dan selalu sehat ya mbakyu..

      Hapus
    3. Selamat jalan, selamat menikmati keriuhan mudik, semoga bahagia aja ya yang ada di dalam hati.

      Hapus
  4. Allahumma Robbannas, Adz-hibil ba'sa isyfi antasy-syafi la syifa'a illa syifa'uka syifa'an la yughadiru saqoman"

    (Ya Allah Tuhan dari semua manusia, hilangkan segala penyakit, sembuhkanlah, hanya Engkau yang dapat menyembuhkan, tiada kesembuhan kecuali dari padaMu, sembuh yang tidak dihinggapi penyakit lagi). (HR. Bukhari, Muslim).

    Teh Juliiieee.... ya Allah mugi Allah maparin kasabaran anu teu aya batasna... mugi Allah ngahapus sadaya kalepatan teh Julie atas kesabaran teteh menghadapi ujian ini..aamiin..

    *keukeup nyaah*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin-amin-amin. Geuning sami abdi oge upami nyuhunkeun nganggo hadist eta, tah disingkatna mah janten nyuhunkeun damang pikeun sim kuring we......

      Sumuhun ujian teh teu acan aya "pangumumanana" tapi insya Allah sigana mah lulus :-)

      Ke antosan wartos anu enggal nya, da ieu ge nembe salse wangsul ti RS.

      *keukuep pageuh, mugia de Dewi salajengna teras sehat wal afiat*

      Hapus
  5. Aamiin, aamiin, Allahumma aamiin

    Peluk Bunda erat2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas doanya. Didoakan kembali semoga senantiasa sehat wal afiat ya.

      Peluk nak Eli yang manis senyumnya.

      Hapus
  6. Aamiin aamiin,

    Semoga cepat sembuh bund bacanya sedih dan jadi malu.

    #erie, ex binarlangitbiru@multiply.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah ikut mendoakan ya nak Erie. Iya deh kalau masuk RS Dharmais bawaannya stress ketakutan dan sedih gitu.

      Selamat idul fitri ya maafkan saya lahir dan batin. Sekarang nak Erie ngeblog di mana sih?

      Hapus

Pita Pink