Powered By Blogger

Sabtu, 27 Juli 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (91)

Kebahagiaan sepertinya tak boleh singgah lama pada diri saya. Siang itu ketika saya dirujuk kepada Doktor spesialis Penyakit Dalam dan Kemoterapi yang menjadi penanggung jawab penelitian obat bergengsi itu, saya sudah kesiangan mencapai kliniknya. Klinik sudah ditutup pendaftarannya, sehingga saya memutuskan untuk kembali keesokan harinya. Jujur saja saya sangat tak sabar mengurus tawaran baik ini. Tapi di satu sisi hari sudah siang melewati jam praktek resmi beliau.

Walau terkendala kabar gembira ini tak urung segera saya sampaikan kepada teman saya yang ditugasi teman-teman seorganisasi menjadi penanggung jawab medis kesehatan saya. Beliau cepat tanggap dengan menelepon koleganya tadi minta tolong menerima saya. Sayangnya saya sudah terlanjur berangkat pulang, dan berada di area tol Jagorawi cukup jauh dari Slipi tempat RSKD berada. 

Jadi keesokan paginya saya bergegas ke RS lagi. Kali ini jadwal saya khusus menemui Doktor peneliti itu membawa hati harap-harap cemas. Saya tiba di klinik di lantai bawah berturut-turut dengan teman kuliah anak saya yang tak sengaja bertemu di sana untuk memeriksakan dirinya. Gadis dua puluh lima tahun itu memiliki keluhan di bagian bawah perutnya. 

Dokter yang sudah bergelar Doktor karena senior membaca rujukan onkologis saya. Agaknya beliau sudah tahu mengenai kondisi saya terlebih dulu dari kawan saya, sehingga sekejap mata saya sudah dibaringkannya di meja pemeriksaan. Setelah bertanya mengenai kondisi umum fisik saya serta meraba tubuh, beliau nampak mencurigai saya memiliki kelainan di paru-paru. Katanya nafas saya pendek-pendek. Saat itu saya tidak berterus terang bahwa saya penderita asthma yang terkontrol. Yang saya keluhkan justru keadaan perut saya yang tak tertangani dengan baik oleh dokter spesialis penyakit dalam di kota kami. Menurut saya perempuan Jawa yang satu ini tak sembarangan. Ada unsur tanggung jawab yang ditekankannya sebelum menerima usulan onkologis saya untuk menjadikan saya sebagai sampel penelitian. Dengan tegas beliau menyuruh saya memeriksakan kondisi kesehatan saya pada umumnya setelah menelepon para pelaksana penelitian  meminta kesempatan agar saya boleh diikutkan sebagai sampel. Katanya saya pasien beliau sendiri, bukan kiriman siapa-siapa, dalam kondisi yang diperkirakan insya Allah cukup prima.

Alangkah terkejutnya saya saat mendengar bahwa penelitian itu tidak mengambil sembarang pasien. Yang bisa diikut sertakan hanyalah pasien yang keadaan fisiknya terjaga termasuk kankernya belum menyebar. Untuk itu saya harus membuktikannya lewat serangkaian test, karena sampel yang diperlukan para peneliti hanya bagi seorang pasien lagi. Jadi kalau saya tidak prima, maka saya batal dijadikan sampel. Dalam hati saya menangis, memohon agar Allah menjadikan saya pasien yang sehat untuk menggapai kesembuhan lewat penelitian itu. Air mata saya mulai hendak turun padahal saya bukan perempuan yang cengeng. Buru-buru saya menggigit bibir untuk meredamnya.

Saya kemudian mendaftar ke loket pemeriksaan USG perut serta thorax photo alias roentgent. Seperti biasa kami harus menunggu lama. Setelah itu anak saya membawa berkas saya beserta surat rujukan ke klinik dokter spesialis jantung. Sayang hari itu pendaftaran pasien sudah tutup sehingga saya langsung ke laboratorium yang juga penuh pasien untuk menjalani pemeriksaan darah lengkap. Ada sedikit keraguan tentang sel darah putih saya, mengingat biasanya selepas kemoterapi bilangannya selalu rendah. Saya khawatir ini akan mempengaruhi penilaian tim kerja peneliti nantinya. Meski begitu saya tetap optimis menebar harapan. Dalam pada itu saya beritakan penawaran menarik ini kepada teman-teman saya di DWP Kemenlu yang selama ini menyokong upaya pengobatan saya.

Dalam pemeriksaan USG abdomen saya sempat was-was. Penyebabnya adalah dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan sempat memanggil seniornya untuk minta ketegasan sekaligus pemeriksaan ulang. Entah apa sebabnya. Yang jelas saya khawatir terjadi kelainan di sekitar paru-paru saya. Barangkali saja terendam cairan sebab saya agak sesak nafas. Tapi menghadapi pemeriksaan thorax saya justru santai sekali karena sudah umum dilakukan kepada banyak orang. Sehingga baik prosedur maupun hasilnya nanti pun tak akan mengejutkan saya.Jika didapati gambarannya kotor maka saya akan menyalahkan kondisi asthmatis bawaan saya.

Teman anak saya yang disertai tunangannya menanyai saya mengenai prosedur pemeriksaan PET Scan yang akan dilakukannya. Sayang saya tak tahu apa-apa karena saya belum pernah menjalani. Yang sudah-sudah saya diperiksa dengan CT Scan saja selain MRI dan bone scanning, Khawatir juga kami melihatnya. Soalnya anak semuda itu ternyata sudah punya keluhan yang berarti. Pastilah dia dikirim oleh dokter di RS lain yang tak begitu ahli menangani pasien sepertinya. Oleh karena itu kami bertemu di klinik seorang Doktor pakar senior penyakit dalam. Kami cuma bisa berdoa yang baik-baik saja untuknya. Saya kembali teringat tiga puluh tahun yang lalu ketika mempersiapkan pernikahan dengan memeriksakan kesehatan umum di dokter langganan kami. Waktu itu kegiatan seperti ini belum jadi kebiasaan. Tapi nyatanya ada manfaatnya. Karena sekarang kami benar-benar siap menghadapi anak-anak kami yang mewarisi penyakit herediter dari kami orang tuanya. Jadi pemeriksaan kesehatan pra nikah itu banyak gunanya.

Selesai semua pemeriksaan kami meluncur pulang dengan tanda tanya apakah saya cukup fit untuk menjadi partisipan. Jika tidak artinya saya dan tim medis yang menangani saya harus memutar otak agar bisa membeli obat sangat mahal seharga mobil mewah milik para raja yang saya butuhkan itu. Pikiran saya di mobil penuh kebimbangan. Jujur saja saya tak mau merepotkan orang lain lagi meski Doktor yang baru saja saya kenal hari itu bersedia menghubungi komunitas tertentu yang biasa beramal. Belum lagi soal pemeriksaan jantung saya yang baru akan berlangsung keesokan harinya. Namun yang paling mengganggu adalah pemeriksaan tulang awal minggu depan. Saya pernah muntah di dalam mesin itu saking paniknya.

***

Pak Jamil kenalan kami yang setia mengantarkan saya ke RS dengan segala pengorbanannya nampak menyimak penuturan saya dengan serius. Dia jelas teringat pemeriksaan tulang saya beberapa bulan lalu yang membuat tubuh kotor saya menebarkan aroma tak sedap. Sambil melajukan mobil pinjaman dari tetangganya dia turut menyemangati saya untuk membunuh perasaan yang tak tenang ini.

Dalam pada itu saya mengabari teman-teman dan sinshe saya minta dukungan spiritual. Saya berharap doa-doa mereka akan didengarNya lalu membuka pintu Keridhaan Allah bagi upaya penyembuhan penyakit saya. Boetje dan Mufthi teman saya di SMP menjawab dengan sebuah ajakan menggelar doa sambil berbuka puasa bersama di rumah Boetje di dekat rumah saya. Bahkan Yani yang pernah bertetangga dengan saya waktu masih pengantin baru dulu tiba-tiba menelepon saya menyesali dirinya yang terlambat tahu soal keadaan saya. Dia tahu kondisi saya dari ustadz Mufthi. Sungguh luar biasa gema persaudaraan kami ini. Belum lagi sinshe saya langsung merespons dengan telepon menegaskan agar saya merasa tenang sebab menurutnya jejamuan pemberiannya yang selama ini saya minum dipastikan telah melokalisasi sel kanker saya sehingga saya sesungguhnya fit. Tak akan ada penyebaran sebagaimana yang terbukti selama ini.

Tapi manusia mana yang tak gundah dihadapkan pada persyaratan dokter yang berat begitu? Tak terkecuali saya yang terus membawa pikiran saya mengelana ke mana-mana sepanjang malam sehingga mengakibatkan saya terlupa membangunkan anak-anak makan sahur. Padahal rupanya mereka pun sama gelisahnya dengan saya, terutama si bungsu yang langsung bermimpi seram tentang aktivitas saya di kasur RS.

Meski tanpa makan sahur hari itu kami kembali bertolak ke Jakarta melanjutkan pemeriksaan fisik saya yang belum selesai. Dalam pada itu teman-teman DWP saya turut datang di RS sebagai bentuk simpati mereka kepada saya. Mula-mula saya mendaftarkan diri ke klinik dokter jantung dan dokter yang mengurus penelitian itu. Saya berharap hasil-hasil roentgent, USG dan laboratorium yang saya peroleh hari itu bisa terpakai semua oleh peneliti sehingga nasib perolehan obat saya jelas. 

Di lobby pendaftaran saya berjumpa dengan seorang perempuan muda pengidap kanker kelenjar getah bening di lehernya. Meski peserta Askes, tetapi dia lebih memilih menggunakan fasilitas Kartu Jakarta Sehat yang digagas pemimpin baru DKI. Konon katanya dana dari Askes tak banyak menolong sehingga untuk operasinya yang pertama dulu dia terpaka kalang kabut mencari uang kekurangannya. Menyimak ceritanya operasi ini adalah operasi yang seharusnya tak perlu dilakukan. Apalagi yang mengerjakannya seorang dokter spesialis bedah umum saja, bukan bedah kanker. Waktu itu dia berobat di salah satu RSUD yang jadi mitra PT Askes tapi tak memiliki ahli kanker. Kini dia sedang bersiap-siap menjalani operasi kedua setelah dia dirujuk ke RSKD untuk berobat pada ahlinya. Dokternya yang sekarang bilang, dia menyesali tindakan dokter bedah umum itu. Semestinya dulu, tumor itu cukup diteropong saja, tak perlu pembedahan. Tapi pasien ini tak bisa menjawab keingin tahuan saya soal tindakan peneropongan itu.

Kanker memang penyakit yang tak biasa dan rumit. Kalau benjolan itu diganggu, maka sel-sel kankernya bertindak brutal. Dia mengganas dan merajalela. Contohnya pada diri saya. Begitu tumor saya dibiopsi, sel kankernya merasa terganggu lalu meruyak membuat persebaran dan pembesaran. Lalu akhirnya ketika payudara dan kelenjar getah bening ketiak saya dioperasi, kini sel kanker saya memanifestasikan dirinya lagi di sekitar bekas yang dibuang. Sungguh kejamnya. 

Di dokter jantung kondisi saya dipantau menggunakan sebuah mesin dengan teknik persis USG. Bedanya detak jantung pasien terdengar jelas. Untung iramanya beraturan, persis kesimpulan dokter jantung yang menyatakan bahwa kondisinya normal. Keadaan ini amat kami syukuri bersamaan dengan normalnya fungsi hati, ginjal dan paru-paru saya. Teman-teman saya yang tidak berpuasa dengan bahagia mentraktir saya makan siang sekalian mengawasi apakah saya termasuk pasien yang tak mengabaikan nasehat dokter. Terharu rasanya saya dimanjakan sedemikian rupa. Sehabis itu kami langsung berpisahan lagi karena saya harus segera menyusul dokter onkologi saya ke Bogor karena saya kehabisan waktu di Jakarta. "Tour d'Hopital", begitu kami mengistilahkan hari yang melelahkan itu.

Baru saja mobil ke luar dari halaman RSKD saudara saya yang bertugas membantu di klinik onkologi di Bogor berkirim SMS meminta saya segera datang karena dokter akan segera praktek. Katanya sih sudah dalam perjalanan dari RSKD. Saya jawab bahwa saya masih di Slipi. Saya minta giliran terakhir saja karena saya tak kebagian waktu untuk bertemu beliau di RSKD. Jeng Ninik membalas dengan satu kata "waduuuuuhhhhhh......" Yang saya abaikan saja. Saya yakin dokter pasti akan tiba berturut-turut dengan saya. Bahkan ketika mencapai Sentul saya kabarkan kepada jeng Ninik bahwa saya akan segera datang.

Benar saja, di halaman RS belum nampak mobil dokter saya sedangkan pasien yang saya perhatikan kini tinggal sedikit yang saya yakin hanya pemuja fanatik onkologis kami masih belum kelihatan ada yang diperiksa. Senyum dan lambaian tangan berikut cibiran nakal saya sodorkan ke hadapan jeng Ninik cantik yang membalasnya dengan tawa bersama bu Umi dan pak Omrin perawat senior di situ.

Dokter tiba setengah jam kemudian sebab saya tahu pasti pulang dulu ke rumah untuk bersembahyang. Sementara itu lagi-lagi tangan saya yang dibalut membuat saya jadi perhatian orang hingga akhirnya berkenalan. Seorang ibu muda dengan anak gadisnya datang untuk memeriksakan tumor di payudara sang gadis. Ah ngerinya, mungkin akibat banyak beredarnya makanan-makanan yang direkayasa sehingga mengandung zat karsinogenik anak semuda itu sudah kena tumor payudara. Orang tuanya pusing tujuh keliling karena tahu pendanaan PT Askes tak seberapa.

Di ruang praktek dokter saya laporkan hasil-hasil pemeriksaan dan konsultasi hari itu. Sayang ada ganjalan yakni tak diketemukannya arsip hasil Pathologi Anatomi sel kanker saya di RS. Tak ada jalan lain, keesokan harinya saya mesti kembali ke Jakarta untuk meminta salinannya. Duh, jalan masih berliku rupanya untuk mencapai kesempatan menjadi sumber penelitian. Hati saya tetap tak bisa tenang.

(Bersambung)

2 komentar:

  1. beneran tuh tour the hospital.. sambil berobat, mbakjulie juga pengamat, melihat pasien lain.. jadi seperti refleksi diri ya mbak.. sayang ada yang masih muda kena kanker payudara, makanan jaman sekarang yang serba instan emang gampang bikin penyakit..
    anak-anak hebat ya, walupun ga sahur tetap puasa..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, duh capek banget saya seharian itu. Tapi apa boleh buat.

      Sebetulnya saya nggak mengamati, tapi saking banyaknya pasien yang mengerikan di RSKD jadi saya lihat dan terekam di otak. Apalagi sebagian besar begitu lihat tangan saya yang bengkak pada nanya, saya sakit apa dan kenapa.........

      Sahur nggak sahur mereka puasa, katanya itu kewajiban ummat. Alhamdulillah kuat sih.

      Hapus

Pita Pink