Powered By Blogger

Kamis, 25 Juli 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (90)

Saya risau. Hati saya gelisah. Maklum munculnya benjolan di tulang selangka saya memang membuktikan kebenaran penjelasan onkologis saya seselesainya pembedahan tiga minggu lalu. Sel kanker saya masih ada dua prosen lagi di pembuluh-pembuluh darah yang kecil. Sifatnya sangat ganas lagi mematikan. Dokter saya sudah berusaha maksimal tapi terpaksa angkat tangan meski operasi sudah dilakukan di pusat penanganan kanker nasional oleh suatu tim ahli.

Sedihnya, begitu selesai mengoperasi saya beliau langsung terbang ke luar negeri seminggu lamanya untuk berbicara di depan para pakar tentang masalah kanker. Jadi saya mesti bersabar menunggu hingga beliau kembali. Untung dengan catatan saya diizinkan mengontak beliau via SMS jika ada yang perlu dibicarakan. 

Saya manfaatkan tawaran itu baik-baik di akhir pekan yang saya harap jadi hari santai beliau. Tak disangka SMS segera berjawab. Diharapkannya saya segera mempercepat kunjungan ke klinik di kantornya di hari pertama beliau kembali. Tentu saja Senin pagi yang menggairahkan itu tak sabar saya tunggu-tunggu. Saya ingin beliau memastikan tentang benjolan mematikan itu. Terus terang, saya belum mau mati. Saya tak mau mengecewakan anak-anak, tim dokter dan tenaga medis, sinshe serta teman-teman saya yang selalu siap berkorban bagi saya.

Sejak Minggu malam mata saya terpejam tapi tak lena. Karenanya pagi-pagi sekali saya sudah bisa bertolak ke Jakarta di bawah guyuran hujan yang mengakibatkan jalanan macet. Jakarta konon kebanjiran. Betul juga sih, barisan mobil mengular sehingga butuh waktu empat jam untuk mencapai RS. Soal rasanya di jalanan macet berhujan itu? Jangan ditanya. Jauh lebih menyiksa dibandingkan kanker. Saya rasa sepanjang masa memori itu akan terus melekat di ingatan saya. Ada pengalaman seru yang saya dapatkan di kesempatan itu.

Saya terlalu mengada-ada? Nah ini tanda tanya. Setiap hari yang terjadi di Jakarta memang sesak. Hari Senin kepadatan bahkan bertambah secara signifikan. Tapi saya rasa wajar jika saya ingin sesegera mungkin tiba di RS. Sebab saya takut tak kebagian giliran pemeriksaan walau toch saya tetap bisa masuk lewat jasa teman saya di sana. Soalnya benjolan itu tiba-tiba amat merisaukan saya.

Kami tiba di RS sudah lebih dari pukul sepuluh, kesibukan di situ sudah ramai. Pasien sakit berderet ditemani para kerabatnya termasuk para pasien dari daerah yang jauh-jauh. Satu keluarga Papua nampak di sana berhari-hari seperti halnya saya. Kami sudah sering berpapasan. Dia pasien terjauh sedangkan saya sih cuma tetangga dari selatan saja.

Beruntungnya saya mendapat giliran nomor delapan di dokter onkologi saya. Lebih beruntung lagi saya diterima di Unit Diagnostik Terpadu yang tidak terasa begitu sejuk karena bukan di bawah tanah yang berhampiran dengan ruang instalasi radiologi yang memang dipasangi pendingin kuat sekali untuk pemeliharaan mesin-mesin pemeriksaannya. Tapi tak kalah sedihnya hati saya, sebab justru di situ segala pasien ada menjadi pemandangan yang menyeramkan.

Duduk di dekat kami seorang pasien tua berkursi roda. Beliau tampak kelelahan dan kesakitan sendiri. Entah di mana keluarga yang mengantarnya berada saat itu. Yang jelas mulutnya mengeluarkan bunyi serupa erangan dengan nafas yang pendek-pendek serupa nafas saya akhir-akhir ini. Dalam pada itu dokter saya sudah mulai memeriksa pasien, selagi saya sedang difisioterapi. Konon kata anak saya kami tinggal menunggu beberapa nomor lagi yang ternyata masih cukup lama karena setiapnya nampak dilayani dengan sungguh-sungguh.

Tangan perempuan tua itu bengkak sebelah tak ubahnya tangan saya. Masya Allah, lengannya juga persis lengan saya. Beliau malah nampak lebih mengerikan karena tubuhnya kurus kering tak seperti saya yang "makmur". Beliau lantas mengajak saya bicara soal sakitnya dan juga lengan kami. Saya dianggap lebih beruntung karena bisa mengikuti semua program perawatan, membuat saya sekali lagi tersadar harus bersyukur. Ongkos fisioterapi yang di atas tujuh puluh ribu rupiah untuk sekali perawatan itu hal yang mustahil didapatkannya. 

Bengkak di lengannya itu hanya sedikit dari penderitaannya. Sebab selain dia sudah kehilangan sebelah payudaranya, sekarang dia sedang berjuang melawan penyakit di payudaranya yang tinggal satu itu dengan keluhan tambahan sesak nafas berkepanjangan. "Ongkos beli oksigennya nggak kebayar bu," keluhnya memiriskan seraya membuka kancing bajunya untuk memperlihatkan payudaranya yang sakit. Tidak berdarah dan bernanah seperti yang dulu saya alami, tapi berbenjol-benjol menyerupai penyakit puru di zaman dulu yang biasa kita lihat di buku pelajaran ilmu kesehatan sewaktu di Sekolah Dasar. Terus terang saja, gambar itu memang tak pernah bisa saya lupakan saking mengerikannya. Bisul-bisul merah kehitamannya membuat si ibu terus-terusan menahan sakit. Duh, betapa beruntungnya nasib saya. Juga betapa kuatnya fisik saya menurut penilaian orang mengingat penyakit saya pun menimbulkan luka menganga yang berbau busuk.

Ternyata dia harus segera dirawat inap untuk menyedot cairan pada paru-parunya yang menyebabkan sesak nafas. Tiba-tiba saya jadi takut mengingat diri sendiri pun sedang sering kehabisan nafas hingga tiga orang dokter mencurigai kelainan pada paru-paru saya.

Biaya rawat inap itu memusingkannya karena dana Kartu Jakarta Sehat cuma terbatas penggunaannya. Katanya untuk membuang cairan di paru-parunya keluarganya harus membeli slang sendiri seharga delapan ratus ribu rupiah. Sialnya, putrinya keliru memilih ukuran sehingga tidak cocok untuk tubuh si ibu. Entah bagaimana kemudian terjadi. Tapi kami berharap boleh ditukarkan dengan ukuran yang sesuai. Sebab putri si ibu cuma sendirian untuk mengurus segalanya termasuk mencari kamar rawat ibunya yang ternyata cuma beda empat tahun lebih tua dari saya meski semula saya kira beda sepuluh tahunan. "Ibu beruntung sekali bisa diantar anak-anak ibu. Naik mobilnya jadi gampangan ya," katanya demi melihat kedua anak lelaki saya yang tak lepas-lepas menemani saya. Saya mengangguk membenarkan waktu dia berkisah bahwa dari rumahnya dia harus menumpang bajaj yang disambung angkutan umum lainnya berganti-ganti hingga tiba di RS. Begitu sampai di RS tubuhnya langsung melorot ke tanah hingga anaknya buru-buru mencarikan kursi roda untuknya. Alangkah berat penderitaannya. Saya tak tahu apakah Allah sudi memberinya kekuatan untuk bertahan seperti yang saya dapatkan?

Obrolan kami terhenti karena giliran saya tiba. Onkologis saya menyambut dengan ramah meski menurut saya tegang seperti ingin segera memeriksa benjolan saya. Saya dimintanya segera berbaring menunjukkan kepadanya. "Ini, di sini di area clavicula, tulang selangka di bahu," tunjuk saya yang segera diamatinya.






Banyak orang yang mengira tulang selangka berada di selangkangan :-D

"Waduh bu, benar 'kan, saya bilang dulu apa. Ini cuma cocok dengan Taxotere dan kawan-kawan yang tak didanai Jamkesda. Padahal saya sudah berupaya keras menghabisinya. Malam itu, sungguh melelahkan, empat jam saya mengerjakan operasi ibu," ucapnya serius dengan raut muka gundah. Tangannya terus saja meneliti meraba di sana-sini. Saya memang ingat anak-anak saya bilang mas dokter ~begitu mereka menyebutnya~ begitu keluar dari ruang operasi terengah-engah dan berkeringat meski tentunya ruangan sangat dingin. Dengan amat menyesal tapi tegas beliau menyampaikan kegagalannya yang diketahuinya akan kami terima dengan tegar. Sebab saya sudah bisa membaca kondisi saya sendiri sambil mengupayakan untuk melawan dan bertahan.

"Lha, terus bagaimana dong? Mana sejak kakak saya dikerjakan oleh kolega anda di Bogor, pikiran saya terus terusik. Sehingga akibatnya irritable Bowel Syndrome saya kambuh," keluh saya menukas. Saya jelaskan obat pemberian dokter spesialis penyakit dalam di RS di Bogor tak berpengaruh apa pun, sehingga diganti oleh dokter umum yang bertugas jaga sewaktu saya dikemoterapi dua hari sebelumnya. "Tapi maaf ya dok, waktu pak Yusuf guru matematika itu meninggal saya toch nekad melayat juga, saya melanggar aturan ya?" Sambung saya lagi yang menyebabkan raut wajahnya nampak kaget. "Pak Yusuf kapan meninggalnya?" Tanyanya sambil mencuci tangan di washtafel tanda pemeriksaan palpasi selesai. Agaknya beliau masih ingat guru kami di SMP dulu. Almarhum pak Yusuf sudah mengajar sejak saya bersekolah hingga awal tahun 2000-an. Saya pun menjawabnya disertai permintaan maaf telah berlaku sembrono sehingga beliau kemudian mengerti lalu mulai serius mempercakapkan usaha yang bisa diberikan untuk upaya penyembuhan saya.

Obat-obatan pemberian Jamkesda tak ada manfaatnya untuk kasus saya yang berat. Tumor primer saya memang sempat mengecil; tetapi tidak dengan tumor di kelenjar ketiak saya. Itulah yang dulu membuatnya menginginkan saya berobat di RS tempatnya bekerja secara resmi ini agar saya bisa ikut penelitian tentang obat ampuh yang diselenggarakan di situ. Tapi anak saya langsung menolak sebab kata "diikutkan penelitian" telah membawa dampak menyeramkan dan pengertian yang keliru. Kami kira saya akan jadi semacam kelinci percobaan untuk menghasilkan obat yang amat manjur. Yang ada di benak anak saya, andaikata penelitian ini gagal saya akan terkorbankan meski saya ikhlas demi kemajuan perkembangan ilmu farmakologi yang menangani pasien penyakit kanker payudara seperti saya.

Hasil biopsi saya dipertanyakannya, sebab beliau tak memegang catatannya di situ. Semua terekam di Bogor. Saya menjawab seingat saya sehingga pertanyaan beliau tetap tak tuntas terpuaskan. Kemudian kami diminta mencari berkasnya di rumah untuk segera dilaporkan via SMS kepadanya. Dengan sangat hati-hati beliau kemudian menjelaskan lagi tentang obat yang tengah dalam penelitian. Kalau saja kami kini setuju, diyakininya saya bisa sembuh sebab penelitian ini bukan untuk menguji kekuatan si obat yang sudah terkenal secara internasional lagi terbukti manjur. Katanya cuma untuk memenuhi permintaan WHO kepada setiap negara anggotanya.

Saya pun kemudian menambahkan dengan penjelasan kepada kedua anak saya bahwa saya mengerti maksudnya setelah seseorang relawan kanker menjelaskan gambarannya kepada saya ketika memperkenalkan diri di telepon. Alhamdulillah anak-anak saya kini bisa memahami dengan lebih baik, sehingga akhirnya saya akan diikut sertakan program penelitian itu segera. Untuk itu saya diminta menghubungi atasan beliau seorang dokter spesialis penyakit dalam yang bertanggung jawab atas jalannya penelitian. Katanya dengan obat ini, saya tidak diinfus, hanya disuntik namun perlu perawatan inap yang diindikasikannya one day care. Dia menegaskan saya akan berada di bawah pengawasan tim khusus yang sangat ketat yang tak akan pernah bisa terjadi di RS tempat saya menjadi pasiennya di kampung halaman. Luar biasa menariknya, seperti memberi semangat hidup lagi kepada saya dan kedua anak saya.

Kali itu saya keluar dari RSKD dengan kebahagiaan yang membuncah. Saya tak mengira saya tetap dapat diobati di saat penyakit saya membandel terus menggerogoti ketahanan saya. Dengan pengobatan yang dibiayai pemerintah pula. Itu artinya kami cuma perlu menyediakan dana untuk transportasi dan perawatan di RS berikut semua tindakan penunjang pemeriksaan kesehatan saya. Meski dalam gambaran saya tidak sedikit, tetapi jelas jauh lebih tak berarti dibandingkan obat yang dulu katanya berharga lima puluh dua juta untuk sekali kemoterapi itu. Alangkah Besarnya Kuasa Tuhan pada ummatNya yang tak berdaya. Kami sekali lagi amat menyukurinya.

(Bersambung)

4 komentar:

  1. itu sempet mikir benjolan di selangkangan hihihi.. salah dong saya..
    jadi sekarang berobat cuma keluar ongkos ya mbak, ikut bahagia nih bacanya, berkurang beban biaya perawatan..
    semoga ga ada benjolan dimanamana lagi deh.. gapapa jadi kelinci percobaan, yang pasti nanti berhasil.. nantinanti pengobatannya lancar jaya ya mbak..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Teman-teman saya juga nanya apa tulang di selamgkangan saya yang tumbuh benjolan? :-D Saya jawab bukan, silahkan ingat-ingat pelajaran biolohi kita di sekolah dulu. Mereka pada jawab udah lupa, lha dulunya pada nyontek melulu sebab nggak minat sama biologi.

      Ini belum selesi lho urusan dan pemeriksaan saya. Sampai sekarang aja saya masih ragu apakah saya kandidat yang tepat untuk objek penelitian. Padahal penyakit saya jalan terus. Astaghfirullah al adzim!!!

      Hapus
    2. berfikir positif mbak.. kan mbak julie pernah tulis, satu penyakit karena pikiran.. berfikir sembuh sembuh sembuh sembuh, jangan mau kalah sama penyakit ya mbak..

      Hapus
    3. Maunya mikir yang bagus-bagus aja. Tapi dalam keadaan sakit kadang muncul juga rasa pesimis jeng.

      Hapus

Pita Pink