Powered By Blogger

Selasa, 02 Juli 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (82)

Minggu sore teman-teman sekolah saya datang menjenguk. Semua tanpa diduga. Winnie membawa serta Rini sahabatnya sekalian mengantarkan Tati pulang. Saya langsung teringat bahwa teman-teman SMP hari itu diundang ke sekolah milik engkoh Slamet salah seorang di antara kami untuk saling melepas rindu seraya menyaksikan kiprah si empunya sekolah bagi orang banyak. Kata mereka sih banyak teman yang datang. Umumnya mereka masih ingat saya dan tahu bahwa saya sedang sakit. Ketiga teman saya itu bahkan sudah beberapa kali datang menengok saya. Kata mereka sih teman-teman lain mendoakan saya dan berkirim salam. Bahkan Koswara teman saya di kelas satu SMP berpesan menyarankan saya berobat ke dokter "B" di RS Cisarua yang pernah saya datangi sebagai alternatif atas ajakan anak saya waktu saya baru sakit. Dokter itu mengobati dengan singkong racun. Kata Koswara banyak keluarganya yang sudah dioperasi di RSKD berobat ke beliau juga. Tapi sayang, saya dulu justru ditolak dokter "B" itu lalu dipaksa ke onkologis sebab beliau khawatir melihat tumor saya. Teman-teman cuma bisa terdiam mendengar sahutan saya. Sedangkan hati saya sendiri teriris perih terkenang kembali ketika uang tak ada di dompet kami untuk berobat ke onkologis sesuai saran dokter "B". Lalu perjalanan panjang ganti berganti angkot yang dimulai pukul setengah dua siang dan berakhir pukul sembilan malam di bawah terpaan hujan tiupan angin malam itu seakan-akan bermain-main di pelupuk mata saya. Kanker memang menyakitkan dan memiskinkan.

Kata Rini masih banyak teman yang ingin menengok saya. Benar saja, tepat ketika gema adzan Maghrib memanggil ummatNya Butet datang lagi. Kali ini  disertai Amie, Yus dan beberapa teman SMA saya. Sadarlah saya kini bahwa mereka baru pulang dari acara lain, doa seratus hari sahabat sekolah kami Tutie yang nyawanya direnggut DBD tak seberapa lama sehabis menengok saya dulu. Memang hidup dan mati seseorang itu ada di TanganNya. Tutie yang menjenguk dan mendoakan saya, berpulang jugalah mendahului saya.

Malam itu kang Dede teman SMA saya bahkan mengirimkan doa dan salam dari kakaknya, ceu Runida yang dulu bersahabat dengan mantan suami saya. Alhamdulillah, di luaran sana terpisah jarak yang jauh dan waktu yang panjang masih banyak orang-orang yang menyenangkan dan menenangkan saya dengan segala kenangan mereka akan saya.

***

"Kalau Julie sudah pernah berobat ke dokter Budi dan justru disuruh ke ahli kanker, ya sudah. Jalani semua dengan tekun ya Jul, ini ada sekedar ongkos transportasi ke Dharmais," pesan Winnie sebelum pulang menyelipkan uang ke tangan saya. Ibu mungil yang satu ini sejak dulu jadi orang pertama yang begitu peduli akan kondisi saya. Saya sangat menghargai tulusnya persahabatan kami yang tanpa pretensi apa pun.

Winnie bukan satu-satunya orang yang peduli pada saya. Dia cuma setitik di antara seember perhatian yang saya terima. Tapi dia inilah orang yang pertama peduli pada kondisi saya dengan memanfaatkan jasa Tati teman juga tetangga saya. Karenanya Winnie punya tempat khusus di hati saya.

Winnie seakan-akan tahu bahwa keesokan harinya saya memang harus memeriksakan bekas operasi saya ke RSKD serta difisioterapi. Untuk diketahui, setiap pasien yang dibedah payudara harus datang menjalani fisioterapi di Instalasi Rehabilitasi Medik. Soalnya lengan dan tangan yang bengkak memerlukan perlakuan dan perawatan khusus. Lymphedema, begitu istilah medis pada pembengkakan di lengan akibat operasi pengangkatan payudara itu. Kata fisioterapis yang menangani saya, terapis nya dilatih secara khusus. Itulah sebabnya terapi hanya bisa dilakukan di RSK Dharmais, Tak ada RS lain yang mengirimkan staf nya ke pusat pelatihan terapis lymphedema selain RSKD ini.

Kami berangkat pukul setengah enam pagi keesokan harinya. Untung ada pak Djamil yang bersedia mengantar seperti biasanya, walau katanya kaki dan tangannya masih agak kaku-kaku bekas serangan chikungunya. Lebih beruntung lagi gerakannya lancar saja sehingga pukul delapan kami sudah tiba di RS. Tapi sebelum menuju klinik, saya sempatkan sarapan di kedai makanan di dalam RS untuk makan obat jatah pagi hari. Badan saya mulai terasa kurang nyaman karena penahan nyeri saya sudah kehabisan daya. Heran juga saya, perut saya cuma muat diisi sepotong tahu goreng dan sepotong arem-arem sayuran. Sudah mengerutkah kantung makanan saya? Tapi konon saya termasuk pasien yang baik, yang masih doyan makan dalam kondisi apa pun.

Sesampainya di klinik onkologi khusus perawat memberitahukan bahwa sepagi itu dokter sudah sedang melakukan operasi. Jadi kami diminta menunggu. Selasar ruang tunggu masih sepi, tapi saya tahu seorang wanita muda yang ditemani suaminya juga pasien onkologis saya. Daripada melamun dan kedinginan saya memilih pergi ke Instalasi Rehabilitasi Medik saja dulu.

Ternyata lift menuju ke atas cukup padat, menandakan kesibukan kerja benar-benar dimulai. Staf RS berpakaian seragam Kementerian Kesehatan keluar-masuk lift membaur bersama orang-orang yang nampaknya pasien dengan keluarganya. Cukup banyak juga yang berkursi roda.

Ruang fisioterapi juga penuh pasien, sehingga saya harus menunggu sejenak. Fisioterapis saya saja melayani lebih dari seorang pasien sehingga harus berpindah dari satu kubikel ke kubikel lainnya. Di sebelah saya sedang berlangsung fisioterapi pada seorang lelaki yang dari suaranya saya taksir sudah tua. Menengahi rintih kesakitan lelaki itu, perawat nampak berkata-kata lembut namun penuh bujukan. Begitu juga perawat lain yang kedengaran menerapi seseorang yang disapanya dengan "akung". Saya taksir dia kakek-kakek juga.

Sesudah dibaringkan di dipan, lengan saya yang sakit tapi sudah saya lepas dari blouse saya, dibalut dengan kain semacam sarung guling. Alat itu dihubungkan dengan listrik, kemudian mulai bekerja dengan sendirinya. Rasanya persis seperti dipijat dengan sensasi serupa cara kerja mesin pengukur tekanan darah. Nikmat sekali untuk meredakan otot saya yang tegang bengkak. Lima belas menit lamanya membuat saya nyaris terlelap jua.

Beginilah gambar perlakuan alat fisioterapi itu :





Setelah itu perawat mengurut lengan yang sakit mulai dari sekitar telapak tangan hingga ke bahu. Di sini prinsipnya hanya untuk mengarahkan aliran darah menuju ke daerah dada tempat operasi dilakukan. Jadi jemari terapis bergerak searah saja, tidak boleh berputar-putar atau naik turun. Rasanya ya enak juga, lumayan untuk meredakan ketegangan di sekitar yang sakit.

Terakhir sekali sebelum kembali dibalut dengan pembalut khusus yang panjang, lengan saya digerak-gerakkan sesuai petunjuk perawat agar bisa segera normal kembali. Semuanya makan waktu kira-kira setengah jam. Tapi pasien baru boleh pulang jika sudah berkonsultasi dengan dokter ahli Rehabilitasi Medik. Di meja beliau inilah kembali saya menerima komplimen, merupakan pasien radikal mastektomi dengan rawat inap tersingkat. Beliau bilang sempat kehilangan saya sebab cuma sekali bertemu saya di kamar rawat inap. Padahal instruksi beliau belum seluruhnya mampu saya pahami. Saya hanya nyengir-nyengir kuda sebagai permintaan maaf saya.

Kata dokter, saya diharuskan datang seminggu tiga kali, sesuai keadaan saya. Jadi artinya besok dan lusa saya difisioterapi lagi. Anak saya pun diharapkan menyimak rangkaian proses fisioterapi itu untuk kelak membantu saya di rumah. Ah, begini rasanya jadi orang sakit.

***

Selesai difisioterapi dokter onkologi saya rupanya menunggu. Perawat yang sesungguhnya tidak punya nomor saya tiba-tiba memanggil. Pasti dokter yang memintanya sambil memberikan nomor saya. Karena sudah di selasar ruang tunggu, saya pun berinisiatif masuk. Ternyata saya keliru, masih ada pasien di dalam. Setengah malu hati saya kembali duduk di bangku tunggu di antara dinding-dinding yang dingin dan tempat tidur pasien yang akan diperiksa di ruang radiologi di sebelah belakang saya.

"Bu Julie, masuk bu," ajak perawat itu sejurus kemudian. Onkologis saya nampak cerah ketika menyapa menyambut saya. "Apa kabar? Enak 'kan bu?!" Saya menjawab penuh antusiasme meski sambil memperlihatkan noda darah di bagian belakang blouse saya. Ternyata luka saya sudah kering dab menutup sempurna. Adapun darah itu berasal dari alergi plaster di bagian punggung saya. 

Dokter kemudian melepas plaster saya yang menutupi luka sayatan memanjang dari tepi dada kiri hingga mencapai pinggiran dada kanan. Tapi berhubung luka di bagian dalam tubuh saya masih mengeluarkan darah, kateter saya belum bisa dicabut. Meski begitu kondisi saya dinilai dokter amat memuaskan. Sungguh besar Kuasa Allah yang penuh mukjizat.

Selanjutnya dokter meminta saya datang lagi Rabu malam besok. "Di Bogor saja ya bu, nggak ada yang perlu ditangani di sini kok. Cuma jangan lupa ke Instalasi Rehab Mediknya rutin ya," pesan dokter saya sebelum melepas saya pulang diikuti tawanya waktu saya sampaikan pujian para tetangga kami di kampung yang merasa bingung belum sempat menjenguk saya di RS. Ya, kemudahan-kemudahan memang selalu hadir untuk saya. Alhamdulillah!!!

(Bersambung)

2 komentar:

  1. fisioterapi 3 kali seminggu, jadi ke jkt 3 kali gitu mbak? kalu dipijat sendiri ga bisa? kan satu arah gitu minta pijat ananda saja? jaoh deh mbak ke jkt dari bogor mah..
    semangat ya mbakjulie..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Memang harus gitu, kan alat fisionya yang punya cuma RSKD.

      Hapus

Pita Pink