Powered By Blogger

Kamis, 18 Juli 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (88)





Kanker amat mencintai saya, tapi saya tak pernah mencintai kanker. Bahkan sekali pun dikaitkan dengan bintang saya Kanser, saya tetap tak bisa mencintai kanker. Dia itu penyakit yang amat jahat. Yang menyiksa dan menguras kesabaran setiap orang di dalam rumah tangga saya. Kesabaran saya, anak-anak dan tentu saja orang-orang di dekat saya yang setiap hari terpaksa melihat keseharian kami.

Saya benci kanker. Tenaga saya yang dulu prima sudah dikurasnya habis-habisan. Buktinya, kini hanya sekedar untuk memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci pun saya tak lagi sanggup. Itu yang kemarin terjadi pada diri saya, ketika si bungsu berpamitan berangkat ke kampus menunda cucian kotor yang belum semuanya sempat tergarap. Maklum kami mencuci setiap dua kali seminggu.

Pada putaran pertama di pagi hari, saya masih bergairah. Tenaga saya "full speed" berhasil menuangkan isi bak cucian dan memindah baju-baju basah itu dari tabung kiri ke tabung kanan mesin cuci tua saya. Tapi ternyata saya tak bisa melakukan pemerasan pakaian sekaligus sebagaimana biasanya ketika kanker belum bercokol di tubuh saya. Dalam sekejap tabung pemerasan menjadi penuh. Sehingga saya perlu membagi cucian basah itu dalam dua kali pemerasan. Menjengkelkan sekali, karena biasanya saya bisa melakukannya sekaligus. Tentu ini pertanda ada yang tidak beres pada tenaga saya. Saya tak punya daya yang cukup untuk menekan tumpukan cucian dengan benar.

Kanker memang jahat. Kakak sulung saya yang sudah uzur pun diganggunya juga hanya karena beliau selalu merisaukan saya sehingga menjadi stressor pada dirinya yang pernah ditumbuhi tumor jinak sewaktu gadis dulu. 

Stress, itu lah yang harus dihindari penderita kanker tapi tak mampu saya hindari. Bukan hanya soal biaya pengobatan saja, melainkan kini saya merasa bersalah telah memicu timbulnya kanker pada tubuh kakak saya. Apalagi kakak saya menolak pulang ke rumah putrinya sendiri tak seberapa jauh dari rumah saya sepulangnya dari perawatan operasi di RS. Alasannya masuk di akal. Putri kakak saya tak punya pembantu rumah tangga, sedang dia sibuk bekerja di luar rumah. Jadi kakak saya takut kesepian sendirian sepanjang siang menunggu hingga cucu satu-satunya pulang sekolah menjelang sore hari. Maklum cucunya baru menginjak sekolah baru di sebuah SMP yang jauh dari rumah mereka. Dengan kondisi itu, kakak saya memilih kembali pulang ke rumah saya yang selama ini ditinggalinya. Di rumah saya, meski saya juga dalam keadaan sakit masih ada anak-anak saya sebagai penyemarak suasana.

Keinginan kakak saya itu mengganggu pikiran saya. Sebab selama ini biasanya kakak saya selalu melakukan apa-apa sendiri, mencuci dan memasak untuk keperluan pribadinya. Bahkan di saat sakit saya sudah menjadi-jadi, beliau juga yang mengambil alih urusan membersihkan rumah dari tangan saya. Karenanya terbayang kerepotan yang terjadi seandainya beliau benar-benar kembali ke rumah kami. Akibatnya gangguan di perut saya semakin menjadi-jadi. Pikiran saya tak tenang dirusak oleh rasa bersalah kepada kakak saya. Saya sesali keadaan diri yang tiada berdaya. Padahal saya sudah makan obat dari dokter spesialis penyakit dalam dan sinshe yang dosisnya kali ini ditingkatkan.

***


Kemarin dulu nyaris seharian saya berbaring saja. Tapi kemarin seperti biasa saya pergi ke RSKD untuk melakukan fisioterapi. Masih ada tiga sesi lagi yang belum saya tunaikan seandainya tidak jadi ditambah karena kondisi saya dianggap membaik. Yang jelas hingga hari ini tangan bengkak itu tetap saja bengkak termasuk jari jemari saya. Bahkan di awal-awal fisioterapi, saya diberitahu bahwa kondisi bengkak yang berawal di kelenjar getah bening ketiak ini kemungkinan akan menetap seumur hidup. Limfedema, kelainan itu dinamai, akan menyertai kelangsungan hidup saya.

Selagi saya difisioterapi anak saya ada yang berangkat mengurus surat rujukan guna keperluan saya ke dokter spesialisasi bedah umum yang akan mewakili onkologis saya memantau jalannya kemoterapi saya akhir pekan nanti. Di Dinas Kesehatan Kota dia tiba-tiba dihadang kesulitan karena pejabat yang berwenang mengesahkan surat persetujuan pemeriksaan kesehatan saya menerapkan aturan yang di luar kebiasaannya selama ini. Hal itu tak hanya terjadi pada kami, melainkan juga pada keluarga pasien lain. Untung akhirnya permohonan kami diloloskan dengan syarat di masa yang akan datang harus mengikuti aturan yang baru ditetapkannya tadi. Ya, sungguh sakit menjadi korban kanker itu.

Perawat yang memfisioterapi saya tiba-tiba juga sekali lagi menyampaikan kabar yang mengejutkan. Dia menemukan benjolan baru di sekitar tulang selangka saya yang setelah operasi terasa ngilu. Dan kemudian dokter spesialis bedah umum membenarkannya. Tapi benjolan apakah itu dan bagaimana prognosisnya hanya dokter onkologi yang berhak memeriksa serta menetapkannya. Artinya saya harus bersabar menunggu kesempatan kami bertemu hari Rabu nanti. La haula walaquwwata illa billaaaaah........

Untung ujian kesabaran saya kali ini berhenti di sini. Kakak saya pulang dari perawatannya di RS langsung diajak putrinya tinggal sementara bersamanya. Artinya beban pikiran saya dan anak-anak saya akan lebih ringan. Tinggal memikirkan nasib saya seorang saja. Peristiwa yang saya dengar di ruang fisioterapi tentang seorang nenek penderita stroke tak bakal dialami kakak saya.

Pagi itu di ruang fisioterapi yang mulai lengang karena saya sengaja datang agak siang perawat mempercakapkan pasien yang datang pagi hari ditemani perawat pribadinya. Nenek yang berpunya itu difisioterapi untuk melatih otot-otot dan syarafnya yang kaku kena stroke. Tentu saja gerakannya amat lamban sehingga mengharuskan orang yang mendampinginya mempunyai kesabaran yang cukup. 

Nenek yang menurut perawat telah berhasil mendidik putra-putrinya menjadi sejumlah dokter spesialis itu dibentak-bentak dan dilayani dengan sangat kasar oleh orang upahan keluarganya. Dapat dibayangkan betapa sedihnya pasien yang putus asa itu. Juga kemarahan putra-putrinya yang merasa telah cukup menyediakan dana untuk menyewa tenaga yang bisa menngantikan peran mereka merawat sang bunda. Perawat fisioterapi mengingatkan saya untuk segera bersyukur meski anak-anak saya masih belum memiliki pekerjaan. Karena agaknya demikian diskenariokan oleh Allah. Mereka harus punya banyak waktu dulu untuk mencurahkan bakti mereka kepada saya. Kiranya cuma rasa syukur saja yang harus terus saya tunjukkan. Sebagaimana kebaikan yang telah saya terima dari anak-anak saya, maka cuma ada sebentuk doa agar Allah memberkahi hidup mereka selamanya kelak. Amin-amin-amin.

(Bersambung)
 

8 komentar:

  1. ternyata udah turun termurun ya penyakit jahat ini di keluarga bunda :(
    jadi benar ya kalo penyakit ini penyakit turunan..?

    pelan2 aja kerjanya bun..satu2 aja.
    beres ga beres santai aja, semampunya bergerak, jangan dipaksain ya :)

    *peluukkk*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Rin........ Pelukan balik ya.

      Iya ini penyakit herediter katanya. Wanita di keluarga saya terutama yang nggak pernah menyusui bayi mesti melakukan screening tiap dua tahun sekali.

      Sekarang saya malah udah berhenti ngerjain urusan rumah tangga lagi. Belum bisa dipake kerja nih.

      Hapus
  2. Aku pernah baca di buku, kalau kebanyakan penyakit, entah itu cancer atau can sir, itu memang rentan menyerang gen, berjenis kelami wanita. Tapi, semangat mba, kalau kagak semangat kasihan yang ada disekitar kita juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul, walau saya bukan si Sir, tapi saya can lah hehehe....... insya Allah. :-D

      Terima kasih sudah mampir, salam kenal ya.

      Hapus
  3. bundaaa....... aku baru liat lagi blog yang ini.
    bunda apa kabarr...? aku juga kangen sama bunda....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dear Ira, sibuk di tempat lain ya sekarang? Maaf tante jarang BW. Apalagi sekarang tante baru dioperasi dan baru selesai dieksekusi kurleb dua minggu ada lagi benjolan baru numbuh.

      Semoga Ira sehat-sehat selalu ya. Peluk kangen!

      Hapus
  4. haduh malah timbul benjolan baru, semoga ga parah dan selalu berfikir positif ya mbak, biar stresnya hilang.. stres ternyata satu pemicu juga..
    indah anakanak ada saat bundanya sakit, ga kaya nenek itu, sedih jadi inget bude, dulu anakanaknya ga ada yang jaga karena kerja semua, akhirnya sewa orang yang galaknya dan jutek, tapi ternyata bagus juga galak, sebab bude sangat ngeyel dan manja.. akhirnya sembuh sih, dan bude sadar, kalu perawat yang galak itu perlu..

    BalasHapus
  5. Benjolan itu bahaya sekali, jadi saya lagi berlomba dengan waktu nih. Tapi alhamdulillah ada solusinya kok.

    Nenek itu katanya dimarah-marahin karena perawat pribadinya nggak sabaran. Bukan karena neneknya manja.

    BalasHapus

Pita Pink