Powered By Blogger

Minggu, 06 Juli 2008

SUATU SENJA YANG MURAM DI KOTAKU

Mengenang masa lampau bukanlah sesuatu yang baik. Sudah seharusnya lembaran kuno ditutupbukukan, dan diganti dengan lembaran baru. Tapi tidak demikian untukku. Justru berpijak di masa lalulah aku bisa tegak berdiri seperti sekarang bersama keluargaku dibawah pimpinan imam yang ditunjukkan Allah untukku.

-ad-

Saat hujan mengguyur sepanjang jaman, apa pula yang bisa kita lakukan? Keluar rumah jelas mustahil. Menonton TV di Republik Afrika Selatan ini adalah hal yang paling kubenci. Bukan karena dia sarat infotaintment yang menyeret kita kepada tayangan murahan penuh dosa. Melainkan karena kekerasan yang jadi keseharian di Republik Afrika Selatan ini selalu saja muncul di TV. Dan aku benci itu.

Sejak bangun tidur kusadari guyuran hujan dan angin marak lagi membantingi pot-pot tanaman yang sangat besar di teras kamarku. Nyaris tak menyisakan keheningan. Di telingaku bagai sebuah melodi yang sangat gaduh tak beraturan. Di hatiku bagai dentaman yang menyakitkan, yang mengingatkanku pada sebatang pohon damar besar yang tumbang di muka RS PMI Bogor sesaat aku akan meninggalkan kampung menuju ke Ottawa dulu sekali.

-ad-

Sore itu aku baru saja keluar dari sebuah tempat di Gang City yang sempit dan padat dengan pedagang kaki lima menjajakan makanan. Aku menumpang bemo dari pelataran parkir pinggiran Pasar Bogor menuju ke arah Kedung Halang. Niatku ingin menjenguk ibu yang baru lewat dari masa kritisnya yang kesekian di RS PMI. Paman dan bibi-bibiku masih berkumpul di Bogor untuk mendoakan dan menyemangti ibu, tapi sebagian besar kakakku justru sudah pulang ke rumah masing-masing.

Hujan yang deras semakin seru oleh dentuman halilintar dan kilat yang membahana di angaksa sana. Gelap menerjang. Kurapatkan tubuhku di pojok terdalam bemo hijau muda itu. Di sebelahku beberapa penumpang lagi juga turut merapat ke dalam bedesakan menghindar dari serbuan hujan yang dibawa angin. Derum mesin bemo tua itu memekakkan telinga, namun nyaris tertelan oleh kemarahan alam di sore itu. Semua penumpang terdiam. Bertafakur dan kuyakin pasti sedang membunuh ketakutan dengan doa. Sopir kami melaju perlahan menyebabkan kami terangguk-angguk kena goncangan bemo tuanya.

Di muka Fakultas Pertanian IPB arus lalu lintas berhenti dengan seketika. Bemo kami juga ada di rangkaian itu, tak maju tak juga bisa melangkah mundur kembali. Hari semkain gelap. Kulirik jam di pergelanganku, nyaris pukul lima sore. Sebentar lagi pintu pengunjung pasien dibuka. Lalu akan segera ditutup pada pukul enam petang. Aku yakin ibuku sedang menungguku, mengharap aku menghabiskan malam bersamanya. Sudah berminggu-minggu bahkan nyaris berbulan-bulan aku setia menjaga ibuku. Bahkan pernah aku sengaja tak meninggalkan ibu yang kutahu sangat kesakitan. Aku sangat ingin ada di sampingnya dan melihat sendiri semua perjalanan ibuku melawan serangan hepatitis kronisnya.

Di telingaku seakan terdengar desah ibuku. Lalu suara yang lemah mencari-cari aku dan suamiku, sekalipun ibu tahu bahwa mas Dj menantu kesayangannya sudah berpamitan untuk bekerja ke luar negeri. Antara mas Dj dan ibuku memang terjalin hubungan batin yang erat layaknya ibu dan anak kandungnya sendiri. Sebab, mas Dj sangat sayang dan memperhatikan ibuku. Selalu ada saja caranya untuk membuat ibu bahagia, sekalipun dia tidak memegang sesenpun uang. Mas Dj akan datang lewat sentuhan tangannya, lewat kesabarannya melayani ibu tanpa diminta, lewat upayanya mencari kesembuhan untuk ibu dan kesediaannya mendampingi aku sejak dulu.

"Pak, ada apa sih di depan sana?" tanya penumpang di barisan terbelakang bemo kepada sopir di bemo belakang kami. Kulihat pak sopir menggelengkan kepalanya, mengangkat bahu dan mengeluh panjang-pendek. Lalu dia sendiri turun ke jalanan mencari tahu. Tak seorangpun tahu. Semua sama terbingung-bingung. Jam lima sudah terlewati. Dan kutahu ibuku pasti sudah sangat gelisah di pembaringannya. Apalagi di tempat tidur sebelah pasti tetangga-tetangga ibu sudah asyik mengobrol dengan keluarga mereka masing-masing. Ah, keluhku. Aku hanya berharap semoga bapak dan mbak Wiek cepat datang. Setidaknya dengan begitu ibu akan sedikit terhibur dan melupakanku.

Di jalur seberang kami kendaraan juga tak nampak sama sekali. Angin dan hujan deras itu agaknya telah menghentikan semuanya, menjegal kantung rejeki sopir bemo kami. Dengan sigap dia minta persetujuan untuk membelokkan bemo ke Jl. Rumah Sakit II, guna menghindari kemacetan panjang itu. Kami semua mengangguk setuju, karena kami semua mempunyai kepentingan masing-masing.

Bemo kami menepi, menginjak rerumputan dan masuk ke samping gedung IPB keluar dari rute yang seharusnya. Aku menarik nafas lega. Di dalam situ rumah-rumah nampak tertutup rapat. Semua penghuninya seakan bersembunyi di balik tilam. Dingin yang menusuk memang sangat terasa. Terbayang di benakku secangkir kopi kental dan comro panas sebagai pelawan dingin.

Bemo berhenti di belakang kamar mayat Rumah Sakit PMI. Aku segera tersadar untuk turun disitu, lalu menembus pintu yang tidak biasa supaya bisa segera menjumpai ibuku di bagian depan rumah sakit sana. Biasanya aku paling ngeri masuk lewat situ. Tapi senja ini tak ada pilihan lain. Baju merahku yang tipis selutut sudah menuntut untuk diganti dengan sehelai baju kering yang memang kubawa di dalam tas untuk ganti besok pagi.

Hiruk-pikuk di dalam halaman rumah sakit mulai terasa. Pengunjung bertebaran menuju ke berbagai ruang. Para perawat sibuk hilir mudik dengan baju mereka yang putih bersih, sementara satpam berbaju biru tua entah dimana. Aku bebas merdeka masuk dari belakang, dengan bergegas sekaligus melawan rasa ngeri berada di area kamar mayat. Padahal kutahu persis, di balik dinding kamar mayat itu adalah rumah kawan pramukaku Titin, seorang calon guru putra pak mantri kamar mayat. Dan Titin sama sekali tidak pernah merasakan ketakutan selama tinggal disana.

-ad-

Di bagian muka rumah sakit suasana nampak tegang. Orang-orang melangkah menuju pintu depan, termasuk para perawat dan satpam-satpam itu. Aku menghambur ke kamar ibuku, dan mendapati beliau terbaring lemah dengan wajahnya yang kuyu serta cemas. "Ah, kau datang juga," serunya seraya menjulurkan tangannya ke arahku. Aku mendekat dan membiarkannya menciumiku serta memeluk sepuas hati. "Badanmu basah, sayang....." bisiknya. Aku mengangguk. Kuperlihatkan bungkusan baju di dalam tasku. "Nanti aku ganti dengan yang ini," kataku seraya minta diri menukar pakaian sebentar. Di pintu kamar kulihat mbakyu dan bibiku menghambur memelukku kuat-kuat. Pancaran mata bahagia kutangkap dari mereka, sementara bapak sibuk kembali memijat-mijat betis dan juga lengan ibuku yang lelah.

"Ada apa?" tanyaku tak mengerti pada mereka. "Puji Tuhan," seru bibiku. "Kau tak ada di antara mereka." "Mereka siapa?" tanyaku tak mengerti. Alis mataku beradu jadi satu sambil melirik ke arah orang-orang yang sibuk di halaman Rumah Sakit PMI.

Aku urung berganti pakaian. Langkahku ikut menuju ke halaman rumah sakit bersama arus manusia. Di pagar besi itu sebatang pohon besar tersandar tergeletak merintangi arus jalan raya. Kini kusadari apa yang telah terjadi, hujan badai sore ini telah menelan korban.

Kulihat sebuah mobil boks putih rebah ke tanah dan pipih nyaris menyentuh aspal. Lalu mobil dan mobil lainnya lagi. Kemudian barisan perawat laki-laki dan satpam yang sibuk memindahkan korban dari jalan raya menuju ke dalam rumah sakit. Tubuh-tubuh pipih berlumur darah itu dilemparkan begitu saja ke halaman untuk memudahkan pemindahan ke dalam tandu. Astagfirullahaladzim! Sebutku. Semua mata memandang kelu, ngeri dan jeritan-jeritan kecil terus bersahutan.

Aku lari masuk ke kamar ibu. Tak kami ungkapkan apa-apa padanya. Aku tepekur sendiri. Untung bemoku tadi masih jauh di belakang mobil boks dan serangkaian kendaraan lain itu. Untung aku tidak ada disitu. Ibu menatapku penuh sayang dan kerinduan. "Cepat ganti bajumu," perintahnya, menyadarkan diriku bahwa aku nyaris lupa akan tujuanku mengganti baju.

Di kamar mandi kubiarkan mataku basah. Oleh air mata keharuan bahwa aku masih diselamatkanNya. Sampai tiba-tiba pintu diketuk orang yang memerlukan kamar mandi. "Sebentar" jawabku parau. Sesak di dada menyebabkan aku terbatuk.Kuselesaikan semuanya, lalu aku beranjak pergi. Menemui ibuku lagi dan mulai mengobrol apa saja untuk mencoba melupakan kejadian yang baru terjadi di depan mataku.

-ad-

Rasanya semua ini baru kemarin saja terjadi. Seakan masih lekat dalam ingatanku. Memperingatkanku untuk senantiasa bermohon kepadaNya atas segala sesuatu. Lebih-lebih ketika hujan tidak mau berhenti seperti winter duaribudelapan di Cape Town saat ini. Ya, aku harus senantiasa mengingat dan memohon perlindungan kepadaNya. Kusudahi kemuraman pagi ini dengan membuka buku agamaku kembali. Pelan-pelan kulantunkan doa puji dan puja hanya bagi Sesembahanku semata. Semoga Beliau berkenan mendengarnya.

10 komentar:

  1. saya juga suka lemes kalo lihat darah banyak bu,, apalagi sampe lihat korban kecelakaan yg banyak gitu ya,, bisa2 langsung pingsan. Serem, saya selalu Berdoa terus kalo di perjalanan, jangan sampai terjadi kecelakaan.Amin,

    BalasHapus
  2. Anin, amin, amin. Tuhan selalu melindungimu ya mbak.

    BalasHapus
  3. duh, ngeri sekali budhe .... mudah-mudahan aku ngga pernah lihat kejadian atau mengalami kejadian tragis seperti itu ....

    BalasHapus
  4. Untungggggg bawa baju ganti ?? duh kalau enggak... gimana coba???

    BalasHapus
  5. Saya kalo mau nginep jagain ibu saya selalu bawa ganti. Sebab kadang-kadang langsung ke pusdiklat Deplu mau ikutan kursus bahasa atau Taribatlu (itu penataran istri).

    BalasHapus
  6. Subhanalloh............baca postingan bunda makin mengingatkan diri tuk banyak-banyak bersyukur atas limpahan karunia yang di berikanNya

    BalasHapus
  7. Betul. Site ini memang saya buat untuk istighfar, maklum saya banyak dosa tapi nggak au kapan giliran sata dipanggil menghadap. maaf ya, saya nggak pinter nulis yang bagus-bagus nih....

    BalasHapus
  8. wah saya baru baca nih, Alhamdulillah bu julie selamat,
    kemaren2 selama hampir seminggu saya juga bolak-balik terus ke PMI Bogor, rasanya udah gak asing lagi deh dengan sekelilingnya, nunggu adek saya yang di operasi karna tumor, tapi gak nginep, cuma ibu dan adekku aja, saya sih paling nemenin dari jam 10 sampe jam 4 sore. tiap hari hujan. Alhamdulilllah udah pulang sekarng

    BalasHapus
  9. Oh ya? Terus tumornya dimana dan gimana kondisinya? Iya sih walaupun PMI RS tertua, tapi rasanya kita tetep aja percaya sama PMI. Aku sebetulnya mau nerusin postingan dunia misteri di bundel itu dengan setting di PMI. Tapi nunggu kalo orang udah pada lupa sama postingan yang dulu-dulu. sru deh wat.

    Dirawat di kamar yang mana? Kalo bisa kita nggak kudu nginepin yang sakit lebih enak. Serem! PMI was my second home after my own home.

    Aku sampe lupa lho Wat pernah posting ini.

    BalasHapus

Pita Pink