Powered By Blogger

Selasa, 15 Juli 2008

SENANDUNG SORE HARI

Tak seorangpun bisa meramal seberapakah panjangnya kehidupan seseorang. Tidak juga diriku. Dulu aku sama sekali tidak mengira bahwa mama akan lebih dulu meninggalkanku menghadap padaNya dibandingkan ibu. Ibuku sudah sangat lama sakit, dan rumah-rumah sakit adalah rumahnya yang setia. Di barisan ranjang-ranjang berderet itu ibuku menggantungkan jiwanya. Menambatkan diri pada sebuah tiang infus. Sementara mama senantiasa kelihatan perkasa walau tubuhnya nampak ringkih. Tak sekalipun kami dapati mama sakit atau lunglai di dalam menjalani hari-harinya yang berat sebagai orang tua tunggal. Mama, permataku, Srikandi suci itu.

Tak berlebihan jika aku mengatakan mama sebagai Srikandi suci. Sebab mama senantiasa giat bergerak, melakukan apa saja tanpa pamrih untuk menyenangkan banyak orang. Tidak saja keluarganya, melainkan juga karib-karib mama termasuk keluargaku. Karenanya di saat mama tiba-tiba berpulang, banyak orang yang menyempatkan diri untuk mendoakan mama dan mengantarnya ke peristirahatan abadi, Bahkan para polisi lalu lintas siap mengawal di depan dan di belakang antrian kendaraan menuju ke makam. Membuncahkan kebanggaan dan keharuan pada kami.

Sore ini pikiranku menerawang jauh kesana, Kepada saat-saat terakhir kedua ibuku. Meski telah lama berlalu, tapi mereka tetap ada di dalam ingatan dan hati kecilku. Sebagai pemanduku untuk senantiasa ingat akan ajal dan pertaubatan sebelum mati. Kulayangkan pandang menembus jendela kaca menatap kolam ikan di tepi kamar yang dipenuhi air hujan.  Disitu ikan-ikan koi kami sibuk berlarian mencari selamat di balik batu sebelum betul-betul terhanyut oleh hujan yang tak mengenal waktu.

-ad-

Kemarin pagi adalah saat terindah dalam hidupku. Aku bangun di usia kelimapuluh dengan sapaan matahari hangat yang muncul menembusi kabut yang turun gunung. Kemudian kecup mesra suamiku serta  dekapnya yang erat, membawaku kepada perasaan dimiliki. Sebagai pemilikku di dunia ini, dia telah begitu setia menemaniku melewati semua pahit-getirnya hidupku. Ketika aku terpuruk di atas kasur, dan ketika aku harus melahirkan anak-anaknya dengan kesulitan dia ada di sisku. Tak pernah meninggalkanku dan lari dari tanggungjawabnya. Kami melahirkannya berdua. Dia di dekatku merekam semua momen kelahiran ananda.

Cintanya yang teguh dan tulus telah membantu mengeratkan kasih sayang anak-anak padaku. "Ibu telah melahirkanmu dengan pengorbanan," ceritanya pada Andrie suatu hari. "Perut ibumu digores piisau tajam, kemudian disayat selapis demi selapis pada bagian daging yang tebal dan putih pucat itu, hingga menyembur air dari dalamnya. Pancarannya menakjubkan. Begitu tinggi diiringi lengking suaramu yang merindukan kehangatan. Lalu dokter membaringkanmu di atas dada ibu sebelum menyerahkannya padaku untuk kuraba pertama kali. Sementara itu, di kasur ruang bedah, ibumu tersengal-sengal kehabisan oksigen dengan wajahnya yang pasi. Kubisikan padanya bahwa dia harus bertahan demi merawatmu, buah cinta kami yang sekian lama dinanti."

Kata-kata itu terus saja terngiang di telingaku. Entahlah pada anakku, sebab dia terlalu kecil untuk mengerti dan merekamnya saat suamiku mendekapnya dan membisikkan kata-kata itu.

Suamiku juga ada di dekat kamar bedah ketika Yadi dilahirkan dengan caesar yang kedua. Nafasku lagi-lagi habis. Dan dialah pula yang menggenggam erat jemariku dan memberiku semangat untuk hidup.

Sama halnya dengan kelahiran almarhum anak sulung kami dulu. Dia dan dia seorang penguat semangatku. Bahkan aku mengisak di pangkuannya ketika kutahu dia rela mengantar sendiri anak kami ke peristirahatannya yang abadi untuk kami kembalikan kepada Tuhan. Tangis haru yang mengalir begitu saja.

"Selamat ulang tahun," katanya tanpa menyebut namaku. "Sehat selamanya, ya? Jangan pernah sakit-sakit lagi. Aku mintakan supaya sakit yang sekarang adalah sakitmu yang terakhir," ucapnya lembut sambil meraihku ke pelukannya. Ruang tidur kami serasa hangat oleh kasih sayangnya yang mencoba mencuri dinginnya winter di tepian Atlantik.

Tak dilepasnya aku untuk beberapa saat. Hidung itu merayap di sekujur wajahku. Persis seperti ketika kami muda dulu. Dia sangat senang menciumiku sekalipun aku tidak cantik dan bukan pesolek atas keinginannya semata.

-ad-

Ucapan ulang tahunnya pagi itu mengajakku merenungi semua jalan hidupku. Limapuluhtahun sudah kuhirup hawa dunia. Separuhnya lebih kami habiskan bersama-sama. Aku melihatnya untuk yang pertama kali dalam seragam kepanduan seorang bocah, dengan menuntun sepeda kumbang hijau. Dan sejak itu jugalah kami bersahabat.

Aku mengikutinya bersekolah di Bandung sesuai permintaannya. Aku menemaninya menyelesaikan pendidikan, dan membantunya memilih pekerjaan. Aku jugalah wanita yang pertama merasakan sentuhan kejantanannya. Bahkan kenangan di teras rumah orang tuaku yang disaksikan cicak di langit-langit, seakan-akan tetap membekas rasanya di dahiku. Ya, dialah satu-satunya lelaki yang berhak menciumku. Ah, betapa rasanya tak dapat kuhapus begitu saja, seakan-aka baru terjadi kemarin malam. Malam Minggu, sembilan Maret tujuhpuluhempat sewaktu dia mengantarku kembali ke dalam genggaman bapakku sehabis merayakan ulang tahun gugus depan tigabelas-empatbelas.

Dijaganya aku dengan baik sampai ke pintu rumah orang tuaku. Jacket hijau tua itu dibiarkannya menutupi tubuhku yang terbatuk-batuk dan sering kehabisan nafas. Semuda itu dia sudah merawat dan menjagaku. Karenanya tak heran jika kini dia ingin istirahat dari tugasnya merawat dan menjagaku.

Suamiku betul. Tahun ini adalah rembang petang untukku. perlu kusikapi dengan lebih baik dan lebih berhati-hati menjaga kesehatanku. Anak-anakku belum semua keluar dari rumah kami. Tanggung jawabku sebagai ibu belum selesai untuk mengantarkan mereka ke gerbang rumah baru mereka, kehidupan luas mereka di masyarakat sebagai individu atas nama dirinya sendiri.

Tiba-tiba teringat lagi olehku, saat anak bungsuku "menghadiahi"ku dengan lagu Bunda di peringatan Hari Ibu tiga tahun lalu. Dibawakannya sepenuh perasaan seakan-akan dia takut kehilangan diriku di dalam operasiku yang akan berlangsung seminggu setelah perayaan itu. Dan ternyata bukan pula operasiku yang terakhir  Ya, suami dan anakku benar. Belum saatnya aku pergi. Masih harus kuperjuangkan hidupku untuk mereka dan untuk meretas jalan ke sorga.

Kuraih sajadahku, dan kusucikan diri. Kududuk di atasnya, menyenandungkan senandung sore hari bagiNya agar Beliau berkenan mendengar permohonan orang-orang yang kukasihi, Ya, perkenankanlah aku mendampingi permata hatiku lebih lama lagi, Tuhanku.

Angin gunung terus berhembus, matahari hangat juga turun menemani. Diselingi kicau burung yang berloncatan di pohon alpukat. Melengkapi keriangan hatiku kala berdoa di sisa usiaku yang mulai masuk petang hari. Siapa tahu aku akan bernasib seperti ibu mertuaku, mati esok hari tanpa diduga, aku telah pernah memohon ditunjuki jalan yang baik padaNya. Begitulah kiranya.

23 komentar:

  1. sekali lagi teteh sayang... BarakaAllah disepanjang sisa usia, senantiasa dimudahkanNya rejeki, sehat lahir bati selamat dunia akhirat, selalu disayang n dijagaNya, kita semua diberikanNya keleluasaan waktu buat beribadah n mendampingi orang2 yg kita sayangi sampai akhir hayat kita... Aamiin Allahumma Aamiin....
    peluk..pelukkk teteh sayang.... mwuahhhh....

    BalasHapus
  2. Perjalanan hidup yang tak selalu mulus, tapi tetap indah ya Bunda. Selamat milad :).

    BalasHapus
  3. HS nya yg baru cantik banged bunda...

    BalasHapus
  4. Warisan Nabi Adam yang terbagi rata di antara kita, adalah: kematian. Itu sepenggal sajak saya (lengkapnya dapat dilihat di: http://idjatnika.multiply.com/journal/item/25 ). Kersahan ibu, seperti juga keresahan saya tentang kematian. Apakah mati itu hanya membawa kain kafan saja? Tentu yang ingin kita bawa adalah amal ibadah kita...amin

    BalasHapus
  5. sekali lagi selamat ulang tahun yah Tante Julie, semoga segala kebahagiaan tetap mengalir di masa-masa senja ^_^

    Dan kematian, bagiku hanyalah sebuah media menyampaikan kerinduan bertemu dengan Sang Kekasih. Bukan ketakutan karena amal yang tak pernah cukup untuk menemani di alam barzah (tak pandai berhitung), tapi karena keinginan melepas kerinduan dengan Sang Pemilik. Kerinduan itu menghapus segala ketakutan (wah, aku lagi sok tau neh Tante ^_^)

    BalasHapus
  6. Teh Na sayang, tidak ada kata yang patut untuk saya persembahkan kepada teteh sebagai pembalas doa yang baik dan banyak dari teteh untuk sayya ini. Hanya permohonan padaNya semoga teteh dipertemukan kembali dengan keluarga di Bandung dalam keadaan sehat dan selamat. Berbahagialah bersama mami dan sanak-saudara yang masih ada. SELAMAT TERBANG!

    BalasHapus
  7. Ya mbak, terima kasih mbak Leilla. Senang bisa kenalan denan mbak Lelilla di Mp ini. Saya doakan juga semoga mbak Leilla senantiasa bisa mengatasi kehidupan yang lumayan berat dan menjemukan di luar Jawa.

    BalasHapus
  8. Ah, jangan begitu. Ngeledek apa gimana? Ini "hadiah" dari anak bungsu saya. Aslinya berbagai foto saya dikumpulkan, dibingkai jadi satu dalam bingkai perak. Tapi kemudian dia bikin HS. Terima kasih ya Yay. Gimana ujiannya udah keluar semua pengumumannya? Semoga dapat hasil yang bagus.

    BalasHapus
  9. Amin. Amin. Amin. Terima kasih ya pak link nya. Insya Allah nanti sorre saya kesana. Semoga bapak juga senantiasa diberkahiNya dengan kebaikan dunia wal akhirati serta iman yang kuat untuk meneguhkan iman sesama ummat di sekitar bapak.

    BalasHapus
  10. Terimakasih ya mas Andi. Gpp lagi kalo sok tau. Tante kan malah jadi tau.......

    BalasHapus
  11. Ehh maaf bu telat ucapinya, selamat Ulang tahun ya, padahal kan hari ultahnya bu Julie sama ke emak saya 14 Juli kan ya??

    semoga mendapat kehangatan cinta selalu dari suami dan anak2.

    BalasHapus
  12. Allahuallam mbak...
    semua juga menjalani hal yang sama... hemmm... aku terharu membaca tulisan diatas...

    BalasHapus
  13. aduhh snenganya deket sama mertua seperti ibu sendiri... mudah2an udahan ya sakitnya ibu.

    BalasHapus
  14. Selamat ultah juga buat ibunya mbak Driyah. Kok bisa sama ya? Tahunnya aja kali yang beda.......... Terima kasih doa baiknya, semoga Allah melindungi seluruh perjalananmu ke Bekasi bersama ananda.

    BalasHapus
  15. mbak, kalo gitu sedia handdoek good morning RRt yang suka disampirin di leher bakul becak itu ya, buat nguspi luh nya............

    BalasHapus
  16. Amin. Udahan tuh sakitnya karena dipestain neng Echi barusan..... Tuh kue masih ada di meja makan, belum sanggup makannya lagi. Maklum perut tua. Si bapak aja deh ynag makan nanti habis dinner. Terima kasih sekali lagi atas persahabatan yang indah ini.

    BalasHapus
  17. kirim ke singapore mbak..he..he..he.. aku bantuin habisin kuenya...

    BalasHapus
  18. iya...boleh-bolehh... handoknya...

    BalasHapus
  19. ichh aku kan dah ngucapin ya bunda..hehehe, bunda pa kbr..?semoga selalu dalam lindungan Allah..Amin

    BalasHapus
  20. Iya, sayangku. Alhamdulillah aku baik-baik aja. Gimana weekendnya, katanya mau cuti? Kemana aja? BTW nulis lagi dong di blogmu dengan entry seperti yang bunda sarankan itu untuk menunjukkan siapa dirimu.

    BalasHapus
  21. bunda...bunda..bunda...........................semoga mendapat umur yang barakah......

    BalasHapus
  22. ya....ya....ya...., amin, amin, amin. Sama-sama ya jeng.

    BalasHapus
  23. punteun.. tok tok tok... daku baru ngelongok lagi blog.. pa kabarnya bu?, dengan posisi santai sambil minum teh hijau anget sambil baca-baca blog, btw teh hijau bisa membantu menurunkan berat badan, abis daku gendut bener sekarang, eh fotonya kelihatan lebih fresh bu... freshhhh buaahhh kalee... he he he.

    BalasHapus

Pita Pink