Powered By Blogger

Rabu, 30 Juli 2008

SRI, PEREMPUAN ITU

Sri. Sebuah nama sederhana. Tiga huruf saja. Tapi Sri punya makna dalam di dalam kehidupanku.

Ibuku sendiri bernama Sri. Dirikupun mewarisi nama Sri di tengah-tengah nama panjang yang dihadiahkan bapakku. Lalu sahabat masa kecilku. Sri juga.

-ad-

Rumahnya tak jauh dari kampung tempat tinggalku. Di tepi sebuah kanaal, sangat dekat pula dengan lahan pekuburan umum. Sempit, suram dan nyaris tak memadai untuk standar rumah sehat.

Disitulah Sri dibesarkan. Kemudian mengecap nikmat hidup yang jadi bagiannya bersama suami dan anak-anaknya. Hingga akhir hayatnya.

Aku mengenal Sri di bangku Taman Kanak-Kanak. Ibunya yang sebaya ibuku setia menyerahkan Sri ke tangan bu Sumiati guru kelas kami setiap hari. Selepas itu ibunya akan berlalu meninggalkan Sri menuju ke pasar bersama yu Parti, ibunda Supri temanku lainnya lagi.

Di pasar ibunda Supri membuka kedai sayur-mayur, sedangkan ibunda Sri hanya pembeli biasa seperti ibuku. Tubuhnya kecil mungil, wajahnya khas wajah orang Jawa totok. Begitu pula dengan dandanannya. Seikat gelung dengan tusuk konde penahan cemara, melengkapi kain batik murahan dan kebaya yang tipis menerawang menampakkan kutang nini di balik sana. Sangat mirip dengan ibuku. Kecuali satu, ibuku tidak pernah melepas wiron pada kainnya sekalipun hanya pergi berbelanja ke Pasar Mawar yang becek seratus meter dari rumah kami.

Sri jadi salah satu teman favoriteku. Sebab dia sangat sopan, pendiam dan amat pengalah. Selain itu, di balik tubuhnya yang kurus kering dan nampak ringkih, Sri punya kepandaian yang menonjol. Dia cepat sekali menangkap pelajaran mengenal hitungan yang diajarkan bu Sum melalui lidi sebagai alat peraga. Sedangkan aku? Otakku hanya terbuka untuk mengenali huruf-huruf yang dirangkai untuk dibaca. Tapi tidak bisa menuliskannya kembali di sabak, papan tulis hitam yang dibawa setiap murid untuk menulis dengan bantuan sebatang pensil tanpa balutan kayunya. Sebuah alat tulis yang lumrah pada masa awal tahun enampuluhan. Grip, alat tulis itu biasa kami asah dengan batu di halaman sekolah untuk menajamkannya kembali.

-ad-

Aku berpisah dengan Sri di Sekolah Rakjat yang kemudian berganti istilah menjadi Sekolah Dasar. Tapi aku tetap mengikuti perkembangannya. Dia menjadi murid di SR Merdeka berbaur dengan Nining, anak tukang kebun ayahku. Tapi entah apa sebabnya, Sri ketinggalan setahun, sehingga ketika kami berkumpul kembali di SMP, dia jadi adik kelasku.

Sri terbukti memang cerdas. Dia berhasil memasuki SMA Negeri favorite di kota kami pada masanya. Disana dia bergaul bebas dengan teman-teman lain tanpa terkendala apapun. Aku hanya mengamatinya dari jauh. Dan turut berbahagia saat kudapati dia berjalan berendengan dengan Ghia, Afie dan Titin, teman-teman kami yang berbeda latar belakang.

-ad-

Pertemuan kami yang kemudian adalah di teras sekolah anak-anak kami. Dia datang mengantarkan salah seorang anaknya ketika aku sedang duduk-duduk menanti si kecil.

Wajah dan penampilannya sama sekali tak berubah. Masih seperti dulu, tanpa polesan alat kecantikan dan apa adanya. Tubuhnya tetap ringkih, diiringi tarikan-tarikan nafas akibat kemampuan paru-parunya yang buruk. Bahunya terjungkit ke atas, membuat Sri menjadi sangat khas. Kami senasib sejak dulu. Sama-sama penderita asthma. Tapi nasibku jauh lebih baik. Selain lebih ringan, kemampuan finansial keluargaku memungkinkan aku berobat dengan lebih baik. Sementara kutahu, dari dulu Sri hanya mengenal ephedrine yang tak seberapa ampuh untuk melawan sesak nafasnya.

Tanpa sungkan, kami berpelukan mesra, lama sekali. Lalu kedua tubuh kami menyatu tak hendak lepas. Kami duduk berdampingan memutar sejarah lama dan saling bertukar kabar. Sekali-sekali gelak tawa kami mengusik orang-orang di sekitar kami yang tiba-tiba menjadi orang asing untukku. Padahal, dari hari ke hari aku biasa duduk-duduk mengobrol dengan mereka sambil menunggu anak-anak kami.

-ad-

Sri jadi guru di sebuah SMP Negeri di Jakarta. Dari pernikahannya dengan seorang pegawai negeri pula, dia beroleh beberapa buah hati ditambah anak-anak kakaknya yang terpaksa kehilangan kasih sayang orang tuanya selagi kecil. Rumahnya masih di tepi kanaal itu juga, menemani ibundanya yang kini tinggal seorang diri dalam usia yang sudah sangat sepuh.

Subhanallah! Ibu itu masih ada. Sedangkan, ibuku yang hidup jauh lebih baik dan tertata, sudah diambil pemiliknya bertahun-tahun lalu selagi aku belum sempat mempersembahkan anak-anak buah cintaku. Srilah yang merawat ibundanya, sambil membaktikan diri di dunia pendidikan mengajar mathematika sesuai kepandaiannya sejak kecil. "Ibulah yang membantuku mengurus rumah dan anak-anak,: katanya menjelaskan. "Aku berangkat pagi, pulang menjelang malam," tuturnya. Mata itu begitu sayu. Seperti berat menahan beban di dalam pikirannya sana. Bibirnya ada menyungging senyum. Tapi, getir seakan dipaksa.

Sekali-dua kami bertukar cerita. Aku tahu darinya, bahwa dia dikaruniai banyak anak untuk ukuran pegawai negeri. Belum lagi beberapa anak piatu yang dititipkan kakaknya ke tangannya. Semua itu jadi kewajibannya untuk membimbing, Dan semua terasa kian berat, karena salah satu dari putra-putrinya cenderung santai. Tak punya semangat belajar untuk menghargai jerih-payah orang tuanya. Di halaman sekolah itu, kudengar Sri meneriaki anaknya. Mengingatkan bahwa lonceng masuk kelas sudah berbunyi, sedangkan anaknya masih asyik menendang-nendang bola di halaman sekolah. "Itulah anakku si Rahmat, selalu memancing kemarahan orang," gerutunya sambil mengambil nafas.

-ad-

Kami kemudian berpisah lagi. Aku mengikuti suamiku menuju negara tempat tugasnya yang ketiga. Dan Sri, pada waktu itu sedang dalam proses minta ijin pindah mengajar ke bekas sekolah kami dulu. "Aku tak mau dipensiun muda, padahal otakku masih sanggup mengajar," ceritanya padaku sambil bersandar ke dinding kelas anak kami. Dia terancam dipensiun sebelum waktunya karena beberapa waktu belakangan ini dia sering keluar-masuk rumah sakit sebab asthmanya yang makin mengganggu. Kuamati wajahnya dengan seksama. Ada kesungguhan di raut wajahnya. Juga pada tutur kata itu, "Ya, aku berharap semoga permohonanmu terkabul. Mungkin bahkan kelak aku bisa menitipkan anakku ke tanganmu," sahutku jujur. Aku tahu dia tidak mungkin menganggur dan hanya mengharapkan selembar-dua lembar puluhan ribu uang pensiunannya. Lagi-lagi dia tersenyum getir dan menelan ludahnya sendiri. "Semoga," balasnya sambil menerawang jauh. Sementara aku merasakan kepahitan hidup sahabat masa kecilku ini semakin meruyak. Ingin rasanya aku menjerit memohonkan keringanan padaNya.

-ad-

Aku terpana dan tercakung di muka monitor komputerku. Deretan pesan dari anak muda yang masuk ke dalam reply blogku sangat menusuk. "Maaf bunda, saya tak bisa menyampaikan salam bunda. Kalau beliau yang bunda maksud benar tetangga saya, saya kabarkan kepada bunda bahwa beliau telah berpulang beberapa tahun yang lalu." Demikian bunyinya.

Seperti sebongkah batu dilemparkan orang mengenai dadaku. Menyakiti jantung di dalam sana. Menimbulkan nyeri yang tak terkatakan. "Ibu Sri berpulang meninggalkan putra-putri dan suami serta ibundanya karena sakit. Sekarang saya tak mungkin menceritakan lagi keadaan putra-putri beliau. Si kakak telah ke luar rumah entah kemana. Si bungsu juga dipinang orang dalam usia remaja lalu pergi dan jarang kembali. Hanya ada simbah putri yang seperti telah kehilangan segala-galanya. Mahkota hidupnya pergi direnggut dari sisinya," tegas gadis kontakku itu. "Maafkan saya bunda. Saya tak layak menyampaikan ini kepada bunda, seandainya saya tahu betapa bunda begitu dekat dengan ibu guru itu," tutupnya.

Air matakupun menggenang kemudian meluncur turun membasahi pipiku lalu menetes di kerudung. Di layar komputer itu seakan-akan tergambar wajah dan sosok sahabat kecilku yang memang tak pernah jadi "besar". Wanita yang ditakdirkan menjalani kodrat sederhana serta seperti tak berhak untuk bahagia.

Aku merasa malu padanya. Karena aku seperti menyimpan kepongahan. Tak pernah merasa beruntung dan diuntungkan nasib. Sebab yang ada padaku hanya sederet keluhan yang tak pernah berhenti kukeluhkan,

Sri, perempuan itu, telah mengajariku dari dalam kuburnya untuk senantiasa bersyukur dan menikmati hidupku yang senantiasa penuh warna. Kupeluk erat semua kenanganku bersama Sri. Juga masa-masa ketika kami makan es lilin berdua atau sepincuk rujak di dapur rumah Latifah. Disana tergambar kembali wajah Sri yang cerah. Walau hanya pada sepincuk rujak dan sebatang es lilin itu. Tak henti-hentinya pipiku basah, seperti hujan di luar sana yang asyik menyirami tanaman di kebun bunga kami. Ah, Sri sudah bahagia di alamnya, bisikku liih.

16 komentar:

  1. Namaku juga Sri lho bu Julie .... kata orang India.. artinya Mr. atau Mrs. :-)

    BalasHapus
  2. Saya juga banyak punya temen namanya Sri....:)

    BalasHapus
  3. Subhanallah, begitu tegar dan penuh semangat juang Bu Sri ini ya...

    BalasHapus
  4. Wah berarti memberi kedudukan terhormat untuk penyandang nama Sri ya? Alhamdulillah!!

    BalasHapus
  5. Betul, Sri itu kayak nya common name di Indonesia terutama di Jawa deh.......

    BalasHapus
  6. Sangat-sangat tegar! Saya angkat topi untuk almarhumah.

    BalasHapus
  7. Wah.... sebagai penyandang nama Sri juga aku turut sedih...

    BalasHapus
  8. semoga almarhumah mendapat tempat yang layak di sisiNya....amin.

    BalasHapus
  9. Semoga ibu Sri diterima di sisi-Nya ....
    pernah denger juga Sri itu lambang kemakmuran .... dewi sri ada lah dewi padi ... dewi kemakmuran ...

    BalasHapus
  10. Asli Chi! Kalo lihat orangnya Echi pasti nangis.

    BalasHapus
  11. Amin, sebanyak-banyaknya. Terima kasih ya kak Lelly.

    BalasHapus
  12. Amin. Maunya makmur, tapi kok ya teman budhe yang satu ini gitu-gitu aja.

    BalasHapus
  13. Siang ananda.

    Udah sembuh? Atau setidak-tidaknya mulai lega?

    BalasHapus
  14. Kakak saya namanya juga SRI.Allhamdulilah Sri yang ini mungkin banyak mendapatkan keberuntungan seperti Ibu Sri Y DJ,karena sampai sekarang masih di butuhkan oleh keluarga juga oleh negara.

    BalasHapus
  15. Ha....ha....ha....., seneng juga saya dengar komen dari mbakyu. Semoga mbakyunya senantiasa dilindungi oleh Allah Swt, juga panjenenganpun diberkahiNya. Kita semua masih sama-saam dibutuhkan ya bu........?

    BalasHapus

Pita Pink