Powered By Blogger

Selasa, 29 Juli 2008

ANAK KESAYANGAN

Cinta itu ada di hatiku. Pada setiap anak-anak, tak berbilang bangsa. Aku selalu berbahagia jika berada di antara mereka. Mendengar rengek-rintih mereka, menikmati gelak-riuh canda mereka, dan mencium baru keringat mereka.

Anak-anak itu adalah salah satu kekasihku, pembalut rinduku akan cinta Illahi. Dengan memandangi dan menyentuh mereka, terpuaskan sudah keinginanku untuk bertemu dengan Tuhan, pemilikku. Sebab, pada diri dan jiwa mereka yang polos kutemukan "jejak-jejak" Tuhan. Yang mengarah kepada kedamaian hakiki.

-ad-

Bulan Juli jadi satu momen yang senantiasa istimewa bagiku. Bukan hanya karena aku berulang tahun di bulan itu, melainkan karena di bulan Juli selalu ada saja kejutan buatku.

Tahun ini, anakku di Sumedang mengabarkan kemajuan studinya. Dari sembilan mata kuliah yang diambilnya semester lalu, lima dinyatakan lulus dengan judicium A. Sisanya B tanpa C sama sekali. Syukurku padaNya, karena anakku diberi  semangat untuk menyelesaikan sekolahnya dengan baik tanpa kami dampingi.

-ad-

Tak terasa, sudah lebih dari sepuluh tahun dia "makan bangku sekolahan". Sekalipun pernah terpuruk karena nasib. Tinggal kelas dan mengulang kelas adalah sandungan utamanya dulu di luar negeri.

Andriku. Bujangan kecilku yang sudah bertumbuh dewasa sekarang. Ada masanya aku merasa dia bukan lagi milikku, terutama ketika kesehariannya sudah habis untuk urusan sekolah dan kegemarannya. Kusadari, aku telah menjadi tua.

Dulu sekali, dia selalu ada untukku. Tak pernah aku memintanya untuk datang padaku. Tapi atas keinginannya sendiri dia selalu berada di dekatku. Dengan segala tingkahnya yang unik dia tak pernah jauh dariku. Menggelayut manja di dekatku minta dinina-bobokan dengan lagu-lagu yang tidak lumrah untuk telinga kanak-kanak. Juga membawakan buku-buku yang aku sendiri sulit untuk memahaminya.

Hari Anak Nasional tahun 1991 adalah momen yang pasti selalu kupakai untuk mengenang keberadaan Andriku. Waktu itu dia masih di Kindergarten St. Paul, Wina, Austria. Terlalu bocah untuk mengerti makna Hari Anak yang didengung-dengungkan pemerintah.

Aku ditugasi kantor suamiku sebagai pelaksana peringatan yang ditandai dengan berbagai lomba untuk anak-anak. Tak kurang dari seratusan anak Indonesia akan hadir memenuhi undangan KBRI. Sejumlah itu pula yang jadi tanggungjawabku untuk kusenang-senangkan.

Sebagaimana lazimnya, aku harus belanja bahan masakan dan hadiah bagi mereka semua. Beberapa minggu sebelumnya pekerjaan kumulai dengan kerjasama semua teman-temanku di Dharma Wanita. Daftar anak-anak kupakai sebagai patokan untuk membeli hadiah dan membungkusnya dengan tepat. Menu yang ringanpun harus kususun agar semua anak dapat menikmatinya tak terkecuali orang tua mereka. Bahan-bahan lomba kucari dan kusiapkan sendiri sedapat mungkin sebagai konsekuensi atas penugasanku.

Alhamdulillah semua siap menjelang harinya, dibarengi dengan rasa sakit pada daerah perutku diikuti darah yang tumpah tiba-tiba. Aku tidak terlalu merisaukannya, seandainya darah itu tidak terus saja keluar.

Tapi diiringi sakit yang menghunjam, darah segar itu ikut menumbangkan pertahanan fisikku. Temanku yang baik dan sangat peduli padaku menyarankanku untuk turut dia berobat ke rumah sakit, Kupikir ini kesempatan baik, selagi masih ada satu-dua hari untuk memulihkan keadaan sebelum perayaan berlangsung.

Jadilah aku mengikuti Silvy memeriksakan diri. Saat itu dokter kandungan memintaku memeriksa air seni, tapi hasilnya tak jelas, Kecurigaanku hanya pada kelelahan disebabkan beban kerjaku berbilang minggu. Maka kuputuskan untuk beristirahat sehari-dua sambil memantau perkembangan kegiatan dari dalam rumah.

Tapi kondisiku memburuk, padahal suamiku sendiri sedang terpuruk oleh asthma yang bertahun-tahun tak pernah kambuh. Dengan menumpang tram kuberanikan diri mendatangi dokter umum langganan kami, seorang keturunan Indonesia. Kuceritakan semuanya. Dokter itu tak berani mengambil tindakan apapun selain menyuruh aku segera kembali ke rumah sakit untuk menemui dokter kebidanan dan kandungan.

Di langit matahari mulai suram. Kuputuskan untuk pulang, menunggu pagi di rumah sebelum berangkat menyerahkan diri ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan darah itu mengalir tak henti, menyakiti perutku dan menimbulkan kunang-kunang di mataku. Aku terus berdoa mohon kekuatan padaNya agar menerangi hariku. Semalaman aku bergulung di atas kasur tak ubahnya janin di rahim ibunda. Menahan nyeri yang menghunjam tajam seraya berharap mencegah lajunya darahku. Sementara di sisiku, suamiku terbatuk-batuk dan berulang kali menghela nafas sambil menghirup inhalernya yang seperti tak berfungsi.

-ad-

Pagi itu dengan kekuatan yang tersisa aku diantarkan suamiku ke rumah sakit. dan dokter segera mengambil tindakan pemindaian rahim, yang kemudian menemukan kehamilan di luar kandungan. Aku hamil tanpa kusadari. Dan janin itu tidak berada di tempat semestinya.

Dokter marah-marah dalam bahasa yang tak kumengerti, namun kusadari menegur kecerobohan kami. Aku dibawa masuk ke ruang bedah dengan segera. Entah apa yang terjadi, yang pasti aku kembali terjaga di atas kasur dingin yang tak kukenali di sebuah kamar tua, Kamar rumah sakit umum pusat di kota itu. Wiener Algeimeine Krankenhaus.

Di sisi pembaringanku suamiku duduk menekuri lantai. Senyumnya mengembang disertai binar mata yang gemilang menyukuri keadaanku yang baru terjaga. Didaratkannya hidungnya di dahiku. Lalu tangannya memainkan anak-anak rambutku. Wangi parfum Calvin Klein yang jantan berbaur dengan bau nafasnya yang khas menyadarkanku akan keadaan sesungguhnya.

Pertanyaan pertamaku adalah urusan panitia peringatan Hari Anak. Aku lupa apakah aku sudah sempat menyerahkan semua tugasku pada teman-temanku. Suamiku tersenyum manis, "jangan dipikirkan. Kamu pasti lupa. Tadi pagi sebelum ke rumah sakit kamu telah mampir ke rumah bu Naryadi untuk berpamitan," jawabnya. Aku memejamkan mata yang masih terasa pusing sambil mencoba-coba mencerna kata-kata suamiku. Aku betul-betul lupa akan apa yang kulakukan tadi pagi.

Semakin aku berpikir keras, semakin aku khawatir akan nasib pesta anak-anak yang jadi tanggungjawabku. Maka air matakupun mulai mengalir, dan disapunya dengan sapu tangan biru muda yan kubelikan di Maria Hilfer Strasse. Harum tubuh suamiku tercium dari situ, memaksaku untuk mengingat bahwa aku berada di Austria dibawa dirinya sebagai pendamping tugas-tugasnya. Semakin tak sanggup aku menerima kenyataan hingga air mata itu luruh tak berkesudahan. Kemudian aku lupa akan keadaan di sekitarku, kecuali bayangan anak-anak yang siap menantiku di halaman KBRI besok pagi.

-ad-

Anak-anakku datang menjenguk di sore hari. Andri kecilku dengan adiknya yang baru mulai melangkah tegap. "Ibu," panggilnya. "Besok ada pesta?" tanyanya dengan mulut menganga mengharap jawaban yang menyenangkan. "Ya, sayang," jawabku lirih. "Aku mau ajak teman-temanku di pesta untuk mendoakan ibu," Katanya lagi. Lalu jemari kecil itu menjulur menghadap ke angkasa. "Besok aku akan pakai kain dan pergi ke pesta. Tapi aku rasa, aku akan kehilangan ibu. Ibu tidak akan lihat aku tampan besok pagi," celotehnya tiada henti. Adiknya terus menciumiku dan mengelus-elus tanganku. Kembali air mataku berguliran menandakan kekecewaanku telah mengecewakan anak-anak itu.

Nenek tua di sebelah kamarku datang mendekat. "Ini anakmu?" tanyanya sambil mengelus-elus kedua anakku. Aku mengangguk. "Aku juga punya cucu, tapi mereka tidak disini," katanya tanpa kutanya. Wajahnya yang dipenuhi kerutan nampak semakin tua tersaput sendu dan kerinduan. Dia mengajak anak-anakku bercakap-cakap. Si bungsu digendongnya. Andriku diciuminya, Lucunya, anakku mengobrol asyik dengan nenek yang kulupa sekarang siapa namanya. Setelah menurunkan anakku dari gendongan, nenek tua itu meraih laci di sisi tempat tidurnya, mengeluarkan dompet dan mengambil sehelai uang dua Shilling dari situ. Diserahkannya ke tangan Andri dengan sedikit ucapan manis. Andri menerimanya dengan senang, sebab seumur hidup aku belum pernah memberinya uang. Dilipatnya uang itu dengan rapi dan dimasukkannya ke saku kemejanya. Senyum terus tersungging di bibir mungilnya. Dan tepuk-tepuk tangan kecil yang jadi kegemarannya mewarnai sore hari itu.

-ad-

Lepas jam berkunjung siang, tiba-tiba satpam mengantarkan rombongan teman-temanku. Serangkai bunga warna-warni di taruh di jendela kamarku, sementara seikat anggur dan majalah diletakkan di atas meja tidurku. Cium demi cium mendarat dipipiku. Ada sebentuk kehangatan yang tulus mewarnai kehdiran mereka.

"Pesta sudah selesai," kata mereka yang masih dalam balutan seragam Dharma Wanita. Kemudian bergulirlah cerita demi cerita yang menyenangkan. Tentang kelancaran acara, juga keluguan Andriku ketika tanpa diminta menceritakan keadaanku di rumah sakit serta pertemuannya dengan nenek. "Ibuku telah menangis kemarin, karena itu nenek memberiku uang," ceritanya sambil mendekati bapak Duta Besar Agus Tarmidzi dan ibu yang memandangi anakku keheranan. Beliau tahu, orang tuaku tak ada lagi. Jadi nenek siapakah gerangan.

"Nenek itu ada di rumah sakit. Nenek itu sudah tua dan sayang padaku," jawabnya atas pertanyaan Yang Mulia Duta Besar Agus Tarmidzi. Dikisahkannya pula tentang kulit nenek yang pucat dan keriput serta rambutnya yang kuning keemasan. Pak Agus dan ibu konon tertawa terbahak-bahak setelah mengerti maksud anakku. "Berapa uang yang diberikan padamu?' tanya pak Agus. "Satu," jawabnya tegas. Lalu diperlihatkannya uang dua Shilling pemberian nenek yang rupanya sudah dipersiapakannya. Maka gelak-riuhpun semakin tak terbendung. Imbasnya menghangatkan kamar rumah sakitku yang sepi dan dingin di siang itu.

-ad-

Episode yang telah lama berlalu. Pengalaman berharga dalam hidupku. Bahwa hidup dan mati seseorang Tuhan jualah yang mengaturnya. Andriku kini telah jadi dewasa dan akan terus berkembang. Sementara janin di kandunganku tertidur sudah untuk selamanya.

-ad-

"Ibu, kalau kangen ingin lihat aku, masuklah ke youtube. Carilah tutorial feat John Lennon, maka ibu akan ketemu aku disitu," katanya dalam SMS kepadaku minggu lalu. Dengan penasaran kuikuti kemauannya.

Masya Allah! Waktu memang telah lama berlalu. Anakku Andri lagi-lagi membuat kejutan yang menyentuh jiwaku. Disana, di youtube, dia tampil sebagai sosok manusia lain. Seorang pemuda yang nyaris tak kukenali dengan rambut mencapai dada dan gaya yang sangat dinamis.

Andriku. Kau hadiahkan juga kejutan untukku di Hari Anak tahun ini. Kau bukan lagi anak kecil yang lugu itu, Namun, kau selalu ada dalam hatiku untuk menghapus rinduku dan menyalurkan kasih sayangku.

Waktu aku memintamu mencukur rambutmu, dengan tegas kau katakan bahwa aku adalah manusia kuno yang selalu mengukur kesempurnaan seseorang dari penampilan fisiknya. "Hargailah aku apa adanya. Telah kupersembahkan nilai-nilai yang tak mengecewakan untuk bekal masa depanku," tutupmu. Dan bapakmu, betul. Beliau menghargai dirimu walau bagaimanapun penampilanmu. "Dia telah menjadi dirinya sendiri," puji bapakmu, "aku bangga padanya." Aku mengangguk-angguk setuju. Selamat Hari Anak, sayangku.

(Untuk Andriarto Andradjati, di Hari Anak Nasional 2008)

12 komentar:

  1. Alhamdulillah pa kbr bundaku tersayang :D

    BalasHapus
  2. Baik mbak. Selamat cari rejeki di rantau ya. Moga-moga selamat dan barokah.

    BalasHapus
  3. Wah mas Andri berhasil nih, menjadi kebanggaan di hati ortunya. juga sebuah pujian tak terkira buat Orang tua bila anak2nya berhasil dan bahagia.

    Btw yg di youtube itu kok nggak di upload di Mpnya bu, kan kita2 bisa lihat mas Andriya bu Julie dengan gaya Jhon lenon hihi

    BalasHapus
  4. Dalam sakit pun yang terpikir tanggung jawab dan anak-anak ya Bunda... Senangnya punya putra yang berbakti.

    BalasHapus
  5. ibunda Julie.... walau kita palingkan muka kita ke manapun, hanya 'wajah Allah' sajalah yang nampak... Maha Ada, Dia... Selamat telah diamanahi anak yang menyejukkan mata dan hati, bukankah demikian doa kita selalu selepas shalat kita?

    BalasHapus
  6. Hiks... terharu saya Bunda membacanya...

    BalasHapus
  7. Msu ys? Insya Allah nanti ya.

    Soalnya heboh berat, jadi emaknya malu..........

    Dasar anaknya unik, saya bilang begitu.

    BalasHapus
  8. Wah mbak, anak-anak itu tanggung jawab saya soalnya.

    Dan posisi saya pada waktu itu kurang menguntungkan. Suami saya staff di jajaran bawah.

    Jadi, kalau sampai acaranya berantakan celaka dua belas, nggak sih?

    Untung teman-teman lain (umumnya senior kami) sangat membantu dan melindungi supaya saya nggak diamrahin. Itulah yang jadi kenangan buat saya dan haru saya contoh.

    Terima kasih udha mampir.

    BalasHapus
  9. betul bu Nina. Alhamdulillah saya masih diberi anak yang menyejukkan hati.

    Saya syukuri semuanya.

    BalasHapus
  10. Bagian mananya yang bikin terharu? Ah biasa aja lage!!

    BalasHapus
  11. Keseluruhan apa yang Bunda tulis ini bikin hati saya mak "nyes". Mohon restu semoga saya bisa menjadi ibu seperti Bunda, yang dibanggakan anaknya dan selalu bangga kepada merek apa adanya...

    BalasHapus
  12. Pasti mbak Niken, lebih bagus daripada saya. secaa saya ini kan wong kuno...... Ya deh, saya doain selalu disayang dan dibanggakan oleh putra-putri.

    BalasHapus

Pita Pink