Powered By Blogger

Jumat, 04 Juli 2008

KEMBALI KE MASA LAMPAU (II)

Dua hal yang menyebalkan dalam hidupku terjadi hari ini. Pertama adalah hujan lebat yang tak juga selesai sejak kemarin. Banjir di sekitar carport rumah kami, mengakibatkan suamiku pagi-pagi sudah mengeluh. Cape Town yang cantik tapi infrastrukturnya sungguh tidak tertata baik, kembali mengingatkanku pada kampung halamanku di tengah Kota Bogor yang kata orang sudah mulai metropolis. Sampai saat ini masih juga ada genangan banjir.Terutama di sekitar Jalan Soleh Iskandar yang relatif baru seumur anakku yang baru seperempat abad kurang sedikit.

Selain itu jaringan listrik di kamarku dan sekitarnya tiba-tiba mati sebagian. Alat-alat elektronik kami tanpa sebab langsung "mogok kerja", menyisakan kejengkelan sebab instalatur listrik yang kemarin kami panggil untuk pembenahan jaringan, hari ini justru tidak kunjung datang.

Aku menarik nafas kesal. Tak ada yang bisa kulakukan. Padahal tanpa jaringan internet atau karaoke, hidupku hambar. Aku memang tipe manusia yang unik. Senang menyendiri dan melakukan kegiatan yang tidak begitu diminati teman-temanku.Lagi-lagi aku menarik nafas dalam, mencoba menghirup oksigen sebanyak mungkin untuk menyuplai kebutuhan tubuhku yang entah kenapa mulai ringkih.

-ad-

Angin itu begitu kencang. Menerbangkan segala apa yang ada di tanah. Bahkan pohon alpukat di muka dapurku juga seperti menari-nari. Mengingatkanku pada tarian anak-anak di panggung tujuhbelasan waktu aku kecil dulu.

Aku tidak pernah kebagian menari. Seperti biasa, semua orangpun tahu bahwa aku sangat kaku. Tapi toch mereka juga tak akan membiarkanku berdiri di kerumuman penonton yang menyesaki jalanan di muka rumah kami. Karena itu mereka memanfaatkanku untuk menggunakan suaraku melantunkan "Gugur Bunga" yang jadi lagu wajib di panggung tujuhbelasan di kampungku dengan iringan gitar Kang Madi.

Kembali terlintas di mataku, seorang gadis dengan rambut keriting mengembang yang nyaris sulit dirapikan berdiri dengan pedenya menghadap pak Lurah dan pak Camat yang duduk di dampingi Ketua Rukun Kampung kami, pak Hassan. Dengan suara a la "kuda masuk angin" dia menjeritkan lagu kepahlawanan itu hingga gemanya menembus tembok beton rumah bapak. Setelah menyelesaikan lagu dan membalas tepukan petinggi desa dengan anggukan hormat, gadis cilik itu melesat ke luar panggung mengendap-endap minta dibukakan pintu rumah oleh mbakyunya yang menunggu dengan masam. "Kamu tahu, bapak tidak suka kamu naik panggung seperti mereka," sambut perempuan itu sambil buru-buru menutup pintu. Di dalam rumah gelap sudah menyergap. Semua penghuni sudah naik ke atas kasur masing-masing.

Gadis itu tidak menjawab. Segera dia berlalu masuk kamar mandi, mencuci kakinya dan bergegas ke kamar sambil membayangkan keriuhan di luar sana yang baru separuh jalan. Masih akan ada Kang Oden dan kakak-kakaknya ditemani Hanny pacarnya naik panggung melagukan lagu-lagu Koes Plus dan Panbers dengan berbekal sapu , meeja setrika serta ember sebagai "alat musik". Lalu genjrang-genjring gitar betulan mengawali penampilan mereka yang disambut tepuk riuh penonton. Sehabis itu Hanny sendiri akan naik pentas membawakan entah drama apa hasil kreasi mereka. Rasanya ingin si gadis bisa ikut menyaksikan bersama yang lain. Kaki-kaki kecilnya memanjat kusen jendela, melongok-longok lewat sela-sela teralis mencoba menangkap aksi panggung mereka. Tapi, yang ada cuma gelap dan gelap semata. Dan kekecewaan itu dibawanyalah ke atas kasur mengukir sendiri cerita di dalam benaknya.

-ada-

Bagian dari masa lalu itu seperti hidup lagi kini di Cape Town. Pada musim hujan menjelang Agustus seperti ini. Ada sepenggal rindu di dadanya. Rindu kehangatan matahari tropis dan kegiatan di kampung yang penuh keakraban.

Duduk membaca buku di ruang keluarga adalah satu-satunya kegiatan yang bisa kulakukan untuk membunuh rindu. Secangkir teh panas menemaniku mengusir dingin. Rasanya ada suara-suara halus berbisik-bisik dalam keheningan pagi ini. Semua menyeru padaku untuk "menonton" kembali masa laluku. Saat aku tidak malu-malu tampil berdodot pakaian kemben gadis Jawa di panggung Oriental Express bersama-sama ibu-ibu muda lainnya temanku di Dharma Wanita. Lalu juga ketika aku naik panggung bersama barisan anak-anak PPI Ottawa membawakan Lisoi dan teman-temannya di panggung Resepsi Diplomatik. Aku masih jadi perempuan lugu. Si Genduk desa tanpa polesan.

Kebaya yang kupakai waktu itu, ya, kebaya kenanganku yang mengikat aku dengan suamiku di pelaminan dua tahun sebelumnya. Kainku, parang barong halus pemberian mama yang kudapat dari barisan koleksi budhe Dirdjo kawan akrab mama dan ibuku. Aku masih ingat betapa aku senang mengakali mama dengan menunjukkan kain-kain bagus entah di kedai kain Haji Dudung di Pasar Anyar entah di "gembolan" budhe Dirdjo yang sering mampir ke tempat kami. Dengan begitu, ketika barang hantaran pemberian suamiku sampai di kamar pengantin kami, semuanya kain-kain batik tulis halus kesukaanku yang jumlahnya tak kurang dari sepuluh helai. Mbak Ien, mbakyuku terpukau menyaksikannya. Katanya, aku termasuk gadis beruntung. Betulkah itu?

-ad-

Suara-suara itu sangat mengganggu konsentrasiku membaca. Kupejamkan mataku. Kukosongkan pikiranku. Namun semakin kosong, semakin kenanganku datang mengganggu. Kenangan di pos pertama yang sangat mengesankan.

Suamiku dinyatakan "perlu dibina lebih lanjut" oleh Bapak Duta Besar yang bertanggungjawab membina para pemagang di KBRI Ottawa. Waktu itu pertengahan tahun delapanpuluhempat. Diplomat muda itu berlima dikumpulkan di ruang kerja Duta Besar Yang Mulia untuk menerima penilaian pimpinan atas hasil magang mereka. Satu demi satu nama disebut disertai tempat tugas mereka selanjutnya. Hanya nama mas Dj yang dibiarkan tak terpanggil, mengakibatkan kegundahan yang luar biasa. Keringat dingin membasahi tubuhnya, siap-siap untuk mendapat keputusan terburuk. "Dan saudara A saya nyatakan perlu mendapat pembinaan lebih jauh disini," begitu akhirnya terlontar kata dari mulut pimpinan kami. Suamiku menundukkan mukanya dalam-dalam. Betapa resahnya dia mendapati kenyataan itu. Tak dinyana tawa yang renyah terdengar dimana-mana menambah ciut nyalinya. Dan bersamaan dengan itu tangan-tangan akrab memeluk serta menyalaminya. Membuahkan tanda tanya yang makin dalam.

Maka sejak sore itu, suamiku dinyatakan terpilih sebagai pemagang yang akan dimanfaatkan sendiri jasanya oleh bapak Duta Besar. Dan untuk itu aku harus pulang kampung mengurus surat keputusan penempatan suamiku dan kepindahan keluarga kami ke Kanda. Ah, lucunya kenangan itu. Terpatri terus dalam hati kami menandai betapa polosnya kami di awal tugas kami. Waktu yang telah lama lampau dan mengajarkan kepribadian kami untuk menjadi lebih matang. Hadiah Tujuh Belas Agustus terindah sepanjang sejarah hidup kami.

-ad-

Pesta panjang kami dimulai disitu. Dengan segala kenangan yang membekas dalam. Tentang pejabat-pejabat penting yang kami layani itu, dan keluarga mereka yang juga sangat istimewa. Inilah hidup yang sedang kami jalani. Sampai entah bila, Hanya Tuhan yang tahu rahasia hidup kami.

4 komentar:

  1. Kenangan indah adalah harta karun yg berharga ya Bunda. Walau sanak keluarga jauh di mata, tp kenangan bersama mereka slalu hidup di hati. Begitu pula kenangan tentang Bunda di hati mereka..
    Slamat bernostalgia ya Bunda :)

    BalasHapus
  2. Iya. Kenangan itu adalah bagian dari kekayaan kita. Apa kabar perkembangan kesehatan ayah?

    BalasHapus
  3. Good. Nice to meet you again son!

    BalasHapus

Pita Pink