Powered By Blogger

Sabtu, 21 Juni 2008

WANITA PENGHIBUR

Tak akan pernah aku malu untuk menunjuk diriku sebagai wanita penghibur. Bahkan di masa lalu berpredikat wanita penghibur bayaran pula. Konotasi wanita penghibur pada diriku adalah wanita penghibur yang sesungguhnya. Jenis kelaminku wanita, dan tugas yang kerap dibebankan dinas (kantor suamiku) padaku adalah menghibur tetamu.

Tidak dulu, tidak pula kini. Aku masih harus maju untuk "menyelamatkan wajah bangsaku" sebisa-bisanya di kancah internasional. Kedengarannya memang terlalu muluk dan fantastis. Tapi memang tak ada kata yang lebih tepat untuk menggambarkan itu semua.

Semua teman-teman Mpku yang berasal dari satu "kesatuan" denganku pasti mahfum itu. Terutama yang sudah "sekelas" denganku, turut berputar di segala penjuru bumi bersama suami di atas duapuluh tahun, tentu mengalami hal yang sama. Sebagai istri diplomat -pemegang paspor hitam-, kami wajib menguasai salah satu kesenian dan masak-memasak serta jamu-menjamu tamu. Masa itu, tidak ada kata tidak bisa, tidak mau atau sulit. Sebab, kemampuan perwakilan RI sangat terbatas, sehingga di pundak kamilah terbebankan semua tugas-tugas non substansial. Dan kami alhamdulillah menyadarinya sepenuh hati serta ikhlas berbakti.

Dulu, aku mengajukan diri untuk mengisi panggung hiburan dengan suaraku saja. Sebab, kemampuan tubuhku tak memungkinkan aku untuk menari. Sudah sejak kecil gerakanku kaku, sehingga tidak bagus untuk berlatih menari. Di kampungku dulu tinggal seorang pelatih tari kawakan yang kami panggil sebagai Pak Hapit. Kemampuan tarinya yang bagus, menjadikan pak Hapit sebagai guru tari untuk anak-anak muda. Bahkan Susi Yanita Madjid, salah satu teman SMPku ingin juga belajar padanya. Dia mengajakku serta, karena aku adalah tetangga terdekat pak Hapit. Tapi apa daya, aku telah menghancurkan semua keinginan dan cita-citanya menjadi penari. Sebab, gerakanku sangat kaku sehingga untuk menyelesaikan satu tarian "Asmarandana" saja, tak mampu. Pak Hapit seringkali menggunakan kakinya untuk menendangku, menunjukkan kejengkelan beliau. Dan aku mahfum saja, karena aku menyadari kekurangluwesanku. Bersama itu, tenggelamlah cita-cita Susi teman baikku dulu untuk menjaid penari.

Kembali ke masa SD di Sekolah Dasar (d/h Sekolah Rakjat) Kristen YPK Satu Bhakti, dulu aku hanya dijadikan sebagai "pelengkap penyerta" pada tableau natal di sekolah kami. Kenapa aku bersekolah disana? Ayahku yang seorang penganut aliran kepercayaan, datang dari lingkungan multi agama. Ada para haji di lingkungan keluarganya. Begitu pula dengan domine alias pendeta dan para penginjil. Nenek-kakekku pun masing-masing menganut agamanya sendiri-sendiri. Kakekku ada yang penganut Islam taat, tapi si nenek justru masuk ke gereja. Begitupun sebaliknya, kakekku ke gereja, nenekku pandai mengaji. Karena itu menurut bapakku, kami harus menerima pendidikan dasar Kristen agar tidak menjadi fanatik.

Ayahku yang bijak membukakan mata kami bahwa agama ibu kami yang diturunkan dari simbah kakung merupakan agama yang dapat diterima nalar. Bahwa Tuhan tidak pernah dilahirkan ke dunia dan karenanya kami tidak perlu merayakan hari kelahiran Tuhan, adalah sesuatu kebenaran yang nyata. Dan dengan menginjakkan kaki di sekolah Kristen kamipun jadi tahu, bahwa orang Kristen mempunyai dasar yang sama dengan kami, cinta kasih dan iman.

Dengan kebijakan ayahku, entah bagaimana mulanya pak Nicko Suratno kepala sekolah kami memintaku berdandan seperti bidadari, berdiri di sudut panggung dan merentangkan tangan yang diberi bersayap untuk menyanyikan lagu-lagu liturgi mengiringi lenggok gemulai kawan-kawan kami memainkan tableau natal. Dan setelah itu, menyanyi menjadi suatu kebahagiaan tersendiri untukku. Apalagi saat kuperhatikan bapakku sangat senang mendengarkan aku berdendang lagu-lagu keroncong. Keroncong Bandar Jakarta dan Langgam Di Bawah Sinar Bulan Purnama itu akan selalu dinikmatinya dengan menatapku lembut, lalu jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja seirama laguku. Ah, mesranya kenangan itu.

-ad-

Semalam aku menerima berita yang sangat melegakan. Untuk acara peresmian programma Indonesia di Radio Voice of the Cape milik umat Islam Afrika Selatan, hanya akan berlangsung satu acara tunggal. Charity dinner tanpa lain-lain. Dan itu berarti meringankan tugasku. Aku hanya wajib sekali saja mengisi acara. Lega rasanya, sebab sesungguhnya untuk malam nanti aku sama sekali tidak siap. Apalagi tidak ada musik pengiring yang bisa didatangkan dinas untuk mengiringiku, tidak pula ada pemusik "dadakan" yang sanggup menggoyang keyboard untuk menutupi kelemahan suaraku yang pas-pasan.

Itulah sebabanya, aku tidur sangat nyenyak. Aku cuma terbangun sekali pada pukul dua pagi, lalu tertidur kembali sampai saatnya suamiku bangkit dari pembaringan dan menyalakan komputer untuk membaca berita terpagi dari tanah air. Sekarang memang sudah jaman modern. Tidak ada lagi lembaran kertas putih dan merah jambu atau kuning yang panjang menjuntai ke lantai sebagai "sumber informasi" dari tanah air. Dulu, kertas-kertas itulah yang jadi penghubung kami dengan Indonesia. Lembaran putih yang dinamai "Dirpen news" adalah "koran bajakan" yang memuat berita-berita terhangat dari koran resmi tanah air sebagai bahan pengetahuan para diplomat RI di seluruh dunia. Kami menyebutnya sebagai selendang sutera yang dihasilkan oleh mesin teleks yang bunyinya cukup riuh. Dirpen news yang datang tiap hari itu sekarang sudah masuk kategori kenangan karena tergantikan oleh teknologi internet yang canggih. Aduhai masa, betapa cepatnya berlari.

Tapi aku bukanlah Dirpen news. Akut idak pernah bisa melarikan diri dari keadaan. Dan itu berarti nanti malam aku masih harus tampil sebagai wanita penghibur. Ah, aku menghela nafas panjang. Selepas mandi dan shalat shubuh, suamiku menanyakan kesiapanku. "Iya, aku masih mau nyanyi," jawabku tegas. "Tak ada pilihan lain, bukan?" Dia mengangguk dan melanjutkan, "lagu apa?" tanyanya sambil terus memerhatikan layar komputernya. "Terserah keinginan mereka," jawabku pula. "Hei, pilih sendiri, dong" serunya. Aku terdiam mematung. "Apa?" tanyanya lagi mendesak. "Bapak aja yang pilihkan, mana yang representatif untuk acara nanti malam kan hanya bapak yang tau," jawabku. "Aku nggak ada ide karena aku nggak tau apa yang bapak bicarakan dengan VOC Radio," sambungku sambil merapikan rambut. Lagi-lagi dengan sebelah tangan karena tangan kiriku masih sulit diangkat. Dia menghentikan kegiatannya sejenak, mengawasiku lalu meraih CD yang sudah kusiapkan sebagai pengganti mas Papang partner abadiku tiga tahun lamanya di Singapura dulu. Aku tidak perlu menunggu jawabannya. Segera aku keluar kamar menghindar darinya dan sibuk sendiri membaca berita dari komputer di ruang belajar sambil menyeduh kopi. Lagi-lagi aroma Liong Bulan menyegarkan memorilku, mengingatkan aku akan masa silam yang seharusnya sudah tak perlu lagi kuulang kini.

-ad-

Pertama aku tampil adalah "pelengkap penyerta" juga. Bahkan ketika itu suamiku belum menggenggam predikat diplomat tulen. Dia datang di Jenewa sebagai staff baru Deplu untuk mengikuti sidang di PBB. Tiga bulan bukanlah masa yang singkat. Karenanya, aku menyusul selama enam minggu sambil melaksanakan belated honeymoon kami sekaligus menghibur diri setelah kepergian Dimasdjati anak sulung kami yang belum sempat kubelai.  Di Swiss itu, aku turut berdinas untuk yang pertama kalinya. Bersama ibu-ibu dan para staff PTRI Jenewa kami mengisi acara di Bern. Dan selapis suaraku turut dipakai menggantikan teman yang kebetulan harus mudik ke Bogor karena mendadak ayahnya wafat.

Sejak itu aku tahu bahwa menghibur tetamu adalah pekerjaan utama anggota Dharma Wanita Deplu, sehingga ketika si Genduk pergi ke Ottawa sudah bisa melaksanakan tugasnya dengan lebih baik.

Kenekadanku menghibur, pernah mengernyitkan dahi orang banyak. Ketika itu kami datang di acara akhir tahun merayakan natal bersama organisasi wanita internasional di Kanada. Panitia mengharapkan hadirin menyanyikan Malam Kudus dalam bahasa masing-masing di pesta itu. Dan, secara aklamsi teman-teman Indonesiaku menunjuk aku bersama mbak Tuty temanku yang kebetulan seorang Kristen untuk mewakili meja kami. Jadilah aku dengan kenekadan itu didasari semangat menghibur, melagukan Malam Kudus dalam dua bahasa : Indonesia dan Jawa. Setelah itu, banyak mata tertuju padaku. Kutahu, selain kekaguman -bukan atas suaraku, melainkan atas kemampuan berbahasa daerahku- ada juga cibiran. Tapi, tanpa terduga sehabis itu masih ada lagi acara-acara lain yang mengharapkan suaraku sebagai bagian dari acara hiburan. Aku tersenyum kecut.

-ad-

"Ibu mau nyanyi Pakarena?" tiba-tiba kudengar suamiku menyapa dari pintu ruang belajar sambil mendongakkan kepalanya. "Apapun yang terbaik menurut bapak, aku ikuti," jawabku. "Toch, dalam hukum agama kita aku makmum yang harus ikut bapak sebagai imam, ya 'kan?" kusunggingkan senyum kepadanya. Dia mengangguk melegakan hatiku. Kemudian kucoba melafalkannya sebaris-dua baris. "Semoga aku masih bisa jadi penghibur, ya pak, semua ini demi namamu juga," ucapku sambil mematikan komputer. Aku turun ke dapur menyiapkan makan pagi kami. Terbayang sudah masa lalu itu yang harus kuulang lagi malam ini ketika seharusnya "layar" untukku sudah hampir turun........... Apa boleh buat........... Seketika di mataku terbayang kegemulaian sahabat baikku Senny Syahfinar melenggok di atas panggung menarikan tari tradisional dengan sangat luwes. Layar belum harus tutup untuk kita, bu Edi, gumamku dalam hati. Semoga beliau membaca postinganku ini dan akan menyetujui apa yang kuungkapkan.

29 komentar:

  1. uhh..panjang banget tulisannya bunda, kecil2 lagi hurufnya..
    pakai kaca ata dulu ya bunda, ntar balik lagi..hehehe

    BalasHapus
  2. moga sukses acaranya tehhh....
    baru tau kalo t'Senny jagoan nari....
    hmmm, InsyaAllah kami pengen ketemuan Agustus ini di Bandung tehhh, mo liat t'Senny nari ahhhhh... hehehehe

    BalasHapus
  3. Pekerjaan suamiku mengharuskan para istri jadi wanita penghibur nak........

    BalasHapus
  4. Terima kasih. untung mereka nauin saya lagi nggak fit. Tapi the show must go on. Soalnya mereka main belakang, tau-tau njual undangan tanpa konfirmasi kesiapan kami. Iya tuh teh Na, teh Senny spesialisasinya nari. jadi setiap orang boleh nentuin sendiri mau jadi pengisi acara yang gimana, nari boleh, main musik oke, nyannyi juga bisa. Aduh, nasib!! Luwes banget kalau beliau nari tuh, boleh ditanya.

    BalasHapus
  5. wah hebat, Bu Julie wanita terampil yah..multi-task

    BalasHapus
  6. Gosiiiiippppppppppppppppppppp.......
    Ssttttt.....jangan buka rahasia disini atuh, bilih seueur anu nanggap :))

    BalasHapus
  7. Jadi pengen denger suara merduna Wanita Penghibur euy..... :))
    Kumaha Mbak Julie....tos sehat ayeuna mah...?

    BalasHapus
  8. Semoga sukses acaranya bu Julie... insyaAllah semua ada manfaatnya asal niatnya baik

    BalasHapus
  9. ayo dong budhe ... jangan lupa direkam ya ....

    BalasHapus
  10. Hei, aduh maap ya, nggak berkenan? Saya maksudnya cuma mau membuka diri bahwa kita ini adalah istri pendamping suami yang kudu sagala bisa, mun paribasana mah....... Maap atuh, ya? Nanti kalo ada yang nanggap bayar biaya iklannya ya bu?

    BalasHapus
  11. Ulah atuh, isin! Alhamdulillah tadi tiasa geuning panangan teh teu digagandong. Nekad, tapi alhamdulillah tiasa........ Nuhun.

    BalasHapus
  12. Alhamdulillah ini saya baru masuk ke rumah. Dan alhamdulillah mereka mau mengerti bahwa saya nggak fit, jadi mereka ijinkan saya nyanyi satu lagu aja. Tapi ops!! MCnya salah sebut, nyebutnya "The Gracious of God (Keagungan Tuhan) will be sung by Julie Andradjati, a singer from Jakarta", weks!! Buru-buru dah aku tutup mata........ malu, ada kesalahpahaman gitu...........

    BalasHapus
  13. Emoh, saya bukan penyanyi. Tapi kayaknya sama Radio Voice of The Cape direkam deh. Karena tadi crewnya banyak dan live show 'kan, saya nggak nyangka. Untung Tuhan sayang sama saya. Alhamdulillah selesai satu lagu mendekati aslinya suara Titiek Sandhora.

    BalasHapus
  14. Di-streaming nggak radionya Budna? Saya pengin dengerin nih suara Bunda .... he he.....

    BalasHapus
  15. Aduh iya nih, didoain saudara-saudara saya di Mp (dan tetangga beneran), jadi good. Makasih ya dik Iedus. Kalo nggak bisa nyanyi mah bukan anak SMP 4 atuh ya? Begitu kata bu Nani dulu.

    BalasHapus
  16. Nggak mbakyu. Padahal bu Tetty Kadi juga kepenginnya di straming. Dia kepengin duet (lagi) sama saya dari Mara-Bandung. Lagipula wong saya bukan penyanyi yang nggak mungkin distreaming. Apa kabar mabkyu?

    BalasHapus
  17. Eh, maaf dua suadaraku Iedus Batrfie dan Niken yang cantik di atas, kealahan nih, ynag jawab si bundel. Soalnya jandranya baru melek.

    BalasHapus
  18. katanya orang yang cerdas adalah orang yang memiliki pikiran positif dan selalu memiliki rasa penasaran yang tinggi, kalau dian pakai definisi ini ke blog bunda, mungkin alangkah baiknya jika ketika mendengar wanita penghibur harus diklarifikasi dulu, apa atau siapa yang dihibur, bagaimana cara menghiburnya, kenapa harus menghibur, dimana dan pada waktu apa menghiburnya... yaaa kurang lebih seperti itu lah :)

    BalasHapus
  19. hah?! Ananda, maap bunda bacanya aja udah ribet! Wakakakakak.......

    BalasHapus
  20. mmm... gimana yaaa... intinya sih kalo kita berpikiran positif, wanita penghibur itu bukan kata yang negatif seperti layaknya dipersepsi orang... :D

    BalasHapus
  21. Tah...eta anu beratna mah.....mun aya anu nanggap berarti mesti ngasih komisi ka Mbak Julie....hahahahaha....
    Heunteu atuh Mbak...heunteu keberatan....

    BalasHapus
  22. Alhamdulillah *bari sujud, nganuhunkeun*

    BalasHapus
  23. Kacipta reueusna, nya. Nyanyi sareng benten bangsa. Sok atuh, nyanyi asli Cape Town.....

    BalasHapus
  24. Aduh teu acan tiasa, da bahasana sesah pisan. Komo anjeunna, lagu kebangsaan oge aya sababaraha bahasa. Afrikaans, English, Bantu, dst........ Tumben akang sindang ka dieu? Nuhun atuhnya dilongokan.

    BalasHapus
  25. Eh sok kitu......pan abdi teh hoyong terang afsel. Batan angkat ka afsel, pan langkung sae merhotoskeun wartosna wae...maklum teu kaduga ku ongkos, he he he

    BalasHapus
  26. Bu Jandra, ada videonya waktu nyanyi nggak?, pasang di MP gitu...

    BalasHapus
  27. Nggak ada itu anakku, karena saya bukan penyanyi, mung penyonyo, jadi nggak ada yang mau ngerekam gitu lho..........

    BalasHapus

Pita Pink