Powered By Blogger

Rabu, 18 Juni 2008

SUATU PAGI MENGENANG TANTE MIEN DAN OOM TOK

Tadi pagi aku bangun agak terlalu pagi. Belum lagi jam empat, mataku sudah menolak untuk dibawa tidur. Sekit di bahuku tidak seberapa, karena sebelum tidur aku sudah menelan obat penahan rasa sakit sekaligus dua butir. Aku berharap dapat mimpi indah di dalam tidur nyenyakku.

Alhamdulillah aku memang tidur sangat nyenyak, hanya sekali terbangun sekitar pukul dua belas tengah malam. Tapi itupun tak membuataku sempat melamun, segera tertidur kembali.

Niatku bangun tidur tadi ingin bangkit dan bersembahyang malam. Maklum disini subuh baru akan tiba pukul enam lebih duapuluhlima menit. Tapi, masya Allah, sendri-sendi dan sekujur tulang lengan kiriku ngilunya bukan main. Maka kuurungkan mengambil air sembahyang. Alih-alih kunyalakan lampu baca, dan kubuka kitab agama hadiah suamiku yang terbaru. Tapi entah mengapa, hatiku tidak disitu. Apa yang tersurat hanya nyangkut di mata dan tidak mau berdiam di dalam otakku. Maka kututup kembali buku itu seirama dengan gerakan suamiku memindah posisi tidurnya.

Matanya sedikit terbuka, dan menatapku lurus. Tapi dia tidak bicara apa-apa. Dilanjutkannya tidurnya. "Beginilah hidup, kalau sudah tua kata oom Tok dulu, akan jadi sulit tidur," gumamku tanpa diminta. Suamiku diam saja meneruskan mendengkur kembali. Betulkah begitu? Sesuatu yang tak terbukti pada suamiku. Dia nyenyak mengukir mimpinya.

-ad-

Oom Tok, begitu aku memanggilnya, adalah kenalan lama kami semasa suamiku bertugas di luar negeri pertama kalinya. Beliau bertugas sebagai Atase Perhubungan, dan tinggal berdua saja bersama tante Mien istrinya di Montreal. Ada yang istimewa pada tante Mien. Selain enerjik, tante Mien punya daya ingat yang sangat tajam.

Siang itu aku berkunjung ke rumah beliau untuk memperkenalkan diri. Di rumahnya yang luas di tengah kota metropolis Montreal, sudah banyak tetamunya yang hadir. Agaknya oom Tok dan tante Mien memang luwes bergaul dan disenangi banyak orang. Kuperhatikan semuanya keluar-masuk rumah langsung menuju area dapur dan ruang makan membawa piring hidangan dari rumah masing-masing. Itulah yang kami santap bersama sambil menikmati pemandangan di luar yang bagus. Ada pohon besar dengan tupai-tupai serta skunk yang berlompatan di sekitarnya. Bulu-bulu yang lebat itu mengayun-ayun gemulai di sekitar ekor mereka. Summer delapanpuluhempat di Kanada.

Tahun pertama aku tinggal di luar negeri, dibawa mas Dj suamiku. Rumahku sendiri juga luas dan berpohon lebat. Jejeran maple menghiasi halaman depan dan belakang, sementara pagar hidup berbunga biji-biji merah mengelilingi halaman sebagai pembatas dengan lahan belakang rumah tetangga. Di waktu musim gugur, indahnya daun daun hijau itu berubah menjadi merah dan kuning yang mempesona. Lalu akan gugur bertebaran dibawa angin yang menyebabkan kami harus bekerja keras untuk menyapunya dan mengumpulkan di dalam plastik sampah hitam yang besar itu. Setelah itu akan tiba musim dingin yang menggigit tulang karena temperatur yang berpuluh-puluh derajat di bawah nol celcius.

-ad-

Di Kanada itu aku mengenal oom Tok dan tante Mien. "Nak," sapa tante Mien dari arah dapur ketika aku duduk di depan meja makan mengawasi kecekatannya melayani tetamu seorang diri. "Kampung halamanmu di Jawa Tengah ya?" tanya tante Mien sambil mengamat-amatiku. "Saya dari Bogor, bu," jawabku sopan. "Bukan, maksudku nenek-moyangmu dari Jawa Tengah 'kan?" tegasnya lagi sambil menyebut suatu daerah yang persis dengan kampung halaman orang tuaku. "Ya, ada apa bu?" tanyaku takjub. "Kamu seperti bagian dari masa lalu saya, panggillah saya tante Mien saja," jawabnya setengah menginstruksikan. Aku terperangah. "Tante?" tanyaku tak percaya takut dianggap orang kurang sopan santun. "Ya, tante. Aku yakin, kamu bagian dari keluargaku yang terpisah," tegasnya lagi. Kemudian tante Mien duduk menjejeriku melupakan semua tetamu yang harus dijamunya dan membiarkan mereka melayani diri sendiri, asyik mengobrol denganku.

Tante Mien membuka riwayat keluarganya tanpa kuminta. Dan akupun menceritakan pengetahuan yang kudapati dari orang tuaku tentang keluarga besar kami di kampung sana. "Oh, ya 'kan?! Kamu menyebut nama salah seorang temanku dan nama kakak-kakakku," serunya senang. Mata tua itu berbinar-binar. "Oh, kecilnya dunia," seru tante Mien berdecak kagum menunjukkan kegembiraannya pula.

Lalu diceritakannya semua hal masa lalu, termasuk yang sering kudengar dari ibuku. Di kampung nenek moyang kami, kakekku dulu bekerja sebagai guru. Ibuku berkawan akrab dengan salah seorang sepupu tante Mien, bahkan juga dengan kakak tante Mien. Setiap hari mereka berkendaraan dokar -delman di kampung orang tuaku- ke sekolah. Otak tua itu masih saja runut membongkar masa lalunya. Aku terkagum-kagum tiada habisnya pada tante Mien.

-ad-

Oom Tok pernah bilang, usia tua menyebabkan kita sering terjaga dari tidur. Dan biasanya kemudian akan mengganggu teman tidur kita. Beliau benar semata. Pagi ini aku bangun sangat dini, dan mengusik lelap tidur suamiku. Aku tersenyum sendiri, sekalipun senyum pahit.

Masa lalu itu sudah sangat lama kulewati. Hampir seperempat abad berlalu. Namun kini terasa baru kemarin terjadi. Tante Mien dan oom Tok serasa masih ada. Aku saakan-akan mengendus wangi parfumnya. Wangi kenangan yang menggugah semangat hidup.

Seingatku, ketika itu umur tate Mien jauh di atasku sekarang. Hampir mencapai enampuluh tahun. Tapi beliau nyata benar bedanya dengan kondisiku kini. Tubuhnya tidak gemuk, tak pula kurus.  Langkah kakinya masih tegap dengan gerak cekatan. Aku? Ah, malu rasanya untuk kuungkap. Baru setengah abad jalanku sudah mulai tertatih-tatih terkadang bungkuk menahan nyeri di perut. Belum lagi, kini lengan kiriku menjadi kaku dan kurang produktif.

Seandainya bisa kembali ke masa lampau, ingin aku berada di Kanada kembali. menikmati semua masa mudaku yang indah. Menerima karunia Illahi yang terbaik, lahirnya Andri cintaku. Ah waktu, betapa cepatnya kau berlalu.

Aku gelisah seorang diri. mencermati lagi apa yang sudah kuperbuat untuk persiapanku sewaktu Tuhan memanggil kelak. Ternyata aku belum punya apa-apa. Hanya membawa seonggok daging tanpa jiwa. Betapa ngerinya.

-ad-

Aku menangkupkan wajah pada bantal, berusaha mencari perlindungan. Tapi segera kusadari bahwa hanya Allahlah yang akan melindungiku. Kulawan rasa ngilu di tulangku. Aku bangkit mengguyur tubuh di keran air panas, menyucikan diri siap menghadap padaNya untuk memohon perlindungan serta mengisi kekosongan jiwaku. Semoga Allah berkenan menerimaku pagi ini, esok dan hari-hari selanjutnya. Tante Mien, oom Tok, terima kasih atas kenangan sekilas tadi. Ijinkan aku mendoakan kebahagian bagi tante dan oomku sayang yang entah dimana kini berada. Yang kutahu, sudah sangat lama, oom Tok telah menghadap padaNya kembali ke haribaanNya. Semoga Allah membahagiakan beliau dengan jamuan yang nikmat di sorga yang abadi itu.

11 komentar:

  1. knp mencari perlindungan pada bantal???

    BalasHapus
  2. Amiin.
    semoga Allah memberi mbak kekuatan dan kesabaran ....

    BalasHapus
  3. Karena gemes. Kepengin ngobrol nggak ada yang mau ngeladenin, wong kepagian. Mau nangis, malu, wong udah tua. Mau sembahyang ngilu di tulang, jadi males nyentuh air tadinya sih. Ya udha, berlindung aja lagi di bantal, ngadu sama bantal barangkali kata bantal "sini, tidur lagi aja...." geto......

    BalasHapus
  4. hadir tehhh... *baca sambil nyuruput teh manis panas*

    BalasHapus
  5. membaca cerita budhe, kelihatan sekali kalau tante dan om Tok itu keluarga yang sangat baik, luwes dan mudah dekat dengan orang lain. seperti budhe ....
    yang begitu baik dan mau mendekatkan diri ke aku dan keluarga. Terima-kasih kami untuk ikatan tali persaudaraan ini ... aku bersyukur sekali.

    *ada salam dari ibu untuk budhe sekeluarga*

    BalasHapus
  6. Baik, baik bu. Saya akan catat di buku absen. Terima kasih, tapi lha kok tehnya udah dingin? Oh, saya kelamaan tidur rupanya..........

    BalasHapus
  7. Lha wong saya kata pakdhe punya sixth sense nk Siti. Dari pertama lihat postinganmu mudik ke Kebumen. langsung yakin bahwa yang punya site adalah keluargaku dewe. Makanya kan komenku, "ini wajahnya Kebumen banget". Salm kembali buat ibu. Udah ditanyain belum soall bu Soimah?

    BalasHapus
  8. mbak, kalau minum painkiller, harus banyak2 minum air putih ya mbak. if not, soon will damage your kidney.

    BalasHapus
  9. Oh okay *sambil mnggut-manggut kayak boneka manten Jawa jaman kuno itu* terima kasih ya jeng, aku perhatiin deh. Lain kali kalo minum pain killer (eh nanti, pasti jadi inget mama yang pake rok).

    BalasHapus
  10. udah. Kata ibu, b Soim itu teman ibu sejak SMP. Menikah dengan orang Serang yang bekerja di PLN. bener kan budhe? Sekarang kata ibu, beliau ini tinggal di daerah Kragilan.
    Ibu juga nyebut nama P' Adnan. Kata ibu, ibunya p' Adnan masih kerabat sama nenek di kampung. Dulu waktu ibu sekolah di Serang, sering main ke rumahnya p' Adnan ini. ....
    dan ibu waktu di Serang tinggalnya sama mbah Ratimin budhe ... barangkali budhe kenal

    BalasHapus

Pita Pink