Powered By Blogger

Minggu, 22 Juni 2008

KEAGUNGAN TUHAN (II)

Di panggung besar itu pesta akan dimulai. Di situ juga harga diri bangsaku akan dipertaruhkan. Kusapukan mata ke segala penjuru. Para penonton duduk menikmati aliran suasana yang tenang terbungkus hujan di luar sana.

Yusra cantik duduk membaur dengan keluarga kami di meja VIP dekat panggung. Bajunya yang serba hitam menambah keanggunannya sekalipun dia baru menginjak delapanbelas tahun. Dia siap dengan "Masih Ada Waktu" koleksi Kris Dayanti. Sementara aku masih bingung. Seumur hidupku belum pernah aku tampil di muka umum tanpa kesiapan sama sekali termasuk tidak melakukan sound checking terlebih dulu.

Panitia hanya mengangkat bahu ketika aku minta ijin untuk melakukan sound checking. Padahal waktu tinggal limabelas menit lagi. Anakku Harry membantuku untuk merundingkan soal ini dengan petugas tata suara di depan panggung. Dan atas inisiatifnya diputarlah dulu CD bawaanku di komputer mereka. Semula aku berkeras menyanyikan "Keroncong Bandar Jakarta" sebagai pembuka acara dan kelak akan kututup dengan "Pakarena" sesuai dengan permintaan suamiku. Walaupun sebetulnya aku tidak begitu sepaham.

Pakarena adalah lagu gembira yang jelas tidak akan sejalan dengan nuansa sebuah radio muslim. Tapi suamiku insist karena Pakarena merupakan lagu daerah Sulawesi Selatan, tempat asal Syekh Yusuf bapak ummat muslim Afrika Selatan. Apa boleh buat, aku harus sanggup menyanyikannya sekalipun aku tidak tahu artinya dan tak seberapa hafal syairnya. Malam itu aku berharap dapat membaca syairnya lewat layar VCD demi suamiku. Dari dulu sifatnya selalu begitu, ingin selalu dituruti. Aku menarik nafas dalam mencoba memberangus kegundahanku.

Di layar komputer tampil "Keagungan Tuhan" sebagai lagu pertama sehingga membingungkan kami. Kucoba untuk menelusuri hingga track terakhir, dan alhamdulillah Pakarena muncul di tengah-tengah, tapi tanpa "Keroncong Bandar Jakarta" favoriteku yang akan membangkitkan kenanganku pada almarhum ayah. Aku saling berpandangan dengan anakku. Masing-masing mengangkat bahu menyiratkan kebingungan. "Gimana nih?" tanyaku panik. "Pasti ibu salah ambil CD", kata anakku menduga. "Kan kamu sendiri yang mencabutnya dari mesin", bantahku nyaris histeris. Terbayang penampilan yang bakal berantakan nanti dan wajah gundah suamiku. Padahal aku sudah bersumpah padanya untuk tidak sekali-kali mempermalukannya di depan umum. Keringat mulai mencucuri kostum panggungku yang lumayan licin. Maklum, kain brocade itu kulapisi dengan satin yang lembut.

Aku menyurutkan langkah, menarik kursi di belakangku dan duduk menenangkan diri. Anakku berjalan mondar-mandir sambil menenteng angklungnya. Di sudut panitia sana, kesibukan terus berlangsung sambil kulihat sang Pembawa Acara bersiap-siap naik pentas. Kukosongkan pikiran sambil memusatkan diri pada Alfatihah, Al Ikhlas diakhiri Ayat Kursi. Tiba-tiba muncul pikiran cerdasku untuk menggunakan saja "Keagungan Tuhan". Bila perlu justru tanpa "Pakarena" mengingat diriku juga agak kurang fit. Nyeri di bahu dan tangan kiriku masih saja berdenyut-denyut. Apalagi sudah dua hari aku berhenti makan obat mengingat saran Dian Soedaryo temanku di dunia maya yang begitu baik hati, penuh perhatian sekaligus sangat cerdas. "Hat-hati bahaya kerusakan ginjal yang ditimbulkan oleh obat penahan sakit", begitu ungkap Dian penuh sayang. Dan aku sepakat mengingat aku sendiri pernah melihat korban pain killer yang "jatuh" di dekat kami.

Kuhampiri petugas penata suara dan kubisikkan aku hanya akan menyanyikan "Keagungan Tuhan". Dia mengangguk paham melegakan hatiku. Sementara itu acara mulai berlangsung. Kunikmati semuanya dengan degupan kencang di dada, mengingat semua ketidaksiapanku. Aku bersandar di tangan Allah. Terasa begitu dekatnya Dia di sisiku malam ini.

-ad-

Seremonial yang panjang itu sudah selesai. Angklung kami sudah naik pentas. Tiba saatnya Pembawa Acara akan memanggilku. Alhamdulillah permainan sederhana kami mendapat sambutan hangat juga. Lebih-lebih ketika "Anging Mamiri" diperdengarkan. Masyarakat Cape Malay meningkahinya dengan shalawat yang dibunyikan persis dengan melodi lagu itu, menimbulkan keterperangahan kami. "Ya, kami biasa menyanyikan lagu ini sebagai shalawat," ungkap sahabat kami keluarga Adam Philander yang duduk semeja dengan kami. Kepalanya mengangguk-angguk sesuai irama lagu yang lembut yang seakan-akan berayun-ayun.

Kemudian diakhir lagu itu Master Ceremony menyebut namaku, "Gracious of God will be sung by Julie Andradjati", serunya. Kucoba menguasai demam panggung yang tiba-tiba muncul lagi. Kusambut uluran tangan yang menyodorkan microphone itu, sementara kakiku melangkah menuju tengah arena. Nuansa temaram yang dipancarkan dari lilin-lilin di meja dan lampu-lampu redup membantuku menenteramkan hati. Ingatanku jauh melayang ke jaman dulu ketika posisku masih sebagai istri staff junior. Aku biasa tampil penuh percaya diri agar tidak mengundang teguran pimpinan kami.

Dan musikpun mulai mengalun lembut. Seketika itu aku lupa akan segala-galanya. Juga keresahan itu. Larut jadi satu dalam kesyahduan lagu yang terdengar ke segala penjuru gedung.

Di mataku hanya ada wajah Titiek Sandhora. Segala kelembutannya memancar menjadi panduku untuk menyelesaikan Keagungan Tuhan. Lagu yang kusebutkan sebagai "the very old Indonesian nasheed which is very popular back to the sixties."

Wajah-wajah itu sangat buram dimana-mana menyelamatkanku dari demam panggung tadi, sampai akhir lagu yang kusyukuri berlangsung dengan baik. Aku membungkuk hormat menjawab tepuk riuh yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Dan malam itu seakan-akan jadi milikku sendiri.

Aku turun dari panggung tepat ketika Pembawa Acara itu keliru menyebutkan identitasku sebagai penyanyi dari Jakarta. Semua menyentak perasaanku. Aku merasa tidak pada tempatnya. Sebab, selain aku bukan penyanyi, Jakarta juga sangat asing bagiku. Maklum aku hanya Genduk dari kampung di Jawa Barat sana. Aku merasa jengah.

Lagi-lagi predikat itu membuatku bingung, sama bingungnya dengan keadaanku sebelum tampil tadi. Tapi di meja kami, Zubaidah Philander sahabatku telah bangkit dari duduknya, menyambutku dengan salam dan kecup hangat di pipi. "Thank you Julie, well done," katanya menyemangatiku. Kubalas dengan pelukan erat. Aku bahagia bisa menyenangkan mereka saudara-saudara kami di tanah rantau. Imam Adam Philander juga tak lupa mengulurkan tangannya, sementara suamiku kelihatan tersenyum lega. Dari arah panggung  Yusra van der Schyff nampak menyanyi penuh percaya diri sama indahnya dengan suara dan aksi panggung Kris Dayanti.

Aku melanjutkan makan malam yang tertunda masih dengan deburan di dada sebab tugasku belum selesai. Pakarena yang sangat tidak kuharapkan itu masih jadi ganjalan. Kucoba menenangkan diri dengan mengobrol ringan bersama Zubaidah di sebelahku, sampai tiba-tiba panitia menghampirku dan menyampaikan bahwa mereka setuju untuk tidak menampilkan Pakarena. Seketika hatiku lega bagai tersiram es yang banyak. Mataku terbelalak senang. Di sampingku kulirik suamiku tersenyum kecut. Namun tak urung setuju juga pada akhirnya.

-ad-

Yusra turun panggung dengan lenggoknya yang gemulai. Kusambut di tangga dengan peluk erat campur air mata bahagia. Aku bangga padanya. Pada gadis Afrika Selatan yang mampu mewakili bangsaku jauh lebih baik daripada kami sendiri. Kini kutahu dan kurasakan betapa semua itu benar adanya. Keagungan Tuhanlah yang jadi sandaranku. Tanpa sifatnya yang Maha Agung, tak mungkin dua bangsa ini bersatu lagi setelah terpisah sejarah dan waktu berabad-abad lamaya. Tak dapat kukatakan betapa kagumnya aku pada Tuanku. Sang Guru, Allah Yang Maha Perkasa. Subhanallah!

14 komentar:

  1. Allah Maha Adil, Bunda! Untung ada Titiek Sandhora ya Budna.. he he heee... (Ikut tegang membayangkan suasana yang Bunda alami...)

    BalasHapus
  2. SubhanaLlah, duta di ujung selatan bumi
    Salam silaturahim bunda

    BalasHapus
  3. wow... Bunda Keren......
    Coba kita ada di sana ya...
    bisa menyemangatai.

    BalasHapus
  4. Iya mbak tegang banget. Soalnya orang sini kalo mkerja kurang professional gitu. Bayangkan, disediakan tempat sembahyang (kalo jam shalat berhenti dulu dari keramaian), tapi sajadahpun nggak ada. Beda sekali dengan di tempat kita yang minimal selalu sedia sajadah. Okelah kalo pakaian sembahyang dha nggawani dewe-dewe. Tapi masa' sih sajadah ae kudu nyangking deww? Matur nuwun dumateng Gusti dan panjuenengan.

    BalasHapus
  5. Yang duta suami kami semua pak. Kami anggota Dharma Wanita cuma pelengkap penyerta. Terima kasiha tas kunjungan bapak, salam kenal.

    BalasHapus
  6. Bunda nggak keren, cuma nekad. Lha, habis daripada nggak ada yang ngisi acara? Hayo...... Ananda duite belum kumpul kan? Ditunggu disini ya?

    BalasHapus
  7. waaaa m'Jullie hebat deh.....selamat yah.....
    ikutan berdebar membaca situasi yg m'Juliie gambarkan ......

    BalasHapus
  8. Itulah karena KEAGUNGAN TUHAN. Terima kasih ya dik Lelly.

    BalasHapus
  9. Hebring euy....tiasa menguasai situasi

    BalasHapus
  10. Insya Allah kedah tiasa, daripada "diuihkeun" ku nu gaduh..... *alim rugel, pan tos dikeukeuweuk dugi ka Aprika..........*

    BalasHapus
  11. Aduh bunda.....bunda hebat euy. Salam jg buat bapak yan bun...

    BalasHapus
  12. Ah, saya mah biasa aja, cuma nggak boleh memalukan yang ngasih job, gitu.... Ya nanti salamnya disampein. Terima kasih mbak Lucky.

    BalasHapus
  13. 'musikpun mulai mengalun lembut. Seketika itu aku lupa akan segala-galanya. Juga keresahan itu. Larut jadi satu dalam kesyahduan lagu yang terdengar ke segala penjuru gedung.'

    two thumbs Bunda.......Bangga rasanya..

    BalasHapus
  14. Terima kasih *dan akupun membungkuk dalam-dalam sambil mengangkat sebelah kakiku ke belakang* aku jadi malu..........

    BalasHapus

Pita Pink