Powered By Blogger

Minggu, 22 Juni 2008

KEAGUNGAN TUHAN (I)

Aku bingung harus bilang apa. Aku bukan seorang penyanyi, tapi Pembawa Acara di acara "Winter 2008 Banquette" Radio Voice of the Cape milik masyarakat muslim Afrika Selatan memperkenalkanku sebagai seorang penyanyi dari Jakarta. Sementara itu seribu lima ratus penonton yang menyesaki gedung pertemuan tua "Good Hope Centre" terlanjur bertepuk riuh. Mike di tanganku yang baru selesai mengantarkan "Keagungan Tuhan" ke telinga penonton sudah terlanjur ditarik kembali oleh salah satu dari duo pembawa acara tersebut. Aku hanya bisa mengernyitkan dahi, melempar pandang dan senyum ke segala penjuru ruang lalu turun perlahan dari pentas besar itu.

-ad-

Siapakah diriku? Aku hanya seorang perempuan biasa, wanita penghibur dadakan yang manggung jika pekerjaan mengharuskan begitu. Bukan penyanyi profesional penghasil puluhan keping rekaman yang memang mencari nafkah dengan menjual suara.

Itulah sebabnya aku sempat panik ketika tiba-tiba Radio Voice of the Cape menghubungi kantor suamiku dan meminta kesediaan kami untuk mengisi acara dalam gala dinner yang mereka selenggarakan bersamaan dengan peluncuran acara "Indonesian Connection Programme" yang dimaksudkan untuk menjembatani warga Cape Malay dengan tanah Melayu. Personal di kantor suamiku sangat terbatas. Kami hanya berlima plus sekian tenaga tambahan. Jumlahnya tidak dapat menggenapi sepuluh jari yang direntangkan tangan. Jika ditambah dengan anak-anak kami termasuk para balita, baru bisa menggenapi rangkain jari di tangan dan kaki-kaki kami. Karena itu aku nyaris putus asa.

Untung Yuliana Harjana temanku mantan guru SD di Bandung bersedia melatih angklung sedapat-dapatnya. Juga dia menyediakan anak gadisnya untuk dilatih Tari Merak. Padahal aku tahu, dia sendiri tidak berbekal kemampuan bermusik atau menari. Namun untuk urusan melatih tari, sekarang dapat dilakukan dengan memutar video. Apa boleh buat, suamiku sebagai pimpinan di kantor terpaksa menyetujui ide gila tersebut disertai rasa was-was pada kami semua terutama para staff di kantor suamiku.

"Bapak, kita perlu seorang penyanyi untuk tambahan," usulku pada suami. "Siapa yang akan dimintai tolong, ibu bisa menunjuk orangnya?" tanya suamiku sinis. Aku terhenyak. Tak kusadari selama ini memang kami belum menemukan seorangpun di antara kami yang bisa dimintai tolong untuk mencoba olah vokal. Bahkan ketika aku menanyai kesiapan teman-teman mudaku untuk menaripun, mereka geleng kepala semua. Hm, aku menarik nafas dan berpikir keras.

Tiba-tiba aku teringat seorang gadis Cape Malay cantik jelita yang pernah kusaksikan menyanyikan "My Heart" lebih baik daripada penyanyi aslinya di panggung pesta warga masyarakat Cape Malay. Bayang wajah Yusra van der Schyff dengan postur yang tinggi langsing menari-nari di depan mataku. "Aku minta ijin menghubungi Yusra van der Schyff yang pernah dipakai di pesta SMACS ya pak," usulku. Suamiku mengernyitkan dahinya mencoba untuk mengingat Yusra. "Siapa dia?' tanyanya lugu. Lelaki ini selalu menggemaskanku. Tak pernah ada perhatiannya pada hal-hal yang kukagumi. "Gadis Rondebosch yang pintar menyanyikan My Heart itu lho," jawabku sambil menatapnya dalam-dalam. Jengah kutatap, suamiku ganti membuang pandang. Kucubit lengannya dengan gemas, "hm..., laki-laki selalu begitu. Pura-pura tidak tahu atau pura-pura lupa," keluhku. Lelaki pelabuhan hatiku ini diam saja. "Ingat?" desakku lagi. Dia mengangguk pada akhirnya. "Oke, " jawabku "besok aku upayakan untuk menghubunginya atau lebih tepat bapak yang minta staff dinas untuk berhubungan dengannya." Sepenggal akhir kalimat itu terus mendekam di dalam batinku.

-ad-

Sudah seminggu berlalu. Aku sudah selesai dioperasi, dan suamiku minta ijin meninggalkan kami untuk tugasnya di Indonesia. Tapi dengan naluriku yang terasah tajam menghadapi suami, aku tahu bahwa dia belum menghubungi penyanyi idamanku itu. Padahal, acara tinggal dua minggu lagi. Begitu selalu kebiasaan di Cape Town ini. Pekerjaan sering datang mendadak dan perlu disiapkan dengan tergesa-gesa. Sementara anak-anak disertai ibu mereka sudah langsung berlatih angklung sejak minggu sebelumnya segera setelah VOC Radio "melamar" kami.

"Bapak pasti belum berhubungan dengan Yusra 'kan?" sodokku tiba-tiba di dalam mobil dalam perjalanan menuju ke rumah dari rumah sakit. "Yusra siapa?" tanyanya acuh tak acuh. Gemas rasanya aku menghadapi lelaki semacam ini. Tapi segera kubangkitkan senjata pamungkasku menghadapinya. Sabar dan sabar saja. Sudah lebih dari tiga puluh tahun kami hidup bersama. Sepanjang itu pula aku harus menggunakan kesabaranku untuk menciptakan kedamain di sisinya.

"Itu gadis Cape Malay yang mau diminta tolong menyanyi untuk VOC" tegasku. Dia menggelengkan kepalanya tenang. Aku terpaksa menarik nafas panjang. Mengosongkan semua isi batinku dan membungkusnya kembali sebagai suatu sikap yang manis. "Betul aku mengerti, kesibukan bapak tidak menyisakan waktu untuk minta tolong orang menghubungi Yusra," kataku pada akhirnya. Dia menatapku lembut tanpa rasa bersalah, menelan ludahnya sendiri dan menyahut "ya, besok bapak tugaskan mereka bicara dengan Yusra." Dan mobil kamipun berjalan perlahan menyusuri kota, menghidar dari kemacetan yang akan mengakibatkan dia harus sering-sering menginjak rem. Suamiku memang perkecualian. Aku selalu bangga pada diri dan sikapnya. Dia jarang sekali menggunakan sopir dinas untuk keperluan pribadi kami, seperti ketika aku harus pergi dan kembali dari rumah sakit ini. Dia lebih suka menyetir sendiri dan mengemudikan sedan Jerman itu dengan sangat halus.

-ad-

Pada akhirnya Maya sekretaris suamiku memberitahukan bahwa Yusra bersedia menyanyi untuk kami, dan bersedia pula bertemu lebih dulu denganku karena suamiku sedang di Indonesia. Aku bingung sendiri. Tapi tak ada pilihan lain, staff suamiku baru semua dan tidak seorangpun yang mengenal Yusra. Akhirnya suatu hari aku datang juga ke kantor suamiku untuk berunding dengan Yusra. Gadis cantik itu masih seperti apa yang ada di benakku. Ramping, dengan rambut panjang, lesung pipit dan barisan gigi yang putih menawan bak biji ketimun. Dikatakannya bahwa dia hanya punya CD lagu-lagu populer. Tapi dia berjanji akan memilih yang paling sesuai dengan selera VOC Radio. Kuserahkan pilihan lagu padanya, dan kuminta untuk menyiapkan lebih dari dua lagu meningat VOC Radio merencanakan memakai kami selama dua hari berturut-turut.

Kukirim pemberitahuan kepada suamiku melalui SMS tentang dealingku dengan Yusra. Katanya aku harus bersiap diri juga barangkali lagu yang dibawakannya terlalu berselera muda atau bukan lagu daerah. Aku mengiyakan dengan panik. betapa tidak, sudah setahun lebih aku berhenti menghibur orang. Dan dalam minggu-minggu ini aku masih belum layak tampil di muka umum. Badanku yang lesu ditambah gendongan pada tanganku akan jadi pemandangan yang janggal di atas pentas. Tapi apa boleh buat. Demi imam keluargaku dan nama bangsaku kusanggupi sebisanya. Anak-anakpun terus kuanjurkan giat berlatih sesuai kemampuan mereka.

-ad-

Kami harus menahan sabar ketika kami dapati lagu-lagu sederhana yang akan dimainkan dengan angklung tidak begitu sesuai dengan notasi aslinya. Aku harus turun tangan mengubah sendiri. Tapi tak akan kubiarkan itu terjadi. Sebab aku ingin menghargai penulis partitur itu dulu, yang kini sudah kembali ke tanah air. Untung Tuhan mengerti kendala kami, sehingga kami merasa sangat bahagia ketika suatu hari secara tidak terduga datang seorang tamu yang kebetulan guru musik dan bersedia menulis ulang partitur lagu yang sudah dilatihkan.  Tinggal menunggu kesiapan Yusra dan diriku saja.

Untuk itu aku harus termangu menahan bingung. Mampukah aku? Kembali kukupas siapa diriku. Kami bukan entertanier sejati. Duh Tuhan, sambatku, berikanlah kepandaianmu kepada kami. Seiring dengan itu dada kami berdeburan dengan kencang.


10 komentar:

  1. M' Jullie ......dimana berlaku ta' ada rotan akarpun jadi .....
    tapi yg ini mah akar yg mirip rotan ......tul kan .....???

    BalasHapus
  2. Gak tuh. Secara asal-asalan doang. Boleh tanya masyarakat di Belgia, tahu deh mereka bagaimana adanya saya.......

    BalasHapus
  3. Lely mah tdk perlu nanya kiri kanan ....m' Jullie kan penganut ilmu padi ...hehe...jadi Lely dah tahu .....

    BalasHapus
  4. Rugi dah jadi padi, tapi gak kebagian honornya padi.........

    BalasHapus
  5. hehehehe...ada aja m' Jullie......
    big hus m'Jullie aja dehhhh

    BalasHapus
  6. Lha ya saya harus adaaaaa dong. Kalo saya nggak ada dicariin? Tengkyu ya, hugs lagi yang rapet biar anget buat bunda Affif.

    BalasHapus
  7. Hello Ibu Julie! Itu aku... Yusra van der Schyff from your article above...

    Salaam
    Yusra

    BalasHapus
  8. Hi darling! Nice, so nice to find you here after all!

    How is everything? If only you know, I missed Cape Town and my Cape Malay's family!

    Okay, I'll accept your invitation, and I will invite you to my other site here in bundel.multiply.com.

    Thank's for being my friend again! Big kiss!!

    BalasHapus
  9. Hi! Yes i am very well thank you. Just working hard. How are you?

    It has been so long since we met.

    I hope you are well

    Regards
    Yusra

    BalasHapus
  10. Saya pun baik-baik saja, terima kasih Yusra mau berteman dengan saya.

    Please do check my new journal in my other site, see : http://bundel.multiply.com/journal/item/766

    Big hug! Send my salaam to your family!

    BalasHapus

Pita Pink