Powered By Blogger

Jumat, 13 Juni 2008

AKHIR PERJALANAN ITU (IV)

Suamiku sudah kembali ke rumah. Aku sendiri yang menjemputnya tadi pagi ke bandara. Di tangannya sebentuk kardus nampak tercerai-berai isinya. Namun, ternyata ada kerupuk, teh dan beberapa oleh-oleh khas tanah air di dalamnya.

Dia mendaratkan hidungnya ke pipiku, membelai lembut kerudungku dan mengajakku masuk mobil. Kehangatan cinta yang senantiasa terus ditumbuhkan dan dijaganya, sekalipun kini kami menjadi semakin tua. Di luar matahari yang sudah dua hari sembunyi di balik hujan deras kali ini kelihatan menyembul dari balik awan yang jernih. Mencipratkan sinar hangatnya yang merayuku untuk membuka mantel penghangat tubuhku. Semua seakan-akan menyambut kegembiraan kepulangan suamiku. Lalu kami duduk di bagian belakang mobil, bersisian melepas rindu dengan saling bertanya. "Gimana recoverymu?" itu yang pertama keluar di saat kami sudah duduk manis. Bahkan akupun masih belum selesai memosisikan tanganku yang masih kugendong dengan baik.

Aku menoleh, memandangi wajahnya yang jujur saja, sering menimbulkan rindu. Mata itu begitu jernih dan penuh semangat. Kugeser tubuhku pelan-pelan untuk menghindari rasa sakit waktu menghadap padanya. Dengan senyum kusampaikan bahwa alhamdulillah kondisiku sangat baik. Dokter tercengang waktu memeriksaku. Sebab, katanya, beliau tidak membayangkan aku bisa melakukan segala gerakan dengan baik mengingat luka yang sangat meruyak di balik ototku ynag menebal. "Ini pertama kali ada pasien datang dengan kondisi seperti aku," jawabku tersenyum bangga. Suamiku menatapku dengan senyum yang kutahu menunjukkan keraguan. "Percayalah, aku nggak pernah bohong koq," jawabku. Dan mobil kamipun melaju ke rumah.

-ad-

Jujur saja, segera setelah kemarin dokter mengatakan hasil pemeriksaan pasca operasiku, aku sendiri terperangah. Tak kusangka, aku termasuk pasien yang terbaik. Sebab sesungguhnya aku masih merasakan nyeri dan kekakuan pada otot-otot bahuku. "Rasanya seperti tulang saya tergelincir dari tempatnya," kataku memberi masukan. Dr. Vrettos tertawa lebar. "That's what I've already told you. You will experience some uncomfortable and stiffness for a while," katanya sambil menunjukkan berkas-berkas operasiku.

Aku berpikir keras sendiri. Dan di saat hening itu, meluncur jernih sebuah kesimpulan yang bagus. Aku merasa Tuhan telah menetapkan yang terbaik bagiku. Dengan melakukan gerakan shalat yang diperintahkanNya, aku telah melakukan latihan pelemasan otot sebaik yang dianjurkan fisioterapis di Rumah Sakit, bahkan lebih baik lagi. Aku telah mencoba gerakan membungkuk dan bersujud, meski tidak sempurna. Suatu gerakan yang tidak diajarkan oleh fisoterapis itu.

Di mobil, mas Dj mendengarkan semua penurturanku dengan baik. Dia tersenyum dan melirikku mesra, senyum yang membidik jantung hatiku untuk merasa selalu harus mendekatinya. "Itulah sebabnya aku bersyukur bapak telah menjadi Imamku, ya?" kataku polos kepadanya. "Bapak telah menanamkan kebaikan beribadah padaku, barakallahu!" ucapku lagi sambil menggenggam tangannya. Kehangatan itu terasa begitu intens.

-ad-

Suamiku sibuk membongkar bawaannya. Dan aku mengumpulkan pakaian kotor ke dalam keranjang cucian. Juga bahan-bahan bacaan yang banyak serta setumpuk CD. Kupilah-pilah mana milik anakku, mana kepunyaannya dan mana untukku.

"Itu CD pesananmu," katanya. "Masih mau nyanyi untuk aku 'kan?" tanyanya sambil mengangsurkan kantung obat-obatanku yang keluar belakangan. Aku menerimanya dengan anggukan seraya membuka kantung Raffles Hospital. Delapan buah semuanya. Menurut perkiraanku cukup untuk empat bulan kedepan. "Terima kasih ya pak," seruku senang. Kuciumi obat-obatan itu layaknya aku menciumi kekasih hatiku. Dia masih saja asyik mengosongkan kopor pakaiannya.

"Kemarin mbak Ning bilang, dia dapat kabar kau sekarang jadi kurus," tiba-tiba dia bersuara lagi. "Dengar darimana?" tanyaku tak mengerti. Di tanganku sebuah tabloid wanita nyaris jatuh ke lantai. "Dari temannya yang menengok kita dulu itu," jawab suamiku. "Ah, jangan dipercaya, mbak Ning memang kuperhatikan sudah lama kurang suka padaku," sahutku apa adanya. Kakakku yang satu itu memang punya sifat yang sedikit aneh. Ada saatnya dia menjadi dewa penolong yang terlalu baik, tapi ada kalanya tiba-tiba dia berubah membenci seseorang tanpa alasan.

Terbayang olehku tubuhnya yang subur, berjalan terseok-seok disangga kedua kaki tuanya. Kami dulu pernah menumpang hidup padanya. Ketika kami berdua masih sekolah, dia dan suaminya menjadi penyuplai kebutuhan kuliah kami tanpa diminta.

"Sudahlah jangan dibahas. Aku nggak mau mikirin dia koq," pungkasku. "Iya, aku mengerti, makanya aku nggak banyak ngomong toch?" timpalnya pula datar-datar saja seraya berlalu masuk ke kamar mandi. Kurapikan satu persatu tanda sayang suamiku ke tempat penyimpanannya masing-masing. Tapi sebetulnya hatiku sendiri tak habis pikir, mengapa mbak Ning nampak semakin benci saja kepadaku.

-ad-

Kilas balik itu muncul lagi. Kepada masa ketika kami belum punya daya apa-apa. Dia selalu datang di akhir pekan untuk membawa kami keliling kota dan mampir ke toko buku yang diketahuinya sebagai favorit kami, diakhiri dengan makan malam yang nikmat. Sikapnya selalu penuh perhatian. Begitu juga dengan mas Adnan suaminya. Beliau berdualah yang membantu suamiku jadi sarjana. Bahkan kini anak lelakiku yang tertua juga ada di bawah pengasuhan anak mereka sepeninggal kami ke luar negeri.

Malam itu aku masuk Gramedia di Jalan Merdeka, Bandung toko buku termodern yang terdekat dengan tempat tinggal kami. Di tengah keasyikan memilih buku tiba-tiba buku di tanganku diraih tangan seorang anak kecil utnuk dimasukkan ke dalam keranjang belanjaannya. Dan mataku bersirobok dengan mata Nita, kemenakanku sendiri. "Bu, sini biar papa yang bayar," katanya tersenyum sangat manis. Bibirnya tipis, matanya jernih. Poni lurus itu menutupi dahinya yang bidang. "Hai, ada kalian rupanya?" seruku terkaget-kaget. "Iya dengan mama dan papa," jawabnya sambil menunjuk ke arah kakak iparku yang ternyata sudah asyik mengobrol dengan mas Dj dan mengambil juga buku di tangan suamiku. Malam itu kami seperti ketiban ndaru, diakhiri dengan makan malam di kedai ayam bakar di tepian Jalan Sunda yang tak mungkin terjangkau oleh kantung mahasiswa kami. Begitulah mesranya keluarga kami, sehingga sering menimbulkan rasa iri di kalangan kerabat. "Jadilah keluarga yang rukun seperti keluarga pakde Suhar," begitu selalu kudengar pesan paman dan bibiku kepada putra-putri mereka. Ah, maninsya kebersamaan itu.

-ad-

Itu memang penggalan kehidupan yang sudah sangat lama. Ketika kami belum lagi menikah. Ketika iparku masih ada. Sayang mas Nan tidak panjang umur. Beliau wafat ketika anak sulungnya baru lulus SMA, sedangkan mbakyuku tidak biasa mandiri. Mas nan pergi tanpa sakit yang lama dan banyak seperti aku. Tuhan mengambilnya dengan mudah begitu saja.Perbuatan manusia memang sangat terbatas. Dibatasi oleh kehendak Allah Yang Kuasa.

Pelan-pelan keluarga kakakku mulai meredup, menjadi manusia biasa yang nyaris tiada daya. Sementara itu suamiku menjadi tua dan bisa mandiri. Tapi justru saat ini aku menjadi lemah dan bolak-balik "reparasi mesin" di Rumah Sakit. Aku merasa kini aku jadi makhluk yang rupanya hanya merepotkan semua orang saja. Setidak-tidaknya menguras pikiran dan kesabaran keluarga besarku. Hatiku terasa berat, dipenuhi oleh rasa bersalah pada mereka campur kecewa pada diriku sendiri.

"Mas," tutupku, "kita belum bisa menyenangkan mbak Ning dan membalas budinya. Tapi aku sudah terlanjur sakitan dan sibuk dengan urusan diriku sendiri rupanya," lalu kuteguk sedikit jus anggur dari gelas bening di meja kami. Suamiku berdiri menatapku. "Maksudmu apa?' tanyanya. "Ya, aku merasa berdosa. Telah menyiksa pikiran dan hati kakak-kakakku. Pantas mbak Ning mendo'akan aku cepat pergi," sambungku getir. Mas Dj menghampiriku dan menutup mulutku dengan jari-jarinya. "Dik, jangan katakan itu. Akhir dari perjalanan hidup seseorang hanya Tuhanlah yang tahu. Katakan bahwa kau masih sudi mendampingiku dan anak-anak kita," katanya. Dipeluknya aku erat-erat. Getar-getar nafas itu hangat menjalari kulit wajahku. Suamiku menangis untukku. Dan akupun rebahlah di pelukannya.

14 komentar:

  1. bunda

    sy nyanyi untuk bunda

    tp siap2 sakit telinga

    heheh

    BalasHapus
  2. aduuuh bunda bahasamu novel sekaliii...
    kacamataku bisa bertambah minus :D

    BalasHapus
  3. Saya siap kasih obat tetes telinga buat yang sakit kuping! Bujubunet!! Loe cepet banget replynya! Gak usah baca Yay, ini cuma diary gw doang kok.

    BalasHapus
  4. jangan ikutan baca teh Ratih. Ini cuma diary aja kok.

    BalasHapus
  5. duch mesranya, ingin ku punya suami seperti itu..hehehe, doakan ya bunda..

    BalasHapus
  6. Semua sudah ada yg mengatur tehhh...
    Rencana Allah Subhanahu Wata'alla selalu indah kalo kita bisa menjalani nya dengan ikhlas... InsyaAllah....
    Salam buat Akang dari kel. di Jeddah ya tehhh....
    *peluk erat teteh*

    BalasHapus
  7. tante sakit iaa???
    cepet sembuh iaa.. ^^

    BalasHapus
  8. Insya Allah kalau ananda nyuwun sama Allah, pasti dapat! Bunda juga dulu nyuwun setiap malam, rencananya kepengin 40 hari 40 malam tapi belum sampe, udah dapet dan nemplok terus kayak carzy glue sampe sekarang......

    BalasHapus
  9. Iya, saya juga percaya begitu. Terima kasih dan salam kembali buat teh Na bersama akangnya. Jangan tangisi si kakang ya, dia udah lagi ngabaso tuh poek-poek tadi.

    BalasHapus
  10. Iaa..... mbak Arum. Terima kasih ya, doanya. Makanya tante bikin dua site karena yang ini buat curhatan orang sakit.

    BalasHapus
  11. Alhamdulilah, bu julie sudah dapat kabar bagus dari Dokter, kesananya Insaallah akan baik juga. anyway,,, Bu julie kalo cerita tentang pak DJ selalu Mesra lho.. (hihi)

    BalasHapus
  12. "speechless" setiap saya baca tulisan perjalanan ibu, saya terdiam, saya ingin menulis sesuatu tapi again speechless.. salam buat Bapak dan teman-teman ibu yang baik

    BalasHapus
  13. Wa syukurillah. Insya Allah doa jeng Drie didengar Allah dan jadi penguat untuk saya. Walaupun saya tahu masih ada yang belum beres di bagian abdomen saya. Tapi nunggu kekuatan kumpul lagi ah.

    Kalo cerita soal suami, yang mesranya aja ya? Jangan yang nggak mesra-mesra gitu, wadi!!

    BalasHapus
  14. Kenapa teh, pake speechless sgala? Halalh!! Pan teh Betty ge bisa cerita, cuma nggak pede aja kali. Jadi ceritanya nggak gamblang! Saya mah, kuncinya cuma satu, dibuka tuntas semua, kaya acara kupas tuntas itu!!

    BalasHapus

Pita Pink