Powered By Blogger

Kamis, 20 September 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (6)

Kisah pejabat Kemenlu yang meninggal karena kanker nasofaring ketika masih bertugas sebagai Duta Besar di sebuah negara penting di Eropa pada jurnal yang lalu bukanlah satu-satunya cerita tentang kematian Duta Besar yang masih menjabat tapi kalah dibabat kanker. Seorang lagi saya kenal baik, karena saya dan beliau sakit di kurun waktu yang sama.

Waktu itu saya tengah mengikuti penugasan mantan suami saya di Perwakilan RI di Singapura, 2005. Di tengah-tengah masa pemulihan bekas pembedahan perut saya yang mengambil rahim dan membersihkan kedua indung telur saya, tiba-tiba mantan suami saya menugasi saya untuk menerima tetamu yang datang dari Perwakilan RI di Korea Utara untuk berobat. Karena pejabat itu seorang wanita, maka kepada saya lah tugas ini diserahkan. 

Saya harus mendampingi beliau memeriksakan diri ke rumah sakit, kemudian menemani selama perawatan serta menyediakan kamar berikut jasa perawatan di rumah dinas mantan suami saya. Tugas semacam ini tidak boleh ditolak, mengingat fungsi perwakilan RI di luar negeri antara lain adalah menyangkut unsur pelayanan kepada masyarakat Indonesia/WNI di negara penugasan pejabat yang bersangkutan.

Ketika tiba di rumah dinas kami, ibu yang seorang ini sudah dalam keadaan sakit yang sangat. Tubuhnya kurus kering, kulitnya kusam berkeriput kehitam-hitaman pula. Sedangkan kuku serta bola matanya kekuningan, karena ternyata beliau adalah penderita kanker hati stadium lanjut. Penyakit yang saya ceritakan dulu menyerang ibu mertua saya, didapat beliau di negara penugasannya dengan gejala-gejala perut kembung, tubuh merasa letih lesu diikuti oleh sakit perut serta hilangnya nafsu makan. Di usianya yang baru menginjak 63 tahun beliau jadi kelihatan sangat tua. Namun sama halnya dengan pejabat Kemenlu yang saya ceritakan terdahulu, beliau masih tetap bergairah melaksanakan tugas-tugasnya. Buktinya, ketika tiba di Singapura beliau tetap membawa setumpuk pekerjaan serta mengadakan hubungan jarak jauh dengan anak-anak buahnya melalui jaringan telekomunikasi. Lalu sesekali anak buahnya datang menghadap mengonsultasikan pekerjaan mereka.

Sewaktu di Pyongyang, dokter sudah bisa mendiagnosa dengan tepat penyakit kanker hati beliau. Saya dengar beliau bahkan sempat dirawat di rumah sakit dan mendapat obat-obatan seadanya, dikarenakan negara itu begitu tertutup. Hal ini disebabkan pada suatu hari beliau mengalami pendarahan hebat dari perutnya. Selanjutnya beliau terbang ke Beijing untuk berobat di sana, yang pada akhirnya diputuskan juga untuk berobat di Singapura supaya keluarga beliau dari tanah air mudah datang menengok.

Selama di Singapura yang makan waktu berbulan-bulan beliau menjadi pasien Singapore General Hospital yang mempunyai pusat penelitian dan perawatan penyakit kanker (cancer centre). Tapi di saat-saat kondisinya membaik beliau akan tinggal bersama kami sambil berobat jalan. Bahkan sempat pula beliau kembali ke Pyongyang untuk menengok serta membereskan pekerjaan kantornya.

Yang saya ingat dari kondisi beliau adalah perut yang membengkak juga menumpuknya cairan di kaki (bengkak air = asites) meski beliau sudah mengikuti diet rendah garam selain rendah lemak sesuai anjuran dokternya. Menjelang akhir hayatnya, liver yang bengkak itu sudah mendesak jantungnya, sehingga menimbulkan kesulitan bernafas. Agaknya tak cukup lagi asupan oksigen ke dalam tubuhnya, sehingga beliau memerlukan tabung oksigen selama 24 jam meski sedang tidak dirawat di rumah sakit. Beliau sendiri sih memang tidak cengeng. Saya tidak pernah mendapati beliau sedang menangis, tapi rasa sakit yang dideritanya jelas tak bisa disembunyikan. Adakalanya beliau meringis serta sesekali menghela nafas lalu membuangnya. Di waktu beliau mampu bercerita, beliau akan menularkan semangatnya kepada saya untuk berjuang memerangi penyakit kami masing-masing. Kalimatnya yang paling jadi kenangan saya adalah ketika beliau meratapi teman akrabnya yang meninggal terlebih dulu disebabkan kanker rahim. "Wah bu Eni sudah keok.........," rintihnya seraya menerawang menatap kejauhan yang ditumbuhi pepohonan besar-besar. Adapun tempat favoritnya di rumah dinas kami adalah beranda rumah di mana beliau bisa menyaksikan unggas berterbangan sambil mencericit serta tupai asyik memanjat lalu memaguti buah kelapa sawit yang ditanam orang di sudut halaman. "Di sini enak ya, meski panas tapi ada angin sepoi-sepoi."

Ya, kepanasan, itu adalah salah satu di antara keluhan yang saya dengar sehabis beliau menerima kemoterapinya. Kini saya mengerti bagaimana rasanya setelah saya sendiri mengonsumsi rebusan daun sirsak yang diakui kalangan kedokteran sebagai bahan obat kemoterapi. Tubuh saya pun merasa panas. Keringat akan mengucur deras meski saya sekarang tidak pernah lagi mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang berat-berat mengikuti petunjuk sinshe yang merawat saya. Begitulah ternyata yang namanya kemoterapi. Belum lagi ibu Duta Besar ini mengalami kerontokan rambut serta kulit yang seperti terbakar. Untung saya tak harus mengalaminya karena dulu jenis sel yang menempel di tubuh saya maupun kistanya jinak semua, sedangkan sekarang saya memilih berobat tidak kepada dokter.

Ibu pejabat yang satu ini wafat ketika tugasnya sebagai Duta Besar baru separuh jalan. Beliau tertikam kanker yang tidak terdeteksi sewaktu beliau mengikuti uji kelayakan calon Duta Besar dulunya. Padahal untuk kasus penyakit beliau, tumor di hatinya tidak pernah dioperasi mengingat dokter yang merawat memang tidak lagi bersedia mengoperasi. Yang ada hanyalah penggunaan obat-obatan kemoterapi dosis tinggi saja. Jika dikait-kaitkan dengan kasus kanker hati ibu mertua saya yang juga cuma sempat diobati selama tiga minggu, saya berpendapat bahwa kanker hati adalah penyakit yang mencuri kesehatan kita secara diam-diam. Dia datang dengan cepat, beraksi seperti kilat, pun membawa kita ke liang kubur dengan bergegas.

Akhir hayat pasien yang satu ini menegaskan itu semua. Waktu itu pertengahan minggu di akhir bulan Juli. Saya ingat betul, hari Rabu. Sewaktu saya bangun tidur di pagi hari, saya mendapat kabar bahwa beliau dilarikan suaminya ke rumah sakit di waktu fajar karena kehabisan oksigen dan mulai kehilangan kesadaran setelah semalaman tidak bisa tidur sepicing pun.

Menjelang siang saya menyusul ke rumah sakit, dan mendapati beliau dalam keadaan tertidur, sepertinya lena sekali. Selang infus sudah menancap di tangannya yang tinggal tulang belaka. Begitu pun oksigen menempel lekat lewat bantuan ventilator ke hidung dan mulutnya, hanya saja tak ada suara-suara mesin yang berdesingan seraya mengetuk-ngetuk, sebab beliau ternyata cuma dibaringkan di kamar perawatan biasa. Tidak ada tanda-tanda beliau akan dimasukkan ke ICU.

Suami beliau kedapatan sedang duduk tepekur, seraya memegang telepon genggamnya yang nampaknya sebentar-sebentar terhubung dengan putri mereka satu-satunya di Britania Raya yang tengah mencari ilmu. Atas pertanyaan saya beliau mengatakan bahwa dokter sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi, sehingga beliau dibiarkan dirawat di kamar inap biasa. Pasiennya agaknya sudah dalam keadaan comma, sebab sejak dibawa dari rumah kami beliau tidak pernah lagi membuka matanya. Apalagi sampai bisa menelan makanan lembut yang disediakan di rumah sakit. 

Panik juga saya mendengar penuturan itu. Maka saya berinisiatif untuk mencari tenaga medis dan mendapatkan penjelasan mereka tentang kondisi pasien yang sesungguhnya. Sayang di rumah sakit sebesar itu, tenaga medis tetap terasa kurang mencukupi. Nyatanya tak ada seorang perawat pun apalagi dokter yang bisa menemui saya dan berdiskusi dengan enak. Tapi saya tetap mengejar perawat dan menyatakan keinginan saya agar mereka berbuat sesuatu memasukkan makanan ke tubuh pasien lewat selang sonde yang biasa disangkutkan di hidung atau lewat infus dengan cara disuntikkan. Pokoknya saya berupaya dengan segala cara termasuk cara bodoh yang kalau dipikir-pikir tidak masuk akal, demi meringankan derita pasien yang masih dibutuhkan tenaga serta pemikirannya ini oleh negara. Seorang perawat akhirnya mengakomodasi keinginan saya, dan menyatakan siap menyampaikannya kepada dokter yang merawat beliau.

Apa daya keesokan harinya, Kamis pagi ketika tengah berbelanja kebutuhan dapur di pasar, mantan suami saya menelepon ke telepon genggam saya menyuruh saya segera ke rumah sakit. Dia menerima informasi bahwa tetamu kami dalam keadaan gawat. Rumah sakit berniat merundingkan sesuatu yang penting dengan pihak kami.

Hati saya merintih sedih. Berdegupan di dalam sana, membuat kaki saya ikut-ikutan terpacu melangkah cepat meski sesungguhnya nyeri di rongga perut bekas operasi saya sendiri belum sepenuhnya sembuh. Sepanjang jalan di dalam mobil sudah terbayang hal-hal terburuk, yang akhirnya membuahkan dzikir dan doa untuk saya. Sementara itu otak saya pun tergerak untuk mengontak jemaat gereja Presbytarian Orchard seksi Indonesia supaya mengirimkan kelompok yang bisa memberikan doa penghiburan mengingat pasien kami beragama Protestan.

Di rumah sakit saya dapati pasien terbaring tenang. Tapi suaminya tak ada di situ. Ruang perawatannya kosong dan senyap, membuat saya bergerak ke sana-ke mari mencari keluarga beliau serta tenaga medis yang saya perlukan. Ternyata suami ibu Duta Besar sedang berada di ruang perawat memperbincangkan mengenai kondisi istrinya itu. Saya menarik diri, hanya menebar senyum sambil menjabat tangan beliau lalu beranjak kembali ke kamar pasien menunggu di situ.

Tak lama kemudian beliau menyusul, mengajak saya ke luar ruangan dan menyampaikan kabar dari dokter bahwa pasien dalam keadaan "dying" karena obat kemoterapi resimen terbaru yang dicobakan kepada beliau sama sekali tak bereaksi. Beliau dianjurkan untuk membawa pasien pulang ke Jakarta sesegera mungkin. Duh, betapa terkejutnya saya. Tak disangka, begitu mudahnya otoritas rumah sakit di Singapura memulangkan pasien yang dalam keadaan tiada berdaya. Rasanya mereka seperti tak membayangkan kesulitan kami mencarikan pesawat komersial mengingat ketiadaan dana kalau kami harus menyewa penerbangan khusus. Belum lagi kami diharuskan mencari dokter pendamping dalam penerbangan itu. Bingung betul.

Untunglah dalam kebingungan itu, mantan suami saya dan atasannya beserta istri segera tiba di rumah sakit mengikuti perkembangan berita yang saya kirimkan. Pihak Garuda Indonesia di Singapura pun dihubungi untuk menanyakan kemungkinan menyediakan ticket segera.  Mereka mengatakan akan berunding dulu dengan pihak otoritas di Changi Airport. Sementara itu teman-teman pengurus Dharma Wanita Persatuan pun mulai berdatangan untuk menyumbangkan pemikiran terutama mengenai jasa dokter yang akan dimintai mengantar ke Jakarta.

Beruntunglah salah seorang di antara kami terpikir untuk mengontak seorang dokter asal Indonesia yang bekerja di Raffles Hospital tempat saya berobat melalui petugas penghubung pasien Indonesia di sana untuk dimintai jasanya. Beruntung pula, beliau semua cepat tanggap lalu menyarankan memindah pasien ke Raffles Hospital siang itu juga dengan mengirim ambulans mereka.

Maka malam itu, Kamis, 28/07-2005 pejabat wanita di Kemenlu RI yang mulai disergap aroma kematian ini kami kirimkan ke Raffles Hospital untuk semalam sebagai upaya pemantauan kondisi fisik yang sesungguhnya sebelum diterbangkan ke Jakarta. Di dalam ruang ICU yang tak seberapa luas beliau sempat tersadar sebentar. Tapi tentu saja sudah tak bereaksi, meski matanya nyalang menyapu keadaan di sekitarnya. Lalu keesokan sorenya Garuda Indonesia menyiapkan enam buah kursi penumpang untuk membawa terbang pasien beserta keluarganya bersama para penumpang komersial. Dalam pada itu, putri beliau tiba di saat yang tepat dari Inggris.

Saya sempatkan mencium kening pasien sebelum beliau dibawa dengan brankar ke ruangan dalam airport dari ambulans yang disiapkan pihak dokter di Raffles Hospital. Tubuhnya tentu saja sudah dingin, sebab hidung saya serasa sedang membentur es ketika menyentuh dahinya. Tapi mata beliau yang hitam membulat indah, masih bereaksi dengan hangatnya. Ada sorot mata yang menyentuh hati saya di saat itu. Dibarengi lelehan air mata bening serta senyum yang tipis di bibir tipis yang kini tak pernah lagi disentuh oleh perona. Mata itu tak pernah mengatup sepanjang saya mendampingi perjalanan terakhir beliau di Singapura di senja yang mulai meremang itu hingga ke dalam area keberangkatan. Lalu semuanya hanyalah salam perpisahan untuk selamanya, karena keesokan harinya, Sabtu 30/07-2005 media massa memberitakan kepergian beliau untuk selamanya di RS MMC Jakarta mendahului akhir penugasan beliau yang tak pernah lagi terselesaikan.

Begitulah kanker. Sepertinya tak pernah mengerti kapan dia harus datang. Kapan pula saatnya dia perlu memberi remisi untuk si sakit. Ya, kanker dengan metoda pengobatan empiris selalu tak memberikan kepastian. Itulah sebabnya kini saya menyatakan siap berjuang untuk melawannya melalui jalur pengobatan alamiah. Semoga Allah meridhai upaya saya.

(Bersambung)

4 komentar:

  1. Saya doakan kak julie berjaya sembuh berbekalkan perubatan alternatif.. Setiap sakit ada ubatnya kecuali mati..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas doanya yang penuh semangat. Semoga kakak sendiri pun sentiasa berada dalam lindungan Allah SWT. Salam sihat!

      Hapus
  2. banyak orang kemenlu dan keluarganya yang sakit dirawat di singapur kenal m.julie semua ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kan memang kewajiban staf KBRI mendampingi siapa pun pejabat negara yang sakit dan minta dampingan, sekalipun di luar lingkungan keluarga Kemenlu. Apalagi kalau yang sakit orang Kemenlu, kita sudah merasa yang sakit itu keluarga kita sendiri, jadi kita dampingi sampai akhirnya.

      Hapus

Pita Pink