Ketika saya tersandera oleh penyakit yang membuat saya tak berdaya sendiri, ingatan saya kerap berkelana melayang-layang. Menembus waktu, melibas zaman, hingga hinggap di masa silam yang ternyata memang cukup kelam.
Betapa tidak? Coba bayangkan, bahwa berdasarkan cerita dari keluarga mertua saya, saya berkesimpulan bahwa gen kanker merayapi keluarga mereka dan menggerogoti satu demi satu nyawa yang ada.
Ayah mertua saya, dibabat habis oleh kanker usus besar yang berawal dari paru-paru beliau di usia yang belum mencapai bilangan tujuh dasa warsa. Menurut kisah yang dituturkan banyak orang tua-tua, beliau sempat dirawat di Sanatorium Tjisarua, Rumah Sakit khusus perawatan penyakit paru Tuberkulosis di kaki Gunung Pangrango-Gede yang sejuk. Ketika penyakitnya tak kunjung membaik, keluarga kami memindahkan perawatan beliau ke tengah kota ke rumah sakit yang cuma satu-satunya waktu itu, RSU PMI Bogor. Dikabarkan ibu mertua saya, penyakit bapak membuat bapak menderita karena perut bapak kembung akibat konstipasi. Dalam pada itu, dari anus bapak mulai keluar darah segar yang menjadikan fisik bapak semakin lemah. Entah apa yang ada di dalam pemikiran para dokter yang merawat beliau ketika itu, maka beliau kemudian dialihkan ke Rumah Sakit Paru Persahabatan di Jakarta, yang berhasil mendiagnosa penyakit beliau sebagai tumor paru-paru yang menyebar hingga ke usus besar. Tapi sayang semua sudah sangat terlambat. Bertahun-tahun waktu kami terbuang percuma, hanya untuk mendapatkan diagnosa yang paling mendekati kenyataan seperti itu, hingga akhirnya Allah mengambil bapak dan menempatkan beliau dalam kedamaian abadi di suatu subuh dalam dekapan ibu mertua saya, istri beliau. Kini saya tahu, penyakit ini adalah kanker paru-paru yang metastesis menjadi kanker kolon (colorectal cancer) seperti beberapa pasien yang saya temui belakangan ketika saya menetap di Singapura dan menjalani serangkaian pembedahan untuk kasus di dalam organ kandungan saya itu.
Tak hanya bapak mertua saya, ibu mertua pun berpulang akibat penyakit kanker hati tepat ketika saya juga sedang kehilangan anak pertama saya, cucu beliau yang pertama. Ibu mertua sakit amat mendadak, membuat saya tidak begitu yakin akan kebenaran penyakitnya.
Waktu itu teknologi pengobatan sudah modern, di awal kurun waktu tahun 1980-an, penyakit kanker sudah dikenal luas. Ibu mertua saya hanya mengeluhkan nyeri pada perutnya, mual dan muntah darah sebelum akhirnya kami menyerahkan beliau dalam perawatan dokter ahli penyakit dalam yang sudah bertahun-tahun merawat ibu kandung saya yang terserang hepatitis B.
Hanya tiga minggu mama bertahan, sebab dokter mengatakan kami terlambat membawa mama berobat. Bayangkan saja, betapa tidak, selama ini mama adalah seorang tua yang sehat di usia yang ke-61 tahun. Staminanya sangat luar biasa. Mama masih sanggup berjalan kaki jauh ke pasar pulang-pergi sambil menjinjing keranjang belanjaan yang berat sendirian. Kebiasaan itu dilakoninya sejak muda, ketika bapak mertua saya meninggal dunia selagi mantan suami saya baru kelas 5 SD. Setelah wafatnya bapak, mama bekerja sebagai pembuat kue kering yang laris. Pelanggannya sangat banyak. Selain itu kegemaran mama di dapur juga menghasilkan aneka masakan yang kerap dipesan orang. Teringatlah saya kini akan rendang Padang mama yang lezatnya mengucurkan air liur, dengan bumbu merah cabai yang menarik selera. Itulah salah satu lauk-pauk yang kerap dipesan orang, selain kue lemper ketan yang dibungkusi mama mengikuti cara orang di kampung nenek moyang kami di Kebumen sana.
Sesekali memang mama mengeluhkan tubuhnya yang tidak lagi segar. Kata beliau sih rasanya mudah lelah, haus, kembung, dan tidak bernafsu makan. Namun tak pernah sekali pun mama mau diajak berobat ke dokter. Hanya berkunjung ke Puskesmas sajalah yang dilakoninya, memanfaatkan kartu Askes PNS yang ditinggalkan almarhum bapak mertua saya. Dan celakanya, di Puskesmas mama didiagnosa mengidap penyakit gula. Lalu lebih celaka lagi, mama selalu keras kepala tidak mau melanjutkan pemeriksaan kesehatan lebih dalam untuk memantau kondisi yang sesungguhnya. Mama lebih memilih minum jamu dan menggunakan obat yang dibeli di toko obat berpedoman kepada obat yang diresepkan dari Puskesmas. Apalagi menganjurkan mama beristirahat, pasti ditolaknya. Beliau akan tetap aktif bergerak sepanjang hari, bahkan seperti hari-hari terakhir sebelum tumbangnya beliau.
Siang itu mama berbelanja ke pasar. Belanjaan mama masih teronggok penuh di keranjang di sudut dapur, ketika di malam harinya ternyata mama muntah darah yang sangat mengerikan. Itulah satu-satunya alasan yang membuat mama menyerah dibawa berobat ke dokter, bukan lagi ke Puskesmas. Dan ternyata, itulah juga kesempatan terakhir kami merawat mama sebaik-baiknya.
Sebab hingga sekarang masih terngiang-ngiang kata-kata dokter yang sudah sangat mengenal saya dengan baik di saat memberitakan keadaan mama. Amatlah mengecilkan hati kami, membuat saya menyesali diri tak terkatakan.
Mama mengidap kanker hati stadium akhir yang tak bisa lagi diselamatkan dengan operasi. Apalagi rangkaian kemoterapi dan radiasi yang biasa menyertai pengobatan kanker, sudah mustahil dilakukan. Kata dokter yang halus budi karena berasal dari kota serimpi, Solo, penyakit mama tidak berkembang sedikit demi sedikit seperti penyakit ibu kandung saya, melainkan langsung menghebat dikarenakan beberapa kemungkinan. Yang terutama adalah karena faktor kebersihan makanan. Besar kemungkinan mama sering mengonsumsi makanan yang sudah berkali-kali dihangatkan, yang karenanya ditumbuhi oleh bakteri jahat yang disebut Aflatoxin B1. Belum lagi mama kurang beristirahat serta cenderung mengabaikan pengobatan yang terkendali, jika mengingat mama kerap sembrono membeli obat-obat yang seharusnya hanya boleh dikonsumsi dengan resep dokter, tapi dibeli bebas mama di toko obat di pasar.
Mama pun meninggalkan kami tanpa pernah mendapat pertolongan yang layak. Itu dikarenakan tak ada lagi upaya yang bisa dilakukan dokter untuk menyelamatkan nyawa beliau, membuat tiga minggu yang mengerikan itu menjadi batu sandungan bagi saya yang ingin membahagiakan mama. Sebab saya sendiri sedang dalam masa nifas sehabis melahirkan anak sulung saya yang juga meninggal sebelum saya sempat memandikan apalagi memanjakannya. Mama berpisahan dari kami tanpa sempat kami dampingi. Hari itu mantan suami saya, putra beliau yang tunggal sedang dalam keadaan duka mendalam meratapi kematian si kecil sambil menemani saya yang juga masih saja meluapkan kepedihan. Mama wafat di sebuah rumah sakit di Jakarta menjelang sore ditemani cucu kemenakan, kerabat dari pihak bapak mertua saya.
***
Mengingat kanker yang merenggut nyawa kedua orang tua mantan suami saya, seharusnya saya sadar bahwa kanker itu bisa mengenai siapa saja, terutama orang yang malas berolah raga serta mengabaikan gaya hidup sehat. Namun jujur saja, saya tak pernah tergerak untuk mulai merubah kebiasaan makan daging merah berikut isi perutnya. Juga mulai mengonsumsi sayur yang selama ini memang tidak begitu saya sukai. Jujur saja, saya memang cuma suka kangkung, daun singkong serta brokoli. Itu saja yang saya makan banyak-banyak. Selain itu, semua hanya ala kadarnya.
Inilah kesalahan saya yang terbesar di samping tubuh saya yang kurang gerak. Rupanya berjalan kaki selama sekian waktu saja tidak cukup untuk menjaga kebugaran tubuh. Maka, sepatutnya saya tak menyesal ketika semua tumbuhan liar di tubuh saya yang semula jinak kini tiba-tiba berubah jadi ganas. Tapi saya tetap bertekad akan terus melawannya. Sebab saya salut setelah berkaca kepada beberapa pasien kanker yang saya temui di dekat saya di waktu-waktu belakangan ini. Mereka adalah pejuang-pejuang yang tangguh, yang sanggup menyimpan rasa sakit itu di balik kerja keras mereka yang patut dibanggakan. Saya angkat topi untuk mereka.
(Bersambung)
saya masih mencoba untuk ketiga kalinya menulis komentar di ruang kakak. Tidak tahu kenapa walaupun telah ditekan butang publikasi, ia masih tidak terpapar..walhal saya telah menggunakan google account
BalasHapusAlhamdulillah akhirnya berjaya.. Moga kakak sentiasa bahagia juga tabah menghadapi ujian Allah. Semoga Allah juga mengurniakan penawar dan kesembuhan buat kakak yang baik..
BalasHapusNah tu........, pada akhirnya kita boleh bersama lagi. Terima kasih ya dik, senang hati bersama-sama kembali di sini. Apa pasal semula telah tekan butang tak nampak tu komen?
HapusBunda, apa kabarnya?
BalasHapusSenang bersua kembali dengan bunda di Blogspot :)
Aih ada jeng Rien, terima kasih atas kunjungannya ke sini, kita bisa terus menjalin persaudaraan. Insya Allah di sini kita abadi ya? Saya baik-baik saja lho.
Hapustetap semangat Bunda...
BalasHapusBunda sudah baca buku "berteman dengan kematian"? pernah saya bikin reviewnya di empe
kata penulisnya, obat yang paling mujarab adalah "bahagia"
baru tahu juga, ternyata bahaya ya makan makanan yang berkali-kali dipanaskan (walaupun kata beberapa orang, semakin dipanaskan, semakin sedap)..
Alhamdulillah di rumah dibiasakan untuk masak setiap hari, ga ada ceritanya makanan dipanaskan sampai 2 hari
Insya Allah ya, soalnya memelihara semangat itu gampang-gampang susah sih. :-(
Hapussaya belum pernah tahu buku itu, nanti saya cari ah. BTW makanan yang sudah tidak segar kan memangnya juga udah rusak, cuma kita nggak sadar jadi dimakan lagi.
ooh gitu ya Bun..dapat ilmu baru tentang makanan jadinya *manggut-manggut
Hapuspercaya deh Bun, banyak teman dan anak maya yang mensupport Bunda
btw ini link review bukunya, di empe saya:
http://faziazen.multiply.com/reviews/item/5
Terima kasih link ke reviewnya, nanti saya cari, soalnya dari sini nggak bisa langsung dibuka sih.
Hapusiya Bunda :)
BalasHapusUdah saya baca. Oh ternyata tentang gadis yang itu ya? Saya pernah baca juga sih, cuma di mana saya lupa.
Hapussekarang jadi penggemar sayur nih mbak?
BalasHapuseh, dapat resep rendang dari ibu mertua almarhum?
iya nih, saya jadi berusaha makan sehat.. ketahuannya setelah tua ya kalu isi badan kita sudah "berubah"..
salam sehat mbak.. jangan lupa juga olahraga..
Iya, terpaksa padahal tadinya milih-milih banget, paling mau kangkung sama daun singkong yang sekarang justru nggak termasuk anjuran sinshe dan dokter.
BalasHapusMasak rendang memang yang ngajarin almarhumah ibu mertua waktu saya masih gadis, karena bapak saya doyan banget kalau dikirimin dari dapur besannya hehehe.......
Lucu juga ya kalau dipikir-pikir, selagi uang nggak punya kita kepengin makan semua yang gurih-gurih. Begitu gampang dapat uang, eh, nafsunya nggak keturutan karena medical check up kita menunjukkan makanan gurih mesti kita jauhi hahahaha.......